Mengapa Batik Identik dengan Kondangan 2
Tulisan ini adalah lajutan dari tulisan sebelumnya: Mengapa Batik Identik dengan Kondangan bagian 1
Akhir abad 19,
1870-1900, pada masa Sultan Hamengkubuwono VII industri perdagangan/pertanian makin
maju seiring dengan politik ekonomi liberal yang dikuti politik etis ala penjajah
Belanda yang menggantikan sistem keji Cultuure
Stelsel, membawa perubahan besar dalam sistem kehidupan terutama di bidang
pendidikan. Awal abad 20, batik cap mulai diperkenalkan demi pengefektifan
produksi batik, sebuah pengaruh revolusi industri di Inggris, setelah sebelum
1920an batik selalu dikerjakan secara manual.
Satu hal yang disoroti
adalah ternyata batik sejak dahulu memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
upacara pernikahan. Terbukti dari dominasi keterlibatan batik bahkan dalam setiap
segi terkecil yang biasanya berpangkal pada aturan pemakaian batik dalam upacara
pernikahan terutama pernikahan adat ala Yogyakarta dan Surakarta. Misalnya; penggunaan
kain panjang dengan gaya kembaran adalah tata pemakaian kain panjang yang bercorak sama atau serupa
(kesamaan corak ini bermakna persatuan dua keluarga) oleh pengantin atau
keluarga pengantin atau misalnya pemakaian kain dodot gaya ngumbar konco
yang menunjukkan bahwa yang punya hajatan berasal dari keluarga ningrat. Contoh
lainnya adalah pemakaian kemben gaya semekan
sindur khas Yogyakarta bagi calon pengantin wanita pada malam midodareni.
Dari fungsi batik pada
masa lalu di atas terlihat bahwa pemakaian batik dengan berbagai pengembangan
penerapannya seperti, kain panjang, kain sarung, dodot, selendang, kemben, ikat
kepala ternyata tidak hanya diidentikkan oleh upacara pernikahan seperti yang disangkakan
terjadi di masa sekarang, namun juga meresap dalam hidup masyarakat sehari-hari
selain tentunya dimanfaatkan dalam sejumlah upacara keagamaan atau upacara
penobatan raja.
Lalu kemana perginya
batik dari relung kehidupan masyarakat saat ini dalam rutinitas non upacara
adat? Yang mana menghilangnya batik dari keseharian telah menyebabkan steriotip
bahwa batik itu sama dengan resepsi pernikahan dan dikenakan hanya pada saat
ada upacara pernikahan.
Sebagai bagian dari
budaya, batik tak lepas dari terpaan sejarah yang berjalan beriringan
dengannya. Jatuh bangunnya kerajaan, masa kolonialisme dengan berbagai
kebijakannya, dan masa kemerdekaan hingga sesudahnya ikut memberikan andil pada
kisah batik yang dahulu sempat menjadi busana yang lumrah ditemui ini.
sumber gambar dari all-free-download.com
|
Pada masa pemerintahan
Sultan Hamengkubuwono VIII lahirlah undang-undang penggunaan busana keprabon
bernama Pranatan Dalem Bab Namanipun
Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1927. Yang
bertujuan mengatur penggunaan busana keprabon dan melarang penggunaan motif
tradisional tertentu bagi kalangan di luar keraton seperti motif parang rusak (barong, gendreh, klithik), semen
gedhe, kawung, dan udan riris. Pengaturan
ini dibuat demi menjaga citra keraton dalam menjalankan upacara adat penting.
Pengaturan yang mungkin malah menjadi bibit dari sempitnya ruang gerak
pengembangan kreatifitas motif batik tradisional oleh masyarakat.
Keputusan bergabungnya
Kasultanan Yogyakarta ke NKRI yang pasti sulit dihindarkan selain keduanya
memang telah memiliki kedekatan secara kultural. Mau tak mau berdampak pada
tergerusnya budaya Yogyakarta, sebagai sumber dan pemegang budaya batik.
Pergantian status Yogyakarta dari sebuah negeri menjadi propinsi bergelar
Daerah Istimewa tampak tidak cukup membendung laju arus perubahan ke arah
modern. Hal serupa pun terjadi di seluruh daerah yang selama ini dikenal
sebagai pusat batik baik batik tradisional maupun pesisir. Sama-sama kehilangan
pengaruh pada masyarakatnya.
Makin gencarnya
kemajuan teknologi ciptaan manusia berimplikasi pada kemudahan pertukaran
informasi antar manusia terutama pada masa orde baru telah mempengaruhi setiap
sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak kesultanan-kesultanan selaku lembaga
tertinggi lokal pemegang kebudayaan mulai kehilangan wibawanya di tengah laju
modernitas. Lenyapnya ciri feodalisme dari sisa-sisa kerajaan di Nusantara—yang
telah dimulai dari kolonialisme yang mencap pribumi sebagai sosok bodoh, bahkan
politik etis pun disinyalir sebagai upaya pelenyapan budaya asli Indonesia—makin
memperkuat pengaruh barat. Batik sebagai pakaian sehari-hari perlahan tergeser sedikit
demi sedikit oleh pakaian modern yang lebih praktis, tidak se“kuno” dan serumit
batik dari sisi fungsi maupun tata cara pemakaian. Batik terlupakan dan tak
lebih dari sekedar seragam wajib buat siswa SD ataupun PNS.
Namun ajaibnya pemakaian
elemen batik untuk upacara adat tampak masih dipertahankan mengingat tingkat
kesakralan dan tradisinya. Tampaknya batik belum dapat digantikan dalam prosesi
upacara adat. Dalam hal ini kedudukan keraton-keraton Nusantara, termasuk
Keraton Yogyakarta dan Surakarta masih dapat diandalkan dalam mempertahankan
warna warisan budaya batik di Indonesia di tengah busana modern yang serba
praktis.
Entah hal ini disadari
atau tidak oleh para tamu undangan yang hari ini menghadiri sebuah acara resepsi
pernikahan dengan membalut tubuh mereka dalam batik. Terlepas pemakaian batik
dapat diterjemahkan sebagai: bentuk perlawanan dari klaim sepihak sejumlah
budaya oleh negara lain, hari Jumat harinya batik, dan perayaan hari batik tiap
tanggal 2 Oktober. Jauh di dalam hati, mereka telah menyadari bahwa batik telah
menjadi simbol tradisi sekaligus identitas bangsa dalam sebuah prosesi sakral penuh
ritual macam pernikahan, atau barangkali batik dilihat sebagai betuk romatisme
masa lalu dimana batik masih menjadi sandangan sehari-hari. Sebuah romantisme
yang tak dapat dilakukan sebebasnya pada masa sekarang. Sebab memakai batik
tiap hari justru dipersepsikan berbeda oleh orang Indonesia modern. Bisa jadi khawatir
dinilai pamer, karena batik identik pula dengan harga mahal atau dinilai tidak
membaur dalam iklim modern dan atau kembali lagi ke awal memakai batik malah dinilai
hendak menghadiri respsi pernikahan.
oleh Jino Jiwan
Sebagian disarikan dari:
Djumena, Nian S, 1990, Batik dan Mitra, Batik and It’s Kind, Jakarta:
Djambatan.
Suyanto, A.N, 2002, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta:
Merapi.
0 komentar:
Posting Komentar