Kesederhanaan yang Berpamrih

01.31.00 jino jiwan 0 Comments

Kamis tanggal 11 Juni itu sejumlah stasiun televisi nasional sibuk menyiarkan secara langsung acara pernikahan anaknya Jokowi. Beberapa menayangkan sekelebatan, lainnya secara khusus. Di antara yang menayangkan dalam acara khusus adalah SCTV dan Indosiar, stasiun televisi yang pada dasarnya satu entitas karena dimiliki satu orang yang sama, serta Metro Tv yang sudah menjadi ‘stasiun resminya pemerintah’. Keduanya sejak pemilu presiden 2014 dari segi pemberitaan memang lebih memihak Jokowi dibanding lawannya. Jika acara siang belum dirasa cukup. Eh, malam harinya Metro Tv masih menambahkan tayangan special report buat para permirsa dari acara resepsian di Solo sana.

Satu untuk Jokowi
Memang untuk Jokowi
Jokowi to elevate
Hari ini segalanya bisa dijual, segalanya adalah lahan bisnis, segalanya bisa dibuat sebagai tontonan. Apa yang biasanya jadi ranah pribadi atau katakanlah segelintir orang saja, dalam hal ini pernikahan kini dikemas untuk konsumsi publik. Dan bila sampai menyentuh publik maka artinya—apapun yang dijual itu—bakal sarat beragam kepentingan. Banyaknya kepentingan terlebih menyangkut publik (apalagi politik) lalu tak bisa lepas dari model-model pencitraan. Tak ubahnya acara lain di televisi di mana penampilan/penampakan non inderawi teramat penting untuk menunjukkan sesuatu, bahkan sampai hal ‘terkecil’ sekalipun. Jikalau hal kecil itu luput dari perhatian pemirsa, maka narasi pun akan dinarasikan hingga JELAS sebagai penjelas demi agar pemirsa berada dalam persepsi yang sama dengan apa yang dimaui oleh pembuat tontonannya.

Yang kumaksud di sini adalah citra “kesederhanaan” yang terus menerus digaungkan nyaris tanpa henti sepanjang penayangan acara pernikahan hingga resepsi. Bahwa setiap elemen dalam pernikahan ‘sang pangeran’ ini telah dirancang dengan cermat dan disengaja agar dimaknai sebagai kesederhanaan. Pemaknaan ini lebih-lebih timbul dari bibir-bibir para pembawa acara dan para komentator (mereka yang ditodongi mikropon untuk dimintai pendapat). Kesetujuan bersama yang diincar diciptakan lewat jalan “terlampau kelihatan apa maunya.” Penggunanya lupa bahwa kata kesederhanaan yang diulang-ulang sesering bayi nyedot susu bukannya tanpa pamrih. Pamrihnya adalah pengakuan akan kesederhanaan itu sendiri. Sayangnya usaha pemunculan citra ini berujung lebay.

Kata sederhana ternyata begitu kayaaa makna. Tidak hanya mengarah pada “dia lebih sederhana dibandingkan orang lain yang tidak,” melainkan juga “terhitung sederhana mengingat posisinya (yang presiden).” Padahal “posisi” itu tidak pernah setara. Sederhana buatku cenderung tidak jelas arahnya. Ia adalah sebuah kata abstrak. Sungguh tidak mudah untuk mengartikannya atau mendeskripsikan lelaku yang setara dengan “sederhana.” Apa yang disebut sederhana tentu dikaitkan dengan kenormalan atau kelaziman, sementara kenormalan atau kelaziman itu sendiri bergantung dari mana kamu berasal dan di mana kamu tinggal. Bahasa lainnya sih: sederhana itu relatif binti nisbi alias sekarepe udel yang ngarani.

Seperti juga yang terjadi sewaktu Sultan Jogja yang sekarang bergelar Bawono 10 menikahkan putri-putrinya. Ucapan bahwa Sultan Jogja adalah orang sederhana dan dekat dengan rakyat beterbangan bagai gumpalan kapuk dari pohon randu di kala musiman. Alasannya? Karena putri-putrinya dan suami-suami yang baru menikah itu diarak naik iringan kereta kencana untuk menyapa para kawulo yang telah merelakan diri berpanas demi menonton mereka.

Aviani Malik Metro Tv
Untung Aviani malah terlihat lebih hot dengan busana seperti itu
Busana Jawa Tradisional
sederhana sederhana
masih sederhana
Di SCTV, Indosiar, dan Metro Tv para pembaca berita televisi tiba-tiba beralih jadi pembawa acara. Mereka digiring didandani untuk jadi orang Jawa dalam sehari dengan memakai baju tradisional gaya Jawa. Rupanya biar sesuai dan senuansa dengan acara yang dibawakan: pernikahan orang Jawa dengan adat Jawa yang kebetulan anaknya presiden. Mereka menjadi agen-agen profesional pelafal betapa sederhananya pernikahan tempo hari. Mulai dari kereta kuda, musik gamelan pengiring rombongan, acaranya itu sendiri, keberbauran tamu undangan dengan paspampres, kebernontonan penonton di TKP (tempat kejadian pernikahan), dll. Semuanya tersemat label sederhana.
inset tuh pemuji-Mudji Jokowi

Sedangkan Anies jadi penegas
Di Metro Tv Mudji Sutrisno dan Anies Baswedan turut kebagian jadi pemuji-muji alias komentator. Komentarnya pun seragam dengan yang digembar-gemborkan pembaca acara: sederhana, sederhana, sederhana, layaknya warga biasa, layaknya warga biasa, layaknya warga biasa. Sungguh sesi komentar yang mubazir. Bahkan Kompas Tv pun ikut-ikutan mengomentari jamuan makanan yang berupa tengkleng yang dulu adalah sajian orang tak berpunya; minuman gula asam beras kencur yang khas desa; sampai busana resepsian Gibran-Selvi, apalagi jika bukan: Iya, sederhana!

Tengkleng itu sederhana (meskipun tetap ada dagingnya)
tidak begitu sederhana bukan?
Oh media-media, berkat engkau-engkaulah saat ini “sederhana” sudah inheren dengan Jokowi. Sangat melekat dan tak terpisahkan. Hubungan antara Jokowi dengan sederhana sudah macam petanda dengan penanda. Semua orang lantas setuju dan iya-iya saja.

Andai dunia ini adalah dunia alternatif di mana Jokowi kalah dalam pilpres lalu atau malah kalah di pilgub Jakarta, maka bisa dipastikan tak akan ada media nasional yang mau peduli dengan pernikahan Gibran, anaknya Jokowi. Kenapa media nasional mau menayangkan? Ya karena Jokowi itu presiden. Andai yang menang pilpres adalah Prabowo maka yang terbahak-bahak sekarang ini adalah Abu Bakrie. Dan kita semua kemungkinan akan menyaksikan tontonan helatan akbar pernikahan rujuk Prabowo dengan mantan istrinya, Live di Antv dan TvOne memang beda. Entah gimana kedua stasiun televisi ini mengemas pernikahan sebagai sesuatu yang “tegas” setegas Prabowo.


Tapi setelah kupikir-pikir pengandaian terakhir pun tidak lebih baik. Duh...

(Jino Jiwan)

0 komentar:

Ini Yang diucapkan Pelayan Minimarket

21.37.00 jino jiwan 0 Comments

Pada suatu hari aku terpaksa harus membeli sesuatu di toserba paling putih bersih, paling benderang, toserba paling dekat rumah/kantor/kampus/sekolah, dan berdiri tiap 10 meter di mana-mana di pinggir jalan, toserba yang teradem tersejuk dan pelayannya amat sangat ramah karena mereka selalu tersenyum riang, toserba yang begitu kamu masuk ke dalamnya ada suara yang menyapa “selamat datang.” Yak, toserba itu berlabel: Indomaret/Alfamart/Circle-K/Ceria/Mina/atau Apapunnamanya-Mart.





Setelah berkeliling mendinginkan tubuh dan mendapat sesuatu yang aku butuhkan aku ‘menyeret’ kakiku menuju kasir. “Tiiit!” begitu bunyinya. Harga yang tertera membuatku serasa agak berat untuk membuka dompet. Tapi toh aku membayarnya juga. Karena memang butuh(?)..., tapi mungkin lebih karena gengsi kalau batal beli.
Detik berikutnya inilah yang dikatakan si Kasir.

Kasir/Pelayan: Maaf, yang 100 Rupiahnya boleh disumbangkan atas nama kami? Meskipun kami sadar uang 100 Rupiah ini sebetulnya adalah hak anda. Tapi bos besar kami yang sudah kaya itu terlalu malas untuk menyediakan uang receh yang sudah nyaris punah dan tak ada nilainya lagi. Yang mana itu melegitimasi kami untuk mencomotnya dari anda, apalah artinya uang 100 Rupiah bagi anda? Toh anda belanja sesuatu yang cukup mahal itu. Lagi pula dengan mengumpulkan 100 Rupiah dan lalu menyumbangkannya kami sudah menunjukkan betapa kami sangat peduli kepada sesama. Ini toh merupakan bagian dari CSR kami. Tahu CSR kan? Kami punya CSR! Dan itu amatlah sangat mulia! Siapa yang tahu atau siapa yang peduli apakah uang sumbangan ini benar-benar disampaikan pada yang kata kami akan disumbangkan? Hanya 100 Rupiah gitu loh!(*)

Aku pun mengangguk tanpa berkata apa. Keluar dari toserba itu tiba-tiba ada suara lagi, suara yang tidak asing lagi, “selamat datang.” Kurasa itu artinya semua pembeli akan terus-menerus masuk kembali ke dalam suatu saat nanti dan terus membeli dan terus menyumbang sekian Rupiah.

* yang terketik miring adalah kata-kata yang tidak terucap.

(Jino Jiwan)

0 komentar:

Ironi Kupon Undian Beasiswa

02.42.00 jino jiwan 0 Comments

Meraih beasiswa adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi penerimanya. Kian istimewa di kala persyaratan untuk itu tidak makin mudah dan prosesnya memakan waktu yang tidak singkat. Mulai dari standar nilai akademik yang tinggi, sertifikat serta surat-surat rekomendasi, pemrioritasan tingkat ekonomi atau asal daerah/negara tertentu, hingga wawancara langsung dengan pihak pemberi dana. Jadilah menerima beasiswa terasa bagai prestasi apalagi jika melibatkan angka-angka: mendapat lebih dari satu beasiswa; nominalnya terbilang besar; atau bisa mengalahkan sekian jumlah pelamar yang lantas bisa/akan dicantumkan dalam Daftar Riwayat Hidup ketika melamar pekerjaan atau pada profil penulis jika yang bersangkutan menulis buku. Berbanding terbalik dengan keadaan tersebut, swalayan Mediko di daerah Patangpuluhan Yogyakarta menawarkan kemudahan bagi siapa saja untuk meraih “beasiswa.” Syaratnya mudah, cukup belanja senilai Rp. 50.ooo,- dan kelipatannya maka seorang berhak mendapat kupon undian beasiswa. Hadiah yang ditawarkan hanya 1,5 juta Rupiah dibagi 6 pemenang, bukan jumlah menggiurkan memang apalagi jika disandingkan beasiswa lain. Namun yang namanya beasiswa tetap saja beasiswa..., atau tidak lagi?

Rp. 50 ribu untuk Rp. 250 ribu

Sulit untuk melacak asal usul beasiswa, diduga ia sama tua dengan munculnya pendidikan terinstitusi itu sendiri. Menurut dictionary.reference.com beasiswa atau scholarship dalam pengertian biaya untuk sekolah/kuliah digunakan pertama kali pada 1580. Berbeda dengan dana pinjaman yang harus dikembalikan kepada pemberinya, beasiswa adalah dana cuma-cuma yang dijadikan sebagai investasi dari pihak pemberi dengan timbal balik berupa prestasi dari penerima. Lewat pola semacam ini, beasiswa tidak pernah bebas nilai dan tidak bersih dari kepentingan. Apalagi jika beasiswa menyaru kupon undian yang mensyaratkan belanja dengan nominal tertentu. Maka dipastikan berlimpahnya relasi tanda terhadap makna yang ditimbulkan.

Kesederhanaan melingkupi seluruh tampilan kupon undian. Mulai dari kertasnya yang tipis dan hanya berukuran 9 x 4 cm hingga penggunaan teknik fotokopi menunjukkan biaya yang ditekan untuk membuatnya. Terdapat lima rangkaian informasi verbal di lembarnya yang mungil. Pertama, jenis kupon diikuti periode bertuliskan: kupon belanja Periode April-Juli 2015. Kedua, nama program undian dan nilai hadiah: mediko Back To School, DAPATKAN HADIAH BEA SISWA TOTAL HADIAH Rp. 1.500.000 (@Rp.250,00 Untuk 6 pemenang). Ketiga, data diri pelanggan dalam kupon: Nama, Alamat, No. id. Keempat, syarat dan ketentuan: hanya dengan belanja Rp. 50.000, berhak mendapat 1 kupon dan berlakukelipatannya. Dan yang terakhir, cap/stempel Mediko Patangpuluhan.

Kupon ini uniknya tanpa menyertakan sama sekali nomor seri, tidak ada pula sobekan bukti keabsahan yang umumnya dipegang pihak pengundi. Ketiadaannya digantikan oleh stempel toko yang anehnya tidak begitu kentara. Hal ini mengindikasi bagaimana pihak toko percaya kepada pelanggan tidak akan memalsukan kupon. Ada keyakinan pelanggan adalah pelanggan yang secara rutin sering berbelanja dan terus mengikuti program undian lain di Mediko. Nilai uang hadiah yang kecil dapat pula berdampak pada tidak perlunya mekanisme undian rumit karena itulah nomor seri tidak diperlukan.

Penyertaan data diri pelanggan yang terbatas pada nama, alamat, dan no. id (identitas) tanpa ada baris isian nomor ponsel menunjukkan pihak Mediko tidak mau repot menghubungi pemenang dan tidak ada cara lain bagi pelanggan untuk tahu apakah dia menang atau tidak selain datang sendiri ke Mediko setelah undian dilakukan di akhir periode Juli nanti. Dengan cara memancing pelanggan datang berarti ‘memaksa’ mereka untuk berbelanja kembali walau sekadarnya saja. Di era konsumerisme seperti sekarang sulit membayangkan bila seorang datang ke toko hanya untuk mengecek nama pemenang.
Kekurangcermatan bertebaran pada penampakan kupon. Misalnya pada tulisan “kupon belanja” sebagai judul, bukannya menggunakan “kupon undian,” sebuah istilah yang jelas lebih tepat karena kupon ini diundi bukan untuk belanja langsung. Bisa jadi pihak Mediko hanya tinggal mengubah template kupon yang dimiliki. Kata “Bea Siswa” pun ditulis dengan spasi pemisah antara bea dengan siswa. Keterangan bilangan hadiah tertulis @Rp.250.00, kurang satu angka “0” sehingga terbaca dua ratus lima puluh, bukan dua ratus limapuluh ribu sebagaimana dimaksud oleh pembuatnya. Kekurangcermatan ini dapat dibaca sebagai murni kesalahan ketik yang diabaikan/luput dari perhatian atau justru kaidah bahasa sudah tidak teramat penting lagi buat pembuat program undian, terlebih bagi pelanggan yang hanya ingin belanja demi beroleh kesempatan menang hadiah.

Di tengah persaingan menghadapi minimarket bermodal lebih besar seperti, Indomaret dan Alfamart,  Mediko meminjam istilah beasiswa untuk memoles hadiah undiannya, undian yang tujuannya tidak lebih dari memikat orang untuk belanja. Beasiswa jatuh menjadi label yang disematkan pada uang hadiah undian. Serupa dengan yang dilakukan acara-acara seminar ketika memakai kata “investasi” untuk mengganti biaya keikutsertaan atau mengganti istilah hadiah uang tunai dari bank dengan “tabungan pendidikan.” Dengan demikian jika kontek waktu berganti menjelang Idul Fitri maka besar kemungkinan undian akan memakai istilah “THR” bukan beasiswa back to school. Nyatanya swalayan Mediko bukan satu-satunya yang memanfaatkan istilah beasiswa ini.

Belakangan gairah mengincar beasiswa turut dipicu dua novel berseri semi-memoar berkisah mengenai kesuksesan mengejar pendidikan tinggi, Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi) di mana tokoh-tokoh dalam novel diceritakan mendapat beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke luar negeri. Ahmad Fuadi, setelah novelnya laris juga ikut-ikutan menulis buku Beasiswa 5 Benua yang berisi tips mendapat beasiswa. Dari terbitnya buku-buku ini dapat dibaca bahwa beasiswa yang menjanjikan kenikmatan dunia akademis telah menjadi komoditas. Beasiswa dengan tingkat keistimewaannya, terutama kalau menyangkut ke negara luar jadi pantas diperjuangkan oleh siapa saja. Itu sebabnya bila seorang ingin mendapat beasiswa, maka dia harus membeli buku-buku tips cara memperolehnya. Tidak cukup membeli tapi orang tersebut harus membacanya, mencari informasi ke sana ke mari, dan mencari surat-surat yang diperlukan. Bayangkan, buku berjudul 45 Negara Pemberi Beasiswa saja sudah seharga Rp. 45 ribu. Bagi kalangan menengah ke bawah harga itu nyaris setara kupon undian beasiswa di Mediko. Hanya dengan 50 ribu kalangan menengah ke bawah punya kesempatan meraih “beasiswa,” dan inilah yang ditawarkan oleh Mediko.

Dari sekian banyak istilah yang bisa dipakai, beasiswa yang dirangkai dengan back to school terbilang kerap dipakai. Back to school jelas merujuk pada latar waktu tertentu, yaitu berbarengan dengan kenaikan kelas dan pembukaan tahun ajaran baru. Uang hadiah undian atau hadiah dari pihak manapun seolah menemukan pembenarannya secara fungsional (nilai guna): asumsinya uang hadiah akan dipakai membantu membiayai tahun ajaran baru di sekolah. Sementara beasiswa lekat kaitannya dengan dunia akademis. Tak jarang beasiswa dijadikan pelengkap yang harus ada bagi setiap kampus. Di sini terlihat betapa biaya pendidikan masih menjadi kendala buat mahasiswa dan atau keluarganya. Hingga tidak mengherankan bila pengeksplotasian “beasiswa” lumrah di manapun. Kampus-kampus negeri terlebih swasta tak ingin kalah berlomba menawarkan beasiswa melalui iklannya sebagai magnet menarik calon mahasiswa agar mendaftarkan diri terlepas dari motifnya yang berbau komersialisasi pendidikan. Jadi tidak ada alasan mengapa minimarket haram melakukannya.

Rasanya cukup aman mengatakan bila hal demikian hanya muncul di negara yang pendidikannya ruwet di mana biayanya dirasa membebani rumah tangga. Jika kupon ukuran kecil dan kertas fotokopian tidak cukup menampakkan begitu tercampakkannya derajat beasiswa hingga dia semata dijadikan nilai tukar untuk belanja keperluan rumah tangga kalangan menengah ke bawah, bagaimana dengan peminjaman istilah beasiswa itu? Adakah ini sebuah degradasi bagi terhormatnya/bergengsinya konstruksi beasiswa selama ini?

Kiranya praktik pemakaian istilah “beasiswa” macam ini adalah suatu bentuk kitsch. Kitsch mirip parodi, sebuah representasi palsu yang memperalat stylemes untuk kepentingan adaptasi/simulasi dalam memassakan seni tinggi melalui produksi massal lewat proses demitoisasi nilai seni tinggi (Piliang, 2012:188). Nilai tanda dari secuil kata “bea(spasi)siswa” seolah mengejek rumitnya urusan meraih beasiswa digantikan oleh: berkeliling di antara rak swalayan, memilih-milih barang, membayar di kasir, mendapat kupon lalu mengisinya, dan memasukkannya ke kotak undian. Syukur kalau dapat, tidak pun tak mengapa toh sudah dapat belanjaan untuk dinikmati.
Di akhir Juli, andai pun sudah menang tidak ada kepastian uang hadiah akan benar-benar dipakai oleh pemenang untuk membiayai pendidikan anak. Siapa yang menjamin kalau pemenang sudah punya anak atau anaknya masih bersekolah. Kalau pun iya, bisa saja uang tunai itu dibelanjakan lagi di Mediko. Terlebih di saat bersamaan Mediko telah menyediakan buku-buku tulis dan alat tulis sebagai bagian dari Back To School yang diperuntukkan kepada siapa lagi jika bukan bagi pelanggan yang anaknya akan memasuki tahun ajaran baru.

(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)

http://dictionary.reference.com/browse/scholarship (diakses 20 Mei 2015).

Piliang, Y.A. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari.

0 komentar: