Dosa-dosa Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk

20.47.00 jino jiwan 23 Comments

Sepertinya hari itu aku sedang gak berjodoh dengan film bagus. Aku pilih nonton film yang sedang gila-gilaan promosinya: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Alasannya sederhana, karena penasaran saja. Kata iklan ini film sudah menyedot sekian juta koma sekian penonton, dan sialnya aku termasuk salah satu dari sekian penonton itu. Aku memang belum baca bukunya (sehingga sama sekali tidak tahu plotnya bakal seperti apa) tapi aku percaya antara buku dan film harus diberi perlakuan yang berbeda. Film ini adalah salah satu contoh kasus di mana semua elemen yang ditampilkan sangat gagal menghibur. Ujung-ujungnya ini film dragging banget. Film ini membawa aku tenggelam bukan terhanyut. Iya, tenggelam dalam rasa bosan dan kesal. Kenapa aku sampai membeli tiketnya dan menghabiskan 2 jam waktuku buat menonton sesuatu-yang-disebut-film-ini (?). Sungguh amat sangat maha mengecewakan. Tapi akhirnya aku temukan kenapa, barangkali supaya aku bisa menulis ketikan ini untuk menghujat film bioskop yang paling bikin aku kecewa sepanjang hayat. Setidaknya hingga saat ini.

Berikut dosa-dosa film ini menurutku.

Tempo yang supeeerrr lambaaattttt. Aku tidak menduga film bakal selambat ini. Apalagi terlalu banyak voice over surat menyurat, seolah tidak ada cara lain yang lebih kreatif dalam menyampaikan adegan surat menyurat. Akibatnya konflik berjalan tidak menarik. Konflik naik hanya sebentar itu pun tidak ikut membawa emosiku sebagai penonton.  

“Sumpah mati” lagu-lagunya Nidji bising banget di film ini. Penempatan lagu-lagunya sungguh salah alamat; salah adegan; salah secara timeline. Aku tidak mengerti kenapa mereka dipilih untuk bikin soundtrack film yang berseting 1930-an. Jangan salah mengerti, Nidji bukannya jelek (walaupun aku juga gak nge-fans). Gaya pop mereka dan instrumen musik modern jelas tidak tepat masuk ke dalam film. Kalau pun mereka memang benar-benar dipilih untuk mengisi soundtrack, seharusnya tidak perlu dimainkan terus-menerus di sejumlah adegan. Cukup mainkan saja di end-credit, agar tidak mengganggu nuansa zaman dulunya. Jika begini berarti yang salah sutradaranya yang memaksakan untuk memasukkan musik modern ke dalam adegan. Belum lagi nanti di tengah-tengah film muncul musik ‘dugem’ pada saat mereka menari-anri di pesta yang terdengar persis seperti dugem hari ini.

Miskin set dan properti. Aku bukan ahli sejarah yang tahu seperti apa 1930-an. Tapi setingnya kelihatan sekali berasal dari masa kini. Amat kurang meyakinkan untuk mendukung suasana 1930-an. Butuh lebih dari sekedar mobil kuno yang masih kinclong untuk membuat latar 1930-an terlihat nyata. Penata set-nya males banget buat hunting lokasi. Latar Batavia juga cuma ambil alakadarnya dari sekitaran kota tua. Tinggal tambahin bule-bule mejeng, jadi deh Batavia 1930-an. Bahkan tampak di salah satu adegan di mana bangunannya adalah bangunan kuno di kota tua yang kusam dan nyaris rubuh itu. Sama pula yang terjadi dengan latar Surabaya yang jauh lebih malas lagi pilihan latarnya. Malah untuk bagian-bagian akhir seting film hanya berkisar di rumah besar yang entah ada di mana itu.

Aktingnya payah. Yang kelihatan segar malah penampilan personelnya Nidji. Dia lumayan menolong film ini dengan penampilannya yang agak komikal, tanpa dia ini film kering kerontang. Dan omong-omong buat apa Reza Rahadian di sini? Karakternya gak begitu jelas antara pemabuk; penjudi; orang baik; orang jahat; orang tobat. Dia terbuang sia-sia di sini.

Weaklink: Herjunot Ali lagi-lagi Herjunot Ali. Aktingnya gak jauh bedanya dengan film Di bawah Lindungan Kabah. Lebih mendingan sedikitlah. Nada suaranya lebih mengganggu, karena sepertinya dia kali ini tengah berusaha keras terdengar macho tapi sayangnya gagal. Menurutku dia malah terdengar kayak Batman (tapi versi cemennya). Dia pun gak terlihat meyakinkan sebagai penulis sukses, atau minimal penulis biasa. Waktu karakternya jadi orang kaya (mendadak!), dia juga tidak terlihat meyakinkan kalau dia itu orang kaya. Kemudian waktu dia bertemu kembali dengan Hayati, dia juga tidak terlihat sebagaimana mestinya, entah itu tangguh atau kuat atau menyembunyikan perasaan.

Karakternya Pevita Pearce sebagai Hayati juga lemah. Sepertinya Hayati ini karakter yang bingung dengan dirinya sendiri. Sulit rasanya untuk peduli sama karakter ini. Dikit-dikit nangis dan setiap nangis dia seolah meminta belas kasihan penonton untuk ikut membelanya.  Jujur tiap dia nangis rasanya aku ingin dia mati saja. Eh, kok mati sungguhan. Kenapa karakternya tampak bingung? Nyatanya pas dia dideketin sama Reza Rahadian (Aziz), kayaknya dia demen juga (malu tapi mau). Adegan di pacuan kuda apalagi tuh (pas si Herjunot dicuekin), mengesankan Hayati menikmati jadi orang kaya. Lalu saat dia dikasari oleh suaminya, entah kenapa kok rasanya dia seolah meminta penonton bersimpati padanya. Salah siapa ini? Mungkin salah naskah filmnya. Treatment-nya keliru. Aku sebagai penonton jadi menangkap bahwa karakternya memang seorang cewek labil yang ingin diperhatikan.

Make up-nya malas. Entah apa yang terjadi dengan make-up department. Mungkin karena perintah sutradara sehingga aktor-aktrisnya tetap kelihatan ganteng dan cantik biarpun sedang sakit atau susah atau habis tenggelam. Rambutnya Herjunot tetap rapi sisiran ke arah kiri waktu dia sakit. Mukanya Pevita tetap cantik waktu mau mati. Barangkali salah permainan nuansa warna. Karena ajaibnya ketika suasana seharusnya haru, lighting–nya malah hangat dan kuning-jingga.

Kapalnya amat sangat gak jelas. Special effect kapal bisa dibilang pas-pasan. Tenggelamnya pun entah apa penyebabnya. Pokoknya cita-cita kapal ini seolah cuma mau tenggelam saja, biar sama membenarkan judul. Aku harus menunggu lama dalam kantuk hingga jelang akhir film untuk menanti apa yang dimaksud oleh judul film. Namun, pertanyaan sesungguhnya adalah mengapa kapal yang hanya muncul sekian menit jelang akhir film menjadi hal penting bagi kisah ini. Atau kira-kira dengan kata lain, kenapa judulnya mesti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk? Bukannya lebih baik judulnya Teroesir atau Balada Zainudin dan Hayati. Ini adalah masalah bagi penulis naskah untuk menjelaskan dan tidak memberi alasan semata “karena memang judul bukunya begitu.”

Orang yang paru-parunya tenggelam masih bisa ngomong. Masa orang yang paru-parunya kemasukan air dan pendarahan masih bisa ngomong? Ngomongnya dengan jelas lagi. Dan ternyata muncul elemen klise di mana orang yang sedang sakaratul maut masih bisa ngomong tepat sebelum nyawanya oncat. Kurasa ini hanya plot yang bertujuan buat menguras air mata penonton. Tidak lebih.

Kata-kata penutup yang sok mau ngajarin pesan moral. Dan lagi-lagi penutup filmnya mau sok ngajarin penonton untuk mengambil hikmah tertentu. Pesan moral ini juga dijejalkan dengan gamblangnya lewat dialog penghujung film, seolah para penonton adalah kumpulan orang blo’on yang sulit paham apa maksud isi cerita. Persis seperti film 5 cm yang endingnya menurutku gak banget itu (Di film 5 cm, masak setelah mereka sukses naik puncak gunung lalu tiba-tiba pidato di depan bendera? Sungguh konyol!). Kenapa penonton harus diberi tahu pesan moral film ini? Biarkanlah penonton menerjemahkan sendiri. Menikmati ending film dengan mengimajinasikan sendiri apa makna film bagi diri masing-masing. Hey, ini kan bukan sinetron yang harus selalu ada ‘suara hatinya’ buat menjelaskan ke penonton.

Satu hal yang bikin aku kesal sama film ini adalah kenyataan bahwa di IMDB, film ini mendapat rating 8. Sepertinya tidak banyak orang yang memberi rating di sini (mungkin karena tidak tahu). Sebuah rating yang terlalu tinggi menurutku. Baru sesudah aku cek. Ternyata 41% orang memberi nilai 10, sehingga tidak heran jika ratingnya mengalahkan film Soekarno: Indonesia Merdeka

Tapi baiklah. Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku untuk berhati-hati jika mau menonton film. Lihat-lihat dulu siapa jajaran aktor-aktrisnya, siapa penulis naskahnya (bayangkan loh ada 4 penulis naskah!), siapa sutradaranya, dan paling penting siapa produsernya.

Jika berkenan silakan baca review-ku untuk film ini di IMDB.

23 komentar: