Arsitektur yang Hendak Melawan Waktu (Webinar dari Abidin Kusno)

17.08.00 jino jiwan 0 Comments

Berhubung karir dosenku ini hitungannya masih baru, di sebuah kampus baru yang secara adminstratif belum mengizinkan aku ngajar sendiri--namun ironisnya aku sudah harus dan butuh untuk mendapatkan poin dari institusi (lagi-lagi  administratif)--maka menjelmalah aku sebagai seorang certificate hunter

Certificate hunter? Iyap, pemburu sertifikat, segala jenis sertifikat. Termasuk sertifikat dari webinar yang untungnya--di tengah buntungnya pandemi Covid-19--bertebaran dengan gratis. Kenapa? Karena bukan lain adalah aku butuh poin itu tadi, dan keikutsertaan di webinar bisa mendapat poin (meski aku tidak tahu apa bisa menggantikan beban ngajar di kelas). Okay, enough about this points bullcrap.

Salah satu webinar yang kuikuti adalah serial P2P (People to People Relationship) tentang arsitektur, urban planning, dan desain yang dibawakan oleh Abidin Kusno bertajuk Melawan Waktu berikut. 

Abidin Kusno adalah profesor dengan latar belakang pendidikan arsitektur, di Faculty of Environmental Studies di York University, Kanada, saat dia ini menjabat sebagai direktur York Centre for Asian Research. Sebelumnya aku mengenal Pak Abidin lewat buku Di Balik Pascakolonial (2007), terjemahan dari Behind the Postcolonial yang kupinjam dari seorang teman. Buku ini, yang sayangnya belum kunjung rampung kubaca, membahas arsitektur dan desain kota dalam kaitannya dengan tatanan politik pemerintahan yang sedang berlangsung saat itu: Belanda, Soekarno, dan Soeharto. Pendekatannya cenderung ke arah cultural studies yang menyasar sejarah, bangunan, dan ruang kota. Pedas, pedih, sedap-sedap gitu. Buat yang sudah biasa dengan cultural studies tentu tidak akan gumun apalagi kaget.

Begitu pula bahasannya pada Sabtu pagi, 26 September itu, tidak jauh dari semangat pemikiran ktitis a la cultural studies yang dia lakukan dengan menerawang peninggalan arsitektur di Indonesia dan Hindia Belanda. Dia sendiri mengakui bahwa materi yang disampaikannya bukanlah hal baru, melainkan dia sesuaikan untuk topik webinar.

.....

Dalam dunia ilmu pengetahuan, waktu (masa lalu, masa kini, masa depan) selalu diasosiasikan dengan bidang sejarah. Di sisi lain konsep ruang diasosiasikan dengan bidang georafis. Para arsitek ingin menjadi penguasa keduanya: ruang dan waktu, lewat penciptaan bangunan yang monumental dan yang bisa dikenang banyak orang, sesuatu yang timeless, sekurangnya mewakili sebuah zaman. Maka dari itulah arsitek selalu mencoba "melawan waktu" dalam upayanya mencari identitas bidang arsitektur. Sayangnya pencarian identitas ini berujung pada penghilangan konteks sosial yang seyogyanya melekat pada arsitektur. 

Dari Segi Pendidikan Formal"waktu" sudah hadir semenjak mahasiswa kuliah. Kegiatan mahasiswa dalam menuntut ilmu di studio, misalnya, telah dibatasi waktu. Dengan demikian waktu turut membatasi transfer ilmu pengetahuan. Daya intelektual arsitek ditentukan politik waktu dalam kurikulum pendidikan arsitektur. Karena itu arsitek perlu melawan waktu, merefleksi dan mengembangkan pemikiran kritis atas krisis kota, sosial, politik, kebijakan, masyarakat, ke dalam desain.

Dari Segi Sejarah di Masa Kolonial, "waktu" sering dihabiskan untuk narasi dan perkembangan gaya & bentuk tanpa sadar bahwa, misalnya, buku pegangannya sendiri, "A History of Architecture" (Banister Fletcher) pun sudah bias. Buku ini ditulis oleh ilmuwan Barat di masa kolonialisme & imperalisme Eropa atas dunia Timur, bahwa arsitektur Barat berkembang secara organik dan arsitektur Timur tidak berkembang/berhenti, sehingga dikotomi modern dan tradisional pun muncul, memunculkan justifikasi negara Eropa untuk menjajah dalam misi memperadabkan dunia Timur. Sesuatu yang dikritisi Edward Said dalam buku Orientalisme.

Gaya bangunan Empire yang dianggap mampu menunjukan superioritas Eropa atas yang dijajah.
Strategi lain Kolonial adalah dengan Indis Style, yaitu berupa gabungan arsitektur lokal modern dengan Eropa. Karya Pont dan Karsten menggabungkan Timur dan Barat, tapi apakah memang arsitektur seperti ini mencoba membebaskan atau sudah mewakili suara rakyat yang dijajah?

Di Masa Kemerdekaan (masa Soekarno), konsep melawan waktu mencoba melepaskan diri dari masa lalu, menjauh dari tradisi dan masa lalu, menjadi bagian dari yang global, masuk ke modernitas, melawan penjajahan, sebuah dekolonialisasi. Gerakan yang berupaya menciptakan dunia baru, berbau utopia, membayangkan masa depan sebagai dasar membangun hari ini. Contoh di Indonesia: Ganefo, yang melawan Olimpiade. Ganefo dipenuhi slogan semacam: "pantang mundur", "dunia baru."

Kelompok ATAP terpesona modernisme dengan melawan masa lampau lewat proyeksi ke depan. Mereka tidak tertarik dengan arsitektur tradisional karena sudah pernah dilakukan arsitek di zaman Belanda.

Kapitalisme turut mempengaruhi waktu dan arsitektur. Segalanya berbalik dengan situasi sebelumnya. Globalisasi pada 1970-1980an, mengompresi waktu dan ruang. Ia membawa era keterbukaan, konsumerisme, pasar bebas, kompetisi, komodifikasi dan transfomasi ruang kota. Para arsitek Indonesia uniknya malah membuka wacana arsitektur yang khas Indonesia, mencoba melawan yang global, yang serba homogen. Memunculkan kebangkitan arsitektur "khas" Indonesia. Menghadirkan pertanyaan, "apa yang disebut arsitektur tradisional?" Negara lantas merespon dengan tradisionalisasi arsitektur yang sangat dipengaruhi oleh geliat industri wisata. Sehingga kesan serba permukaan tidak bisa dielakkan berkat campur tangan pihak-pihak tertentu. Apa yang terjadi di masa ini sejalan dengan semangat posmodernisme yang melanda dunia Barat.

Karikatur menarik, bangunan tinggal ditambahi atap joglo agar punya ciri lokal. Btw, aku punya buku ini Menuju Arsitektur Indonesia, beli di Social Agency tapi belum sempat kubaca.

Posmodernisme, mencoba melawan waktu dengan melihat ke belakang untuk mencari ide. Ini yang terjadi di Barat. Namun, cara mendesain bangunannya bak windows shopping, main comot referensi dari masa lampau, tanpa konteks, dari era mana, dan asal usul, yang penting desainnya menarik dari fisiologi (fisik/badaniah), psikologi (mental/batiniah), dan filosoli (masuk akal). Referensi sejarah, namun tanpa sejarah, yang penting secara estetika menggelitik emosi dan persepsi. Ia adalah manifestasi dari kompresi ruang dan waktu yang dibawa oleh kapitalisme global.  

Posmodernisme bertujuan membebaskan manusia dari tatanan belenggu sosial dengan mengangkat kembali elemen klasik (sebelum industrialisasi) atau bahkan prasejarah, yang dianggap lebih otentik. Bila modernisme mengacu pada masa depan dengan memberi harapan pada kemajuan teknologi, posmodernisme membebaskan fungsi sensorik manusia yang telah dirusak/diputus oleh modernisme. Pasca posmodernisme yang muncul kemudian juga punya tujuan kurang lebih serupa, meskipun kesannya berbeda. Ironisnya di sini, posmodernisme adalah kesinambungan dari modernisme, karena keduanya sama-sama hendak melawan waktu.

The infamous duck building

Gerakan posmodernisme ini adalah sebuat "retreat" dari arsitektur. Dalam arti tidak lagi menghadapi krisis yang terjadi di masyarakat, walaupun mendaku masih menghadapinya, yang caranya diperoleh dengan cara mundur dari masyarakat untuk masuk ke wilayah makna dan pengalaman. Ini disebut sebagai "the great retreat of architecture" yang punya dampak terhadap gerakan arsitektur di Indonesia.

"The great retreat of architecture" dalam posmodernisme, yang seolah-olah menyelesaikan masalah kontekstual padahal hanya mengutamakan bentuk, makna, fungsi. Di sinilah pangkal letak otonomi arsitektur, yang memisahkan diri dari bidang lain yang sebetulnya berkaitan.

Tantangan arsitektur Indonesia turut terimplikasi oleh posmodernisme dan the great retreat tersebut. Di Indonesia di antaranya muncul desain yang vernakular, tradisional, dan "nusantara". yang sama-sama hanya sampai di tataran visual dan tectonic, serba menghindari diri dari krisis/masalah lingkungan dan kondisi masyarakat, seolah hanya dengan visual maka segala masalah bisa dituntaskan.

Sebagai penutup, Pak Abidin mengenang kembali refleksinya pada 1990 ketika masih bersama AMI (Arsitek Muda Indonesia) yang mencoba "melawan waktu". Dalam manifesto AMI, terlihat bahwa mereka telah mempermasalahkan arsitektur, mereka berpihak pada kondisi masyarakat dan lingkungan Indonesia. Sayangnya memang tidak mudah mewujudkan manifesto tersebut karena arsitek menghadapi relasi kuasa antara negara dan kapitalis, di mana setiap bentuk arsitektur dikomodifikasi dan menjadi bagian dari strategi marketing untuk menjual properti. AMI lantas memilih untuk menjaga manifesto dengan mengambil jarak, menjaga otonomi desain ke dalam dirinya, yang kemudian tidak menghadapi masalah sebenarnya di luar sana. Pada akhirnya upaya "melawan waktu" membuat arsitek terperangkap dalam sekat desain yang lepas dari masyarakat. Arsitek jadi merasa bisa meresepkan masalah hanya dari displinnya sendiri tanpa bersentuhan dengan bidang lain.

.....

Pada sesi tanya dan jawab, aku sempatkan bertanya via kolom chat. Namun karena banyaknya penanya, pertanyaanku lantas ditampung untuk dijawab kemudian via teks. Berikut pertanyaan tentang komentarnya terhadap rancangan pemenang sayembara ibukota baru dan jawaban Pak Abidin Kusno:







0 komentar: