Anatomi dan Istilah dalam Tipografi

21.01.00 jino jiwan 0 Comments

Sama seperti tubuh makhluk hidup, huruf juga memiliki anatomi. Bahkan beberapa istilahnya pun sama persis (lengan, kaki, bahu, leher, dst.), sementara beberapa lainnya meminjam dari istilah yang terlebih dahulu digunakan dalam bidang lain. Penggunaan istilah ini penting bagi orang DKV, bukan hanya untuk mengidentifikasi dan mengenali setiap bagian namun lebih lagi untuk mengomunikasikannya dengan klien atau malah antar sesama desainer.


Misalnya saat nanti kamu sedang menggarap satu characters set (satu karakter set terdiri dari a-z, uppercase, lowercase, angka, tanda baca, dll.) untuk klien, besar kemungkinan kamu akan berkomunikasi lewat istilah-istilah dalam tipografi, istilah yang cukup teknis. “Mas/Mbak, itu tolong vertex-nya jangan tajam-tajam, overshoot-nya ditambah dikit ya.” Kalau kamu sebagai desainer gagal paham apa yang dimaksud, maka klien bisa saja terbang ke lain hati. Oleh karenanya mempelajari anatomi dan istilah dalam tipografi adalah wajib.

Setiap individu terkecil dalam jagat tipografi, baik itu huruf, angka, tanda baca disebut character. Setiap character terdiri dari stroke alias garis/guratan. Stroke terdiri dari dua, basic stroke atau stem stroke (sering disebut stem saja), yaitu garis utama/tebal pada character dan secondary stroke atau hairline stroke (sering disebut stroke saja), yaitu garis yang lebih tipis dibandingkan garis utama.


Hampir semua character secara optis rata dengan baseline, yaitu garis imajiner di bagian bawah character atau garis di mana ia ‘duduk.’ Baseline menjadi titik yang darinya elemen lain semacam x-height dan leading dihitung. Sedangkan capline adalah garis imajiner batas atas untuk huruf uppercase (huruf besar).

X-height (garisnya disebut x-heightline/meanline) adalah tinggi huruf kecil (lowercase) dari baseline, tapi tidak termasuk ascender dan descender-nya. Huruf x (lowercase) dipakai sebagai patokan karena bagian atas dan bawahnya rata, darinya istilah ini berasal. Huruf yang melengkung dan lancip (a,c,e,m,n,o,r,s), bagian lengkung dan lancipnya akan sedikit melebihi x-height dan baseline atau disebut overshoot.


X-height sangat penting dalam menentukan readibility, karena semakin tinggi x-height—seperti umum dijumpai di huruf jenis sans serif alias huruf tanpa tangkai—maka semakin pendek ascender dan descender-nya. Sebaliknya, semakin rendah x-height maka ascender dan descender semakin terlihat.


Ascender adalah stroke vertikal ke arah atas pada huruf lowercase yang melebihi x-height. Batasnya adalah ascender line (garis imajiner batas ascender). Descender adalah stroke vertikal ke bawah yang melebihi baseline. Batasnya adalah descender line (garis imajiner batas descender). Tinggi ascender dan descender juga akan mempengaruhi tingkat readibility. Seperti biasa huruf yang melengkung dan ujung yang lancip akan melebihi garis baik x-heightline, ascender line, descender line, alias overshoot.


Dalam merancang huruf seorang desainer perlu mencermati yang namanya overshoot, yaitu bagian character yang melengkung atau lancip (A,S,O dan a,c,e,m,n,o,r,s) yang dilebihkan dari baseline, capline, x-height, ascender line, descender line, bila dibandingkan huruf yang lebih rata (contoh: X dan H). Kenapa? Supaya huruf-huruf ini punya kesan optis seolah berukuran sama dengan lainnya. Pelebihan ini tidak memiliki aturan baku, namun anjurannya adalah antara 1-3% dari tubuh setiap character. Peter Karow merekomendasikan overshoot untuk O sebanyak 3%, sedangkan character A sebanyak 5%.


Hal lain yang sangat mempengaruhi legibility dan readibility adalah leading, kerning, dan tracking. Leading (cara baca e nya seperti pada kata lempar) adalah jarak antar baris yang dihitung dari baseline ke baseline. Cara menghitungnya menggunakan satuan yang disebut point, yang dipinjam dari teknik cetak tradisional yang kala itu masih menggunakan plat logam untuk memisahkan susunan antar baris (1 point, 2 point, dst.). Dalam hitung-hitungan modern (software desain), leading dimaknai ukuran character (tingginya) plus ruang di atas huruf.

Kerning adalah jarak yang disesuaikan antar dua character. Tanpa ada kerning masing-masing character akan mengambil satu blok space/ruang sehingga ketika disandingkan beberapa character terlihat kurang elok/nyaman di mata. Biasanya jarak akan dikurangi (tak jarang pula ditambah), di mana ruang satu character melewati/memakan ruang dari character lainnya. Contoh paling kentara adalah jarak antara A dan V. Tanpa kerning A dan V akan menyisakan ruang kosong terlampau banyak. Dengan menerapkan kerning, jarak A dan V jadi lebih dekat dan lebih enak dilihat.  




Untuk melakukan kerning, beberapa huruf seperti A,T,V,W perlu mendapat perhatian khusus, bergantung pada huruf apa yang mengiringinya. Contoh di bawah menunjukkan kerning manual atas huruf T dan o pada kata Today yang memang diperlukan agar rangkaian kata tersebut nyaman dilihat (artinya sifatnya lebih ke optis).

Tracking mirip dengan kerning, bedanya tracking adalah jarak horisontal antar character secara merata dalam satu rangkaian. Tracking inilah yang diubah sesuai kebutuhan dalam kerning. Tracking akan memengaruhi kepadatan kata dan antar kata, yang secara langsung mempengaruhi tingkat legibility dan readibility. Tracking dapat membantu mencegah terjadinya widows (janda) dan orphans (anak yatim piatu) dalam paragraf. Widows adalah situasi di kala baris akhir sebuah paragraf muncul pada halaman baru sehingga seolah terpisah dari keseleruhan teks, sementara orphans adalah ketika paragraf berakhir dengan satu kata saja.


Tracking terdiri dari dua, negatif dan positif. Tracking negatif dicapai dengan mengurangi ruang antar character, sehingga whitespace (ruang kosong) akan lebih sempit dan akan memuat lebih banyak character. Sedangkan tracking positif memberi lebih banyak ruang antar character atau lebih panjang jarak antar character-nya, sehingga whitespace akan lebih lebar dan character yang bisa dimuat menjadi lebih sedikit. Keduanya sama-sama berisiko membuat readibility-nya rendah jika desainernya kurang cermat.


Baik tinggi x-height, ascender, dan descender, overshoot, apalagi kerning maupun tracking, sama-sama membutuhkan kejelian mata seorang desainer typeface dan karenanya dia perlu melatih kepekaan rasa itu melalui pemahaman dan latihan terus-menerus.


Sumber:

Rustan, Surianto, 2010, Font & Tipografi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sihombing, Danton, 2001, Tipografi Dalam Desain Grafis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
corporate3design.com/
fonts.com/
techterms.com/
typedecon.com/
wikipedia.org/

0 komentar: