Arsitektur yang Hendak Melawan Waktu (Webinar dari Abidin Kusno)

17.08.00 jino jiwan 0 Comments

Berhubung karir dosenku ini hitungannya masih baru, di sebuah kampus baru yang secara adminstratif belum mengizinkan aku ngajar sendiri--namun ironisnya aku sudah harus dan butuh untuk mendapatkan poin dari institusi (lagi-lagi  administratif)--maka menjelmalah aku sebagai seorang certificate hunter

Certificate hunter? Iyap, pemburu sertifikat, segala jenis sertifikat. Termasuk sertifikat dari webinar yang untungnya--di tengah buntungnya pandemi Covid-19--bertebaran dengan gratis. Kenapa? Karena bukan lain adalah aku butuh poin itu tadi, dan keikutsertaan di webinar bisa mendapat poin (meski aku tidak tahu apa bisa menggantikan beban ngajar di kelas). Okay, enough about this points bullcrap.

Salah satu webinar yang kuikuti adalah serial P2P (People to People Relationship) tentang arsitektur, urban planning, dan desain yang dibawakan oleh Abidin Kusno bertajuk Melawan Waktu berikut. 

Abidin Kusno adalah profesor dengan latar belakang pendidikan arsitektur, di Faculty of Environmental Studies di York University, Kanada, saat dia ini menjabat sebagai direktur York Centre for Asian Research. Sebelumnya aku mengenal Pak Abidin lewat buku Di Balik Pascakolonial (2007), terjemahan dari Behind the Postcolonial yang kupinjam dari seorang teman. Buku ini, yang sayangnya belum kunjung rampung kubaca, membahas arsitektur dan desain kota dalam kaitannya dengan tatanan politik pemerintahan yang sedang berlangsung saat itu: Belanda, Soekarno, dan Soeharto. Pendekatannya cenderung ke arah cultural studies yang menyasar sejarah, bangunan, dan ruang kota. Pedas, pedih, sedap-sedap gitu. Buat yang sudah biasa dengan cultural studies tentu tidak akan gumun apalagi kaget.

Begitu pula bahasannya pada Sabtu pagi, 26 September itu, tidak jauh dari semangat pemikiran ktitis a la cultural studies yang dia lakukan dengan menerawang peninggalan arsitektur di Indonesia dan Hindia Belanda. Dia sendiri mengakui bahwa materi yang disampaikannya bukanlah hal baru, melainkan dia sesuaikan untuk topik webinar.

.....

Dalam dunia ilmu pengetahuan, waktu (masa lalu, masa kini, masa depan) selalu diasosiasikan dengan bidang sejarah. Di sisi lain konsep ruang diasosiasikan dengan bidang georafis. Para arsitek ingin menjadi penguasa keduanya: ruang dan waktu, lewat penciptaan bangunan yang monumental dan yang bisa dikenang banyak orang, sesuatu yang timeless, sekurangnya mewakili sebuah zaman. Maka dari itulah arsitek selalu mencoba "melawan waktu" dalam upayanya mencari identitas bidang arsitektur. Sayangnya pencarian identitas ini berujung pada penghilangan konteks sosial yang seyogyanya melekat pada arsitektur. 

Dari Segi Pendidikan Formal"waktu" sudah hadir semenjak mahasiswa kuliah. Kegiatan mahasiswa dalam menuntut ilmu di studio, misalnya, telah dibatasi waktu. Dengan demikian waktu turut membatasi transfer ilmu pengetahuan. Daya intelektual arsitek ditentukan politik waktu dalam kurikulum pendidikan arsitektur. Karena itu arsitek perlu melawan waktu, merefleksi dan mengembangkan pemikiran kritis atas krisis kota, sosial, politik, kebijakan, masyarakat, ke dalam desain.

Dari Segi Sejarah di Masa Kolonial, "waktu" sering dihabiskan untuk narasi dan perkembangan gaya & bentuk tanpa sadar bahwa, misalnya, buku pegangannya sendiri, "A History of Architecture" (Banister Fletcher) pun sudah bias. Buku ini ditulis oleh ilmuwan Barat di masa kolonialisme & imperalisme Eropa atas dunia Timur, bahwa arsitektur Barat berkembang secara organik dan arsitektur Timur tidak berkembang/berhenti, sehingga dikotomi modern dan tradisional pun muncul, memunculkan justifikasi negara Eropa untuk menjajah dalam misi memperadabkan dunia Timur. Sesuatu yang dikritisi Edward Said dalam buku Orientalisme.

Gaya bangunan Empire yang dianggap mampu menunjukan superioritas Eropa atas yang dijajah.
Strategi lain Kolonial adalah dengan Indis Style, yaitu berupa gabungan arsitektur lokal modern dengan Eropa. Karya Pont dan Karsten menggabungkan Timur dan Barat, tapi apakah memang arsitektur seperti ini mencoba membebaskan atau sudah mewakili suara rakyat yang dijajah?

Di Masa Kemerdekaan (masa Soekarno), konsep melawan waktu mencoba melepaskan diri dari masa lalu, menjauh dari tradisi dan masa lalu, menjadi bagian dari yang global, masuk ke modernitas, melawan penjajahan, sebuah dekolonialisasi. Gerakan yang berupaya menciptakan dunia baru, berbau utopia, membayangkan masa depan sebagai dasar membangun hari ini. Contoh di Indonesia: Ganefo, yang melawan Olimpiade. Ganefo dipenuhi slogan semacam: "pantang mundur", "dunia baru."

Kelompok ATAP terpesona modernisme dengan melawan masa lampau lewat proyeksi ke depan. Mereka tidak tertarik dengan arsitektur tradisional karena sudah pernah dilakukan arsitek di zaman Belanda.

Kapitalisme turut mempengaruhi waktu dan arsitektur. Segalanya berbalik dengan situasi sebelumnya. Globalisasi pada 1970-1980an, mengompresi waktu dan ruang. Ia membawa era keterbukaan, konsumerisme, pasar bebas, kompetisi, komodifikasi dan transfomasi ruang kota. Para arsitek Indonesia uniknya malah membuka wacana arsitektur yang khas Indonesia, mencoba melawan yang global, yang serba homogen. Memunculkan kebangkitan arsitektur "khas" Indonesia. Menghadirkan pertanyaan, "apa yang disebut arsitektur tradisional?" Negara lantas merespon dengan tradisionalisasi arsitektur yang sangat dipengaruhi oleh geliat industri wisata. Sehingga kesan serba permukaan tidak bisa dielakkan berkat campur tangan pihak-pihak tertentu. Apa yang terjadi di masa ini sejalan dengan semangat posmodernisme yang melanda dunia Barat.

Karikatur menarik, bangunan tinggal ditambahi atap joglo agar punya ciri lokal. Btw, aku punya buku ini Menuju Arsitektur Indonesia, beli di Social Agency tapi belum sempat kubaca.

Posmodernisme, mencoba melawan waktu dengan melihat ke belakang untuk mencari ide. Ini yang terjadi di Barat. Namun, cara mendesain bangunannya bak windows shopping, main comot referensi dari masa lampau, tanpa konteks, dari era mana, dan asal usul, yang penting desainnya menarik dari fisiologi (fisik/badaniah), psikologi (mental/batiniah), dan filosoli (masuk akal). Referensi sejarah, namun tanpa sejarah, yang penting secara estetika menggelitik emosi dan persepsi. Ia adalah manifestasi dari kompresi ruang dan waktu yang dibawa oleh kapitalisme global.  

Posmodernisme bertujuan membebaskan manusia dari tatanan belenggu sosial dengan mengangkat kembali elemen klasik (sebelum industrialisasi) atau bahkan prasejarah, yang dianggap lebih otentik. Bila modernisme mengacu pada masa depan dengan memberi harapan pada kemajuan teknologi, posmodernisme membebaskan fungsi sensorik manusia yang telah dirusak/diputus oleh modernisme. Pasca posmodernisme yang muncul kemudian juga punya tujuan kurang lebih serupa, meskipun kesannya berbeda. Ironisnya di sini, posmodernisme adalah kesinambungan dari modernisme, karena keduanya sama-sama hendak melawan waktu.

The infamous duck building

Gerakan posmodernisme ini adalah sebuat "retreat" dari arsitektur. Dalam arti tidak lagi menghadapi krisis yang terjadi di masyarakat, walaupun mendaku masih menghadapinya, yang caranya diperoleh dengan cara mundur dari masyarakat untuk masuk ke wilayah makna dan pengalaman. Ini disebut sebagai "the great retreat of architecture" yang punya dampak terhadap gerakan arsitektur di Indonesia.

"The great retreat of architecture" dalam posmodernisme, yang seolah-olah menyelesaikan masalah kontekstual padahal hanya mengutamakan bentuk, makna, fungsi. Di sinilah pangkal letak otonomi arsitektur, yang memisahkan diri dari bidang lain yang sebetulnya berkaitan.

Tantangan arsitektur Indonesia turut terimplikasi oleh posmodernisme dan the great retreat tersebut. Di Indonesia di antaranya muncul desain yang vernakular, tradisional, dan "nusantara". yang sama-sama hanya sampai di tataran visual dan tectonic, serba menghindari diri dari krisis/masalah lingkungan dan kondisi masyarakat, seolah hanya dengan visual maka segala masalah bisa dituntaskan.

Sebagai penutup, Pak Abidin mengenang kembali refleksinya pada 1990 ketika masih bersama AMI (Arsitek Muda Indonesia) yang mencoba "melawan waktu". Dalam manifesto AMI, terlihat bahwa mereka telah mempermasalahkan arsitektur, mereka berpihak pada kondisi masyarakat dan lingkungan Indonesia. Sayangnya memang tidak mudah mewujudkan manifesto tersebut karena arsitek menghadapi relasi kuasa antara negara dan kapitalis, di mana setiap bentuk arsitektur dikomodifikasi dan menjadi bagian dari strategi marketing untuk menjual properti. AMI lantas memilih untuk menjaga manifesto dengan mengambil jarak, menjaga otonomi desain ke dalam dirinya, yang kemudian tidak menghadapi masalah sebenarnya di luar sana. Pada akhirnya upaya "melawan waktu" membuat arsitek terperangkap dalam sekat desain yang lepas dari masyarakat. Arsitek jadi merasa bisa meresepkan masalah hanya dari displinnya sendiri tanpa bersentuhan dengan bidang lain.

.....

Pada sesi tanya dan jawab, aku sempatkan bertanya via kolom chat. Namun karena banyaknya penanya, pertanyaanku lantas ditampung untuk dijawab kemudian via teks. Berikut pertanyaan tentang komentarnya terhadap rancangan pemenang sayembara ibukota baru dan jawaban Pak Abidin Kusno:







0 komentar:

Menyoal Pertanyaan Under Pressure Pada Saat Wawancara Kerja

23.41.00 jino jiwan 0 Comments


Jadi ceritanya, aku dapat panggilan untuk sebuah wawancara kerja dengan posisi dosen tetap di sebuah kampus swasta di sebuah kota besar di Jawa Timur (untuk seterusnya aku sebut kampus ITU saja ), sekira Januari 2020 lalu. Kampus ini sendiri terhitung masih baru. Baru sekali meluluskan/mewisuda mahasiswanya. Sayangnya waktunya kok ya bersamaan dengan wawancara di kampus lain. Di mana? ITS Surabaya, saudara-saudara.

Untuk di ITS Surabaya ini aku sudah lulus Tahap Pertama (TKD tapi pake kertas dan pensil 2B) bersama 6 orang lain. Nah, pada saat Tahap Kedua (wawancara dengan Prodi, microteaching, psikotes, dan TOEFL--khusus yang terakhir ini aku cukup yakin skornya bagus) inilah yang waktunya berbarengan dengan tes di kampus ITU.

Dengan segenap pertimbangan, satu di antaranya dari orang tua, aku jalani serangkaian tes Tahap Kedua di ITS yang makan sampai 3 hari itu. Kenapa? Karena nama ITS lebih mentereng dibandingkan kampus ITU, sehingga asumsinya akan lebih baik kondisi kerjanya. Semuanya benar-benar tanpa persiapan. Termasuk dari segi baju. Aku cuma bawa satu setel, karena mengira akan ngelaju saja Surabaya-Bojonegoro (tinggal di situ aku, bro). Tapi kemudian memilih ngehotel saja selama 2 malam yang rate semalamnya kurang dari Rp. 200 ribu dekat-dekat ITS.

Gimana dengan kampus ITU? Aku dapat nomor kontak HRDnya dari email. Dari situ aku hubungi si-Mbaknya dan meminta penundaan tes jika memungkinkan, dan dijadwalkan ulang di hari terakhir tes TOEFL di ITS. Jadi aku bisa agak tenang.

Singkat cerita, setelah berkejaran dengan waktu, makan siang pake nasi dus mika dengan lauk telor dan sambel kentang yang kubeli di terminal, berdoa dalam hati agar bus ekonomi yang lambat jalannya bisa membawaku tepat waktu ke kota di mana kampus ITU berada, sampailah aku di sana. Si Kang Gojek sempet dihadang di gerbang masuk karena mereka dilarang masuk ke area kampus.

Aku pun jalan kaki ke gedung tempat aku akan menjalani tes. Cukup jauh dan menanjak pula, meksipun area kampus cukup rindang, tapi bikin keringatan. Ingat ya, aku gak bawa salin baju selain yang sudah kupakai sejak 3 hari lalu. Bisa dibayangkan aromanya macam mana.

Sehabis menjalani TPA (Tes Potensi Akademik) yang masya Allah angele pol-polan, karena isinya matematika semua (yang mana aku tidak yakin nilainya bagus). Aku menjalani micro teaching yang sudah kusiapkan (hanya 3 slide), disusul dengan wawancara.

Wawancara dimulai dari Pak Kaprodi yang malah seperti diskusi tentang bidang keilmuan dari Prodi yang kulamar (pastinya tahu prodi apa kalau menyimak juga tulisan lain di blog ini yang isinya materi kuliahku untuk kampus di Bojonegoro).

Wawancara kedua ini yang masih terngiang sampai sekarang, karena pakai bahasa Inggris. Sepertinya si penanya, si Ibu/Mbak(?) jadi dosen bahasa Inggris di kampus ITU. Sebetulnya aku bukannya sulit memahami pertanyaannya, tapi ngomongnya itu yang sulit karena nyais seluruh vocabulary-ku mendadak menguap ke awang-awang. Malah jadi gugup. Menurutku level berbahasa Inggris itu yang paling rendah dimulai dari: 1) reading (and understanding), 2) writing (with correct grammar), baru yang ketiga 3) speaking (also with correct grammar). Aku level 2 saja belum komplit.

Ini makanya TOEFL bukan standar yang akurat untuk menentukan kemampuan bahasa Inggris seseorang. Aku bisa mengerjakan TOEFL dengan skor cukup baik (waktu tes ACEPT UGM) karena mengerti trik-triknya, sehingga bisa tembus hanya dengan sekali tes.

Beberapa pertanyaannya khas wawancara kerja yang sudah ada semacam template-nya, seperti, "what's your greatest achievement?" atau "what's your greatest fear?" Ya Allah, sebel gak sih ditanyain pertanyaan copy-paste gitu? Memangnya jawaban apa yang dimaui pewawancara, ha? Ngubek-ngubek internet juga jawaban untuk pertanyaan ini bermacam-macam.

Disuruh jawab malah minta jawaban. Piye sih Mbak Jihan iki?

Namun ada salah satu pertanyaan si Ibu/Mbak-nya yang bikin terhenyak (ciee, terhenyak) adalah "what are you going to do when you're under pressure?" (atau kurang lebih semacam ini pertanyaanya).

Yang sempat terlintas di pikiranku pada saat itu

Aku sama sekali tidak menduga ada pertanyaan seperti ini. Hm, under pressure, dalam tekanan, di bawah tekanan. Apa yang kulakukan? Karena kombinasi dari tidak menduga, tidak memahami apa maksud under pressure, dan gugup dengan bahasa Inggris, aku menjawab (dalam bahasa Inggris terbatako-batako--level up-nya terbata-bata), "aku akan tetap mengerjakan pekerjaan meski di bawah tekanan, jika kesulitan aku akan mendatangi teman/kolegaku, bercerita kepada mereka, dan minta saran mereka."

Yep, that's probably my reaction to my own answer
Akhirnya aku memang tidak mendapatkan pekerjaan sebagai dosen itu, mungkin lebih karena tes TPA-nya amburadul. Tentu saja kecewa, apalagi karena di ITS Surabaya aku pun gagal di Tahap Kedua, yang diterima adalah adik kelasku yang memang secara kualitas dan prestasi jauh lebih mumpuni, jadi tidak apa-apa.

Toh, aku tetap bersyukur bukan hanya karena dua kampus tersebut masuk dalam wilayah zona merah pekat (zona hitam?) penularan Covid-19. Yang aku sendiri gak sanggup membayangkan bakal seperti apa kalau aku betulan kerja di sana, bisa cemas berat kedua orang tuaku. Tapi yang paling penting aku juga jadi belajar apa sih yang dimaksud under pressure dalam kerja itu.

Terus apa sih yang dimaksud under pressure pada saat wawancara itu?

Suatu hari di tengah keterlupaan akan ke-under pressure-an ini aku berpapasan dengan sebuah postingan di 9gag. Iya, 9gag! Seketika ingatan yang dormant ini meluap.

Berikut aku sarikan dari dua komentar di sana:

Under pressure artinya:

  • Deadline (tenggat) ketat.
  • Orang(SDM)nya sedikit, tapi pekerjaannya banyak.
  • Harus bersedia cepat belajar, beradaptasi, karena tidak akan ada yang mengajarimu mengerjakan sesuatu. 
  • Ketika bekerja dalam tim (team player) artinya harus siap menyokong rekan yang ngeselin, tidak kompeten, atau malas-malasan.
  • Tambahan lain yang kutemukan dari hasil googling: tidak mudah frustrasi dan terbawa emosi.

Oh, begini tho, under pressure. Kalau sudah tahu kan aku jadi bisa mengelaborasi jawaban. Next time deh kalau ada pertanyaan model begini, kujawab:

"Jadi kampus ini butuh seseorang yang bisa diandalkan bila menghadapi pekerjaan dengan deadline ketat? Mau ngerjain pekerjaannya dosen lain yang gak kompeten, cepat belajar dan beradaptasi, tidak mudah stres dan frustrasi? Tidak usah mencari lagi, karena saya adalah orang yang tepat...tentunya kalau gajinya cocok. Sekarang mari bicarakan gaji."

you're the man!

Tuh kan, nambah lagi bahasan soal wawancara kerja yang tiada ujung. GAJI.

0 komentar:

Prinsip Kesatuan dalam Nirmana

23.52.00 jino jiwan 0 Comments

2. Prinsip Kesatuan (Unity)

Tulisan ini merupakan lanjutan dari prinsip Irama dalam Nirmana.

Kesatuan atau keutuhan/kemanunggalan dalam karya seni rupa/desain ditujukan agar ia tampak menyatu, di mana seluruh bagian/unsur harus saling mendukung atau saling berhubungan tanpa ada bagian yang mengganggu atau membuatnya tampak terpisah.

Virus kurang ajar yang sudah bikin susah banyak orang. Coba lihat pendekatan kesatuan apa yang tampak?

Sesungguhnya dengan menerapkan prinsip irama (repetisi, transisi, oposisi) dalam suatu karya, maka kesatuan otomatis diperoleh. Namun dua unsur seni rupa/desain, yaitu raut (ciri khas suatu bentuk/perbedaan bentuk) dan warna rawan menimbulkan perpecahan (ketidaksatuan) komposisi karena keduanya saling bertentangan (discord). Terhadap kedua unsur ini maka dapat diterapkan enam pendekatan kesalinghubungan antar unsur. Mereka adalah: kesamaan, kemiripan, keselarasan, keterikatan, keterkaitan, dan kedekatan/kerapatan

Raut kursi sama tapi warna berbeda. Kesatuan sudah didapat
Perlu diingat bahwa keenam pendekatan ini bukannya sama sekali terpisah, melainkan berhubungan satu dengan lainnya, pun dengan prinsip-prinsip lain.

Sebagaimana prinsip irama, prinsip kesatuan tidak boleh melupakan ruang kosong/sela (white space) dalam suatu susunan unsur seni rupa/desain. Caranya adalah dengan membiarkan ada area yang longgar agar white space ini dapat mendukung dicapainya kesatuan antar unsur. Untuk lebih jelasnya simak contoh gambar berikut.


Warna sama tapi rautnya berbeda, kesatuan juga sudah didapat
(a.) kemiripan warna (b.) kemiripan raut bentuk
Keselarasan lewat gradasi (lihat lagi prinsip irama)
Keselarasan dengan penetralan (raut antara dua bidang)
Pengikatan dengan (a.) background netral (hitam) dan (b.) garis luar yang sama (putus-putus)
Pengkaitan antar bidang yang berbeda raut dan warnanya
Kerapatan/kedekatan, (a.) berkumpul di titik tertentu (b.) berkumpul di garis tertentu

Bersambung ke prinsip Dominasi/Penekanan.


0 komentar:

Prinsip Irama dalam Nirmana

17.54.00 jino jiwan 0 Comments

Nirmana pada dasarnya adalah komposisi unsur-unsur/elemen seni rupa dan desain yang terdiri dari bentuk, raut, ukuran, arah, tekstur, warna, value, dan ruang. Untuk keperluan itu dibutuhkan pengetahuan tentang bagaimana cara melakukan penyusunan-penataan-pengomposisian unsur-unsur tersebut demi menciptakan karya yang memiliki nilai seni atau dikenal dengan metode/prinsip dasar seni rupa dan desain.

Tulisan berseri ini bermaksud mengupas prinsip-prinsip dasar seni rupa dan desain yang disarikan dari buku Nirmana, Elemen-Elemen Seni dan Desain (2010) karya Sadjiman Ebdi Sanyoto. Untuk lebih detailnya silakan kamu membaca sendiri buku tersebut. 

Untuk tulisan kali ini saya fokus pada prinsip irama. Perhatikan betapa tulisan ini mungkin menjadi yang paling lengkap dan komprehensif dibandingkan web-web/blog-blog di luar sana yang memajang prinsip seni rupa dan desain secara setengah matang, akibat terlalu asal comot alias doyan copy/paste, dan kebanyakan pasang iklan. So enjoy!

Dalam bukunya, Pak Sadjiman menyebut ada tujuh prinsip kunci, yaitu keselaran/irama/ritme, kesatuan (unity), dominasi/pusat perhatian, keseimbangan, keserasian/proporsi/perbandingan, kesederhanaa, dan kejelasan

Sebenarnya ada lebih banyak lagi prinsip dalam seni rupa dan desain, namun ketujuhnya telah mencakup prinsip-prinsip yang lain seperti harmoni dan kontras.

Prinsip-prinsip ini bukanlah aturan baku yang seluruhnya harus ada dalam sebuah karya. Demikian pula dalam satu karya seni rupa/desain amat jarang yang hanya menerapkan satu prinsip saja, karena sangat mungkin terdapat lebih dari satu prinsip di dalamnya dan antar prinsip sebenarnya saling berkaitan satu sama lain. Bagaimana pun karya seni bergerak pada rasa dan kebebasan tanpa ada belenggu yang menghambat kreativitas.

1.    Prinsip Keselarasan/Irama/Ritme (Rhythm)

Istilah irama lumrah dijumpai pada seni tari dan musik. Ia hadir melalui hitungan dan tempo yang menunjukkan adanya aliran/alunan gerakan/rekaman yang berulang, kompak, ritmis, dan serempak. Kita dapat dengan mudah mencermati hitungan dan tempo tersebut karena adanya unsur waktu.

Tarian Seribu Tangan yang menunjukkan irama
Berbeda dengan seni tari dan musik, dalam seni rupa dan desain tidak terdapat unsur waktu. Yang ada hanya perubahan unsur-unsur seni rupa dan desain dengan gerak semu yang mengesankan/memberi ilusi seolah ada gerakan. 

Boleh jadi memang seni tari dan musik mempunyai keunggulan unsur waktu, namun tanpa didokumentasikan (baik foto maupun video), unsur geraknya hanya akan bersisa dalam ingatan. Sementara irama dalam seni rupa dan desain akan terus ada begitu ia diwujudkan pada karya.

Irama dapat diartikan sebagai gerak yang teratur/berkala dan mengalir atau gerak pengulangan yang ajeg dan terus-menerus. Dalam seni rupa dan desain keberkalaannya meliputi unsur-unsur seperti misalnya, keberkalaan ukuran (besar-kecil, tinggi-rendah, panjang-pendek), keberkalaan arah (vertikal-horisontal-diagonal), keberkalaan warna (panas-dingin, cemerlang-suram), keberkalaan tekstur (kasar-halus, kasar-licin, keras-lunak), keberkalaan gerak (atas-bawah, kanan-kiri, muka-belakang), dan keberkalaan jarak (renggang-rapat, lebar-sempit). 

Keberkalaan bisa dipahami sebagai kesamaan-kesamaan (repetisi), perubahan-perubahan (transisi), maupun pertentangan (oposisi).

Setiap bentuk yang digunakan lebih dari satu kali dalam suatu susunan baru dapat dikatakan sebagai bentuk yang berulang (jika hanya satu ia jelas tidak masuk dalam pengulangan). Setiap pengulangan memperlihatkan kesan keselarasan. Maka itu prinsip irama disebut juga keselarasan, sebagaimana ketukan irama dalam musik.


Prinsip irama sebenarnya cukup rumit. Itu sebabnya banyak seniman dan desainer kurang mendalaminya. Padahal irama selain bisa diamati pada tarian dan musik juga hadir di alam sekitar. Mulai dari kawanan burung yang terbang, hamparan pegunungan, pohon dan dedaunan, bunga, ombak laut, loreng pada kulit harimau atau zebra, hingga rumah siput. Semuanya dapat dijadikan inspirasi dalam menerapkan irama dalam karya seni dan desain.

Bunga dengan gerak semu ke arah tengah
Setiap pengulangan menunjukkan adanya gerak semu/imajinatif. Gerak semu ini mempunyai fungsi (1) membimbing mata pengamat ke arah tertentu. Dari contoh gambar bunga di atas, mata kita seolah di bawa ke arah tengah. (2) irama membantu prinsip kesatuan (unity) agar susunan objek tidak terkesan buyar. (3) irama membantu melahirkan ruang kosong/sela (white space) sehingga susunan terasa longgar dan tidak sesak.


Untuk memudahkan mencapai keselarasan/irama dalam karya kita perlu menggunakan interval tangga rupa yang tak lain adalah alat dasar tata rupa. Terdiri dari 7 tingkatan, ia meminjam tangga nada (not) dari seni musik 1.2.3.4.5.6.7 (do,re,mi,fa,si,la,si) karena ukurannya lebih jelas untuk mengukur harmoni irama. Berikut contoh interval tangga rupa untuk sejumlah unsur seni rupa dan desain.

Interval Tangga raut garis
Interval Tangga Bidang
Interval Tangga Ukuran
Interval Tangga Arah
Interval Tangga kedudukan
Interval Tangga warna
Ada tiga pendekatan yang bisa diambil dari penerapan interval tangga rupa pada prinsip irama/keselarasan, yaitu repetisi, transisi, dan oposisi. Dua yang disebut terakhir ini mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan.

Repetisi adalah hubungan pengulangan dengan kesamaan ekstrim atas semua unsur-unsur seni rupa dan desain yang digunakan. Repetisi merupakan keajegan pengulangan dengan kesamaan. Kesan yang timbul dari susunan repetisi di antaranya: rapi, tenang, resmi, beriwibawa, kaku, statis, monoton.

Repetisi adalah komposisi paling sederhana dan paling mudah, karena hanya mengandung satu perubahan saja, yaitu kedudukan. Makin banyak suatu bentuk diulang, makin jelas arah gerak semunya, dan makin memungkinkan membentuk gerak yang mengalir dan ritmis. Interval tangga rupa yang yang digunakan hanya satu interval saja. Entah nomor 1 saja, atau nomor 5 saja, atau nomor yang lain. 

Meski begitu repetisi melibatkan keteraturan ketat dari segi arah gerak semu tersebut (horisontal, vertikal, atau diagonal). Jika arahnya horisontal maka susunan gerak semu berikutnya juga horisontal secara sejajar dengan susunan pertama. Lihat contoh di bawah untuk memahaminya.

Gambaar a dan b sudah terdapat pengulangan tapi masih kaku, gambar c dan d terdapat pengulangan (repetisi)

Contoh irama repetisi lain yang bisa ditemui secara mudah di kehidupan nyata adalah pada susunan ubin lantai/konblok/paving, tembok batu bata, sejumlah motif kain batik, motif karpet, hingga susunan jendela di gedung pemerintahan, dll.

Transisi adalah hubungan pengulangan dengan perubahan-perubahan dekat atau variasi-variasi dekat atau peralihan-peralihan dekat pada satu atau beberapa unsur seni rupa dan desain secara teratur dan runtut. Transisi merupakan keajegan pengulangan dengan perubahan yang menghasilkan kerharmonisan (harmoni), lembut, dan enak dilihat.

Harmoni adalah suatu kombinasi dari unit-unit yang memiliki kemiripan dalam satu atau beberapa hal. Kemiripan artinya keberaturan pengulangannya tidak ketat, tetapi tetap mengesankan keteraturan unsur-unsur yang tidak jauh berbeda/berdekatan. 

Contoh transisi yang bisa ditemui di alam sekitar adalah daun-daunan dari satu pohon. Daun-daun ini tidak ada yang sama persis, baik bentuk, tekstur, warna, maupun ukurannya, namun memiliki kemiripan.

Jika pada repetisi perubahan hanya pada arah yang lurus dengan kedudukan horisontal, vertikal, dan diagonal, maka dalam transisi perubahan kedudukannya bergerak melengkung dan berombak, atau dengan kata lain arah gerak semunya melengkung. 

Ini bisa diraih dengan menerapkan bentuk raut interval tangga rupa nomor-nomor yang berdekatan, misalnya nomor 1 (do) dan 2 (re), nomor 4 (fa) dan 5 (sol), atau nomor 2 (re), 3 (mi), dan 4 (fa), dst. Untuk memahaminya lihat kembali Gambar Interval Tangga Rupa sebelumnya.

Transisi dengan interval 2,3,4
Transisi bidang, warna, dan arah
Transisi ukuran dan arah
Transisi ukuran, arah, warna, kedudukan, gerak

Oposisi adalah hubungan pengulangan ekstrim dengan perbedaan atau kekontrasan atau pertentangan atas satu atau beberapa unsur seni rupa dan desain. Oposisi merupakan keajegan pengulangan dengan kekontrasan/pertentangan yang mengalir penuh vitalitas. 

Kontras memberi penekanan yang menghidupkan, memberi greget, menggigit, dan memberi gairah yang dinamis pada karya seni rupa/desain.

Terdapat dua jenis kontras, yaitu kontras ekstrim dan discord (berselisih). 

Kontras ekstrim adalah kontras yang masih memiliki hubungan, misalnya ukuran besar-kecil, jarak jauh-dekat, arah vertikal-horisontal, value gelap-terang, tekstur halus-kasar, dst. Sementara discord adalah oposisi yang kontradiktif/tidak ada hubungannya. Misalnya: raut segi empat dengan lingkaran dan warna merah dengan warna hijau (warna yang berkomplemen). 

Susunan dua jenis oposisi ini bisa dibuat menjadi irama yang harmoni dengan cara: (1)  pengulangan-pengulangan terhadap kontras tersebut dan (2) memberi penjembatanan terhadap kontras lewat interval tangga raut alias gradasi, agar perubahan tidak terasa anjlok atau terlalu jauh perbedaannya.

(1) Pengulangan kontras dilakukan agar susunan oposisi tidak berkesan keras. Misalnya, susunan kontras ekstrim antara raut balok yang berukuran besar-kecil, yang jika hanya terdiri dari satu pasang saja maka akan terasa kaku dan keras. 

Untuk itu dilakukan pengulangan agar kesan itu lenyap. Begitu juga dengan pasangan kontras discord antara raut persegi warna hijau dan lingkaran warna merah, yang dapat dibuat berirama dengan cara pengulangan.

Oposisi ekstrim besar-kecil (nirmana trimatra)
Kontras discord raut dan warna
Sayangnya pengulangan ini menghasilkan komposisi yang berkesan monoton, maka itu pengulangan kontras oposisi juga mempunyai hubungan dengan prinsip dominasi karena mengandung perbedaan antar unsur (kekontrasan). 

Salah satu cara agar susunan tidak berkesan monoton dan lebih ritmis adalah dengan membuat salah satu bentuk raut berjumlah lebih banyak, sementara raut lainnya hanya satu saja.


Kontras ekstrim, bentuk yang besar satu saja, sisanya lebih banyak
Kontras discord, dengan membuat salah satu raut berjumlah lebih banyak


(2) Selanjutnya ada gradasi yang merupakan perubahan berangsur-angsur secara teratur antara dua kontras (baik ekstrim maupun discord). 

Gradasi adalah hubungan kontras yang dijembatani oleh sederet keharmonisan. Di sinilah oposisi mempunyai hubungan dengan transisi yang sudah dibahas sebelumnya. Semakin banyak gradasinya, kesan yang ditimbulkan akan terasa halus dan lembut, semakin sedikit gradasinya, susunan akan terasa kasar dan keras. Gradasi bisa lebih atau kurang dari interval tangga rupa yang hanya 7 tingkatan.


Discord dengan gradasi dari persegi ke lingkaran, hijau ke merah, besar ke kecil
Oposisi besar-kecil lewat gradasi (sumber markas3d.blogspot.com)
Oposisi warna dengan gradasi (sumber: carajuki,com)


Sekedar mengingat kembali, irama diperoleh dari pengulangan yang membentuk garis/gerak semu. Terdapat tiga pendekatan irama, yaitu repetisi yang merupakan pengulangan dan sejajar, transisi yang merupakan pengulangan perubahan dekat, dan oposisi (ekstrim dan discord) yang merupakan pengulangan yang saling bertentangan, di mana masing-masing mempunyai ciri khas dan perannya dalam membangun irama pada karya seni rupa/desain.

Bersambung ke prinsip Kesatuan (unity).

0 komentar:

Catatan Selama Masa Pandemi Coronavirus Maret 2020

19.15.00 jino jiwan 0 Comments


Ketika mulai terdengar gaung virus Korona Baru ini di China (atau Tiongkok?) sekira pertengahan Januari 2020 aku tidak pernah menganggapnya betul-betul sebagai ancaman serius. Bahkan tidak di saat WNI dari Wuhan dipulangkan ke Tanah Air pakai pesawat Batik Air. Aku masih nyantai aja. Di saat ada gelombang ke-parno-an orang-orang yang cemas jika harus naik Batik Air. Aku mengentengkan dengan bilang, gak mungkin virus hidup tanpa host di benda mati macam kursi pesawat. Juga di kala orang-orang panik membeli hand sanitizer dan masker dari apotek. Tapi semua berubah sampai ia merebak di Iran, di mana ada video seseorang yang diduga terkena penyakit akibat virus ini (yang kemudian disebut covid-19) terkapar di jalanan umum. Ini serius saudara-saudara!

Gerbang masuk ke kampung rumah kosan yang sudah dipasangi spanduk covid-19

Meski begitu aku cukup kesal dengan kawan satu kantor yang terkesan meremehkannya. Entah dengan niatan bercanda atau tidak (terutama karena dia ini orang yang selalu serius dan sekali bercanda sama sekali jayus). Dia bilang “justru kita harus minta supaya kebagian juga. Kita ini gak boleh terlalu mencintai dunia.”

“Excuse me, but what the fuck?!”

Rasa-rasanya aku pengen gitu menapuk congor belagu bin songongnya itu. Ini gak ada hubungannya dengan cinta dunia atau takut mati. Tapi soal bagaimana cara kamu mati agar tidak ikut bikin susah orang di sekitarmu, Cuk! Kalo kamu mati ya gak apa-apa tapi jangan bikin orang lain susah dan gak usah sok kayak paling gak cinta dunia.

Dan kalo kamu menebak bahwa dia ini termasuk orang kategori gelombang Islamisasi baru. Maka jawabannya adalah IYA. Selain kerap berceramah ke aku soal betapa orang-orang belakangan lebih cinta dunia, dia juga masuk golongan anti-vaksin, tidak percaya pendaratan manusia di bulan, dan mungkin juga percaya bumi datar (yang ini unconfimed).

Lagian aneh, wong punya anak dan istri, kok malah pengen mati. Justru kalo punya anak dan istri ya pengen hidup terus untuk mencukupi kebutuhan mereka, pengen melihat mereka bahagia, pengen lihat anak-anak tumbuh besar lalu menikah. Itu kan namanya gak tanggung jawab, mau lari dari kenyataan biar langsung dapat surga. Hidup ini anugerah yang harus dimanfaatkan untuk beribadah dan satu-satunya cara beribadah (ibadah sendiri ada pelbagai jenis) adalah dengan tetap hidup. Jadi yang kalo pengen tetap hidup tidak lantas sama dengan takut mati dan cinta dunia. Heran deh, suka kesel sama orang yang membelah dunia dan akhirat seolah keduanya adalah hal yang terpisah jauh dan gak ada hubungannya.

Ahh sudahlah, kembali ke Novel Coronavirus alias SARS-CoV-2. Sejak diumumkan kasus positif pertama di indonesia awal Maret 2020, jumlahnya terus menanjak. Dalam sebulan sudah langsung 1200-an orang. Dan awal April sudah tembus 2000 orang dengan 190 orang meninggal. Dampaknya perkuliahan di kampus tempat aku mengajar di Bojonegoro jadi ikutan tersendat tanpa kejelasan. Tatap muka ditiadakan, tugas dan kuliah diberikan via online.

Kegiatan orang-orang yang masih rajin ke kampus: mengecat

Kuliah online juga tidak mudah. Mahasiswa terkendala paket data yang tidak bisa dibilang murah apalagi kalo dipaksain kuliah via video conference (misalnya pake zoom.us). Mereka ini aja sudah kesulitan membayar SPP, makanya menurutku gak bijak jika diwajibkan. Akibatnya hingga aku mengetik tulisan ini, kuliah lewat konferensi video baru kulakukan sekali, itupun hanya 3 orang mahasiswa yang bisa berpartisipasi. Sehingga kuliah aku berikan via grup WA dan Google Classroom.

Media sosial (terutama grup WA) pun juga media massa arus utama (terutama Detik dan Tirto) turut berperan memperburuk peredaran informasi soal Covid-19. Masing-masing kayak ngerasa paling penting dan benar. Mengomentari sikap politisi, rame mendorong lockdown kayak ngerti konsekuensinya terhadap perekonomian. Belum lockdown aja sudah payah seperti ini situasinya. Setiap kampung (termasuk dusunku di Jogja) berupaya mengisolasi diri, bikin portal, bikin spanduk lockdown, cermin dari kecemasan buah dari buramnya informasi, informasi yang saling bertabrakan dan bersilangan.
Suasana depan dusun Bulus Lor saat "lockdown"

Soal masker
yang awalnya beredar bahwa“Yang pake masker hanya yang sakit dan hanya tenaga medis.” Btw, sekarang disebut nakes, singkatan tenaga kesehatan. Tapi kemudian beredar informasi resmi dari CDC (badan pencegah penyebaran penyakit-nya Amerika Serikat) yang merekomendasikan supaya orang yang terlihat sehat juga perlu pakai masker karena orang yang sudah terkena coronavirus ini tidak menunjukkan gejala.

Selanjutnya soal coronavirus yang tidak tahan cuaca panas, sehingga orang disarankan berjemur minimal 10 menit di atas jam 10 pagi sampai jam 3 sore. Informasi yang terlanjur dipercaya oleh masyarakat, pemilik warung langgangan jadi ikutan sering jemur kasur. Informasi ini disebar oleh media massa besar (Kedaulatan Rakyat) tapi lalu dibantah oleh Detik, yang bilang bahwa belum tentu virus mati karena cuaca panas. Kita belum tahu apa-apa soal coronavirus ini. Ah shit.

Suasana ketika ada penyemprotan karbol di kampus

Soal jelang bulan puasa dan Lebaran juga tak jauh dari runyam. Kereta Api Indonesia membatalkan jadwal perjalanan dari kota-kota besar, Jakarta dan Surabaya ke arah Jogja dan Solo. Tapi kemudian pemerintah bilang tidak akan melarang warganya mudik ke kampung halaman, asal tetap isolasi mandiri 14 hari, tapi tetap menyarankan supaya orang tidak mudik, tapi ya itu tadi, gak akan dilarang. Membingungkan? Sebetulnya tidak karena yang dilakukan pemerintah macam reverse psychology. Silakan pulang, tapi gak ada kendaraan favoritmu (yaitu kereta), dan kamu harus mengurung diri begitu sampai sana. Sucks!

Sholat Jumat mulai ditiadakan di masjid “resmi” Muhammadiyah di Bojonegoro. Tapi toh tetap ada sholat fardhu berjamaah, jadi sebenarnya sama aja. Mbok sekalian jumatan, dhuhurnya juga gak dikasih jarak antar jamaah. Di Kabupaten Bojonegoro sendiri memang jumlah pasien positif Covid-19 sementara ini (semoga seterusnya) masih 0 (nol). Ada yang meninggal sih tapi statusnya masih PDP, ODP-nya ada tapi gak banyak. Mereka adalah orang-orang yang baru datang dari Bali, entah berwisata atau kerja.
Nah, kalo ini adalah analisis yang melampaui kenyataan dari seseorang yang kukurimi foto makan malamku. Aslinya itu bukan oseng tempe tapi keong, itu bukan sayap goreng tapi tempe goreng.

Aku juga mulai kesulitan cari makanan. Warung makan favorit ikutan tutup. Sebagai seorang perantau yang masih ngekos ini cukup merepotkan. Yang ada hanya warung langganan dekat kos yang menunya seadanya banget, manut si ibunya masak apa ya itu menunya. Untung aku juga orangnya gak rewel soal makanan, adanya apa ya itu yang kumakan. Mungkin ini salah satu keunggulanku kalo mau survive melewati pandemi coronavirus ini.

Ya Allah aku mohon agar pandemi ini segera berakhir.

0 komentar: