Pascawisuda

16.51.00 jino jiwan 0 Comments

Sebelum lebih jauh, di awal tulisan yang tidak aku tulis melainkan diketik ini, inginku mengutip cuitan verbatim dari akun Twitter seorang rekan kuliah yang berbunyi:

“mahasiswa baru tampangnya bahagia dan optimis. mahasiswa lama tampangnya kaya abis nelen jeruk nipis campur garem HAHAHA”

Cuitan ini dicuitkan sekira pertengahan tahun lalu ketika kami semua, mahasiswa sebuah prodi di S2 Pascasarjana UGM tengah berjuang merampungkan tesis di ujung masa akhir studi. Masa studi yang menurut peraturan maksimal hanya boleh mencapai sekian tahun saja, tidak lebih, bila kurang tentu bagus. Sehingga ketika akhirnya berhasil lulus dengan sukses, tidak ada yang lebih melegakan dan menyenangkan bagi diri ini. Sungguh! Lulus dari kampus sebesar UGM sungguh membahagiakan. Ungkapan yang terdengar nyinyir semacam, “selamat, sekarang anda akan menjadi pengangguran…” tidak akan mempan buatku.

Megah...i

Apa sebab? Pertama, biaya kuliahnya mahal. Tentu mahal itu relatif. Sebagai catatan atau upaya untuk mengenang jika aku tidak lagi ingat, satu semesternya mencapai delapan juta Rupiah (sebagai perbandingan, harga bakso yang ‘waras’ adalah sekitar 12 ribuan). Memang sih jika sudah melebihi 2 tahun alias sedang menggarap tesis, biaya menjadi ‘hanya’ lima juta Rupiah. Tapi tetap saja tergolong mahal buatku. Dengan kelulusan artinya aku tidak perlu lagi pusing soal biaya kuliah.

Alasan Kedua, kuliahnya sulit. Seberapa sulit jelaslah lagi-lagi relatif dan tergantung makna sulit itu sendiri yang akan berbanding lurus dengan seberapa cepat rampung atau tidak sehingga membutuhkan bahasan terpisah. Ada orang-orang [sok] bijak bilang bahwa jangan bilang sulit, karena nanti jadi sulit sungguhan. Masalahnya adalah setiap orang tidak punya modal yang sama untuk menghadapi serangkaian perkuliahan tertentu. Jadi shut the hell up. you byatch!

Inti ketikan yang ingin kuejawantahkan di sini kira-kira semacam ini: Kampus tak ubahnya bagai pabrik lulusan. Lulusan yang [harus] siap dipekerjakan di luar sana. Semakin cepat sebuah kampus menghasilkan lulusan, apalagi yang begitu lulus bisa langsung dapat kerja, semakin melangit reputasi kampus. Maka kian cepat pula kampus mendapat mahasiswa baru. Dengan begitu  semakin cepat juga kampus menyerap uang, karena masa depan pasca kelulusan bak menatap mentari terbit dari puncak Merapi, menjanjikan kemilau di ujung wisuda, dan ini semua bekerja bersama lewat berbagai perangkat yang telah diakademisikan (dibuat jadi akademik).

Bukan jangan-jangan, biaya kuliah tersebut di atas memang sengaja dirancang menekan agar mahasiswa tidak betah berlama-lama menguras ilmu dari kampus, melainkan cepat-cepat merampungkan kuliahnya, terjun ke dunia kerja, supaya segera beroleh kompensasi biaya kuliah yang sudah digelontorkan. Jika tidak, maka meminjam ucapan yang selalu terngiang dari seorang dosen: “anda harus segera memikirkan caranya rampung, karena mesin penagih SPP terus berputar.”

Kata-kata dosen ini menarik karena idiom ‘mesin’ yang dipilihnya. Mesin adalah perangkat yang mekanis, bekerja atas sebuah desain berdasar sistem demi melayani suatu fungsi. Mesin penagih SPP adalah perangkat akademis yang dibuat berjalan bersamaan dengan aturan cepat lulus dari kampus.
Biaya sa’hoha di atas lantas diwajar-wajarkan sebagai konon katanya bagian dari peningkatan mutu. Bahwa seiring dengan biaya tinggi akan ada kualitas yang ditingkatkan, walau sependek penyederhanaan dana yang telah mencakup biaya wisuda. Menyembunyikan usaha menaikkan pamor dan akreditasi prodi yang disangkutkan di mata calon mahasiswa. “Oh, biaya mahal berarti kuliahnya bermutu tinggi.” Nalar barang mahal lantas berarti kualitas tinggi diterapkan dalam dunia pendidikan.

Soal cepat dapat kerja, aku gak bilang dapat kerja atau menjadi pekerja itu buruk. Kita semua perlu kerja dan ditakdirkan jadi ‘pekerja’ biar bisa dapat uang untuk bisa terus hidup. Bukankah begitu konsekuensi hidup di alam kapitalisme? Gak heran pula bila si penyanyi dari grup band Nidji menginginkan agar skripsi dihapus saja diganti menjadi magang.

Hahahah…, nalar apa lagi jika bukan nalar dagang yang melanda otak si penyanyi band? Dia tentu kecewa bahwa skripsinya tidak bisa dibuat cari kerja dan memang bukan untuk dapat kerja. Lantas pendidikan menurutnya—seperti orang Indonesia pada umumnya—seharusnya jadi tiket untuk dapat kerja. Dunia pendidikan [tinggi] jadi serba transaksional. Tapi mau bagaimana lagi, wong nama kabinet menteri di Indonesia [saat ini] ya Kabinet Kerja.

Bukannya praktik memberi nama berarti memberi makna? Penamaan demikian menyajikan obsesi pemerintah secara gamblang, yaitu kerja (atau kelihatan kerja?). Pemerintah juga tidak bisa sepenuhnya dituding sebagai biangnya. Ia adalah cerminan mayoritas rakyatnya yang memang terobsesi dengan pekerjaan, sedangkan pemerintah diharapkan jadi penyedia lapangan kerja. Maka jadilah nama kabinet yang serba molitis.

Sambutan Si Lulusan Terbaik (aku tidak tahu namanya siapa) di Sekolah Pascasarjana kala wisuda April lalu dapat dijadikan patokan. Si Mbak yang sudah ibu-ibu ini menyampaikan paradoks usang yang terus disampaikan berulang-ulang soal dunia pendidikan yang kira-kira apalagi kalau bukan: “kebutuhan antara dunia kerja tidak sejalan dengan pendidikan.”

*Ya, iyalah. Siapa bilang harus sejalan?

Pembacaanku terhadap pernyataan Si Mbak Lulusan Terbaik adalah, dia berharap sama seperti Si Penyanyi band Nidji supaya pendidikan jadi pelayan dunia kerja dan dunia kerja jadi lahan untuk para lulusan kampus untuk bekerja. Klasik dan klise. Predictable and exhausted.

Bagiku paradoks sesungguhnya kalau memang mau diada-adakan tentang dunia pendidikan adalah ketika mahasiswa yang sukses saat kuliah (nilai tinggi dan dengan kebanggaan menyandang predikat kumlaut yang dibuktikan selempang di pundak) malahan kalah telak suksesnya dibandingkan mahasiswa yang prestasi akademiknya biasa saja.

Tentu definisi sukses adalah [lagi-lagi] relatif, seperti konon katanya ganteng adalah relatif. Namun situasi yang non hipotetikal di atas jelas ada dan menunjukkan ada yang keliru dengan cara pengelolaan atau lebih tepatnya arah pendidikan.

Lalu masih dari Si Lulusan Terbaik Pascasarjana. Dia dengan nada humble bragging-nya berucap yang kira-kira: “saya lulus bukan karena saya paling pintar, tapi karena saya paling taat aturan...”
Aku cuma bisa geleng-geleng sembari ngekek in silent sendiri plus palm face. Duduk di belakangku wisudawan lain turut berkomentar, “oh, berarti yang lain gak taat aturan…cuman kamu yang taat.”

Hah, aturan. Aturan kampus yang telah pakem tidak pernah dipertanyakan lagi oleh mahasiswa. Memang begitulah adanya dan begitulah seharusnya dan itulah yang dilabeli sebagai sikap disiplin, taat, setia. Dapat nilai dominan A, lulus cepat, cepat dapat kerja pula. Sekali lagi, ya karena kampus sudah berubah jadi pabrik.

Inginnya cepat ini tidak mengherankan. Manusia Indonesia memanglah terobsesi dengan pertanyaan kapan. Kapan yang menunjukkan tempo sesingkatnya, bahkan cenderung diburu-buru. Seolah tidak ada waktu nanti ataupun esok hari. Apa-apa harus serba cepat. “Lebih cepat lebih baik” katanya. “Mengejar ketertinggalan” katanya.

Sialnya, aku berkuliah di prodi pemikir. Sementara kerja berarti membuat langkah ‘nyata,’ mikir berarti tidak kerja melainkan termenung-menung tiada guna. Termasuk ngomyang dewe di blog pribadi. Jangan buru-buru bersangka-ria. Aku dulunya pun sempat punya pikiran pragmatis praktis seperti Si Mbak Lulusan Terbaik. Aku dulu mengejek orang yang kuliah terus tapi ujung-ujungnya nganggur tanpa penghasilan hanya karena belum sepenuhnya sadar bahwa barangkali orientasi pendidikannya yang perlu digugat. Di sinilah buahnya aku berkuliah di prodi pemikir, biar mahasiswa yang belum kunjung lulus tidak seperti nelen jeruk nipis plus garam.

0 komentar: