Tampilkan postingan dengan label Ngerasani. Tampilkan semua postingan

Cara Kuno Promosi Kampus

Tersebutlah sebuah kampus yang sudah berstatus negeri di sebuah kota di Jawa Timur. Kampus ini telah beroleh akreditasi A  dari BANPT, sudah BLU juga, tahun ini akan maju ke PTNBH. Tapi dikarenakan target mahasiswa barunya tidak tercapai, maka dititahkanlah oleh pimpinannya bahwa cara untuk mengatasi persoalan ini adalah dengan berkeliling provinsi mendatangi sekolah demi sekolah, berpromosi door to door. Yep, just like old times, those classic times. From the era before internet.

Kalau itu belum cukup terdengar megah (megahi?). Kamu harus tahu, siapa yang ditugaskan untuk berkeliling itu. Nope, bukan mahasiswa, no, bukan influencer, melainkan para dosennya! Para pejabat struktural mulai dekan, hingga Kaprodi, termasuk Kalab juga dilibatkan.

Postingan di Instagram yang dengan bangganya menyebut beberapa kabupaten yang dikunjungi

Desember lalu rencana ini digulirkan secara mendadak (ya, tentu saja, apa sih yang tidak mendadak di kampus ini?). Sedianya kami akan diberangkatkan pada akhir Desember sebelum Tahun Baru 2024. Namun secara mendadak pula rencana dibatalkan. Alasannya ketidaksiapan sekolah yang akan dikunjungi. 

Nyatanya berdasar cerita singkat dari dua rekan kerja yang baru saja ditugaskan melakukan promosi selama 3 hari ke Madiun, sekolah yang dituju juga belum siap, atau lebih tepatnya tim yang datang ke sana bagaikan 'menodong' untuk minta waktu supaya bisa promosi. Jadi SMA dan MA yang didatangi itu belum diminta kesediaannya untuk menerima rombongan promosi, Bung. Kenapa begitu? Konon tim penanggung jawab yang tidak bertanggung jawab itu tidak punya atau tidak menemukan nomor kontak dari sekolah yang dituju. Terdengar konyol? Tapi ya itu sungguhan terjadi. Di era di mana data pribadi malah sengaja diumbar, mereka tidak bisa mendapatkan nomor kontak dari sekolah yang disasar. Can you belive it?

Jadwal roadshow di Madiun (perhatikan yang ditandai kuning). Yang ditandai kuning artinya belum konfirmasi bahwa mereka bisa menerima rombongan

Jadilah rekan kerja ini disenga'i oleh pihak sekolah yang merasa, "kok, tahu-tahu kalian datang tanpa undangan dan ingin kami menyediakan waktu buat kalian promosi?". 

Menurutku adalah amat sangat wajar jika mereka bersikap demikian. Kita juga akan begitu bukan, jika ada orang tidak dikenal tahu-tahu datang ke rumah lantas menyampaikan hajatnya? Tentunya (untungnya?) tidak semuanya. Ada juga yang menyambut baik kedatangan tim promosi yang cuma menjalankan tugas kampus ini.

Komentar dari salah satu dosen pada postingan di atas 

Menurut rekan kerjaku ini ada sejumlah pihak sekolah yang didatangi keheranan. Di antaranya sebagai berikut: 

"Kenapa yang datang harus dosennya? Kenapa bukan mahasiswanya."


"Kenapa kampus negeri melakukan promosi seperti ini, seperti kampus masih swasta saja."


"Kenapa yang didatangi malah SMK yang lulusannya diproyeksikan langsung bekerja?"


Terhadap pertanyaan itu, rekan kerjaku ini cuma bisa menjawab normatif. Pada intinya dia, kami semua (aku juga ditugaskan untuk berangkat promosi) hanya menjalankan tugas. Apalah daya kami sebagai bawahan yang mungkin sulit didengar oleh para pimpinan yang konon cerdas dan tahu betul apa yang terbaik buat kampusnya.

...

Catatan akhir:


Kami sesama dosen sempat berdiskusi dan sepakat bahwa promosi klasik seperti ini sudah bukan lagi cara yang tepat di era saat ini. Karena pasti tidak menarik dan tidak menggugah keinginan calon mahasiswa baru untuk berkuliah. 

Para pimpinan seyogyanya mau bercermin dan mengevaluasi diri, apa penyebab turunnya minat camaba mendaftar di kampus ini? Barangkali ada banyak kabar yang bertebaran di luar sana yang bernada negatif yang membuat camaba urung niat ke sini.

Dana yang pastinya tidak sedikit itu bisa digunakan untuk berpromosi dengan cara yang lebih efektif.

 Daripada mengirim dosen ke Lamongan, Gresik, Jombang, Ponorogo, Trenggalek, Madiun, Ngawi, dst. (karena touring ini belum berakhir, masih ada kabupaten di sisi timur dan masih ada Madura), lebih baik uangnya digunakan bayar influencer untuk bikin konten kreatif yang mempromosikan kampus. Apalagi memang ada influencer dan youtuber sukses yang jadi mahasiswa di kampus ini. Yang bisa dilakukan selanjutnya adalah menghelat lomba tingkat nasional untuk siswa SMA atau yang sederajat, di mana finalnya diadakan di area kampus, hadiahnya adalah gratis UKT atau beasiswa. 

Tapi apalah daya kami, kami cuma keset. Entah apa yang dilakukan orang-orang penting dan ngerasa sok penting di sekitaran para pimpinan itu, orang-orang yang rela jadi keleknya pimpinan. Apa-apa pasti diiyain. YES BOSS! Mental-mental yes boss masih saja diberi ruang di dalam kampus.


Kecurangan Nilai Wawancara dan Microteaching PPPK

Di Indonesia, kecurangan pewawancara dalam memberi nilai CPNS dan Calon PPPK dosen pada saat tes microteaching dan wawancara masih dianggap biasa dan masih terjadi. Ingat ketika itu pernah menyebar twit seorang pengguna yang ditikung di akhir di tahap wawancara? Kali ini terjadi kepadaku.

Screenshot twit @alhrkn. Sumber: https://twitter.com/alhrkn/status/1474925007297921026

Aku melamar posisi PPPK formasi khusus di sebuah kampus di sebuah kota besar di Jawa Timur yang memang aku bekerja di sana sejak 2020. Formasi khusus artinya memang ditujukan buat yang belum berstatus ASN. Formasi ini hanya dibuka untuk satu orang tapi ada tiga orang yang berstatus pegawai tetap termasuk aku. Iya, kami semua ordal.

Mumpung kesempatannya ada ya aku coba. Apalagi Rektor sudah bertitah bahwa semua yang masih Non-ASN harus jadi ASN, entah lewat CPNS ataupun CPPPK. Kenapa? Karena kami semua dianggap membebani keuangan kampus apalagi ketika nanti berstatus PTNBH. Sekadar informasi, formasi pendidikan yang diminta memang tidak sesuai dengan latar S-2 ku. Tapi nyatanya toh lolos administratif. Begitu juga dua rekan kerjaku yang latar pendidikannya juga sama-sama tidak sesuai.

Kudengar ada dosen dari luar kampus yang coba daftar tapi dia gagal karena salah satu syaratnya adalah punya surat keterangan bekerja di kampus tersebut yang ditandatangani pejabat/atasan. Orang ini penting untuk kusebut karena ada hubungannya (nanti balik lagi ke sini).

Untuk mempersiapkan diri, aku sampai beli dua buku tentang PPPK guru dan dosen (online). Aku belajar sungguhan dan aku tekuni sampai larut malam di tengah kesibukan, juga menyimak video di YouTube yang sebetulnya tidak cukup membantu. Sebagai informasi, tesnya berbeda dengan CPNS. Terdiri dari teknis, manajerial, sosial kultural, & wawancara. Ada juga soal penalaran.

Ketika menjalani SKD PPPK online di sebuah kampus, aku terkejut ternyata ada soal bahasa Inggris (di buku yang dibeli tidak ada sama sekali menyebut soal bahasa Inggris). Meski begitu aku masih bisa menjawabnya (skor 75, cukup baik).  Total nilai yang bisa kuraih adalah 489.

Dua rekan dosen lain, skornya 461 dan 350. Artinya posisiku adalah nomor satu. Katanya ada passing grade tapi ternyata tidak berlaku/tidak menggugurkan bagi pelamar formasi khusus. Di sini sudah terlihat bahwa posisi ini memang untuk mengakomodasi ordal.

Pengumuman jadwal wawancara dan microteaching

Menjelang tanggal tes microteaching dan wawancara tersebar perkiraan siapa yang akan mewawancarai kami, yaitu wadek 2 & 3 fakultas tempat kami kerja. Sebagian rekan kerja lain yang sudah lama kerja di situ (sudah ASN)  mulai menduga bakal ada main mata antara pewawancara dengan salah seorang pesaing. Pasalnya wadek 3 adalah teman baik salah seorang pesaingku yang total nilainya 461 (posisi kedua). Tapi aku tetap berpikir positif dan mengabaikan kecurigaan rekan-rekan kerja.

Saat selesai wawancara online, hasilnya bisa langsung dilihat di livescore (yang hanya bertahan sehari saja). Ternyata nilaiku 'hanya' 21,5. Sementara pesaingku mendapatkan 25, yang mana adalah nilai maksimal. Rekan-rekan kerja lain menyemangatiku agar saat microteaching nanti pakai bahasa Inggris.

Ya sudah, tidak ada salahnya. Sekurangnya slide materi microteaching dalam bahasa Inggris. Bisa bantu IKU. Aku siapkan materi sederhana dengan alat peraga offline maupun online. Hasilnya, nilaiku 'hanya' 20,5, pesaingku lagi-lagi dapat nilai maksimal, 25. Nilai milikku bahkan masih di bawah nilai rekan lain yang ikut tes CPNS tahun ini.  Bohong jika aku mengatakan itu tidak ada pengaruhnya, tentu aku sempat merasa minder, 'apa memang sepayah itukah ngajarku?' Tapi ya berusaha tetap optimis.

Tanggal 24 Des, pengumuman PPPK 2033 itu terbit.  Namaku jadi urutan kedua, yang artinya pesaingku inilah yang lolos. Kecewa? Pasti. Marah? Sangat.

screenshot pengumuman akhir PPPK 2023

Angka total yang muncul di pengumuman juga sebetulnya agak aneh. Seperti punya algoritma khusus yang entah dari mana asalnya. Aku tidak tahu dari mana nilai "teknik" dan "murni" berasal. Kalau nilai Sosio, Manajerial, Wawancara itu memang benar nilai yang kuperoleh seusai SKD. Mungkinkah memang ada hitungan spesial berdasarkan jabatan fungsional dan lama masa kerja?

Jika memang iya, pesaingku ini memang lebih lama mengajar di situ dan jabatan fungsionalnya lebih tinggi daripada aku yang cuma AA.

Tapi... pesaingku lainnya yang nilai SKD PPPK nya 350 (posisi tiga) jauh lebih lama ngajarnya di situ. Jika memang urut kacang kenapa tidak dia saja yang dinaikkan, sisanya dijatuhkan?

Jika memang ada hitungan khusus, mengapa pula nilaiku mesti dipangkas dan pesaingku yang sudah kalah nilai SKDnya justru dimaksimalkan? Jika memang ada hitungan khusus mengapa tidak diterakan di awal sehingga bisa diawasi dan transparan.

Sebagai informasi, pesaingku ini pada bukaan CPNS tahun lalu juga dibantu nilai wawancara dan microteachingnya oleh dua pewawancara yang sama (saat itu dia belum menjabat sebagai Wadek 3, dia hanya dosen biasa). Nilainya 98! Sementara pesaingnya hanya 68! Tahun lalu adalah batas umurnya untuk bisa melamar CPNS.

Sayangnya dia tidak lolos passing grade SKB bahasa Inggris. Itu makanya dia gagal jadi PNS dan itu sebabnya dia ikutan PPPK tahun ini.

Alhasil pelamar yang nilainya sudah dijatuhkan sampai ke angka 68 itulah yang lolos dan jadi PNS. Ironisnya jadi rekan kerja kami yang paling andal.

Ingat tadi ada dosen luar kampus yang mencoba melamar posisi ini? Dia adalah suami dari pesaing yang akhirnya lolos PPPK ini. Lucu ya?

Kurasa aku ingin menemui kedua pewawancara yang notabene atasanku itu lalu mempertanyakan alasan nilaiku sampai sejatuh itu, semacam konfirmasi. Yang mana mendorongku untuk curiga bahwa mereka sudah tahu cara hitung hitungannya sehingga nilaiku sengaja dibuat nanggung sedangkan pesaingku sebaliknya: ngepoll.

Sampai itu terjadi, untuk sementara ini aku bisa simpulkan: jadi ordal tidak cukup kalau pesaingmu adalah adalah ordal yang posisinya lebih tinggi/dekat dengan pewawancara. Di atas ordal masih ada ordal lain.

Btw, kehebohan tes microteaching dan wawancara CPNS tahun lalu itulah agaknya yang mendorong pengubahan urutan tes. Di mana tahun ini SKB baru dilaksanakan sesudah wawancara dan microteaching.

Aku pun jadi bertanya-tanya, kira-kira gimana perasaan pesaingku itu, dia lolos PPPK gara-gara dibantu temannya. Apa gak bakal merasa utang budi selamanya? Aku pun juga bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran pewawancara, pembenaran apa yang ada di benak mereka ketika melakukan itu? Tidakkah barokah posisi jabatan/status PPPK-nya yang mana menurun ke keberkahan penghasilnnya? Bahwa dia mendapatkan penghasilan secara tidak langsung dari mencurangi orang lain. Tidakkah takut akan tertimpa 'hidayah' yang bisa datang dalam bentuk apapun dan kapanpun tanpa mereka sadari?

"Sudah biasa, dari dulu juga begitu.' Abuse power sudah biasa. 

sempet curhat di twitter, tapi tentunya tidak akan pernah bisa viral 😶.





 


Dosen kok Suruh Ngurus Absensi

Adalah sebuah pengetahuan umum, tugas dosen adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi: pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Satu lagi disebut penunjang yang berkutat biasanya pada kepanitiaan yang sudah pasti tidak bisa terhindar darinya.

Yang mengherankan di kampus tempatku 'macul wakul' ini, para dosen masih disuruh presensi dua kali: pagi (masuk) dan sore (pulang). Presensi ini digunakan sebagai patokan seberapa besar uang makan/minum (mamin) harian yang diperoleh dosen. Seharinya sekira Rp37ribu (disetarakan dengan PNS, walau tidak berstatus PNS--untuk ini aku bersyukur). Tapi belakangan presensi semakin diketatkan. Jika melebih jam masuk yang 7:30 ini maka secara otomatis, dosen tersebut tidak akan mendapatkan uang mamin (gaji dosen tanpa adanya uang mamin bakal di bawah UMR). Sambil di sisi lain, luaran Tridharma juga masih dituntut. Dosen yang notabene garda terdepan Perguruan Tinggi disuruh tertib masuk-keluar. Jika ingin berkegiaran di luar, maka wajib mengurus/mengajukan Surat Tugas (ST) dan Surat Perjalanan Dinas (SPD).

Masalahnya pengurusan ST dan SPD adalah hal yang sangat administratif dan birokratif dan juga kerap berubah-ubah semaunya para pejabat Dekanat. Alurnya seolah sengaja dibuat rumit. Seolah kami ini--para dosen--gemar berdusta soal kegiatan Tridharmanya. Misalnya: kegiatan yang diajukan tidak boleh melebihi bulan di mana kegiatan tersebut dilaksanakan, dengan alasan nomor ST terbatas. Padahal kalau kegiatan dosen ada banyak, fakultas ikut diuntungkan karena pasti remunerasi para pejabatnya bakal ikutan meroket (lucunya/ajaibnya ST seakan-akan turun jauh di tanggal sebelum ST diajukan. Misalnya kami mengajukan kegiatan pengabdian masyarakat pada 10 September, maka nanti ST (paling cepat) baru kami terima pada 20 September namun bertanggal 31 Agustus).

Nah, sambatan ku kali ini berkaitan dengan hal-hal di atas.   

Alkisruh pada pekan keempat Agustus 2023, para dosen PNS di kampus ini mendapat surat teguran tentang alpha/mangkir kerja. Yang mengejutkan beberapa nama bisa dianggap alpha hingga mencapai >100 hari. Para dosen yang disurati diminta mengisi surat pernyataan menerima/tidak menerima temuan ini dan jika menerima maka harus mau diberi sanksi: teguran, pemotongan tunjangan, sampai pemecatan. Untuk mencegah itu terjadi maka dosen-dosen yang disebut namanya harus menyediakan bukti-bukti berupa ST dan SPD di hari-hari ybs. dihitung alpha. Tentu saja ini bikin dosen-dosen satu kampus gerah, heboh, dan panas.  

Daftar nama dosen PNS yang dituduh alpha 

Yang memanggil adalah Satuan Pengawas Internal (SPI) kampus kepada dosen-dosen yang lucunya beberapa nama anggotanya masuk juga di dalam daftar "merah" ini. Di mana awalnya ada temuan dari Irjen mengenai ketidaksinkronan antara ajuan uang mamin ke Pusat dengan rekap kehadiran dosen. Rumornya ajuan mamin dari kampus selalu full 100%, tapi kemudian Irjen mempertanyakan sistem masuk dosen, yang mana lantas ditunjukkanlah peraturan masuk-keluar dua kali pagi-sore, yang ketika ditelusuri ada banyak "kebolongan" pada presensi dosen, yang sebenarnya awalnya sudah dipertanyakan oleh Irjen: "ini dosen-dosen sama sekali tidak pernah ada dinas, kah? kok ajuan mamin selalu penuh?" Dan terjadilah peristiwa pemanggilan terhadap nama-nama dosen sekampus untuk mempersiapkan bukti atau siap menerima sanksi.

Setelah ditelisik lagi. Jumlah alpha bisa sedemikian besar adalah karena: 1) bagian Tata Usaha (TU) di masing-masing fakultas tidak pernah mengoreksi ke-alpha-an dosen menjadi "D" (dinas) ketika dosennya memang sedang berdinas keluar kampus (penelitian atau pengabdian masyarakat). Sementara konyolnya adalah seluruh ST dan SPD yang mengeluarkan ya mana lagi jika bukan TU sendiri. Dan 2) beberapa nama dosen PNS yang dicantumkan di situ dihitung masuk mulai awal Januari 2022 (rekrutan CPNS 2021), di saat sebetulnya TMT (Terhitung Mulai Tanggal) masuknya adalah Maret 2022. Sehingga coba dihitung saja seandainya setiap bulan, mulai Januari-Februari harusnya masuk ya ketemu paling tidak: 40 hari kerja yang konyolnya kan tidak digaji juga. Entah keteledoran dari mana pihak mana data seperti ini bisa luput dari penghitungan.

Yang disayangkan adalah, mengapa data yang masih mentah tersebut dilaporkan begitu saja ke Pusat tanpa dilakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan para dosen yang namanya disebut/dianggap mbalelo? SPI seharusnya menjadi benteng terakhir dari kinerja kampus (terutama dosennya sendiri) di saat pihak Dekanat juga tampak sibuk cuci tangan sendiri dan membela pihak TU yang sangat pasif, tidak ikut membela dosen-dosen yang sudah bekerja demi kocek remunerasi mereka yang besarannya mencapai dua digit itu. Mereka malah asyik menjejalkan peraturan-peraturan PNS serta sanksi-sanksi yang menanti.

Pertanyaannya, mau sampai kapan ini dibiarkan berlangsung?!!


Ideologi Militeristik Bela Negara

Bela Negara sebagai sebuah praktik tidak ada salahnya. Kamu cuma diminta setia pada negaramu. Cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme, dst. Praktik yang pada dasarnya penerapannya bisa sangat beragam. Sebuah kewajiban (yang di dalamnya sebenarnya sekaligus melekat hak warga negara) bagi kita untuk membela negara kita. Tapi mengapa mesti dilekat-lekatkan dengan militer?

Aku, katakanlah semacam penyintas dari diklat bertajuk bela negara. Adakah istilah penyintas barangkali terdengar hiperbolik? Bisa jadi. Bergantung perspektifmu. Biar kusampaikan perspektifku dalam ketikan ini.

Ikut diklat model gini bukan sukarela tentu saja. Melainkan semata karena institusi tempatku macul wakul saat ini memang miliknya pemerintah yang punya sejarah pernah berada di bawah atap Kemenhan. Jadi diklat ini sifatnya wajib bin(ti) harus bagi semua karyawan di sini.

Diklat yang kujalani berusia tepat setahun lalu. Di kala pandemi Covid-19 mulai mereda. Lokasi? Di Pusdiklat di R****n. Seharusnya bukan aku yang dipilih untuk ikut, tapi nasib berkata lain. Seharusnya aku ikut diklat di A** Yogyakarta tapi namaku diselipkan ke sana. Ya sudah mau apa lagi?

Sebetulnya bisa diduga dengan mudah kenapa diklat bela negara seolah mendadak muncul. Karena tidak lain dan tidak bukan berasal dari meningkatnya kecenderungan perilaku ekstrimisme (mungkin menjurus ke terorisme), terutama yang bawa-bawa agama. Dengan kata lain, iya, bisa dimaklumi. Tapi sekalilagi, kenapa kudu banget dilekatkan dengan militer?

Seperti apa sih kemiliteran yang kumaksud?

Pertama, kami kumpul di sebuah kampus yang menjadi tuan rumah di sebuah kota paling besar di negeri ini. Para tentara yang memang kerjanya di Pusdiklat sudah muncul di situ. Mereka 'menuntut' kami untuk memanggil mereka dengan sapaan "Pelatih" bukan "Pak" atau "Bu" tak peduli seberapa tua usia mereka. Dan sebaliknya, kami sebagai peserta dipanggil "Siswa". Kami sebagai peserta tengah "di-nol"kan.

Kedua, kami lantas diberi sebongkah tas ransel kualitas rendah yang di dalamnya berisi kaos-celana olahraga, sepatu olahraga, dan seperangkat seragam PDL "Loreng Nusantara" yang terdiri dari baju atasan, kaos dalam, celana panjang, sabuk (kopel), tempat air (peples), topi, masker, kaos kaki tebal, sepatu tentara, dan tali karet buat menyisipkan celana di kaos kaki. Pakaian yang harus kami pakai selama seminggu dalam semua kegiatan kecuali senam dan outbound. Untungnya ada dua setel baju PDL ini, yang selama mengikuti diklat tidak kucuci sama sekali. 

Ketiga, sesudah pakai perangkat lengkap kami berangkat ke lokasi Pusdiklat dalam iringan belasan bus dikawal mobil patroli tanpa berhenti hingga titik lokasi. Iya, itu baru pertama kali aku merasakan seperti apa rasanya dikawal mobil patroli. Ngerasa spesial? Mungkin. Yang jelas aku yang sipil ini jadi ngerti rasanya diprioritaskan bak iringan kendaran berisi personel militer memotong kemacetan lalu lintas, seolah nyawa dan waktuku jauh lebih berharga dibandingkan mereka yang ada di 'bawah' sana.  

Keempat, sampai di lokasi langsung disuruh baris di lapangan. Membiarkan tas di bus lalu semua peserta diminta beriringan susur hutan karet yang menyelubungi lokasi. Dengan konyolnya tiba-tiba para pelatih meneriaki kami agar kami tiarap dan mencari tempat berlindung di antara semak-semak. Kami harus tiarap karena ada musuh. Musuh yang invisible, sekurangnya imajinatif. What the heck? Kalau ada musuh kenapa mereka (para pelatih ini) masih berdiri. Ikutan tiarap juga dong! Aku malah bawaannya terbahak saja atas kekonyolan ini.

Kelima, untuk tidur, kami ditempatkan di sebuah gedung yang modelnya macam barak tentara dengan dipan-dipan lipat kecilnya. Urusan buang hajat dan kebersihan (mandi) juga mirip. Disekat-sekat dalam bilik mungil. Dengan kata lain, fuck your privacy.

Keenam, kemana-mana kami harus berbaris saling menunggu. Dilatih solidaritas dan kekompakan? Iya, tidak ada salahnya. Namun apa kami sebagai buruh ajar tidak tahu menahu soal ini, apa kami ini kering kerontang jiwa kekompakannya? Yang perlu dipertanyakan di sini adalah penggunaan terma "jiwa korsa" aka. kebersamaan senasib sepenanggungan. Ideologi yang berasal dari militer yang konon berasal dari Julius Caesar dan Napoleon Bonaparte, dua diktator yang memang militeristik. Jiwa korsa ini hampir tidak pernah dipertanyakan motif politiknya dan dampak buruknya ketika diserap secara buta.

Ketujuh, untuk makan yang merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia untuk bisa tetap hidup (artinya hak paling asazi dari manusia), kami masih harus mengikuti tata cara militer. Antri berbaris di depan ruang makan, sikap hormat (entah ke siapa), baris lalu berdiri di depan meja sampai semua pesertanya siap, copot topi, geser kursi, duduk nyantai, duduk siap, berteriak "selamat makan", ditutup dengan "terima kasih". Rentetan ritual yang durasinya bisa setengah jam sendiri. Makannya? Cukup lima menit macam dikejar-kejar iblis. Kamu akan disuruh mendorong (baca:menelan paksa) makanan dalam mulut yang belum dikunyah sempurna dengan air putih. Kenyang gagal, kembung sukses, sakit pun diraih. Iya, cukup tiga hari diperlakukan demikian, aku terkapar merasakan panasnya maag di lambung yang meruap ke dada. Faedahnya? Versi mereka: "yang makannya cepat, maka kerjanya juga cepat". Versiku: makan cepat-cepat menghilangkan kenikmatan dan mendatangkan mudharat. Dan Nabi Muhammad sepakat dengan ini. 

Kedelapan, sejak sebelum berangkat sudah disampaikan adanya kemungkinan hape akan disita. Tapi di detik terakhir ternyata hape boleh dibawa serta. Bahkan dengan sudah diizinkannya membawa hape dan alat komunikasi lain (misalnya laptop), aku (baca: kami) sebagai peserta sudah tidak sempat membuka hape kecuali saat istirahat, selain juga karena sudah ditebar ancaman bahwa kalau ketahuan mainan hape maka hape akan dibanting saat itu juga. Gimana gak khawatir, hape kan vital buat buruh ajar yang gajinya gak seberapa itu. Hape juga masih diperlukan karena secara jadwal yang masih bersamaan dengan berlangsungnya perkuliahan. Jadi kami (sebagian peserta) selaku buruh ajar masih harus nyambi ngajar, ngasih intruksi ke mahasiswa, presensi ngajar yang sifatnya administratif yang semuanya serba online, dst.

Yang mana, membuatku terkejut adalah di sebuah diklat di A** baru-baru ini (Des 2022), hape semua peserta disita. Sekarang kutanya, manusia mana yang hari ini bisa hidup tanpa hape? Bagiku ini adalah bentuk kekerasan. Sebuah perampasan hak asasi manusia modern dari kebebasan menggenggam dan mentransmisikan informasi. Apa sih tujuan dari penyitaan hape ini? Aku seriusan bertanya. Apakah takut kalau ada peserta yang menebarkan kepada publik cara-cara yang mungkin dapat dimaknai sebagai kekerasan selama diklat? Bisa jadi. Lantas, sekarang pertanyaannya. Kok bisa ada yang gak terima dengan cara-cara diklat militeristik? Tidakkah perlu bercermin?

Kesimpulannya?

Tentara sebagai institusi ingin menanamkan superioritas kemiliteran mereka di atas sipil. Ingin diakui, ingin dikagumi, dihormati. Bukan rahasia kalau posisi militer hari ini tidak sehegemonik di zaman Soeharto. Dengan kata lain yang sebenarnya terjadi adalah warga sipil tengah dimiliterkan. Di saat keduanya memang (seharusnya) berbeda. Satunya alat negara, yang satunya lagi unsur dari negara berdaulat yang bisa berfungsi sebagai penyeimbang/pengendali dari jalannya pemerintahan pada sisi lain di atas sebuah kapal yang sama bernama negara.

Aku (baca: kami) ketika itu sebagai peserta diklat tidak lebih dari pura-pura tentara dan tentara pura-pura. Sebagai buruh ajar, aku mempertanyakan sebetulnya diklat ini--dalam bahasa teknis pengajaran--apa sih CPL-nya? Dan apakah CPL itu hanya bisa diraih dengan menerapkan cara-cara militer?

Sekarang balik lagi ke pertanyaan di awal, haruskah bela negara dilekatkan dengan nalar-nalar militeristik? Bahwa kalau kamu dilatih dengan cara militer maka kamu auto-nasionalis, auto-patriotik, auto-bela negara. Apakah pekerjaanku sebagai buruh ajar masih kurang berbela negara? Di bagian mana dari Tridharma PT plus penunjang yang sudah menjadi kewajiban kami yang tidak terlihat bela negaranya? Jika jawabannya iya, maka ideologi militeristik ini tak lain adalah ideologi narsistik.


Catatan Selama Masa Pandemi Coronavirus Maret 2020


Ketika mulai terdengar gaung virus Korona Baru ini di China (atau Tiongkok?) sekira pertengahan Januari 2020 aku tidak pernah menganggapnya betul-betul sebagai ancaman serius. Bahkan tidak di saat WNI dari Wuhan dipulangkan ke Tanah Air pakai pesawat Batik Air. Aku masih nyantai aja. Di saat ada gelombang ke-parno-an orang-orang yang cemas jika harus naik Batik Air. Aku mengentengkan dengan bilang, gak mungkin virus hidup tanpa host di benda mati macam kursi pesawat. Juga di kala orang-orang panik membeli hand sanitizer dan masker dari apotek. Tapi semua berubah sampai ia merebak di Iran, di mana ada video seseorang yang diduga terkena penyakit akibat virus ini (yang kemudian disebut covid-19) terkapar di jalanan umum. Ini serius saudara-saudara!

Gerbang masuk ke kampung rumah kosan yang sudah dipasangi spanduk covid-19

Meski begitu aku cukup kesal dengan kawan satu kantor yang terkesan meremehkannya. Entah dengan niatan bercanda atau tidak (terutama karena dia ini orang yang selalu serius dan sekali bercanda sama sekali jayus). Dia bilang “justru kita harus minta supaya kebagian juga. Kita ini gak boleh terlalu mencintai dunia.”

“Excuse me, but what the fuck?!”

Rasa-rasanya aku pengen gitu menapuk congor belagu bin songongnya itu. Ini gak ada hubungannya dengan cinta dunia atau takut mati. Tapi soal bagaimana cara kamu mati agar tidak ikut bikin susah orang di sekitarmu, Cuk! Kalo kamu mati ya gak apa-apa tapi jangan bikin orang lain susah dan gak usah sok kayak paling gak cinta dunia.

Dan kalo kamu menebak bahwa dia ini termasuk orang kategori gelombang Islamisasi baru. Maka jawabannya adalah IYA. Selain kerap berceramah ke aku soal betapa orang-orang belakangan lebih cinta dunia, dia juga masuk golongan anti-vaksin, tidak percaya pendaratan manusia di bulan, dan mungkin juga percaya bumi datar (yang ini unconfimed).

Lagian aneh, wong punya anak dan istri, kok malah pengen mati. Justru kalo punya anak dan istri ya pengen hidup terus untuk mencukupi kebutuhan mereka, pengen melihat mereka bahagia, pengen lihat anak-anak tumbuh besar lalu menikah. Itu kan namanya gak tanggung jawab, mau lari dari kenyataan biar langsung dapat surga. Hidup ini anugerah yang harus dimanfaatkan untuk beribadah dan satu-satunya cara beribadah (ibadah sendiri ada pelbagai jenis) adalah dengan tetap hidup. Jadi yang kalo pengen tetap hidup tidak lantas sama dengan takut mati dan cinta dunia. Heran deh, suka kesel sama orang yang membelah dunia dan akhirat seolah keduanya adalah hal yang terpisah jauh dan gak ada hubungannya.

Ahh sudahlah, kembali ke Novel Coronavirus alias SARS-CoV-2. Sejak diumumkan kasus positif pertama di indonesia awal Maret 2020, jumlahnya terus menanjak. Dalam sebulan sudah langsung 1200-an orang. Dan awal April sudah tembus 2000 orang dengan 190 orang meninggal. Dampaknya perkuliahan di kampus tempat aku mengajar di Bojonegoro jadi ikutan tersendat tanpa kejelasan. Tatap muka ditiadakan, tugas dan kuliah diberikan via online.

Kegiatan orang-orang yang masih rajin ke kampus: mengecat

Kuliah online juga tidak mudah. Mahasiswa terkendala paket data yang tidak bisa dibilang murah apalagi kalo dipaksain kuliah via video conference (misalnya pake zoom.us). Mereka ini aja sudah kesulitan membayar SPP, makanya menurutku gak bijak jika diwajibkan. Akibatnya hingga aku mengetik tulisan ini, kuliah lewat konferensi video baru kulakukan sekali, itupun hanya 3 orang mahasiswa yang bisa berpartisipasi. Sehingga kuliah aku berikan via grup WA dan Google Classroom.

Media sosial (terutama grup WA) pun juga media massa arus utama (terutama Detik dan Tirto) turut berperan memperburuk peredaran informasi soal Covid-19. Masing-masing kayak ngerasa paling penting dan benar. Mengomentari sikap politisi, rame mendorong lockdown kayak ngerti konsekuensinya terhadap perekonomian. Belum lockdown aja sudah payah seperti ini situasinya. Setiap kampung (termasuk dusunku di Jogja) berupaya mengisolasi diri, bikin portal, bikin spanduk lockdown, cermin dari kecemasan buah dari buramnya informasi, informasi yang saling bertabrakan dan bersilangan.
Suasana depan dusun Bulus Lor saat "lockdown"

Soal masker
yang awalnya beredar bahwa“Yang pake masker hanya yang sakit dan hanya tenaga medis.” Btw, sekarang disebut nakes, singkatan tenaga kesehatan. Tapi kemudian beredar informasi resmi dari CDC (badan pencegah penyebaran penyakit-nya Amerika Serikat) yang merekomendasikan supaya orang yang terlihat sehat juga perlu pakai masker karena orang yang sudah terkena coronavirus ini tidak menunjukkan gejala.

Selanjutnya soal coronavirus yang tidak tahan cuaca panas, sehingga orang disarankan berjemur minimal 10 menit di atas jam 10 pagi sampai jam 3 sore. Informasi yang terlanjur dipercaya oleh masyarakat, pemilik warung langgangan jadi ikutan sering jemur kasur. Informasi ini disebar oleh media massa besar (Kedaulatan Rakyat) tapi lalu dibantah oleh Detik, yang bilang bahwa belum tentu virus mati karena cuaca panas. Kita belum tahu apa-apa soal coronavirus ini. Ah shit.

Suasana ketika ada penyemprotan karbol di kampus

Soal jelang bulan puasa dan Lebaran juga tak jauh dari runyam. Kereta Api Indonesia membatalkan jadwal perjalanan dari kota-kota besar, Jakarta dan Surabaya ke arah Jogja dan Solo. Tapi kemudian pemerintah bilang tidak akan melarang warganya mudik ke kampung halaman, asal tetap isolasi mandiri 14 hari, tapi tetap menyarankan supaya orang tidak mudik, tapi ya itu tadi, gak akan dilarang. Membingungkan? Sebetulnya tidak karena yang dilakukan pemerintah macam reverse psychology. Silakan pulang, tapi gak ada kendaraan favoritmu (yaitu kereta), dan kamu harus mengurung diri begitu sampai sana. Sucks!

Sholat Jumat mulai ditiadakan di masjid “resmi” Muhammadiyah di Bojonegoro. Tapi toh tetap ada sholat fardhu berjamaah, jadi sebenarnya sama aja. Mbok sekalian jumatan, dhuhurnya juga gak dikasih jarak antar jamaah. Di Kabupaten Bojonegoro sendiri memang jumlah pasien positif Covid-19 sementara ini (semoga seterusnya) masih 0 (nol). Ada yang meninggal sih tapi statusnya masih PDP, ODP-nya ada tapi gak banyak. Mereka adalah orang-orang yang baru datang dari Bali, entah berwisata atau kerja.
Nah, kalo ini adalah analisis yang melampaui kenyataan dari seseorang yang kukurimi foto makan malamku. Aslinya itu bukan oseng tempe tapi keong, itu bukan sayap goreng tapi tempe goreng.

Aku juga mulai kesulitan cari makanan. Warung makan favorit ikutan tutup. Sebagai seorang perantau yang masih ngekos ini cukup merepotkan. Yang ada hanya warung langganan dekat kos yang menunya seadanya banget, manut si ibunya masak apa ya itu menunya. Untung aku juga orangnya gak rewel soal makanan, adanya apa ya itu yang kumakan. Mungkin ini salah satu keunggulanku kalo mau survive melewati pandemi coronavirus ini.

Ya Allah aku mohon agar pandemi ini segera berakhir.


Jadi Saksi Persidangan Cerai


Mungkin akibat menonton serunya sidang sengketa Pilpres 2019 dan sidang kopi sianida Mirna-Jessica (2016) yang sama-sama ditayangkan di tv aku membayangkan kalau jadi saksi sidang cerai juga akan rumit, berbelit, dan makan waktu. Tapi ternyata prosesnya ringkas dan singkat.

Iya, aku diminta jadi saksi sidang gugatan cerai yang dilayangkan kerabat dekatku atas istrinya yang dinikahinya belum ada 2 tahun ini. Ironisnya tak lain aku sendiri adalah saksi mereka saat akad nikah. Dulu aku bilang, “sah!” sekarang bilang, “Pak hakim, mereka sudah tidak lagi satu rumah.”

Dari segi ruangan, ruang sidang ini jauh lebih kecil, tentu jika dibandingkan dengan ruang sidang pada umumnya, apalagi dibandingkan kasus yang kusebut di atas. Kursi yang disediakan untuk pihak berperkara hanya ada 6 buah, 2 di antaranya ditata di depan panggung para hakim.

Di atas panggung yang lebih tinggi beberapa centimeter dari lantai, meja warna coklat gelap nyaris memenuhi lebar ruang, menyisakan sedikit celah sekira 10 cm saja. Di baliknya duduk para hakim anggota dan seorang hakim ketua, juga panitera dengan komputernya.

Di belakang para hakim cuma ada satu daun pintu, satu-satunya akses mereka keluar-masuk ruang sidang. Patung Garuda Pancasila menjadi satu-satunya hiasan dinding, bertengger tanpa diapit foto pres/wapres.

Setelah diambil sumpah, seorang hakim anggota bertanya kepada kami, para saksi. Dengan kacamata bersarang pada dahinya dia memulai bertanya kepada Saksi #1 tentang mengapa kerabat dekatku ini menggugat cerai isterinya dan kronologi peristiwa-peristiwa yang berujung pada gugatan, lalu kemudian kepadaku (saksi #2). Jujur saja aku merasa tidak banyak berguna karena hanya mengafirmasi dan mengonfirmasi keterangan Saksi #1, pertanyaannya juga hanya “apa benar begitu?” Iya benar, Pak, jawabku.

Ketika dirasa sudah cukup, hakim ketua yang kelihatan letih bertanya kepada kami selaku saksi, “sudah cukup?” cukup Pak.

Sesudah itu para saksi diminta keluar dari ruangan, menyisakan kerabatku itu. Kira-kira sepuluh menit dia sudah keluar ruang dan bilang bahwa proses cerai sudah beres, dalam sebulan surat-surat juga akan kelar.

Heran juga, hari itu orang yang mengurus perceraian cukup banyak, dari pagi jam 9 hingga melebihi waktu dhuhur sudah ada lebih 15 kasus ditangani. Jika ini bukan bukti bahwa pernikahan itu bukan jaminan orang bakal hidup berbahagia apa lagi? Kurasa juga karena banyaknya orang yang sudah gak betah hidup bersama orang yang dinikahinya ini proses sidang cerai berlangsung cepat.

Hebatnya masih banyak yang meyakini pernikahan layaknya gerbang memasuki hidup berbahagia. Si kerabat dekatku ini juga berpikir begitu, orang tuanya juga begitu.

Yang penting nikah dulu, entar pasti (insya Allah) bahagia. Padahal menikah itu menyatukan bukan saja dua kepala dan hati tapi juga seluruh anggota keluarga yang dinikahi. Pernikahan tidak pernah mudah, tidak berhenti di resepsi dan foto-foto. Melainkan terus menemukan lalu sanggup menerima perbedaan-perbedaan. Kalau tidak siap dan terlalu mengidealkan pernikahan sebagai tujuan akhir hidup ya gitu deh, berakhir di pengadilan agama.


Sebelum Iblis Menjemput Versi Ringkas

Di sebuah villa kuno RAY SAHETAPY duduk tepekur merenungkan nasibnya. Keuangannya tengah seret. Tapi itu tidak menghalanginya menampilkan kedalaman emosi hanya lewat ekspresi wajah minim dialog. Mungkin dia sedang galau mengapa sepanjang sisa durasi dia hanya boleh berakting tidur oleh SUTRADARA TIMO TJAHJANTO.

Tiba-tiba speaker bioskop digedor oleh Sutradara Timo.

Ray bangkit, buru-buru membukakan pintu. Dia terkesiap, penonton apalagi. Kita melihat “Si Ibu Pengabdi Setan KW3” berdiri di ambang pintu.

Ray Sahetapy : “Ib..Ibu? ….Ibu sudah bisa..”

Ibu Pengabdi Setan KW3: “Shhh…, saya bukan Ibu… panggil saja saya MAWARNI.

Mawarni masuk ke villa, mondar-mandir sebentar sebelum turun ruang bawah tanah.

Ray Sahetapy: “Ah ya, tentu saja. Tidak pernah ada sebelumnya film horor yang menampilkan ruang bawah tanah…”

Mawarni kemudian menaburkan serbuk kapur di lantai untuk menggambar…seperti sudah kamu duga, PENTAGRAM!, sambil merapal mantra yang didapat secara random oleh Sutradara Timo dari kamus bahasa latin koleksinya.

Lalu Iblis pun muncul atau…merasuk ke dalam Mawarni atau Iblis yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mawarni melayang satu meter dari lantai. Sejurus kemudian ribuan lembar seratus ribuan lawas berterbangan. Ray kelimpungan memungutinya.

Mawarni: “Ray Sahetapy, kamu bisa kayAAA rayAAA… tapi kamu harus menyediakan tumbAAAALLL.” (membuka mulut selebar kepala bayi).

Ray Sahetapy : “AstagAAA, mulutmu lebar betul.” 

Mawarni: “Ini belum seberapAAAAA… nanti kamu akan lihat lebih banyak mulut mengangAAAAA…HA HAHAHAAA…” (tertawa jahat tipikal antagonis).

gambar ini mungkin lebih menghantuimu daripada filmnya


Bertahun-tahun-tahun berikutnya. Ray Sahetapy menjadi pengusaha sukses dan tajir berat, dia menikah lagi dengan seorang artis bernama Karina Suwandi dan bercerai dari istri pertamanya, tapi kemudian jatuh bangkrut dan menderita sakit misterius. Kita tahu ini semua dari eksposisi berupa montase KLIPING KORAN. Ingat ya. Ini akan jadi poin penting.

CHELSEA ISLAN putri pertama Ray dari istri pertama datang ke rumah sakit menjenguk ayahnya yang terbaring koma di bangsal kelas 3.

Chelsea Islan: (berbisik) “Pak, Bapak sakit apa sih? Itu bentol-bentol di kulit kok kayak dibuat dari tepung kanji dan sagu mutiara?”

Tiba-tiba KARINA SUWANDI yang kita kenal lewat sinetron (komedi?) Warkop DKI 1990-an menendang pintu tanpa bisa menyembunyikan raut tipikal antagonis yang menunjukkan bahwa dia… adalah si antagonis?

Karina Suwandi: “Cih! Chelsea, kenapa juga namamu Chelsea? Itu kan nama klub bola.” (mendelik lalu meludahi seorang suster).

PEVITA PEARCE:“Iya, ngapain kamu di sini? Cuh!” (mengetapel cecak di dinding dengan karet gelang lalu menindihnya dengan kaki meja).

SAMO RAFAEL: “Mama udah deh, kamu juga Pev. Kita semua kan bersaudara. Ya kan? …Aku ini anaknya Ray Sahetapy juga kan? Haah?” (garuk-garuk kepala).

Pevita Pearce: “Eniwei, Chelsea. Biaya perawatan bapakmu ini tinggi sekali. Jadi kami mau menjual villa kuno yang sertifikatnya masih atas namamu.”

Chelsea Islan: “Kalau itu tidak cukup menunjukkan bahwa kalian orang jahatnya entah apa lagi.”

Malamnya, Chelsea Islan mimpi bertemu Ibu Mawarni (masih ingat kan?). Saat dia bangun dari mimpi buruk, di luar dugaan Ray Sahetapy jump scare dari komanya lalu MEMUNTAHKAN DARAH karena…ini filmnya Timo dan kita belum melihat darah dari tadi. Sutradara Timo pun memukul-mukul panci masak dengan gembira sembari bersembunyi di kolong dipan rumah sakit.



Besoknya Chelsea Islan memutuskan untuk mendatangi villa kuno nan angker, tempat yang sering dikunjungi Ray Sahetapy sebelum jatuh sakit. Karena… formula film horor memang mengharuskan begitu jadi kenapa tidak?

Maka berangkatlah dia menumpangi bus sejauh 66 km, ojek 6,6 km, dan berjalan kaki menembus hutan sejauh 6 km. Sorenya Chelsea sampai juga di villa bernomor 666.

Chelsea masuk lalu menekan saklar, dan LAMPU PUN MENYALA. Sungguh kebetulan! Villa yang sudah lama terbengkalai masih dialiri listrik! Mari berharap listrik ini akan berguna terhadap plot cerita. Bukan sekedar trik menakut-nakuti lewat ajep-ajep lampu nantinya…

Tiba-tiba Karina Suwandi dan anak-anaknya mendobrak pintu depan villa.

Karina Suwandi: “Ada Chelsea di sini rupanya.” (menyeringai dengan sudut mulut nyaris mencapai telinga). “Saya harap kamu tidak keberatan, kami mau…enggg…menginventarisir benda-benda yang ada di sini…demi biaya perawatan bapakmu.” (menangkapi lalat lalu menusukinya dengan jarum pentul).

Chelsea Islan: “Gak usah keliatan banget jahatnya napa sih? Ini tuh film, bukan sinetron. Dasar artis gadungan!”

Merasa disindir Karina Suwandi bangkit lalu MENGGAMPAR PIPI Chelsea. Chelsea sesenggukan menghambur ke bekas kamarnya yang anehnya perabotnya masih utuh setelah sekian tahun. Dia tengkurap di kasur bak remaja tengah putus cinta.

Samo Rafael kemudian mendatangi kamar Chelsea, membawakan dua tangkup sandwich.

Samo Rafael: “Maafin mamaku ya. Nih, makan dulu. Bisa jadi ini satu-satunya yang kita makan untuk 3 HARI KE DEPAN.”

Serius. Mereka cuma makan ini buat 3 hari(!)


Chelsea Islan: (mengambil sandwich dan mulai makan) “Jadi kamu love interestku?”

Samo Rafael: “Hei, kita ini saudara satu bapak! Gimana sih?”

Chelsea Islan : “Oh, shit.” (tepok jidat) “Kenapa tidak dijelaskan?”

Samo Rafael: “Kamu kan perempuan, harusnya pandai membaca kode.”

Chelsea Islan: “Omong-omong soal kode, tadi di lantai 2 aku lihat ceceran darah, kepala kambing terpenggal, dan sobekan kulit dan daging. Entah itu penting atau tidak…”

typical reference to demonic activity

Samo Rafael: “OOHHH… BIASA ITU. Kan sekarang masa-masa Hari Raya Korban…baidewey, tadi mama nyuruh aku MEMBONGKAR PINTU ke RUANG BAWAH TANAH yang  pintunya dibeton, disegel, digerendel, digembok, dan ditempeli jimat yang biasa untuk membekukan vampir di film-film hongkong 80-an…”

jimat sakti anti vampir...eh iblis

Chelsea Islan: “Hmm…biasanya karakter idiot dalam film horor sih matinya cepet…”

Samo Rafael: “Bicara soal idiot, bapak kita lebih idiot. Dia main pesugihan dengan iblis.”

Chelsea Islan: “Tapi bapak masih hidup, biarpun dia sempat muntah darah sampai 3 galon.”

Mawarni: “Haha, TIDAK LAGI! Kalian telah membebaskan aku dari ruang bawah tanah dan baru saja aku pergi ke rumah sakit untuk menggorok leher Ray lalu balik lagi ke sini. MATI KALIAN SEMUA!”

Mawarni menarik Karina Suwandi masuk ke ruang bawah tanah. Sutradara Timo menggebrak-gebrak meja dan lantai. Situasi kalang kabut tak karuan. Karina berusaha berpegangan pada gawangan pintu, tapi Timo memutuskan menyulap jemari Karina menjadi bubur kertas, darah pun menyembur. Samo, Chelsea, dan oh, Pevita berusaha menolong tapi sia-sia. Karina pun berubah menjadi…ZOMBIE!

ZOMBIE KARINA menerjang mereka semua dengan ganas. Karena sudah belajar bagaimana membasmi zombie dari puluhan film Hollywood, Chelsea MENGHAJAR JIDAT Zombie Karina dengan sebongkah MARTIL dan seharusnya meninggalkan trauma di mata anak-anak Karina tapi nyatanya tidak. Zombie Karina lalu kabur dari villa setelah menggigit tangan Pevita Pearce.

Pevita Pearce: “Oh, tidak. Aku terinfeksi virus zombie. Cepat tembak kepalaku!”

Samo Rafael: “Tenang Pev, Mama bukan zombie. Itu cuma obsesi gak kesampaian Sutradara Timo yang gagal terus bikin film zombie.”

Chelsea Islan: “Di sini gak ada obat-obatan. Tapi 60 km dari sini ada rumah penduduk. Biar aku antar Pevita ke sana, sekarang juga, malam-malam begini, di tengah badai hujan, tanpa payung dan mantol. Kita gak bisa pakai mobil kalian karena mesinnya dirusak Zombie Karina, jadi kita jalan kaki.”

Samo Rafael: “Ide bagus! Biar aku duduk manis di sini nunggu di villa.”

Pevita Pearce: “Kamu gak cuma nunggu di villa, kamu nemenin adik kecil kita.”

Hadijah Shahab: “ehm ehm”

Samo Rafael: “Oh shit, kita masih punya adik lagi?”

Chelsea Islan: “Keluarga besar yang aneh.”



Berbekal sebilah senter dan sebongkah martil, Chelsea dan Pevita meninggalkan villa, namun belum berapa jauh Zombie Karina berkelebat. Mereka, tidak seperti karakter dalam cerita horor pada umumnya, memutuskan ini saat yang tepat untuk BERPENCAR!

Entah bagaimana Pevita merasa itu adalah saat yang tepat untuk membongkar isi tas Chelsea yang berisi… ALBUM KLIPING KORAN tentang keluarga mereka. Ingat montase kliping koran di awal? Pembuatnya ternyata adalah Si Chelsea. Ini membuat Pevita marah dan curiga atas motivasi Chelsea sebenarnya.

Pevita Pearce: “Jadi selama ini kamu memata-matai kami!?”

Chelsea Islan: “Bukan…, itu cuma…Pe’er-ku waktu masih SD.”

Pevita melesat ke tengah hutan. Bukannya memberitahu kedua adiknya yang ada di villa soal album kliping korannya Chelsea…dia ingin menyampaikan ini lebih dulu kepada ibunya yang…sudah berubah jadi zombie (hah?). Dia diterkam oleh Zombie Karina.

Zombie Karina: “ACCCKKKK….!!!!”

Pevita Pearce: “MamAAA…ini aku MAAA!”

Zombie Karina: “ACCCKKKK….!!!!”

Pevita Pearce: “Well, Shit”

Pevita terpaksa mengayunkan martil berkali-kali ke apalagi jika bukan jidat lebar Zombie Karina. Darah muncrat-muncrat dan Sutradara Timo dengan sengaja mengulurkan wajahnya agar kecipratan darahnya Zombie Karina.

Zombie Karina: “Kenapa pula Sutradara Timo seperti membenci jidatku…ACCKK?”

Zombie Karina pun tutup usia dengan laknatnya seperti dia menutup mulutnya, namun tiba-tiba Mawarni muncul di hadapan Pevita.

Mawarni: “PevitAAA…jadilAAAHH…budaaAAAKKUU…”

Pevita Pearce: “Oke, tapi aku tidak mau kalau disuruh mangap mangap.”

Mawarni: “Tidak bisAAAA harus mangAAAPPP…”

Pevita Pearce: “Oh, baikLAAAAHHH…” (membuka mulut selebarnya)



Sementara itu Chelsea kembali ke dalam villa.

Chelsea Islan: “Samo, Si Pevita lari ke hutan setelah melihat album kliping koranku ini.”

Samo Rafael: “Oh…OKE.”

Chelsea Islan: “Kamu gak marah dan takut?”

Samo Rafael: “Enggak, tadi aku ngeliat kepala mamaku dibacok pake martil, santai aja.”

Hadijah Shahab: “Tadi aku tidur sendirian dan diganggu sama jump scare Mawarni.” (dicuekin keduanya)

Chelsea Islan: “Sekarang apa yang kita lakukan?”

Samo Rafael: “Kita tunggu sampai pagi.”

Pagi pun datang.

Chelsea Islan: “Sekarang apa yang kita lakukan?”

Samo Rafael: “Kita tunggu sampai malam.”

Malam pun datang.

tunggulah...lumayan buat manjangin durasi

Chelsea Islan: “Sekarang apa yang kita lakukan?”

Samo Rafael: “Kita tunggu sampai…plotnya jalan.”

Pevita Pearce: “KejutaAAAANN.” (tiba-tiba muncul dari sudut kamera)

Chelsea Islan: “Jelas kejutan karena kamu butuh sehari semalam cuma untuk balik ke sini.”

Pevita Pearce: “Diam, aku adalah abdinya Mawarni. Aku punya boneka voodoo yang mewakili kalian semua.” (mengeluarkan boneka voodoo yang bentuknya mirip Samo Rafael)

Pevita kemudian menarik kepala boneka Samo hingga putus.

Samo Rafael: “Ohh, tidak tidak. Aku adalah satu-satunya laki-laki tersisa di film in…” (lehernya tercabut dari pundak!).

Sembilan galon darah kehitaman mengocor dari leher Samo.

Sutradara Timo: “Sorry, warna darahnya agak gelap. Sisa dari film Headshot belum habis. Hahaha.”

Pevita Pearce: “Sekarang giliranmu Chelsea, tapi…tidak secepat itu. Aku akan menyiksamu lebih dulu, dimulai dari memuntir kakimu pelan-pelan.” (memelintir kaki boneka voodoo  Chelsea ke arah belakang).

Kaki Chelsea Islan-pun terpelintir ke belakang. Sehingga dia jadi cacat permanen.

Pecita Pearce: “Hmm, apalagi ya? Oh iya! Kita lanjutkan dengan ngobrol dari jarak dekat, supaya kamu dapat kesempatan mencuri boneka voodoo yang mewakili diriku yang kubawa-bawa ini, bukannya ku amankan di suatu tempat. Ayo silakan ambil.”

Chelsea Islan: “Makasih Lol!” (merenggut boneka voodoonya Pevita dan langsung memelintir lehernya)

Pevita Pierced: “Ah iya, karakter idiot bakal cepet mat…” (tewas dengan leher patah)

Chelsea Islan merangkak meraih boneka voodoonya. Dia memuntir balik kaki boneka voodoonya yang sebelumnya patah sehingga sekarang kakinya baik-baik saja, karena begitulah cara kerja tubuh manusia.

Chelsea tersenyum lega tapi, sudah berakhirkah film ini? BELUM! Mawarni muncul di depannya.

Mawarni: “HAHAHA, masih ada aku!!!”

Chelsea Islan: “Astaga kamu lagi?”

Mawarni: “Apa kamu tidak baca review film ini yang bilang bahwa teror terjadi tanpa jeda? Matilah kau!”

Tanah yang dipijak Chelsea runtuh membentuk liang lahat, menguburnya hidup-hidup. Namun Chelsea lantas meloncat ke MESIN WAKTU menuju ke MASA LALU dan melihat penjelasan yang sesungguhnya atas segala jump scare non sense yang menerpa penonton sejak permulaan.

Kita kembali ke adegan di kala Ray Sahetapy memunguti uang pesugihan pemberian Mawarni.
Mawarni: “Ingat Ray, kalau mau kaya sediakan tumbal…yaitu orang terdekatmu!”

Ray Sahetapy: “Orang TERDEKATKU saat ini adalah KAMU. Kalau begitu kamulah tumbalnya!!!” (Ray mengayunkan sekop ke kepala Mawarni, Mawarni ambruk) “Weh, semudah itu ternyata mengalahkan utusan iblis.”

Mawarni tewas, namun dia sempat menjatuhkan kutukan kematian kepada Ray Sahetapy dan keluarganya dengan memakan sejumput RAMBUT RAY. Ray kemudian mengubur Mawarni di ruang bahwa tanah lalu menyegel pintunya. Chelsea lalu meloncat kembali ke masa kini.

Chelsea Islan: “Apa penonton tidak akan diberi penjelasan, apa yang barusan kualami tadi? Apa aku punya kekuatan super yang bisa melihat masa lalu. Enggak?”

Sutradara Timo: “Lakukan saja apa yang ada di skrip.” (menuding sekop)

Chelsea kemudian menggali tanah di ruang bawah tanah dan menemukan mayat Mawarni. Dia merobek leher mayat itu, menemukan rambut Ray yang membawa kutukan, dan secara intuitif membakarnya, seolah tahu bahwa begitulah cara membatalkan kutukan. Secara mengejutkan cara ini berhasil. Mawarni pun lenyap.

Chelsea dengan sok tertatih keluar dari ruang bawah tanah. Hadijah Shahab menyambutnya.

Chelsea Islan: “Loh, kamu masih hidup. Dari mana aja tadi?”

Hadijah Shahab: …

Chelsea Islan: “Kamu yakin mau pergi bareng orang yang membelah kepala ibumu dan sudah membunuh kakakmu, saudara tiriku sendiri?”

Hadijah Shahab: (angkat bahu seolah mengatakan “whatever”)

Chelsea Islan: (angkat bahu juga tanda minta pendapat penonton)

Matahari bersinar, mereka berdua keluar dari villa. Lampu bioskop menyala, penonton keluar dari teater…sambil berusaha mengingat-ingat kira-kira apa yang layak diingat dari film ini? Apa ya? (hmm…mikir).

Zaappp, pindah tempat dalam sekejab ke masa lalu dan meminta diri sendiri supaya tidak nonton ini film.


Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon Versi Ringkas

Suatu hari Kapten Rio Dewanto berpamitan kepada keluarga Jenderal Purn. Deddy Nagabonar Mizwar, bapaknya Revalina S. Temat sang tunangan untuk berangkat ke Libanon sebagai komandan Pasukan Garuda demi menjalankan misi perdamaian. Catat ya! Misi perdamaian. Dan yang dimaksud misi perdamaian adalah sesuai dengan apa arti kata “damai” secara harfiah: tidak banyak yang terjadi, kecuali… “Awas, ada roket diluncurkan, sembunyi di bunker! Karena pasukan perdamaian artinya kita tidak boleh ikut campur, …tapi toh kita hadir di sana!

Kapten Rio Dewanto: “Apa kita tak ingin menjelaskan kepada penonton, ada situasi apa di Libanon, mana lawan mana, atau setidaknya ini tahun berapa.”

Deddy Mizwar (dengan logat Nagabonar): “Sebagai prajurit yang perlu kamu ketahui hanya menjalankan perintah tanpa bertanya. Dan yang benar Lebanon pake E, bukan Libanon. Lebanon terdengar lebih keren.”

Kapten Rio Dewanto: “Siap, salah, Ndan!”

Revalina S. Temat: “Ini tahun 2016, Mas Rio, seperti nanti ditunjukkan anggota pasukan Garuda yang pada video call via Wassap.”

Kapten Rio Dewanto: “…Kita tunda menikahnya nanti setelah saya pulang dari Lebanon …untuk menjaga perdamaian. Ya?”

Revalina S. Temat: “Iya Mas, sebagai dokter spesialis saya toh juga sibuk. Pastinya akan muncul subplot menarik melibatkan karir saya di cerita ini kan?”
(Sayangnya itu tidak terjadi)

Setelah adegan berpisah-pisahan di Bandara, Pasukan Garuda sampai juga di Lebanon. Mereka tak menghabiskan banyak waktu untuk memulai misi perdamaian tahap I: Berpatroli.

Komandan: “Ingat Rio, kita ini penjaga perdamaian, tidak boleh terlibat jauh dengan konflik. Ajak anak buahmu berpatroli sekarang.”

Boris Bokir (dengan steriotip Batak): “Bah, aku ini comic relief-nya film ini. Aku siap menggempur musuh, itupun kalau kita punya musuh… kita punya musuh kan?”

Yama Carlos: “dan saya…” (tenggelam dan terlupakan)

Berkendara dalam panser putih, belum apa-apa mereka berada di tengah tembak-menembak yang melibatkan empat vs lima orang, asap, api, roket, senapan Ak47, pasir gurun, dan… oh helikopter!

Kapten Rio Dewanto: “Mundur! Mundur! Kita tak boleh terlibat!”

Boris (dengan steriotip Batak): “Bah, kenapa kita mesti mundur, Kapten?”

Kapten Rio Dewanto: “CGI-nya kw 5, kita mundur atau mata kita akan sakit!”

Semua anggota pasukan pun berlindung di dalam bunker demi keselamatan. Sesudah pertempuran reda mereka baru keluar. Kemudian masuk lagi ketika ada bentrokan lain. Lalu keluar lagi jika sudah kelar. Dan begitu seterusnya.

Berhubung durasi masih dirasa kurang lama, cerita kemudian disusupi dua adegan paling cringeworthy tak terlupakan. Yang pertama Pasukan Garuda memberi kado kue ulang tahun entah kepada Komandan pasukan Lebanon atau kepada militer Lebanon, tidak jelas juga maunya apa. Tapi yang jelas kita jadi tahu Pasukan Garuda berlimpah-limpah waktu untuk sempat bikin kue dan ternyata pasukan Lebanon jarang makan kue. Hore!

Yang kedua, Kapten Rio dan aktor lain yang cukup penting (karena punya dialog dan masuk kredit) berhasil menemukan sebutir lampu natal berkelap-kelip di sebatang pohon yang bukan pohon natal, oleh karenanya layak dianggap mencurigakan (?). Temuan ini entah bagaimana katanya sangat dihargai oleh PBB sehingga harkat pasukan asal Indonesia melejit pesat di mata dunia. Sungguh!

Misi perdamaian di Lebanon tahap II dilaksanakan: Berkunjung ke sebuah sekolah. Di sana Kapten Rio Dewanto bertemu dengan janda anak satu berbodi semlohai bernama Rania.

Kapten Rio Dewanto: “Salam aleykum, ana Ismi Kapten Rio.”

Rania: “Saya bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar, Kapten Rio.”

Kapten Rio Dewanto (tersentak): “Bagaimana bisa?!”

Rania: “Karena ini film Indonesia maka kamu tidak perlu kaget, dan kamu adalah prajurit, jangan banyak bertanya.”

Kapten Rio Dewanto (melihat seorang anak perempuan emo minus dandanan emo duduk di sudut ruang): “Iiih, anak sapa tuh, lutuna…”

Rania (dengan ekspresi sedih): “Itu anak saya, Kapten. Namanya Salma, dia mengalami trauma...” Rania kemudian menerawang keluar jendela. Lalu ditayangkanlah Flashback yang terdiri dari ledakan bom CGI murahan, debu bertebaran, latar tempat yang ke-Arab-araban, dan seciprat darah yang telah membunuh suaminya, ayah Salma.

Kapten Rio Dewanto (dengan voice over suara hati macam sinetron gitu): “Sebagai prajurit penjaga perdamaian, aku berkewajiban mendamaikan hati anak ini, ehm… dan ibunya juga.”

Lalu tidak banyak hal lain yang terjadi, selain mereka sering ketemu, ngobrolin ini itu, ngobrolin Kahlil Gibran (serius!), jalan-jalan, bergandengan tangan, makan bareng. Pendeknya ini hanyalah adegan orang pacaran hanya saja latarnya di Lebanon. Montase bagaimana mereka berduaan atau bertigaan (dengan Salma) tersaji di layar bioskop selama tigaperempat durasi. Hingga tiba masanya Pasukan Garuda pulang kandang.

Kapten Rio Dewanto: “Rania, Salma, saya akan pulang ke Indonesia. Saya punya Revalina untuk dinikahi. Sampai jumpa.”

Rania dan Salma berpelukan bertangisan. Adegan ini cukup menrenyuhkan hati andai saja Boris Bokir tidak membikin penonton tertawa.

Sementara itu di Indonesia Revalina dikenalkan oleh orangtuanya dengan Baim Wong yang adalah seorang pengusaha.

Deddy Mizwar (dengan logat Pak Haji): “Jadi, kamu pengusaha apa Anak Muda?”

Baim Wong: “Saya sedang mengusahakan supaya penonton sebal sama saya, Pak.” Baim beralih ke Revalina, “Saya dengar dari sutradara kamu dokter spesialis?”

Revalina S. Temat: “Saya dokter spesialis gadungan kandungan.”

Baim Wong (bersenyum pleboi): “Tahukah kau, aku mengandung cinta untukmu.”

Revalina S. Temat jengah, dia memalingkan muka tapi menoleh kembali setelah Baim melahirkan dua buah mobil dan sebongkah apartemen ke hadapannya. Mata mereka bertumbukan memancarkan binar-binar asmara. Begitulah, kawan. Agar tidak gagal dalam percintaan, cobalah beri pasanganmu mobil dan atau apartemen seperti dibuktikan oleh film ini. Rencana pernikahan Baim dan Revalina pun langsung dibicarakan.

Tepat pada saat itulah, Kapten Rio Dewanto datang bermaksud untuk melamar Revalina. Dia hanya ditemui Jend. Purn. Deddy Mizwar di tepian pinggiran teras rumah.

Deddy Mizwar (dengan logat Nagabonar): “Sebagai prajurit, perjalananmu masih panjang. Kamu mungkin tidak bisa bersanding dengan anak saya, Revalina. Tapi kamu masih bisa jadi mayor lalu mengundurkan diri mencoba peruntungan maju sebagai gubernur di pilkada, yang mana itulah yang saya lakukan.”


Bahasa ngode a la militer dipahami dengan baik oleh Kapten Rio. Dia berjalan gontai ke arah matahari terbenam, hujan turun dengan deras, air mata merendam hatinya yang pilu. Tepat sebelum The End judul film pun muncul, kali ini sudah berganti menjadi, Pasukan Garuda: I Wound My Heart in Indonesia.

Film Headshot (review)

Pada sebuah penjara kumuh nan temaram mendekamlah di salah satu biliknya penjahat super sadis bernama Sunny Pang. Kita semua langsung tahu dia bejat karena duo sutradara Mo Bros berkeras agar Sunny Pang memajang tampang licik sepanjang durasi lengkap dengan lensa kontak merah di mata kiri, dan dia pun dipanggil dengan nama yang amat tipikal: siapa lagi kalau bukan, Lee… karena dia berasal dari Cina (kan?) jadi itu adalah satu-satunya nama yang masuk akal.

Apapun itu, Sunny alias Lee meloloskan diri setelah segerombolan penjahat yang bisa keluar dari sel adu tembak secara terbuka dengan satu peleton penjaga penjara yang entah bagaimana melupakan pelatihan menghadapi situasi krisis semacam ini. Mo Bros yang dari tadi sudah gatal ingin mengejutkan penonton kemudian menyemburkan dua puluh liter darah ke segala penjuru.


title sequence

Segera begitu lepas dari penjara, untuk membangun betapa kejinya Sunny Pang, ditemani oleh Julie Estelle, dia menembaki, menusuki, membacoki, lalu cuci muka dengan darah anggota geng yang menjadi distributor barang-barang haramnya, karena bersembunyi bukanlah konsep yang dipahami dengan baik oleh buronan penjara macam Sunny.

“Haah, sebagai seorang penyelundup aku masih sangat membutuhkan distributor, tapi karena aku juga bandit top maka aku wajib membuat penonton memusuhiku. Dilema!” ujar Sunny. Jarinya sudah diujung pelatuk pistol siap melubangi dahi Si Centeng Distributor yang namanya tidak penting disebut. Tapi untuk memudahkan mari kita panggil dia Sisidi (SCD-Si Centeng Distributor).

“Tunggu Bos, jangan tembak saya. Saya punya info. Iko Uwais masih hidup.”

“Masih… hidup?” Sunny mendelik dengan licik.

Siapakah Iko Uwais? Jeng jeng jeng

Kita beralih ke tempat lain, di sebuah rumah sakit yang bukan di Jakarta—barangkali alasan bujet, mungkin pula Mo Bros ingin menjauhi Jakarta yang lekat dengan citra The Raid series—terbaring dalam keadaan koma selama dua bulan Iko Uwais, bintang utama The Raid yang daripada menanti terlalu lama untuk bermain di sekuel garapan Gareth H. Evans mau berperan menjadi seorang lupa ingatan bernama Ishmael. Ingat ya, Ishmael. Bukan Ismail! Ismail mah kampungan, Ishmael lebih bisa dijual!

Rupanya dokter Uayuu selama ini telah menungguinya dan merawatnya dengan kasih sayang karena di rumah sakit terpencil orang sakit jumlahnya mendekati nol, makanya dokter macam dia jadi berlimpah waktu luang. Saat itulah Iko sadar dan bangkit terhenyak dengan gelagat khas film Hollywood bila si aktor bangun dari mimpi buruk.




 *yah, seperti inilah. Nangkap kan?*

“Dimana gue, sejak kapan gue di sini, siapa gue, apa yang terjadi sama gue, kenapa gue begini, gimana gue sampai di sini ? Lima W satu H, gue harap film ini menjawab semuanya!” Iko Uwais bertanya tanpa henti sambil memegangi kepalanya.

 “Iko, sabaaar. Kamu seharusnya orang Sumatra atau… apalah. Bukan Jakarte. Berhenti bilang gue.” dokter Uayuu mencoba menenangkan Iko.

“Apakah ini film eksyen? Tolong katakan ini memang film eksyen, bukan drama. Mengapa dari tadi belum ada adegan silatnya? Jangan paksa gue untuk aktiiing. Gue gak bisa aktiiing!” Wajah Iko mulai terlihat cemas. Mungkin sebenarnya dia bisa akting juga.

Mendengar racauan Iko, Mo Bros lantas mengirim Sisidi (ingat? Si Canteng Tak Bernama?) masuk ke ruang periksa dokter Uayuu.

“Arhh, Iko. Lihat aku melecehkan dokter Uayuu. Kamu harus menghajarku jika ingin menyelamatkannya.”

Bagai disundut rokok yang membara, Iko tanpa perlu menjalani terapi pasca koma dengan hati riang meremukkan wajah Sisidi hingga tak berbentuk lagi.

“Oh, Iko pahlawanku. Terimakasih…” dokter Uayuu mendekap Iko dengan hangat membuat Audy Item Uwais menangis semalam.

Mereka berdua lantas melupakan insiden kecil itu, karena keesokannya dokter Uayuu pulang kampung. Dan yang kumaksud kampung adalah Jakarta yang berstatus Ibukota, jadi lebih tepat dibilang pulang kota. Iko mengantar dokter Uayuu hingga ke pintu bus, membuat anak buah Sunny yang lainnya, Tano//Tejo  mengira Iko turut naik ke dalamnya.

Belum berapa jauh berjalan bus butut itu dihadang Tano//Tejo yang diperintahkan untuk menghabisi Iko Uwais. Tidak menemukan Iko di dalam mereka jadi ingat peran mereka sebagai penjahat dan mereka belum berbuat banyak supaya penonton ikut sebal kepada mereka. Maka dengan senang gembira Tano//Tejo menyemprotkan peluru ke seluruh penumpang bus seakan mereka prop yang terbuat dari steriofoam. Mo Bros bermasturbasi menonton loncatan lima puluh liter darah.

“Hei lihat, ada cewek ayu!” Tano//Tejo cengengesan saling tos tinju.

“Itu…memang nama saya… pemberian dari pengetik tulisan ini yang punya obsesi tidak sehat kepada saya.” Jawab dokter Uayuu.

Berhubung dokter Uayuu terlanjur terlibat dalam plot, dia berkewajiban diculik dan disekap oleh anak buah Sunny demi melengkapi garis takdirnya sebagai perempuan di film ekyen sejak era 80-an.

Iko Uwais datang terlambat di TKP (Tempat Kejadian Pembantaian). Dokter Uayuu tidak ada di situ, bus dalam keadaan kosong. Maksudku tidak benar-benar kosong sih. Ada beragam jenis sobekan kulit; serpihan daging; serbuk tulang; percikan darah, pendeknya semua yang tadinya adalah manusia. Sesuatu yang biasa dilihat Iko seharusnya, tapi entah mengapa dia seperti mual. Iko hendak keluar dari bus, namun bus itu disergap gerombolan penjahat (lagi). Iko dengan sigap siap sedia melumat mereka semua tanpa ampun.

Tiba-tiba Epi Kusnandar muncul menolong Iko dari Penjahat#34 yang hendak membokong. Dia kena babat, tiga liter darah muncrat dari dadanya yang terbelah.

“Ahh…, siapa lo?” tanya Iko.

“Saya Epi…, saya yang menyelamatkan kamu dari tepi pantai dan membawamu ke rumah sakit… sekarang saya mati…selamat tinggal…” Epi pun mati dengan mengenaskan, tapi lebih karena penonton tidak tahu kalau dia ternyata Epi Kusnandar.

“Oh…, oke…” Iko baru akan menunjukkan ekspresi kesedihan dan kemarahannya tapi POLISI keburu menangkapnya.

Di Kantor Polisi Iko diinterogasi AKP Teuku Rifnu Wikana! Sungguh cameo yang tak terkira. Penampilan Teuku Rifnu menggoyahkan semangat akting Iko.

“Astaga, gue harus berhadapan dengan Jokowi muda? Ampuni saya Pak. Saya baru berniat menjalankan nawacita dan ikut tax amnesty namun belum kesampaian.” Kata Iko dengan nada rendah.

“Jawab siapa sebenarnya kamu? Mengapa kamu terlibat dengan gengnya Sunny Pang?!” Sembur Teuku Rifnu

Gue juga gak tahu Pak, gue harap film ini akan mau menjawab semuanya.”

Teuku Rifnu mulai mencium masalah, “Apa aktingku terlalu bagus untuk film ini?” Jawabannya adalah IYA. Teuku Rifnu pun tewas mendadak. Lima setengah liter darah mengucur dari lehernya yang tertembus golok komplotan penjahat (lagi) yang menyerbu Kantor Polisi.

“Ih, yang bener, penjahat menyerbu Kantor Polisi? Kirain cuma teroris yang berani. Ini berarti gue harus kerahkan semua ilmu silat gue!” Benar, ini adalah saatnya Iko untuk menghadapi…

STAGE #1: Police Station (vs. MINI BOSSES #1)

Dari pintu masuk nongol Tano//Tejo, duo pentolan begundal dengan karakteristik sadis gila gemar tertawa. Aku harus bilang kalau aku tidak tahu yang mana yang namanya apa. Mereka jarang memanggil nama satu sama lain. Jadi anggap saja mereka satu orang ya, toh bisa saling menggantikan.

“Ini saatnya Iko. Kita yang sudah seperti saudara ini berhadapan juga!” Tano//Tejo bersorak.

“Saudara apa? Sejak kapan?!” Iko tersentak mendengarnya.

“Sepertinya kamu masih lupa ingatan.” Ucap Tano//Tejo.

“Gak juga. Sebetulnya gak jelas apa aku pura-pura lupa ingatan atau kapan mulai ingat. Mungkin kalau Mo Bros mau lebih kreatif daripada sekedar eksposisi gue bisa lebih menjiwainya.” Ucapan Iko sangat menyengat tapi Mo Bros tutup telinga.

Tunggu! Kalian ingat bagaimana netizen bertanya-tanya, dikemanakankah pistol oleh para penjahat di The Raid 2, mengapa mereka tidak memakainya?  Ini dia! Mo Bros akan menggunakannya secara simultan, bergantian dengan silat. Dan yang aku maksud dengan silat adalah kesuperioritasannya di atas pistol. Mereka lalu bertarung dan bermain petak umpet umpat di antara meja kantor dan bertarung lagi lalu bersembunyi lagi.

“Kami ingin darah. Kami ingin darah. Kami ingin darah!” Tano//Tejo mengucapkannya bagai mantra.

“Baiklah, ini dia darah. Darah lo sendiri!” Iko menembakkan shotgun. Tujuh seperempat liter darah muncrat dari kepala Tano… atau Tejo(?), aku sungguh tidak tahu. Iko melanjutkan gerakan Finish Him ke Tejo…atau Tano(?) dengan menyulap mukanya jadi bubur disertai aliran darah sebanyak sembilan liter.

STAGE #2: Deep Forest (vs. MINI BOSS #2)

Iko melanjutkan misinya ke tengah hutan, markasnya Sunny(?), di mana tersedia tempat yang lapang dan nyaman untuk baku pukul, kebetulan sekali!! Dia dicegat oleh Baseball Bat Man Besi. Misi baru: bunuh Besi untuk maju ke Stage 3!

Besi membuka dialog, “Iko, ini aku… eh? Nama karakterku BESI? Setelah jadi Manusia Pentungan aku jadi Besi?"

"Setidaknya namamu masih keren." hibur Iko.

"Shit! ...ya kurasa. Setidaknya juga penampilanku lebih sophisticated. Lihat jenggot dan kumisku yang lancip, rambutku yang dikuncir ke atas, dan aku pakai kacamata. Lihat Iko, lihat.” Besi menuding-nuding mukanya sendiri.

“Jadi kamu hipster nih?” ujar Iko tak ambil peduli.

Sakit hati karena diejek, Besi mendadak menghilang dari pandangan kamera.

“Astaga, kemana kau pergi?” Iko nampak bingung.

“Kalau kita sudah seperti saudara bukankah kamu tidak usah terkejut dengan gaya bertarungku?” Ternyata Besi ada di atas pohon, rupanya nama Besi juga berarti dia selincah monyet.

“Butuh lebih dari eksposisi dan flashback untuk membangun rasa kedekatan!” sergah Iko.

“Itu belum apa-apa dengan yang menantimu di Stage 3!” Besi menyerbu dengan pentungan besi.

Mereka bertarung lagi. Kamera berputar-putar demi membedakan diri dari The Raid series dan Bourne series. Ini membuat Besi terserang vertigo. Iko dengan gampangnya menghantam wajah Si Besi.

“Oh, ada apa dengan Mo Bros dan wajah? Kenapa mereka begitu membenci wajah?” Besi menyemburkan sebelas liter darah dari mulutnya.

“Dandananmu terlalu basi, Besi!” Iko menuding ke kamera, “yeeah!”

STAGE #3: Beach (vs. MINI BOSS #3, mini boss lagi???!!!)

Iko berlari ke Pantai, kemudian diteriakin Julie Estelle. 

"Jadi setelah jadi pembunuh di The Raid 2, kamu jadi pembunuh lagi? Sungguh perkembangan akting yang luar biasa."

"Diam! Kamu sendiri sama!"  

Mereka bertarung lagi selama sepuluh menit. Belahan dada Julie terpampang di depan kamera, sesuatu yang jarang bisa dilihat belakangan ini. Makasih ya KPI. Karena anda juga belahan dada terasa istimewa. Kedua basah tercebur air laut. Sungguh erotis, eh maksudku eksotis.

“Kenapa kita harus bertarung di pantai sih?” tanya Iko.

“Supaya …romantis? Tak ingatkah kamu Iko, betapa mesranya kita dahulu? Kamu tidak ingat Sunny adalah ayah kita yang baik kepada kita semua…” Julie balik bertanya.

Iko memotong, “Aneh, kalau memang kita dulu mesra kenapa tidak ada flashbacknya? Entah adegan itu sudah dibuat tapi disensor KPI atau tidak dibuat agar tidak melukai perasaan Audy…dan gue mesti percaya kita dulunya adalah sepasang kekasih? Astaga!”

Tersinggung akan indikasi bahwa aktingnya payah, Julie menusuk perutnya sendiri dengan pisau dan langsung mati. Kali ini hanya dua liter darah membuncah merembes ke air laut.

“Tidak…,oh…jangan Si Julie dong, tidak…” Iko baru akan menyajikan ekpresi trenyuh dan tersentuh. Tapi Mo Bros menyuruhnya segera ke stage berikutnya.


FINAL STAGE: Bunker (vs. MAIN BOSS)

Iko Uwais memasuki bunker dan membebaskan dokter Uayuu dari kepungan para penjahat. Mereka ingin segera keluar dari bunker. Tapi Sunny menghalangi.

“Ha ha ha, Iko my son. Kamu pasti tidak menduga akulah yang kamu hadapi di final boss fight ini.” Mata Sunny menyala-nyala.

“Astaga, belum cukupkah pertarungannya? Penonton sudah capek tahu?” Iko terkesiap,  “dan lihat tempat ini. Ruangan kosong empat dinding yang datar dan hambar! Akan sungguh sangat menjanjikan baku hantam yang seru, YA?”

But, the directors said they still got sixteen more litres of blood and it’s all for me.” Sunny mencoba membantah.

“Ngapain lo ngomong bahasa linggis? Tukas Iko.

Because it will add some depths in my character.”

Really?

Kesal karena diajak ngomong pakai bahasa linggis, Iko menyerang Sunny Pang ayah angkatnya. Jujur, aku sudah kehilangan minat menonton perkelahian yang berlarut-larut ini. Intinya, gaya bertarung mereka berbeda. Sunny Pang menggunakan jurus yang kutebak sih cakar harimau dari Shaolin. Sungguh, ini gak bohong! Cakarnya bisa merobek kulit lengan Iko. Sedangkan Iko menggunakan silat aliran… pokoknya silat.

Menyadari ruangan itu terlampau kosong dan tidak ada yang bisa dimanfaatkan untuk jadi plot device. Sunny menghambur keluar bunker,  “Let us continue this fight outside!” teriak Sunny.

Why?

It needs to be more dramatic.

Dan yang dimaksud dramatis adalah hujan! Karena, kenapa tidak? Mereka masih bertarung lagi dan lagi untuk beberapa jurus. Tapi kali ini Sunny Pang sudah demikian terdesak.
Iko, I never told you how much I love this forest.” Sunny merengek.

“Huw…I mean…How?” Jawab Iko sekenanya.

"Witness me!" Sunny menghujamkan dirinya sendiri ke dahan kayu yang tajam, karena di film ini dahan kayu terbuat dari besi stainless steel jadi tidak akan pernah lapuk. Delapan belas liter darah membanjiri tubuh Sunny.

“Ukhh…, sutradara bilang enambelas liter…, eekkhh” Sunny Pang pun tewas dengan gembira.

Dokter Uayuu menghampiri Iko, “Iko, kau makin menegaskan signature-mu.”

“Bahwa gue adalah the next action star in Asia?”

Dokter Uayuu meraba pipi Iko, “Bukan, wajahmu yang dihiasi darah dan luka bikin kamu lebih ganteng.”


fighter

“Oh…, ok…” Iko baru akan menampakkan ekspresi sedih sekaligus tegar, tapi dia keburu pingsan.

...

Kita beralih ke sebuah rumah sakit di Jakarta. Iya, Jakarta! Akhirnya mereka berdua pulang kota juga. Di situ dokter Uayuu sedang menunggui (lagi) Iko Uwais yang sedang koma (lagi). Tiba-tiba seorang cameo masuk.

“Astaga, Ario Bayu. Ngapain kamu di sini!” sapa dokter Uayuu.

“Aku adalah Komisaris Polisi, tugasku adalah eksposisi. Aku di sini berfungsi menjelaskan plot. Begini ceritanya: Iko cilik diculik oleh Sunny, dia dididik sejak kecil jadi pembunuh, dst., dst., bla, bla. Iko bilang "tidak, cukup", lalu dia menjadi informan buat kami, tapi dia ketahuan dan Sunny mencoba membunuhnya, dst., dst., bla, bla., demikian.” Ario Bayu mengakhiri presentasi cerita pakai Powerpoint.

 “Woow, itu cukup detail. Tapi… whatever. Yang penting penonton puas ngelihat adegan tonjok-tonjokan dan darah kan?” dokter Uayuu tersenyum manis ke kamera.

“Dan, gue masih hidup. Berarti bakal ada Headshot 2, kan?” Iko berharap dengan raut memelas.
.
.
.
Mo Bros pura-pura tidak dengar. Mereka menyetel musik rock keras-keras, berendam bareng dalam bak mandi berisi seratus liter darah sambil merevisi naskah The Night Comes For Us memastikan akan lebih banyak darah.

TEE'END