Dosa-dosa Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk
Sepertinya hari itu aku
sedang gak berjodoh dengan film bagus. Aku pilih nonton film yang sedang gila-gilaan
promosinya: Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk. Alasannya sederhana, karena penasaran saja. Kata iklan ini film sudah
menyedot sekian juta koma sekian penonton, dan sialnya aku termasuk salah satu dari
sekian penonton itu. Aku memang belum baca bukunya (sehingga sama sekali tidak tahu
plotnya bakal seperti apa) tapi aku percaya antara buku dan film harus diberi
perlakuan yang berbeda. Film ini adalah salah satu contoh kasus di mana semua
elemen yang ditampilkan sangat gagal menghibur. Ujung-ujungnya ini film dragging banget. Film ini membawa aku
tenggelam bukan terhanyut. Iya, tenggelam dalam rasa bosan dan kesal. Kenapa
aku sampai membeli tiketnya dan menghabiskan 2 jam waktuku buat menonton sesuatu-yang-disebut-film-ini
(?). Sungguh amat sangat maha mengecewakan. Tapi akhirnya aku temukan kenapa, barangkali
supaya aku bisa menulis ketikan ini untuk menghujat film bioskop yang paling bikin
aku kecewa sepanjang hayat. Setidaknya hingga saat ini.
Berikut dosa-dosa film
ini menurutku.
Tempo yang supeeerrr lambaaattttt. Aku tidak menduga film bakal selambat ini. Apalagi terlalu
banyak voice over surat menyurat,
seolah tidak ada cara lain yang lebih kreatif dalam menyampaikan adegan surat
menyurat. Akibatnya konflik berjalan tidak menarik. Konflik naik hanya sebentar
itu pun tidak ikut membawa emosiku sebagai penonton.
“Sumpah mati” lagu-lagunya Nidji bising banget di
film ini. Penempatan
lagu-lagunya sungguh salah alamat; salah adegan; salah secara timeline. Aku tidak mengerti kenapa mereka
dipilih untuk bikin soundtrack film yang
berseting 1930-an. Jangan salah mengerti, Nidji bukannya jelek (walaupun aku juga
gak nge-fans). Gaya pop mereka dan
instrumen musik modern jelas tidak tepat masuk ke dalam film. Kalau pun mereka memang
benar-benar dipilih untuk mengisi soundtrack,
seharusnya tidak perlu dimainkan terus-menerus di sejumlah adegan. Cukup mainkan
saja di end-credit, agar tidak mengganggu
nuansa zaman dulunya. Jika begini berarti yang salah sutradaranya yang memaksakan
untuk memasukkan musik modern ke dalam adegan. Belum lagi nanti di
tengah-tengah film muncul musik ‘dugem’ pada saat mereka menari-anri di pesta yang
terdengar persis seperti dugem hari ini.
Miskin set dan properti. Aku bukan ahli sejarah yang tahu seperti apa
1930-an. Tapi setingnya kelihatan sekali berasal dari masa kini. Amat kurang meyakinkan
untuk mendukung suasana 1930-an. Butuh lebih dari sekedar mobil kuno yang masih
kinclong untuk membuat latar 1930-an terlihat nyata. Penata set-nya males banget
buat hunting lokasi. Latar Batavia juga
cuma ambil alakadarnya dari sekitaran kota tua. Tinggal tambahin bule-bule
mejeng, jadi deh Batavia 1930-an. Bahkan tampak di salah satu adegan di mana
bangunannya adalah bangunan kuno di kota tua yang kusam dan nyaris rubuh itu. Sama
pula yang terjadi dengan latar Surabaya yang jauh lebih malas lagi pilihan
latarnya. Malah untuk bagian-bagian akhir seting film hanya berkisar di rumah
besar yang entah ada di mana itu.
Aktingnya payah.
Yang kelihatan segar malah penampilan personelnya Nidji. Dia lumayan menolong
film ini dengan penampilannya yang agak komikal, tanpa dia ini film kering
kerontang. Dan omong-omong buat apa Reza Rahadian di sini? Karakternya gak begitu
jelas antara pemabuk; penjudi; orang baik; orang jahat; orang tobat. Dia terbuang
sia-sia di sini.
Weaklink: Herjunot Ali lagi-lagi
Herjunot Ali. Aktingnya gak jauh bedanya
dengan film Di bawah Lindungan Kabah. Lebih
mendingan sedikitlah. Nada suaranya lebih mengganggu, karena sepertinya dia kali
ini tengah berusaha keras terdengar macho tapi sayangnya gagal. Menurutku dia malah
terdengar kayak Batman (tapi versi cemennya). Dia pun gak terlihat meyakinkan sebagai
penulis sukses, atau minimal penulis biasa. Waktu karakternya jadi orang kaya (mendadak!),
dia juga tidak terlihat meyakinkan kalau dia itu orang kaya. Kemudian waktu dia
bertemu kembali dengan Hayati, dia juga tidak terlihat sebagaimana mestinya,
entah itu tangguh atau kuat atau menyembunyikan perasaan.
Karakternya Pevita Pearce sebagai Hayati juga lemah. Sepertinya Hayati ini karakter yang bingung dengan dirinya
sendiri. Sulit rasanya untuk peduli sama karakter ini. Dikit-dikit nangis dan setiap
nangis dia seolah meminta belas kasihan penonton untuk ikut membelanya. Jujur tiap dia nangis rasanya aku ingin dia
mati saja. Eh, kok mati sungguhan. Kenapa karakternya tampak bingung? Nyatanya
pas dia dideketin sama Reza Rahadian (Aziz), kayaknya dia demen juga (malu tapi
mau). Adegan di pacuan kuda apalagi tuh (pas si Herjunot dicuekin), mengesankan
Hayati menikmati jadi orang kaya. Lalu saat dia dikasari oleh suaminya, entah
kenapa kok rasanya dia seolah meminta penonton bersimpati padanya. Salah siapa
ini? Mungkin salah naskah filmnya. Treatment-nya keliru. Aku sebagai penonton jadi
menangkap bahwa karakternya memang seorang cewek labil yang ingin diperhatikan.
Make up-nya malas.
Entah apa yang terjadi dengan make-up department.
Mungkin karena perintah sutradara sehingga aktor-aktrisnya tetap kelihatan ganteng
dan cantik biarpun sedang sakit atau susah atau habis tenggelam. Rambutnya
Herjunot tetap rapi sisiran ke arah kiri waktu dia sakit. Mukanya Pevita tetap
cantik waktu mau mati. Barangkali salah permainan nuansa warna. Karena ajaibnya
ketika suasana seharusnya haru, lighting–nya malah hangat dan kuning-jingga.
Kapalnya amat sangat gak jelas. Special
effect kapal bisa dibilang pas-pasan. Tenggelamnya pun entah apa
penyebabnya. Pokoknya cita-cita kapal ini seolah cuma mau tenggelam saja, biar sama
membenarkan judul. Aku harus menunggu lama dalam kantuk hingga jelang akhir film untuk menanti apa yang dimaksud oleh judul film. Namun, pertanyaan sesungguhnya adalah mengapa
kapal yang hanya muncul sekian menit jelang akhir film menjadi hal penting bagi
kisah ini. Atau kira-kira dengan kata lain, kenapa judulnya mesti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk?
Bukannya lebih baik judulnya Teroesir atau
Balada Zainudin dan Hayati. Ini adalah
masalah bagi penulis naskah untuk menjelaskan dan tidak memberi alasan semata “karena
memang judul bukunya begitu.”
Orang yang paru-parunya tenggelam masih bisa ngomong. Masa orang yang paru-parunya kemasukan air dan
pendarahan masih bisa ngomong? Ngomongnya dengan jelas lagi. Dan ternyata
muncul elemen klise di mana orang yang sedang sakaratul maut masih bisa ngomong
tepat sebelum nyawanya oncat. Kurasa ini hanya plot yang bertujuan buat
menguras air mata penonton. Tidak lebih.
Kata-kata penutup yang sok mau ngajarin pesan moral. Dan lagi-lagi penutup filmnya mau sok ngajarin
penonton untuk mengambil hikmah tertentu. Pesan moral ini juga dijejalkan dengan
gamblangnya lewat dialog penghujung film, seolah para penonton adalah kumpulan orang
blo’on yang sulit paham apa maksud isi cerita. Persis seperti film 5 cm yang endingnya menurutku gak banget itu (Di film 5 cm, masak setelah mereka sukses naik puncak gunung lalu tiba-tiba
pidato di depan bendera? Sungguh konyol!). Kenapa penonton harus diberi tahu
pesan moral film ini? Biarkanlah penonton menerjemahkan sendiri. Menikmati ending film dengan mengimajinasikan
sendiri apa makna film bagi diri masing-masing. Hey, ini kan bukan sinetron yang
harus selalu ada ‘suara hatinya’ buat menjelaskan ke penonton.
Satu hal yang bikin aku
kesal sama film ini adalah kenyataan bahwa di IMDB, film ini mendapat rating 8.
Sepertinya tidak banyak orang yang memberi rating di sini (mungkin karena tidak
tahu). Sebuah rating yang terlalu tinggi menurutku. Baru sesudah aku cek. Ternyata
41% orang memberi nilai 10, sehingga tidak heran jika ratingnya mengalahkan
film Soekarno: Indonesia Merdeka.
Tapi baiklah. Biarlah
ini menjadi pelajaran bagiku untuk berhati-hati jika mau menonton film. Lihat-lihat
dulu siapa jajaran aktor-aktrisnya, siapa penulis naskahnya (bayangkan loh ada 4 penulis naskah!), siapa
sutradaranya, dan paling penting siapa produsernya.
Jika berkenan silakan baca review-ku untuk film ini di IMDB.
Jika berkenan silakan baca review-ku untuk film ini di IMDB.
23 komentar:
Posting Komentar