Cerita tentang Tawon dan Lebah

23.30.00 jino jiwan 0 Comments


Belakangan ini aku sudah banyak membunuh…tawon. Iya tawon, tawon yang warnanya coklat gelap kemerahan itu loh. Aku gak yakin apa bahasa Inggrisnya yang tepat, apakah wasp atau hornet (tapi sepertinya wasp sih, itu loh monster yang nama-Jawanya tawon endas).

tawon endhas tewas (koin 500 untuk pembanding ukuran)

Jadi ceritanya beberapa malam lalu aku berpapasan dengan satu ekor. Besar lagi legam. Dia bersembunyi di korden pintu kamar kerjaku, entah dari mana si motherfucker ini masuk dan ada keperluan apa, mengapa pula dia tidak punya sopan santun larut begini menggangguku.

Dengan sigapnya aku menggerakkan kepala sedikit untuk menghindarinya. Sumpah, cara ini sangat ampuh memberitahu si tawon bahwa aku-kamu adalah makhluk hidup yang not to be mess around with. Si tawon biasanya akan mengerti dan akan memilih terbang menjauh.

Insting orang yang belum aware (alias ngeh) adalah mengibaskan tangan ke arah tawon. Ini kesalahan besar. Sebab jika tanganmu menaboknya maka yakinlah dijamin 99% si tawon yang sok innocent itu bakal menyengatmu…di sekeliling kepala (itu sebabnya mereka disebut tawon endas kan?).

Andaikata ini terjadi. Pertolongan pertama yang ampuh pada kasus sengatan tawon adalah melumatkan bunga lalu mengusapkannya pada bagi tubuh yang disengat. Dan gak usah coba-coba disusul dengan joke garing Bunga Citra Lestari atau bahkan Bunga Sejuk Segar (wisudawati UGM yang lulus bareng 2018 kemarin, ck aku ingat terus namanya). Kalau mengusap-usap mereka mah bisa diperkarakan aku.

Bunga yang ku maksud adalah sebagaimana yang sepakati sebagai bunga oleh orang-orang. Bunga yang merupakan bagian dari tumbuhan, bunga yang terdiri dari putik, serbuk sari, mahkota, kelopak, dll., yang tak lain organ reproduksi tumbuhan.

Jadi teknik ini semacam mengusapkan alat kelamin mereka ke kita. Pikirkan ini lagi ketika manusia membudayakan menghirup wangi bunga, sebenarnya sama dengan menghirup alat kelamin. Bukankah kita jadi lebih bisa mengapresiasi apa yang dilakukan bintang bokep setelah membaca ini?

Eniwei, aku pelajari pengobatan ini dari simbah putri. Ketika pada suatu siang di masa kecil aku secara reflek menabok tawon yang usil mengitari kepalaku. Si tawon itu serta merta mendaratkan jarum pantat keparat itu di belakang telingaku. Rasa perih itu langsung menguar. Melihat itu beliau segera memetikkan bunga (sepertinya bunga terompet warna pink) dan memerintahkan kepadaku untuk menggosokkannya.

Ajaib, rasa sakitnya langsung hilang. Lebih mujarab daripada minyak gosok ataupun balsem. Dalam beberapa hari saja bengkaknya sudah lenyap.

Kembali ke situasi malam di parapraf ketiga. Di terang hari (maksudnya pagi-sore) tawon akan segera menjauhimu dan mencari pintu keluar bila kamu menggunakan trik tadi (menggerakkan kepalamu menghidari si tawon). Tapi di malam hari, di dalam ruangan, sementara aku masih butuh menggarap sesuatu di kamar. Maka tiada pilihan lain, si Tawon perlu dieliminir.

Pilihan untuk itu tidak banyak, racun serangga semprot atau api (kertas dibakar atau pakai lilin, mereka kan takut api).

Yang terdekat adalah racun serangga. Sayangnya tawon jenis ini tergolong tough bastard. Tidak seperti another prick kecoa alias coro yang bisa langsung teler dalam satu kali semprot. Si Tawon lazimnya butuh lebih dari lima semprot sebelum berkelonjotan (tapi aku sendiri pernah mencoba hanya menyemprotkan sekali saja ke si tawon. Tetap mati dianya, tapi butuh waktu yang lebih lama. Lamaaa sekali), seperti yang aku lakukan malam itu.

Tentu saja aku sadar bahwa setiap makhluk (mati maupun hidup) masing-masing punya perannya dalam ekosistem, dalam rantai makanan. Tapi astaga, kenapa juga sengatan mereka mesti sepedih itu juga? Kenapa pula mereka tidak langsung tewas seperti lebah madu yang perutnya robek akibat kehilangan sengat, membuat mereka menjadi martir. Kenapa mereka masih bisa mabur kabur dengan sempurna sementara orang yang disengatnya terkapar dan meringis?

Sialnya ini pula yang sering bikin aku tidak merasa terlalu bersalah ketika membunuhi mereka. Malahan agak lumayan puas, karena mereka…hmm…seperti semboyan yang beredar luas di internet, wasps are asshole, while bees are good, bukankah demikian?

Ayamku saja secara instingtif emoh melihat bangkai tawon. Karena mereka tahu bahwa bahkan saat sudah matipun, tawon tetaplah asshole till die. Beda dengan jenis serangga lain yang bisa jadi kudapan mereka seperti jangkrik, belalang, atau bahkan kecoa.

Namun nyatanya ketika kita (baiklah, aku) membunuh tawon maka itu suatu kerugian bagi semesta ekosistem, karena konon kita bisa berjumpa dengan serangga yang lebih jelek lagi: lalat hijau dan ulat hama. Tanpa tawon kita akan menghadapi masalah hama pertanian. Itu karena mereka adalah predator bagi hama.

Beda dengan koloni lebih madu yang begitu baiknya menyediakan madu melebihi kemampuan mereka sendiri untuk menghabiskannya.

Dulu sewaktu masih anak-anak, sewaktu kami masih tinggal sebuah rumah dinas di Singaraja, Bali. Di salah satu sudut luar belakang rumah, tepatnya di bawah atap rumah yang eternitnya jebol terdapatlah sarang lebah madu liar. Kami tidak tahu persis kapan koloni itu mulai bersarang di situ. Tahu-tahu sudah membesar saja (kira-kira lebarnya 1x1 meter).

Penghuninya pun tak terhitung. Mereka berseliweran di belakang rumah. Disengat lebah madu sudah biasa bagi anggota keluarga kami. Karena saking biasanya, rasanya tidak lagi sakit untukku. Oke, masih tetap bikin bengkak sih. Tinggal diusap minyak angin juga sembuh.

Aku tidak tahu dari mana lebah-lebah pekerja tersebut menghisap nektar bunga, karena di kisaran rumah tidak banyak tanaman berbunga. Tapi yang jelas mereka sering mengambil air dari bak penampungan air (buat mencuci piring) yang juga ada di belakang rumah. Kami tahu jika ada lebah sedang ‘minum’ maka otomatis kami menghindarinya atau menunggu dia selesai dulu dengan urusannya.

Gambar terkait
kira-kira seperti ini (gambar ambil dari Fimela dari Google Search)
Hingga pada suatu hari, Bapak dan Ibu merasa bahwa sudah waktunya sarang lebah itu disingkirkan karena sudah demikian mengganggu kenyamanan penghuni rumah. Pasalnya bukan saja kami yang kena sengat, tapi tetangga juga. 

Tetangga terdekat adalah anak-anak penghuni asrama SLB-B (untuk bisu dan tulis/tuna wicara dan tuna rungu) seusia SD-SMP. Bukan bocah-bocah yang punya akses mudah terhadap pengobatan terhadap sengatan lebah. Yang mereka bisa lakukan adalah menangis kesakitan. Percayalah erangan anak bisu jauh lebih tidak enak didengar.

Cerita adanya sarang lebah madu liar pun menyebar di lingkungan. Maka datanglah orang yang memang sudah terlatih untuk menyingkirkan (merusak?) sarang lebah. Seorang kerabat dari kepala SLB. Dia menawarkan diri (setengah memaksa) untuk memanen madu dari sarang lebah itu.

Kami sekeluarga menyaksikan dari jarak 5-7 meter, bagaimana dia beraksi tanpa baju pelindung sama sekali. Pertama-tama dia mengasapi sarang dengan bakaran dupa yang biasa digunakan untuk sembahyang sehingga lebah-lebah itu jadi mabuk. Tapi itu toh tidak cukup mencegah beberapa lebah merubungi tubuhnya.

Bapak dan Ibu sempat menduga orang ini pakai ‘ilmu’. Maksudnya semacam ilmu kebal. Mungkin dengan merapal mantra atau pakai jimat. Di Bali hal demikian bukan hal mengejutkan.

Sayangnya sebagai orang yang ketempatan, kami hanya diberi sedikit dari madu yang dipanen. Seingatku satu botol sirup ABC Squash (kedua orang tuaku bilang kurang dari itu). Aku sendiri gak suka rasanya. Tetap manis sih tapi terlalu kasar. Banyak serpihan sarang dan mungkin larva lebah.
Sama seperti sepupunya yang mudah tersinggung, tawon, lebah terlebih yang liar (bukan diternakkan) pun juga berperan vital terhadap kelangsungan rantai makanan. 

Andai aku punya kuasa, aku tidak akan mengganggu sarang mereka ketika itu. Aku akan memilih membiarkan mereka hidup di belakang rumah dan berdampingan dengan kami. 

Well, tetap beda kasusnya dengan tawon, asal mereka gak ganggu banget mereka akan kubiarkan melanglang buana, tapi kalau sudah kelewatan jangan salahkan jika kusemprot dengan racun serangga atau kubakar.

0 komentar:

Imajinasi Pedesaan di Kampung Mina Padi

01.16.00 jino jiwan 0 Comments


Sore hari di musim kemarau adalah waktu paling menyenangkan. Anti mendung, tiada hujan, iklimnya hangat pula. Di daerah Jogja utara masih ketambahan udara sejuk, terlebih kalau kamu mengunjungi desa wisata yang belakangan semakin trending saja, thanks to the rise of narcism on social media. Semua orang ingin menunjukkan bahwa diri merekalah yang paling unggul jumlah katalog travelingnya.

Mungkin, mungkin ya. Kalau kamu termasuk penikmat desa. Monggo monggo menyambangi desa wisata satu ini. Namanya Kampung Mina Padi. Berada di dusun Samberembe, kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta, letaknya di sisi timur dari dusun, diapit persawahan, di pesisir kali Boyong.

Jalan di depan Kampung Mina Padi, Perhatian: lokasi tidak di pinggir jalan besar.
Dinamakan “kampung” dan bukannya “desa” tak lain karena ia bukan desa dalam pengertian adminsitratif, melainkan suatu kawasan imajinatif pedesaan. Tau sendiri kan, semacam ruang khusus yang disediakan untuk pelancong modern agar dapat merasakan sesuatu yang barangkali lama mereka rindukan. Sesuatu yang mereka merasa kehilangan.

Penampakan gerbang depan Kampung Mina Padi

Kehilangan apa itu? Insting alamiah laten manusia yang, ingin memandangi sesuatu yang ijo royo-royo yakni sawah. Diiringi alunan gemericik air sungai yang mengalir ke kolam ikan, hembusan lembut angin beraroma lumpur sawah, dan sebongkah gunung di kejauhan.

Kira-kira seperti itulah gambaran Kampung Mina Padi. Berusaha menggodamu untuk kembali ke desa, kembali ke kehidupan bercocok tanam, jadi petani.

Sign System yang mencoba membangkitkan jiwa agraris masa lampaumu
Penampakan calon petani milenial
Jodohku Anak Pak Tani, bisa jadi judul FTV yang bagus
Sekilas informasi yang kuperoleh, pemrakarsa proyek ini adalah seorang petani bernama Timbul yang rumahnya berdiri tepat di seberang jalan Kampung Mina Padi. Tidak mengherankan jika dia kemudian ingin mempromosikan pekerjaan petani. Yang kita sama-sama tahu profesi ini dikenal masih banyak pahitnya. Setidaknya dalam berita di media massa, di mana harga jual dari apapun yang mereka tanam kerap tidak sebanding dengan jerih payah yang dikeluarkan.

Kail dan jala bisa menghidupimu?

Dengan luas 3 hektar, kampung ini didominasi kolam yang jumlah ikan(nila)nya mungkin mencapai ribuan ekor, dilengkapi dengan arena yang hari ini kita kenal dengan outbond. Tak ketinggalan tentu sawah, sawah, dan sawah dengan tanaman padi yang tumbuh begitu rimbun nan subur. Lokasi yang sungguh menyejukkan hati. Pas buat warga urban melepas penat dari ruwetnya pikiran.

platform buat melatih kekompakan (konon katanya)
Tapi bukan hanya itu, ia juga seperti yang sudah kusebut sekilas, mewakili imajinasi pedesaan. Imajinasi pedesaan ini di/membentuk gambaran dan konsep mental yang mendahului realitas, yakni pedesaan yang ideal. Ideal menurut industri wisata kekinian.

Ini makanya desa biasa yang dibiarkan tumbuh dan berkembang tanpa strategi kebudayaan tidak akan menarik di mata pelancong. Karena bahkan gambaran desa yang ijo royo-royo, dll. itu sudah mulai jarang dijumpai di desa pada umumnya.

Di Kampung Mina Padi ini imajinasi pedesaan dilekatkan—mungkin kamu sudah bisa baca di atas—pada pertanian, sehingga teknik pertanian yang sebenarnya modern menyaru seolah tradisional di saat bersamaan. Sehingga selain muncul kesan klasik bahwa pertanian=pedesaan (dan sebaliknya), juga muncul bahwa bertani=kembali ke tradisi asali yang sederhana, padahal secara terang-terangan kampung ini tidak sungkan memamerkan papan-papan bertuliskan jenis bibit unggul bersponsor.

Dilihat dari rimbun dan sehatnya padi ini, perawatannya pasti serius dan berbujet tinggi

Jadi pelancong tidak hanya mendapat udara segar, keeksotisan desa, dan yang pasti foto-foto untuk dipamerkan di Instagram, tapi sesungguhnya mereka juga beroleh pengetahuan bahwa kini jadi petani sudah jauh lebih mudah, semua berkat teknologi pertanian modern: bibit unggul yang orientasinya adalah produksi.

Maka pada ujungnya tanpa disadari apa yang awalnya hanya imajinasi tentang desa, sedikit-sedikitlah pasti mampu menyemai (kita pakai istilah tani) persepsi, opini, dan perilaku atas pertanian.

Dapat bantuan internasional! Jujur aku iri kenapa dusunku tidak mengembangkan diri juga seperti ini.

Lalu apakah pengunjung atau lebih tepat pelancong lantas ingin beralih diri jadi petani? Kalau aku sendiri sih lebih menjadikannya sebagai pengalihan sementara dari kemonotonan kerjaan…eskapisme, untuk kemudian balik lagi ke pekerjaan tetap. Tapi setidaknya upaya kampung Mina Padi menonjolkan ke-petani-annya ini layak diapresiasi. Maka mari kita nantikan beberapa tahun dari sekarang akankah jumlah petani meningkat?

Everything is dildo if you brave enough

Catatan:
Konsep Imajinasi dibantu dari bukunya Tedjoworo – Imaji dan Imajinasi

0 komentar:

Jadi Saksi Persidangan Cerai

16.41.00 jino jiwan 0 Comments


Mungkin akibat menonton serunya sidang sengketa Pilpres 2019 dan sidang kopi sianida Mirna-Jessica (2016) yang sama-sama ditayangkan di tv aku membayangkan kalau jadi saksi sidang cerai juga akan rumit, berbelit, dan makan waktu. Tapi ternyata prosesnya ringkas dan singkat.

Iya, aku diminta jadi saksi sidang gugatan cerai yang dilayangkan kerabat dekatku atas istrinya yang dinikahinya belum ada 2 tahun ini. Ironisnya tak lain aku sendiri adalah saksi mereka saat akad nikah. Dulu aku bilang, “sah!” sekarang bilang, “Pak hakim, mereka sudah tidak lagi satu rumah.”

Dari segi ruangan, ruang sidang ini jauh lebih kecil, tentu jika dibandingkan dengan ruang sidang pada umumnya, apalagi dibandingkan kasus yang kusebut di atas. Kursi yang disediakan untuk pihak berperkara hanya ada 6 buah, 2 di antaranya ditata di depan panggung para hakim.

Di atas panggung yang lebih tinggi beberapa centimeter dari lantai, meja warna coklat gelap nyaris memenuhi lebar ruang, menyisakan sedikit celah sekira 10 cm saja. Di baliknya duduk para hakim anggota dan seorang hakim ketua, juga panitera dengan komputernya.

Di belakang para hakim cuma ada satu daun pintu, satu-satunya akses mereka keluar-masuk ruang sidang. Patung Garuda Pancasila menjadi satu-satunya hiasan dinding, bertengger tanpa diapit foto pres/wapres.

Setelah diambil sumpah, seorang hakim anggota bertanya kepada kami, para saksi. Dengan kacamata bersarang pada dahinya dia memulai bertanya kepada Saksi #1 tentang mengapa kerabat dekatku ini menggugat cerai isterinya dan kronologi peristiwa-peristiwa yang berujung pada gugatan, lalu kemudian kepadaku (saksi #2). Jujur saja aku merasa tidak banyak berguna karena hanya mengafirmasi dan mengonfirmasi keterangan Saksi #1, pertanyaannya juga hanya “apa benar begitu?” Iya benar, Pak, jawabku.

Ketika dirasa sudah cukup, hakim ketua yang kelihatan letih bertanya kepada kami selaku saksi, “sudah cukup?” cukup Pak.

Sesudah itu para saksi diminta keluar dari ruangan, menyisakan kerabatku itu. Kira-kira sepuluh menit dia sudah keluar ruang dan bilang bahwa proses cerai sudah beres, dalam sebulan surat-surat juga akan kelar.

Heran juga, hari itu orang yang mengurus perceraian cukup banyak, dari pagi jam 9 hingga melebihi waktu dhuhur sudah ada lebih 15 kasus ditangani. Jika ini bukan bukti bahwa pernikahan itu bukan jaminan orang bakal hidup berbahagia apa lagi? Kurasa juga karena banyaknya orang yang sudah gak betah hidup bersama orang yang dinikahinya ini proses sidang cerai berlangsung cepat.

Hebatnya masih banyak yang meyakini pernikahan layaknya gerbang memasuki hidup berbahagia. Si kerabat dekatku ini juga berpikir begitu, orang tuanya juga begitu.

Yang penting nikah dulu, entar pasti (insya Allah) bahagia. Padahal menikah itu menyatukan bukan saja dua kepala dan hati tapi juga seluruh anggota keluarga yang dinikahi. Pernikahan tidak pernah mudah, tidak berhenti di resepsi dan foto-foto. Melainkan terus menemukan lalu sanggup menerima perbedaan-perbedaan. Kalau tidak siap dan terlalu mengidealkan pernikahan sebagai tujuan akhir hidup ya gitu deh, berakhir di pengadilan agama.

0 komentar:

Hampir Sebulan Puasa di Sumberrejo Bojonegoro

15.45.00 jino jiwan 0 Comments

Ketikan di sini adalah pengalamanku sewaktu berpuasa di Sumberrejo. Belum sempat diunggah hingga Juli 2019 ini.

Ini kali kedua aku jauh dari rumah saat bulan puasa. Pertama di Jakarta, dan kini di Sumberrejo, sebuah kota kecamatan di Bojonegoro Jawa Timur, wilayah yang amat jarang masuk pemberitaan media mainstream nasional, tempat kerja baruku. Dan seperti lumrahnya orang yang ngekos, ada saja kendala dan kebahagiaan tersendiri yang aku alami selama 21 hari di sana.

Mari kita buka dari nikmatnya. Di sumberrejo secara kebetulan aku tinggal dekat Masjid At Taqwa Muhammadiyah yang berada dalam komplek sekolahan Muhammadiyah. Di mana khotib berkhotbah dengan ringkas dan imam-imam sholatnya berkualitas top notch, dengan bacaan enak didengar, dan jauh dari separo akhir Juz Amma, kecuali Qul hu (Al-Ikhlas).

Bangunan yang belum jadi itu masjidnya. Lantai terbawah digunakan untuk sholat

Di masjid ini pula setiap jelang berbuka ada takjil gratis bagi jamaah Maghrib dan pengajian yang selalu digelar setiap sore.

Takjil ini cukup serius meski tidak se-wah masjid-masjid kenamaan di Jogja yang menunya kerap disebar-sebar via medsos. Di masjid Sumberrejo, ada dua jenis takjil nasi. Satu yang berbungkus kertas nasi dan satu lagi yang berwadah kotak steriofoam. Jumlahnya pun melimpah, kadang turah turah. Kadang ada jamaah yang bisa mengantongi dua buah.

Menunya berganti dan beragam. Umumnya nasi dalam kotak steriofom lebih mewah dan lebih besar porsinya. Sementara nasi berbungkus kertas lebih sedikit dan lauknya masih di bawah yang satunya, walau tidak selalu demikian. Dari tempe, tahu, atau telor, hingga daging-dagingan: ayam, [kare] kambing, dan ikan.

Takjil berbungkus daun pisang dan kertas, enak kok
Nasi dalam kotak steriofoam

Kekurangannya adalah tidak ada nasi rames di Sumberrejo. Setidaknya pas bulan puasa warung yang biasanya jualan ramesan tutup, begitu menurut salah satu rekan kerja. Sebenarnya pangkal kesusahanku pada ketiadaan warung ramesan adalah ketiadaan sayur mayur matang. Bukan gimana-gimana sih, sayur, maksudku kandungan serat pada sayur sangat membantu pengeluaran jalur belakang.

Di rumah aku sudah biasa malahap sayur masakan Ibu, dari yang paling sederhana (kukusan + sambel pecel, itupun jika ada sambel pecelnya), sop, kuah-kuahan bening maupun bersantan, hingga yang paling kompleks: oseng-oseng.

Kalau pun ada yang mirip ya hanya bisa ditemui di nasi takjil. Kadang tersedia sayuran walau seuprit. Yang sering kujumpai adalah sayur urap atau sup yang wortelnya dipotong memanjang/melintang. Pernah ada sayur yang mirip sayur asem, hanya saja rasa asem-nya ekstra. Tidak seperti masakan rumahku yang asemnya semu, di sini beneran asem >.<

Karena itu aku mengganti keminiman sayur dengan buah-buahan. Secara bukan kebetulan, penjual buah bergerobak kaki lima berjejeran di tepian pasar Sumberrejo. Sayangnya, tidak ada buah kesukaanku: pisang. Kenapa? Gak tahu, tapi hanya sekali aku pernah melihatnya di pasar bagian dalam, bukan di bagian khusus penjual buah (itu pun kelihatan dari jenis yang kurang lezat). Apa mungkin karena pisang kebanyakan dibuat kripik dan ledre?

Yang tersedia hanya berkisar pada jeruk, salak, apel, pir, dan pepaya. Pepaya adalah buah favoritku nomor dua tapi pepaya lekas busuk bila tidak disimpan di kulkas. Dan karena aku bukan, mungkin belum menjadi, pengekos elite yang punya kulkas, maka aku menghindari pepaya. Apalagi pepayanya buesar buesaar. Lingkarnya lebih besar dari rata-rata kepala orang dewasa.

Akhirnya pilihan jatuh pada pir, buah yang lumayan aku gemari, tinggi kandungan air dan cukup kaya serat.

dua pir cukup, begitulah pesan KB (keluarga buah-buahan)

Nah, aku belinya pindah-pindah, dengan tujuan mencari mana yang memberi harga paling murah. Belinya juga paling pol cuma 2 butir, karena cuma kumakan sendiri, aku tidak mau mubazir, dan jaga-jaga kalau sampai bosen. Dari empat tempat, semuanya memberi harga berbeda-beda. Sampai akhirnya ada yang memberi harga Rp. 12 ribu untuk 2 butir, lalu ketika aku kembali ke situ lagi, si Ibu pedagang memberi harga Rp. 10 ribu. Jadilah aku auto-pelanggan. Mana dua kali pula diberi bonus masing-masing jeruk [lokal] dua buah dan salak tiga bongkah. Makasih Bu.

Tapi, sisa krikitan buah pir menimbulkan masalah. “harus kubuang kemana sisa pir ini?”
Gini, di rumah aku sangat peduli dengan isu lingkungan hidup, ngerti kan sampah organik dan plastik? Sampah plastik yang basah dan jelek biasanya dibakar, yang botol-botol dan perkakas jebol dijual ke rosok-rosok (penjual/pembeli rongsokan), yang plastik dan kresek kering diserahkan ke bank sampah dusun. Sedangkan sampah organik (sampah dapur, termasuk sisa buah) dilempar ke bawah pepohonan supaya jadi pupuk sekaligus jadi bonus makanan untuk ayam-ayamku.

Di kos-kosan semi urban macam gini kemana mau kubuang sisa buah-buahan? Jika kulempar ke bak sampah, kan malah bikin bau, karena isi bak sampah tidak akan segera diangkut sebelum penuh. Dan aku cukup yakin sampah demikian akan dibawa ke tempat pembuangan akhir dan berkontribusi terhadap aroma busuk lokasi tersebut.

Tiba-tiba, atau lebih tepatnya seolah-olah, kebun tidak jelas dan tampak tak terawat di seberang kos bersinar benderang (padahal malam loh). Kebun yang cukup luas itu ditumbuhi semak dan pohon-pohon pisang dibentengi tembok tinggi, tapi…masih kalah tinggi dibanding kamar kosanku di lantai 2.

Jadilah sejak itu aku melempar sisa buah pir ke kebun tersebut. Setidaknya kan bisa jadi pupuk, bagus lagi kalau biji pir itu tumbuh jadi pohon. Biar pemilik kebun bertanya-tanya, sekalian bersyukur, “kok bisa Ya Allah ada pohon pir di kebunku? Alhamdulillah…”

Iya, alhamdulillah. Aku juga bersyukur, atau setidaknya merasa lebih baik karena walau telah membuang sampah sembarangan namun dibungkus niat mulia. Itu mulia kan?

0 komentar: