Kegotongroyongan Bundakata

20.05.00 jino jiwan 0 Comments

Industri buku selama ini tidak memberi banyak pilihan bagi pembaca. Pembaca selalu hanya dijadikan pasar potensial oleh penerbit demi meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini bisa diamati dari tren buku yangmuncul silih berganti mengatasnamakan pelayanan atas selera pembaca. Hingga saat ini ruang penataan di toko-toko buku terus dipenuhi tema-tema yang nyaris seragam, di mana satu buku mengekor kepopuleran lainnya. Tidak cukup soal tema keseragaman juga ikut merambah sisi sampul luarnya. Sampul luar pun ikut menghamba kemauan pasar. Dari situasi ini tumbuh Bundakata, sebuah gagasan mengenai “buku” yang semangatnya adalah hendak menghargai pembaca. Cara pandang segar tentang “buku” yang berbeda dari buku pada umumnya ditawarkan kepada manusia pembaca melalui permainan di ranah pemaknaan yang timbul dari pilihan kata-kata bersanding bersama praktik-praktik unik darinya.

Bentuk display seni rupa buku di Nandur Srawung
Agak rumit sesungguhnya memahami konsep Bundakata dan jalan yang diambilnya. Ada yang berkomentar dengan nada bergurau bahwa ini adalah model gerakan marxis. Rain Rosidi, seorang kurator dan pengajar di ISI Yogyakarta menyebutnya sebagai gerakan “turba” (turun ke bawah). Setidaknya ada tiga konsep kunci: peristiwa—bukan lembaga, gotong royong, dan memberi pilihan. Oleh dua orang pengagasnya, Widyatmoko (40 tahun) yang akrab disapa Koskow dan Awalludin Luthfi (27) yang biasa dipanggil Cak Udin, Bundakata timbul dari penolakan terhadap yang baku dalam industri buku. Keduanya memang “orang-orang buku,” orang yang telah berkecimpung dan memiliki kepedulian di dunia perbukuan. Koskow seorang pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, penulis Merupa Buku (LKis) dan Teman Merawat Percakapan (Tan Kinira). Sementara Cak Udin semenjak kuliah di Surabaya telah aktif di sejumlah event organizer perbukuan dengan ikut mengadakan pameran buku di beberapa kota kecil di Pulau Jawa.

Nama Bundakata itu sendiri sudah merupakan pilihan bahasa yang berkesan damai dan menenangkan. Dicetuskan Cak Udin dalam sebuah perjalanan berkendara sepeda motor bersama Koskow, nama ini diinspirasi dari peran mulia seorang ibu. Bundakata bagai rahim yang mampu melahirkan siapa saja (penulis) dan apa saja (tulisan/karya). Begitu pula tulisan-tulisan yang lahir dari Bundakata yang pada ujungnya mampu menggerakkan dan menginspirasi orang-orang yang bersentuhan dengannya.

Di Bundakata setiap penulis (yang bisa siapa saja) akan berkarya dalam format selembar kertas A4 yang dilipat menjadi dua sehingga didapati dua lembar A5 yang berdampingan (4 halaman bolak-balik). Isinya boleh berupa apa saja baik tulisan, gambar, foto, hingga komik. Karya ini setelah dilayout lantas dicetak pada kertas buram (ukuran 21,5 x 33 cm) dengan memakai mesin cetak toko atau fotokopi, terserah kemampuan penulis. Kertas buram dipilih agar lebih ramah lingkungan. Penulis dapat mencetak sendiri atau mengirim tulisan (yang belum dilayout) ke Cak Udin atau Koskow untuk dicetak bersama. Biaya cetak akan diusahakan bersama alias patungan. Jika ada penulis yang belum sanggup membayar ongkos produksi, Bundakata tidak menuntut penulis untuk segera membayar. Ini karena hubungan pertemanan dan perkenalan yang serba guyup dikedepankan. Tulisan atau karya tersebut lalu akan dipertemukan dalam sebuah ajang yang dilabeli dengan “peristiwa” Bundakata yang menumpangi pameran buku atau seni di sebuah stan. Lembar-lembar karya penulis yang ditata dan dibentangkan ini dihadapkan kepada pengunjung pameran/pembaca untuk disusun sendiri urutannya langsung di lokasi sesuai kemauan pembaca. Pembaca dapat memilih tulisan/karya yang disukai, mengkreasi sampul untuknya, dan membawanya pulang tanpa dipungut biaya.
Sambutan para pembaca Bundakata
Pendeknya Bundakata lahir karena dan ada demi pembaca. Posisi pembaca dihargai dengan kebebasan memilih tulisan yang disukai. Bundakata memberi mereka pengalaman bagai seorang editor buku walau hanya dalam taraf penyusunan. Tulisan mana yang diletakkan di depan, di tengah, dan mana yang di belakang seluruhnya berada dalam kendali pembaca. Layaknya perilaku orang yang berkelana di internet, di mana orang bebas membaca/menyimpan apa saja yang disukainya dan disusun sesuai selera dan preferensi dalam folder komputer. Model berkarya, pameran, dan interaksi dengan pengunjung semacam ini sesungguhnya ditelurkan dari obrolan di DDF (Diskom Drawing Foundation), sebuah komunitas pehobi menggambar di program studi Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta. Hanya saja gagasan itu belum terujud. Oleh Koskow dan Cak Udin gagasan ini dipinjam dan diadaptasi untuk mengakomodir konsep “buku” Bundakata. Toh, para pehobi gambar pun akhirnya jadi punya ruang ikut serta di Bundakata. Karya gambar bisa dijadikan ilustrasi atau sampul buku.

Peristiwa, bukan Lembaga

Bundakata yang menyebut diri bukan lembaga, forum, ataupun komunitas namun hanya “peristiwa” sedikit mengingatkan akan konsep tubuh-tanpa-organ Deleuze yang melampaui organisasi. Tubuh ini berhubungan, saling bersinggungan antara titik satu dan lainnya, dan terus berubah. Tubuh-tanpa-organ dipertentangkan dengan organisme (yang diasosiasikan bagai pohon) di mana setiap unsur punya fungsi. Tubuh ini keluar dari teritori (kriteria-kriteria tetap), dan membentuk kembali dengan cara baru di daerah baru (Haryatmoko, Basis no. 5-6, tahun 64, 2015). Mungkin karena itulah Bundakata mudah menyebar dan telah hadir di Semarang, Jepara, Malang, keluar dari kota Yogyakarta yang membenihinya.

Bundakata di Hindu Fair
Ketiadaan bentuk lembaga/badan tak pelak membuat Bundakata seolah kosong. Kosong dalam arti tanpa ada struktur kepengurusan. Meskipun kenyataannya tetap saja ada yang mengurus agar ia berjalan. Misalnya ada yang mengurus penataletakan (layout) karya-karya penulis lewat media Adobe InDesign sebelum naik cetak, ada pula yang mengambil peran mencetak lalu menjadi “kurir” karya-karya tersebut, ada yang mengurus patungan dana cetak, ada pula yang kebagian men-display dan membongkar karya, ada juga yang mengambil peran jaga stan, pendokumentasian, hingga pengarsipan. Koskow menolak sebutan “pengurus bayangan” untuk mereka. Istilah pengurus bayangan mengandaikan bentuk pelembagaan juga. Dia lebih suka menyebut Bundakata sebagai “ada orang-orangnya.” Cak Udin menyebut mereka sebagai “pelaku” (Awalludin dalam Hadid ed. 2014). Toh, banyak dari mereka yang menjalani peran ganda tanpa ada yang ribut dengan ketidakadilan pembagian kerja. Cara kerja model ini meniadakan job description yang lazim terdapat pada organisasi/lembaga. Di sinilah kegotong royongan terlihat dalam sebuah peristiwa. Peristiwa yang dipenuhi oleh orang-orang yang menghidupi Bundakata. Orang-orang biasa yang bahkan bukan penulis di Bundakata.

Ketiadaan lembaga ini diakui oleh Cak Udin berdampak pada ketidaktahuan mereka yang tertarik untuk urun berkarya harus menghubungi siapa. Perekat antar para pelaku hanya melalui laman Facebook Bundakata yang terbuka bagi semua orang. Dia tidak merasa ini adalah sesuatu yang buruk sebab dengan begitu gagasan Bundakata justru bisa menyebar dan semakin meluaskan jaringan pertemanan dan perkenalan. Dalam memahami “peristiwa” sebagaimana dimaksud Bundakata, Cak Udin menyebutnya sebagai sesuatu yang “serba tak terduga” atau “yang dinanti-nanti.” Peristiwa Bundakata berupaya menghindari segala hal yang bersifat rutin: pertemuan rutin, acara-acara rutin, rapat, dsb. Banyak komunitas menulis yang mencoba melakukan rutinitas atau sesuatu yang diagendakan secara tetap sehingga kegiatan tersebut terasa seperti kewajiban atau beban, Bundakata sebaliknya tidak harus selalu ada dalam rentang waktu tertentu. Dengan begini Bundakata menjadi langkah yang bebas dari tuntutan.

Sejauh ini telah terjadi tiga peristiwa Bundakata yang mengangkat tema khusus. Yang pertama “Buku Istimewa” (2013), kedua “Jaman Ngedan” (2014), dan ketiga “Ironi dan Daya Hidup” (2014). Setiap tema hadir dari obrolan akrab dan diskusi kecil orang-orang Bundakata untuk menyikapi situasi yang terjadi ketika itu. Setiap peristiwa Bundakata yang terujud dalam tema tidak selalu harus hadir setiap saat atau dalam kurun waktu tertentu, sesuai dengan ke-peristiwa-an yang menjadi jalannya. Kendati Bundakata senantiasa hadir di manapun meskipun tanpa ada tema baru. Bundakata berkeliling dari ajang pameran seni, pameran buku, dan ajang-ajang lain. Jaringan perkawanan dan perkenalan betul-betul dimanfaatkan. Terakhir ia dihelat berbarengan dengan Dies Natalis ISI Yogyakarta XXXI akhir Mei 2015 bertajuk “Selipat.” Berupa naskah/karya-karya di Bundakata yang lalu dijahit bersama menjadi buku dengan seutas 
benang.
Bundakata ke kampus ISI Yogyakarta
Buku Gotong Royong

Ruang-ruang cair tanpa batas dihadirkan oleh Bundakata. Tidak saja dari orang-orang yang terlibat atau pembaca yang diberi kebebasan menyusun, tapi juga dari sisi penulisnya. Di sini siapapun boleh bergabung untuk berkarya. Siapapun diundang ikut serta tanpa ada batasan usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi, dan sosial. Bundakata tidak mencoba membuat sekat-sekat pemisah, atau yang dikatakan oleh Koskow sebagai partisi-partisi. Bundakata berbeda dari buku bunga rampai pada umumnya yang disusun dengan syarat tema tulisan dan kualifikasi tertentu dari penulisnya. Hanya di Bundakata tulisan seorang anak berumur 3 tahun disandingkan dengan tulisan seorang mahasiswa S2. Semua bergantung kepada pembaca yang diberi kebebasan menyusun karya-karya tersebut menjadi satu bundel buku. Pun pembaca bila tertarik untuk ikut menjadi penulis. Sebab rupanya Bundakata memicu rasa resah mereka yang cuma dipandang sebagai “pembaca” (konsumen) agar mau merasakan menjadi “penulis” (produsen). Terbukti jumlah penulis meningkat di setiap helatan ajang Bundakata.

Logo oleh Andre Tanama
Kegotong royongan juga tampak dari logo Bundakata yang disumbangkan oleh Andre Tanama, seniman dan pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Diambil dari lukisan tahun 2010 berjudul Dreamy World (Awalludin dalam Hadid ed. 2014), logo ini menampilkan seorang anak perempuan yang tengah menunduk membaca buku. Koskow menyampaikan bahwa dalam menulis atau berimajinasi saat menulis, seorang dibebaskan untuk berimajinasi, berkreasi penuh angan dan mimpi seperti anak kecil yang hanya ingin berbagi.

Demi menjaga interaksi dan ikatan antara pembaca dengan Bundakata, sistem “barter” diperkenalkan bagi pembaca yang ingin mengambil/menyusun karya para penulis. Tujuannya untuk saling mengapresasi. Penulis menghargai hak-hak pembaca memilih tulisan yang disukai, begitu pula pembaca menghargai karya para penulis. Barter ini dapat berupa apa saja seikhlasnya, sukarela, dan semampu pembaca. Ujudnya pun amat sangat beragam tak harus selalu uang, malah uang sebagai alat tukar sebisa mungkin dihindari. Di kesempatan Bundakata tema pertama (“Buku Istimewa”) di Semarang pada acara pemeran Semarang Sejuta Buku. Natalia Afnita, salah seorang penulis dan penjaga stan di Bundakata menuliskan bahwa tak urung barter ini menimbulkan kebingungan pengunjung/pembaca karena tidak tahu nilai yang layak dari buku Bundakata yang mereka susun. Akhirnya buku lain yang baru saja dibeli oleh pembaca di pameran buku yang sama diberikan kepada Bundakata. Ada pula yang menulis puisi, ada yang membacakan puisi langsung di stan Bundakata, ada yang menawarkan diri untuk menjaga stan, hingga memberikan harmonika miliknya. Ditambahkan oleh Cak Udin ada pula yang menyanyi atau sekedar menulis kesan dan pesan di lembar yang tersedia. Bentuk-bentuk apresiasi ini cukup mencengangkan dan dapat dibaca betapa nyata kegotongroyongan itu di kala setiap orang yang berpartisipasi memberi semampunya.
memberi adalah bentuk apresiasi
Dalam perkembangannya, kata barter yang terlalu berkonotasi pertukaran setara dan dinilai bermotif ekonomi kemudian diganti dengan istilah “take and give.” Ini terlihat pada Bundakata #3 bertema Ironi dan Daya Hidup. Semangatnya tetap menjaga hubungan dan saling menghormati. Tetapi take and give pun masih mengandaikan adanya transaksi di mana salah satu pihak bisa jadi lebih diuntungkan dari lainnya. Belakangan kata take and give digantikan dengan “give and give.” Di sinilah kekuatan bahasa dalam memberi makna. Bundakata yang sedari awal ingin memberi pilihan semakin mendekat dengan mendorong “saling memberi.” Saling memberi jelas berbeda dengan “ambil baru kemudian memberi” seperti yang terkandung dalam “take and give.”

Memberi Pilihan

Berbeda dari penerbit buku indie yang menetapkan visi-misi perlawanan secara jelas kepada kemapanan penerbit besar dan industri buku yang cenderung melakukan pendiktean tema. Koskow tidak secara tegas mengelak istilah “melakukan perlawanan,” tapi juga tidak mengiyakan. Bundakata juga tidak tepat jika disebut gerakan sosial. Koskow menyebut sebuah pepatah Jawa: “ngono yo ngono ning ojo ngongo” untuk mengilustrasikan ‘gerakan’ Bundakata. Tujuannya bukan untuk perubahan sosial. Dengan gerakan semacam inilah Bundakata justru bisa mudah masuk/diterima di mana-mana. Bundakata menjadi seperti rhizome yang dimaksud oleh Deleuze. Tidak ada pusat, mampu berkembang biak ke segala arah, tanpa dibatasi kode penyatu (Haryatmoko, Basis no. 5-6, tahun 64, 2015). Bagi Koskow Bundakata adalah sebentuk dari tindakan “memberi pilihan.” Mengenai “pilihan” Cak Udin mempersilakan bila istilah ini dipahami seperti memahami jalur alternatif atau musik alternatif. Yang jelas Bundakata memang hadir sebagai respon atau tanggapan atas industri buku yang makin terseret arus pelayanan pasar dan kian berorientasi keuntungan. Respon atau tanggapan tentu tidaklah sama dengan “reaksi” yang timbul lebih cepat dan tanpa dipikirkan dengan matang. Koskow juga menolak jika Bundakata dikatakan bentuk budaya tanding apalagi gerakan subversif.

Mau kemana arah Bundakata oleh Cak Udin dianalogikan seperti angin yang berembus, kehadirannya dapat dirasakan namun tidak terlihat. Ia dapat berembus ke mana saja, dapat mengisi apa saja. Sony Prasetyotomo, salah seorang penulis dan pelaku Bundakata sepakat bila Bundakata diibaratkan air yang mengalir. Mungkin dengan analogi air ini Bundakata hendak memasuki setiap ceruk dan meresap di dalamnya. Bagi Cak Udin bila ada yang berminat pun dipersilakan mengadakan “peristiwa” yang sama dengan nama Bundakata di mana pun tanpa izin resmi dari orang-orang yang terlibat selama ini, bahkan tanpa restu pencetusnya sekalipun. Hanya saja untuk urusan satu ini Koskow menekankan pentingnya berkomunikasi bagi pihak yang ingin menyelenggarakan Bundakata dengan orang-orang yang telah terlibat. Agaknya ada kecemasan yang berangkali cukup beralasan lantaran pemakaian nama Bundakata oleh lain pihak turut menggeser sisi konseptual Bundakata.

Berdasar pengalaman sebelumnya keseksian nama dan konsep Bundakata telah menarik sejumlah pihak. Moammar Emka (penulis Jakarta Underground) yang pernah menyambangi stan Bundakata menawari agar naskah-naskah/tulisan/karya di Bundakata untuk diterbitkan di Gagas Media. Tawaran ini ditolak oleh Cak Udin tentu saja. Menyerahkan naskah ke penerbit berarti menghilangkan penghargaan kepada pembaca untuk berperan sebagai penyusun naskah. Pada kesempatan lain pernah pula ada pihak yang tanpa izin mendompleng nama dan logo Bundakata untuk jualan buku di Twitter. Oleh Cak Udin pemilik akun tersebut ditegurnya. Bundakata tidak boleh untuk jualan buku. Ia tidak dibuat untuk mencari keuntungan. Menyusul teguran tersebut, pihak yang mengatasnamakan Bundakata tersebut kemudian mengganti nama dan logonya. Mengenai ketidakbersediaan menerima uang ini, Koskow menyebutnya gagasan ‘sombong’ dalam arti khusus. Bayangkan saja para penulis menulis, mengeluarkan uang untuk ongkos cetak, keluar tenaga dan waktu untuk men-display, tetapi tidak mau menerima bayaran jika karya mereka diambil pembaca.

Moammar Emka dan Cak Udin (kanan)
Uniknya kerja ikhlas orang-orang Bundakata, termasuk para penulisnya seperti berbuah manis ketika secara “kebetulan” di helatan ketiga bertema “Ironi dan Daya Hidup” yang membarengkan diri dengan pameran seni rupa Nandur Srawung di Taman Budaya Yogyakarta pada November 2014 mereka turut menerima limpahan dana istimewa sebesar ratusan ribu per penulis. Barangkali analogi bagaikan hembusan angin dan aliran air cukup tepat, sebab pergerakannya mampu memasuki setiap relung hidup yang kemudian ikut meniupkan/mengalirkan rezeki kepada mereka. “Tidak mencari uang tapi malah mendapat uang.” Pada akhirnya langkah memberi pilihan dari Bundakata yang kecil dan sederhana ternyata tidaklah sesederhana itu.

Senutup

Melihat langkah-langkah yang di ambil Bundakata beserta para pelaku/orang-orangnya sesungguhnya buku seperti ini tidak dapat dikatakan sama sekali baru, ia lebih tepat disebut memberi penyegaran. Penyegaran terhadap konsep buku yang telah dibakukan oleh industri, penulis, dan (ironisnya) pembaca sendiri, bahwa buku bukan hanya berisi penerbit dan penulis tapi ada pembaca, editor, dan perancang sampul. Penyegaran muncul melalui pembedaan-pembedaan yang dihadirkan secara sengaja terhadap yang bukan atau bentuk-bentuk yang ditolaknya lewat kesadaran akan kuasa bahasa dalam membentuk makna yang dibarengi dengan praktik. Karena itulah istilah “peristiwa” digunakan, bukannya lembaga.

Ketiadaan bentuk lembaga berarti penolakan pada bentuk-bentuk hierarki di dalamnya yang serba membatasi peran manusia dan merupakan pangkal kesenjangan hati. Sebutan yang dipakai untuk mereka yang menghidupi bukan pengurus melainkan pelaku atau orang-orang. Kata “pengurus” merujuk pada fungsi-fungsi berjenjang di mana satu posisi lebih tinggi dari bawahnya. Bundakata adalah buku yang mencomot istilah gotong royong yang berakar dari tradisi Nusantara. Melalui gotong royong, semua akan terlibat dalam interaksi berdasarkan keikhlasan bukan transaksi untuk membangun bersama. Gotong royong timbul dari rasa “senasib” sebagai penulis, pelakunya, dan pembaca ketika menghadapi gempuran industri buku yang kian mengabdi pada penguasaan pasar. Lewat cara-cara yang ditempuh dengan menegaskan diri dan menegasi yang bukan diri, Bundakata telah menjadi sebuah jalan pilihan sekaligus warisan yang kemudian akan dijaga bersama oleh pembaca di manapun berada, bahkan nanti bila kedua penggagasnya tiada.

Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan

Simak cerita saya yang diikutkan di Bundakata, di SINI.

Sumber dan sumber:
Afnita, N. 2013, Sepekan Bersama Bundakata. http://nocturvis.blogspot.com/2013/12/sepekan-bersama-Bundakata.html, diakses 28 Juni 2015.


Awalludin. 2014. Seni Rupa Buku, Bundakat: Ironi dan Daya Hidup dalam katalog Pameran Ruparupa Senirupa Nandur Srawung, diedit oleh Hadid, M. Yogyakarta: Taman Budaya Yogyakarta.

Haryatmoko, 2015, Gilles Deleuze (3): Tubuh-tanpa-Organ dan Mesin hasrat. Basis No. 5-6, tahun 64, 2015, hal 62-68.

Koskow. 2013. Bundakata Buku Gotong Royong Bundakata,http://koskowbuku.wordpress.com/Bundakata/, diakses 28 Juni 2015.
Wawancara dengan Widyatmoko dan Awalludin Luthfi, Juni-Juli 2015
Foto dokumentasi oleh Cak Udin dkk.

0 komentar:

Industri Buku Makin Edian

21.13.00 jino jiwan 1 Comments

Industri buku selama ini tidak memberi banyak pilihan bagi pembaca. Pembaca hanya diplot sebagai pasar potensial oleh penerbit demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini bisa diamati dari tren buku muncul silih berganti dengan sangat cepat yang selalu mengatasnamakan pelayanan atas selera pembaca, menuruti kemauan pembaca. Hingga saat ini ruang penataan di toko-toko buku terus dipenuhi tema-tema yang nyaris seragam, di mana satu buku mengekor kepopuleran lainnya. Tidak cukup soal tema, keseragaman juga ikut merambah sisi sampul luarnya. Sampul luar pun ikut menghamba pasar. Satu desain sampul yang sukses dari segi penjualan akan diikuti oleh buku dengan sampul yang mirip dari segi penampilan, menciptakan rancangan paritas yang lagi-lagi demi memikat pembaca dan mengejar keuntungan semata.

Pembaca dalam rezim pasar menurut Koskow tak lebih dari konsumen. “Turunnya daya beli bisa dialamatkan kepada maraknya media-media baru (internet, dlsb).” Turunnya daya beli dilimpahkan kepada masyarakat yang malas membaca buku. “Kata ‘konsumen’ jarang dimunculkan manakala daya beli buku menurun (kata yang sering dipilih yaitu ‘masyarakat’). Sedang, kata ‘konsumen’ dipilih manakala sebuah buku (dan penerbitan) melihat realitas buku sebatas pasar.” Dari pernyataan ini terlihat bagaimana pembaca sudah menjadi korban dari kerja dan wacana industri buku.

Buku memang telah menjelma komoditas yang jelas tidak dapat menghindari tren sehingga buku dibuat sebisa mungkin menarik (calon) pembaca. Pasca runtuhnya Orde Baru industri buku menyambutnya dengan buku-buku bertema politik. Misalnya buku-buku yang sebelumnya sulit dijumpai, mulai dari buku beraliran kiri hingga karya-karya Pramoedya Ananta Toer (Adhe, 2007:258). Gelombang perbukuan ini disebut oleh Adam (2009:2-3) dengan istilah “pelurusan sejarah.” Sebuah istilah yang populer sejak Soeharto lengser diiringi meredupnya kekuatan Orde Baru. Salah satu cirinya adalah penerbitan buku sejarah akademis kritis yang biasanya berasal dari tesis, disertasi, atau karya ilmiah lain, serta buku biografi tokoh “terbuang” (Adam, 2009:9-11).

Pernah pula muncul tren buku-buku Kahlil Gibran di awal 2000-an. Diterimanya karya terjemahan Kahlil Gibran oleh pembaca memicu karyanya diterbitkan oleh banyak penerbit, dari Bentang Budaya, Cupid, Diva Press, Padma, Galang Press, Media Pressindo, Navila, Pustaka Pelajar, dll. (Adhe, 2007:171-172). Bukan hanya dari penerimaan pembaca, penerbit pun berpikir bahwa segala yang memuat nama Kahlil Gibran pasti akan laku, demikian pula yang dipikirkan pihak distributor. Sangat banyaknya sampai-sampai jumlah buku versi penerbit di Yogyakarta jauh melebihi karya asli yang ditulis penyair Lebanon. Gejalanya adalah menerbitkan satu judul yang sama tapi berbeda penerbit. Gejala lain adalah penciptaan buku yang berisi kumpulan cuplikan karya Kahlil Gibran namun dengan judul yang dikarang sendiri oleh penerbit. Penerbit juga lalu mengemas buku-buku Kahlil Gibran dengan pendekatan remaja sehingga mirip novel teenlit, di mana semangat sufi dari karya aslinya pun hilang.

Di bidang sastra muncul tren penulis perempuan yang dikategorikan “sastrawangi.” Yudiono (2007) menyebut karya sastra yang hadir sesudah era reformasi dengan istilah “sastra pembebasan.” Semangatnya adalah ingin “menantang zaman” dan “kehendak membebaskan publik dari kebekuan bacaan yang selama puluhan tahun dibayangi pelarangan dan pembredelan” (Yudiono, 2007:282). Salah satu penulis yang digolongkan dalam sastra pembebasan tersebut adalah Ayu Utami. Diawali Saman karya Ayu Utami, penulis buku model ini disusul oleh nama-nama Dewi Lestari, Dinar Rahayu, Fira Basuki, dan Djenar Mahesa Ayu. Publik pun menyambut, bahkan ada novel yang kemudian difilmkan. Menurut Adhe (2007:258) buku-buku ini berisi keberanian mereka mengungkap tabu seksualitas. “Tema ini muncul akibat terlalu lama terjadi pembungkaman dari sudut politik, budaya, dan agama.

Tren buku juga diramaikan genre yang disebut chicklit dan teenlit yang ditulis perempuan muda usia dan remaja. Temanya sangat dekat dengan keseharian remaja perkotaan (Adhe, 2007:267). Mengenai sampul buku sastra perempuan ini, teenlit (untuk remaja perempuan) dan chicklit (untuk perempuan dewasa metropolitan), Koskow (2009:32-37) berpendapat gaya yang digunakan jadi cenderung mengulang yang baku, yaitu dengan gaya dekoratif, deformatif, dan stylish/fashionable. Gaya-gaya yang direpresentasikan pada sampul merupakan bentuk ideologi kelas sosial yang tampak secara fisik. Gaya ini dipengaruhi ruang global sehingga idiom yang digunakan pada sampul pun ikut mengglobal, berbeda dengan novel remaja Ali Topan Anak Jalanan (1970-an) dan Lupus (1990-an). Gaya pada sampul berujung pada penyeragaman citra mengenai perempuan yang ikut dibentuk gaya grafis di luar buku (film, iklan, majalah, fashion)

Dari genre fiksi sejarah muncul novel-novel yang dikategorikan oleh industri sebagai “novel epos” sejak 2004. Novel epos merujuk pada novel yang mengisahkan tokoh-tokoh sejarah berlatar kerajaan Nusantara (prakolonial), dari Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Sriwijaya, hingga kisah Wali Songo, sampai pewayangan (baik Mahabarata maupun Ramayana). Masing-masing novel dari berbagai penerbit kerap mengulangi cerita-cerita yang sudah akrab di kalangan pembaca dan sudah diangkat oleh penulis lain berulang kembali dalam rentang waktu singkat. Perbedaannya adalah pada tafsir jalannya sejarah oleh para penulis, di mana setiap penulis seolah berdialog dan timbul sebagai tanggapan dari novel lainnya. Sensasi yang di kedepankan kepada khalayak adalah kontroversi sejarahnya terutama sejarah Majapahit yang selama ini dikonstruksikan untuk melegitimasi lahirnya negara Indonesia sehingga versi yang beredar tunggal. Kemiripan hadir pula pada sisi sampul yang meminjam kode-kode visual dari novel yang sukses penjualannya dan ikut mencomot kode visual dari film Hollywood yang laris di sekitar tahun 2000-2005, sehingga desain sampulnya menjadi hibrid sekaligus penuh simulasi. Bersamaan dengan tren novel epos muncul pula tren serupa namun dari sisi non fiksi yang turut membahas sejarah kerajaan Nusantara dan buku-buku pewayangan. Buku-buku sejarah non fiksi yang ditulis sejarawan ini mendasarkan diri pada interpretasi data arkeologi dan naskah kuno. Mereka seakan mencoba menjawab interpretasi imajinatif dari para novelis sejarah (Aji, 2014-->ini skripsiku sendiri).

Aspek jualan amat kentara dari elemen semacam “best seller.” Adhe (2007:260) menyoroti bagaimana buku bermain-main dengan istilah ini pada sampul dan bagian informasi bukunya. Padahal ukuran sukses penjualan kerap semau penerbit tanpa ada standar pasti yang disetujui. Embel-embel best seller menjadi strategi demi menarik perhatian pembeli. “sebuah buku bisa saja ditulis cetakan ke-7, 14, atau lebih. Tapi kalau sekali cetak 1000 atau 1500 eksemplar saja, maka kategori best sellet tentunya sangatlah subjekytif.” Dia menyebut bahwa langkah-langkah penerbit yang cenderung pro-pasar ini adalah demi bertahan dan untuk terus berkembang dalam industri.

Adhe (2007:231-232) mengutip pernyataan Nur Khalik Ridwan bahwa ada tiga model keberhasilan dari sebuah penerbitan. Pertama, jika berhasil beroleh laba besar di akhir tahun, punya lini penerbitan, punya toko buku sendiri, dan punya cabang di mana-mana. Kedua, bila penerbit mampu menerbitkan apa yang menjadi cita-cita awal, penerbit model ini masih punya idealisme dan tidak semata cari untung. Ketiga, penerbit bertujuan mencari keuntungan tapi juga menjaga idealisme. Pada penerbit model ini negosiasi-negosiasi ditekankan demi menghidupi mereka sendiri. Negosiasi yang dilakukan penerbit kadang tidak semulia maksud dari buku yang umum dikenal. Pada praktiknya penerbit sering memunculkan buku-buku “ATM” (Amati, Teliti, Modifikasi) dengan tidak mengindahkan ketentuan copyright terutama untuk karya terjemahan dari luar negeri. Belum lagi kualitas terjemahan yang buruk, perilaku yang suka mengarang sendiri ISBN, membuat barcode sendiri, dan tidak berbadan hukum. Semua ini sesungguhnya berpangkal pada minimnya modal dan alasan-alasan ideologis: seperti kebebasan transfer pengetahuan dan anti kapitalisasi ilmu (Adhe, 2007:58, 148, 152, 169).


Para penerbit besar kemudian mengekor dan mengambil alih tema-tema penerbitan kecil/alternatif di Yogyakarta terutama yang muncul setelah kejatuhan rezim Orba, terutama untuk buku-buku “serius” (Koskow, 2009, Adhe:2007). Penerbit alternatif ini membedakan diri dari penerbit mainstream di luar Yogyakarta (Adhe, 2007:67). Alternatif merujuk pada idealisme dalam menawarkan wacana tandingan dalam Misalnya penerbitan buku-buku bernuansa serius seperti buku tentang Che Guevara, Nietzsche, Marx, dan Gramsci. Penerbit alternatif yang telah muncul awal 1990-an hingga reformasi bergulir selalu berada dalam jalur kritis atau tandingan terhadap Orde baru dengan secara nyata mengkritik kenyataan sosial saat itu (Koskow, 2009:4). Pada tataran sampul, penerbit alternatif Yogyakarta memeloporinya dengan rancangan para seniman. Keberanian tampak dari tampilan sampul artistik yang membungkus wacana kritis penuh kiasan dan menggambarkan situasi sosial politik kebudayaan (Koskow, 2009:111). Sayangnya kekuatan modal memang berbicara. Beberapa penerbit bangkrut, beberapa bergabung dengan penerbit besar. Penerbit besar luar Yogyakarta meluaskan pasar dan melihat potensi besar dari model penerbitan di Yogyakarta. Penerbit besar luar Yogyakarta selain punya modal, penggarapan bukunya pun lebih serius (copyright dan sampul), pun memiliki kejelasan dari sisi royalti kepada penulis.

Sumber Bung, Sumber!
Adam, A.W. 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Adhe. 2007. Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007). Yogyakarta: KPJ.

Aji R.I., 2014. Imajinasi Heroisme Pada Sampul Novel Epos Berlatar Kerajaan Majapahit, Skripsi: ISI Yogyakarta.

Koskow. 2009. Merupa Buku. Yogyakarta: LkiS.

Yudiono K.S. 2007. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

1 komentar:

Mencari Hilal Sampai Kapan

15.25.00 jino jiwan 0 Comments

Suatu hari di masa depan, mustahil umat Islam masih perlu melihat hilal untuk membuktikan datangnya bulan baru. Sungguh bukan suatu hal yang tidak mungkin  bagi manusia untuk punya koloni baru di planet lain. Tengok deh bagaimana antusiasnya para penggila sci-fi dan pencinta angkasa ketika menonton Interstellar (dan film sci-fi lain: Star Wars/Trek) atau di kala membaca berita kunjungan ke Pluto untuk pertama kalinya bagi sejarah manusia, atau bagaimana kemungkinan kunjungan ke Mars dan Europa (satelitnya Jupiter). Pencarian planet layak huni selain bumi sebagai “rumah baru” masih terus dilakukan. Hanya soal waktu sampai manusia benar-benar bisa melakukan apa yang selama ini disimulasikan dunia fiksi populer. Meski jaraknya sangat jauh dan jelas tidak akan terjadi dalam generasi kita bahkan cucu-cucu. Jika manusia sudah tidak hidup di bumi, bagaimana kita akan melihat bulan? Apa perlu mengirim manusia kembali ke bumi hanya untuk menatap hilal? Demi keotentikan perintah agama?

Sebenarnya pertanyaan ini mengarah ke pertanyaan lebih besar. Benarkah agama Islam dengan seluruh perangkat ibadahnya adalah agama bagi alam semesta atau hanya berorientasi ke planet bumi sebagai tempat manusia bernaung hingga saat ini? Apa ini berarti manusia tidak boleh pergi dari Bumi? Pasalnya dua ibadah utama dalam Islam amat sangat berorientasi pada bumi, bulan, dan perputarannya terhadap matahari. Mulai dari sholat hingga puasa.

Moon in GTA
Ah, CJ, ini mah sudah pagi. Bukan pas sore lagi. Udah buruan sholat Ied sana!

Untuk sholat, umat Islam secara umum (bahkan yang sangat keras berkeyakinan harus hilal untuk menentukan awal/akhir bulan Qomariyah) sudah tidak perlu lagi mengamati tanda-tanda fisik terkait kemiringan matahari terhadap permukaan Bumi. Kenapa? Berhubung sekarang sudah ada jam. Karena waktu sholat sejatinya berdasarkan ciri inderawi yang amat berkaitan dengan bumi dan matahari. Contoh, deskripsi waktu sholat maghrib adalah sejak dari matahari tenggelam hingga hilangnya warna kemerahan di ufuk barat. Bagaimana bisa mengamati matahari jika mendung tebal menutupi pandangan atau masihkah ada yang mau repot mengamati apakah langit masih memerah atau tidak, sebelum kemudian memutuskan bahwa saat itu masih merupakan waktu sholat? Teknologi jam amat sangat membantu dengan mengonversi ciri fisik ini dalam bilangan waktu. Teknologi yang tidak ada di zaman Rasulullah.

Untuk puasa kasusnya jadi jauh lebih unik. Kemajuan ilmu falak tentu perlu diperhitungkan. Bagaimana kasusnya dalam situasi seperti itu? Apakah sholat tetap lima kali dalam sehari? Bagaimana dengan puasa dalam perjalanan luar angkasa? Masalahnya kan sudah tidak ada malam ataupun pagi hari. Apa puasa tetap 12 jam dalam hitungan hari yang tetap 24 jam? Jika manusia benar-benar bisa bikin koloni baru di planet lain. Ambil contoh, Mars. Jalannya hari pun akan berbeda. Satu hari di sana beda dengan satu hari di bumi, satu tahun di sana pasti beda dengan bumi. Dan masih banyak pertanyaan lain. Intinya jelas kita sudah terputus dengan bumi sebagai orientasi syariat Islam. Jika ibadah tetap mengikuti konversi waktu bumi, maka tidak perlu repot melihat apakah matahari di bumi sudah tenggelam. Atau apakah bulan di bumi sudah masuk bulan baru atau belum. Padahal kumpulan ulama berpendapat bahwa ibadah sholat dan puasa sifatnya adalah lokal-regional. Buktinya tanda waktu sholat Maghrib saja mengikuti wilayah masing-masing.  

Lebih rumit lagi adalah. Untung bulan di Bumi cuma satu! Coba kalau Bumi punya bulan sebanyak Jupiter atau Saturnus yang sejauh ini terhitung lebih dari 60 buah. Bulan mana yang mau dipakai sebagai ketentuan penanggalan Qomariyah? Apa gak lebih runcing konfliknya? Tidak usah ke planet gas-giant deh, karena gak bisa ditempati. Mars saja punya dua satelit yang jika sampai manusia hidup di sana maka entah bulan mana yang mau dijadikan patokan hilal.


Perintah dan syariat Islam terkait ibadah baik itu ayat Al Quran dan hadits turun bertahap sedikit demi sedikit sesuai konteks dan zamannya. Ini dapat berarti bahwa perlu ada penyesuaian dalil. Dan itu mesti dipikirkan bersama namun tetap dengan mengedepankan kemerdekaan interpretasi. Bukan dengan memaksa dan mengaku diri yang paling benar. Barangkali memang eloknya adalah keanekaragaman versi awal-akhir bulan Qomariyah dari berbagai kelompok harus dihormati bukan cuma dihujat tanpa ujung. Katanya kita ini manusia-manusia toleran, iya?

Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan
Ketikan ini juga diunggah di Kompasiana

0 komentar:

Rasa Manis Le Minerale

22.44.00 jino jiwan 6 Comments

Tampaknya baru kali ini ada iklan yang jujur mengatakan kejujuran. Le Minerale, air minum berbotol plastik buatan Tirta Fresindo Jaya yang baru saja keluar tahun 2015 benar-benar terasa “ada manis-manisnya” seperti apa kata iklannya. Begitulah air bersumber dari pegunungan: alami, kaya mineral, murni, segar, menyehatkan, kebiru-biruan, dan kaya ada manis-manis gimana gitu.

Waktu pertama kali aku melihatnya di sebuah supermarket, tak terkira betapa bahagia hati ini. Aku pun segera menggenggamnya lalu membayar di kasir. Maklumlah sejak melihat iklannya berseliweran di tv aku sudah meneguhkan niat untuk mencicipi air minum pegunungan yang kaya ada manis-manisnya ini.
Oh Yeah?
Detik-detik menegangkan dan penuh slow-mo terjadi padaku ketika membuka tutup botolnya lalu mengangkat botol demi agar mulut botolnya berjumpa mulutku. Sungguh amat sangat dramatis lagi eksotis-tis-tis! Saat meneguknya aku terkejut! Rasanya betulan manis-manis gitu. Luar biasa!!!

Aku pun langsung pulang untuk memberi kabar bagi seluruh penghuni rumah. Sembari menari aku bernyanyi riang layaknya iklan:

Kabar gembira untuk kita semua™, air gunung kini rasanya manis.” (Oh, aku tahu itu lagu untuk produk lain tapi yang terngiang-ngiang cuma itu...lanjut!)
“Dia hadir dan rawat lidah kita, penuh pesona..Le Minerale...!”

Karena belum ada orang rumah yang menyambut, aku mengulangi lagu itu dengan nada melengking.

Kabar gembira untuk kita semua™, air gunung kini rasanya manis, dia hadir dan rawat lidah kita, penuh pesona..Le Minerale...!”

Akhirnya Ayah, Bunda, Kakak, Adik mendekatiku mencoba menanyakan kewarasanku. Aku bilang aku baik-baik saja. Semua tingkah ini tercipta setelah aku meminum Le Minerale, air gunung yang rasanya manis. Aku menyodorkan sebotol untuk mereka. Ekspresi penasaran membuncah dari wajah. Mereka pun mencobanya secucup dua cucup bergantian. Si “Singo” kucingku tak urung juga ikut mencelup dua-tiga celup lidah.
Dan...

Raut datar mereka bikin aku terpana. Si Singo hanya melengos dan pergi untuk kencan dengan “Si Macan,” kucing tetangga.

Mereka bilang saya...monyet, eh bukan. Maksudku, mereka bilang rasanya tidak manis! (dengan tanda seru).

“Ah, masak sih?” sentakku. Aku pun mencobai lagi untuk kesekian kali.
Kini aku yang terpana. Kok bisa tadi rasanya manis dan sekarang tidak manis? Tiba-tiba situasi mencekam. Rasa air minum botolan kok bisa berubah secepat ini? Ada misteri apa ini gorengan? Aku pun terlibat dalam sebuah investigasi mendalam, tegas, tuntas, lugas, terarah, dan memberi garapan.

...
Setelah seminggu berlalu dalam rangka menyingkap misteri, aku menemukan jawaban yang kemudian berujung pada sejumlah kesimpulan berupa metode agar...iklan sesuai dengan kenyataan atau sebaliknya, kenyataan sesuai dengan iklan.
Berikut ini adalah metodenya:

Emutlah dua buah permen rasa apa saja, atau

Masukkan sesendok makan gula pasir ke mulut, atau

Ambil dua bongkah gula batu/gula kelapa, masukkan dalam mulutmu, atau

Taruh dua sendok makan sirup (asal bukan sirup obat batuk) dalam mulutmu, atau

Lumuri lidahmu dengan sesendok madu asli,


Kemudian sesegera mungkin tenggaklah Le Minerale sesudah menerapkan satu/semua dari cara-cara di atas, maka di jamin Insya Allah Haqkuull Yaqieenn rasanya akan manis. Soalnya itu yang terjadi padaku sebelum menenggak Le Minerale untuk pertama kali: aku lagi makan permen waktu itu. Itu sebab airnya berasa manis. Bahkan lebih manis dari bintang iklannya Le Minerale yang aku gak mau tahu siapa namanya. Yah, aku sih tidak bisa menyalahkan siapapun, akulah yang salah dan mengalah. Iklan mah tak pernah salah. Dan tak akan pernah salah. Gimana? Manis kan? Kalau belum terasa manis ya mungkin lidahmu itu!!

6 komentar: