Sang Pendekar

21.35.00 jino jiwan 0 Comments

,dadanya bolong seperti hidupnya...

Pada zaman yang tidak terlampau dahulu kala. Tersebutlah seorang pendekar berlengan kekar yang terkapar tumpas penasaran dalam sebuah adu kanuragan. Kenapa disebut tumpas penasaran? Gara-garanya cukup sepele, ia masih menjomblo sewaktu dijemput malaikat. Hingga napas sepenghabisannya ia ingin sekali punya kekasih walau hanya sekejap seumur hidup. Karena itulah ia rela bertarung dalam sayembara melawan pesaing bebuyutannya yang memang lebih linuwih, Pendekar Brotowali demi memperebutkan wanita idaman, Dewi Rara Polah.

Hidup sendiri, matinya pun sendiri. Begitulah garis nasib sang pendekar malang. Tak heran ia dikenal secara luas oleh warga nagari sebagai Pendekar Penyendiri, sebatang kara seumur-umur. Bisa dikatakan hidupnya bolong, seperti dadanya yang juga bolong terkena hantaman ajian Brotowali. Meski begitu  banyak juga warga yang bersedia mengantarkan dia ke pusara. Mereka adalah orang-orang yang dulu pernah ditolongnya lepas dari bromocorah, tapi juga sekaligus orang-orang yang membiarkan dia selalu berkelana sendirian kemana-mana tanpa pernah mau sekalipun menawarkan anak perempuan mereka untuk dinikahi si pendekar. Dan yang dilakukan para pengantar tak lebih dari ratapan yang diiba-ibakan, ditrenyuh-trenyuhkan, karena bagi mereka Pendekar Penyendiri hanyalah satu dari sekian ratus pendekar dalam hayat. Begitu jasad si pendekar lenyap diurug tanah merah, rombongan pelayat bubar dengan urusan masing-masing.

Berkebalikan dengan hidupnya yang sepisepi, catatan kebaikan Pendekar Penyendiri ternyata cukup lumayan ramai. Jiwa si pendekar langsung hendak diangkat ke Nirwana sebagai anugrah atas segala kebajikannya. Namun wajahnya murung tanpa semangat. Ia tak bersedia diajak ke alam sana di mana bidadari molek sudah melambai-lambai sapu tangan putih mewangi menanti untuk dibelai-belai. Alih-alih ia memohon agar dihadapkan kepada Sang Pengabul dan dengan kurang-dampratnya meminta untuk dihidupkan kembali sebagai keturunan dari si gadis pujaan. Alasannya, hanya dengan cara itu ia dapat beroleh pelukan hangat dan menyerap siraman kasih sayang dari si gadis pujaan yang maha jelita, walau sekali dalam kehidupan keduanya.

Ck, sempat-sempatnya si pendekar kita ini berpikiran sekalap itu, maklumlah namanya juga tumpas penasaran. Rupanya karena kasihan, Sang Pengabul yang memang suka mengabulkan bersedia meluluskan permintaan Pendekar Penyendiri. Dia hanya diminta menunggu saat yang tepat untuk dihadirkan kembali di muka bumi. Sembari menunggu, dengan penuh suka cita riang gembira ria Si Pendekar Penyendiri rajin menyempurnakan jurus itu jurus ini, tenaga mendalam, serta menciptakan puluhan jurus-jurus baru. Setiap usai berlatih, dia akan meluangkan diri untuk memikirkan dan menyebut nama gadis impiannya, lalu dia berlatih lagi tanpa patah tenaga. Lalu dia akan mendendangkan tembang rindu teruntuk Dewi Rara Polah, lalu berlatih kanuragan lagi, dan begitu seterusnya.

Waktu pun berkedip tanpa dirasa, Pendekar Penyendiri pun tak merasakannya. Tiba saatnya sang pendekar yang masih penasaran dipanggil ke hadapan Sang Pengabul. Hari itu dikatakan kepadanya bahwa dia akan dikirim ke perut sang gadis pujaan. Mendengar itu bukan bercanda bahagianya dia. Melonjaklah dia kegirangan. Tapi sebelumnya Pendekar Penyendiri meminta agar kesaktiannya tidak dilunturkan lewat kelahiran kembali itu dan dia juga memohon supaya tetap diberi ingatan sebagaimana adanya sebelum mati, dia cuma tak ingin ingatan rasa cintanya musnah. Sayang, berhubung jatah penuh karena ternyata yang minta dijadikan anak si gadis ini bukan cuma dia seorang dan juga karena Sang Pengabul tak ingin ada kisah Sangkuriang#2. Kelahiran kembali Si Pendekar Penyendiri telah mengalami penundaan dan baru kebagian jadi cucunya Dewi Rara Polah. Hal demikian tidak diberitahukan kepada Si Pendekar. Maka dalam ketidaktahuannya disemburkanlah jiwanya ke rahim nan hangat, di mana dia menanti menyapa dunia sembari bertapa mempersakti diri.

Berbulan kemudian tibalah saat yang ditunggu, lahirlah dia ke dunia disambut oleh si gadis pujaan, Dewi Rara Polah yang...sekarang sudah jadi nenek-nenek peyot bergelambir. Terpana dia dalam kejut dan kecewa, terlebih dia lahir bukan dari rahim si gadis impian. Pendekar Penyendiri murka sejadinya tapi yang muncul hanya tangisan dan rontaan ala bayi sewajarnya. Nenek Rara Polah mencoba menenangkan ‘cucu’nya, tapi Pendekar Penyendiri uring-uringan tak bersedia berdamai dengan kenyataan. Kesaktian yang tidak menghilang membuat tangisannya menggetarkan siapa saja yang berada di bilik persalinan.

Nenek Rara Polah kewalahan maka dipanggillah suaminya yang dari tadi menanti di luar. Seorang laki-laki tua tergopoh ikut masuk ke bilik persalinan putrinya. Melihat siapa yang muncul dari balik tirai, si bayi Pendekar Penyendiri tercengang-cengang setelah dia tahu siapa ‘kakek’nya. Malang oh malang, yang baru diketahui oleh pendekar kita adalah bahwa gadis pujaannya dulu itu rupanya telah dikawini oleh musuh bebuyutan yang justru menamatkan riwayatnya dan memenangkan sayembara, Si Pendekar Brotowali. Kini wajahnya jelas-jelas mewarisi ciri perawakan dan garis wajah musuh bebuyutannya. Termenung dia beberapa saat bergantian menatap wajah uzur Nenek Rara Polah dan Kakek Brotowali yang penuh raut bahagia campur bangga, ketika dia kemudian kembali menangis sepenuh hati.
oh, dunia memang keji

...

...tiba-tiba pendekar kita ingat kalau dia masih punya kesaktian...,


Cerita ini ikut serta dalam peristiwa BundaKata #3: Ironi dan Daya Hidup.
Simak ketikanku tentang Bundakata di sini.

(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)

0 komentar:

Spanduk Perlawanan PSS Sleman

21.41.00 jino jiwan 0 Comments

Menatap jalanan seputar Sleman pada bulan November (2014), niscaya mata akan menjumpai penampakan yang tidak biasa. Spanduk-spanduk berhias kata-kata dukungan untuk klub PSS (Persatuan Sepak Bola Sleman), diselingi hujatan kepada PSSI ditorehkan dengan cat semprot (aerosol paint) bertebaran nyaris di mana saja, dari tepi jalan ‘tak bertuan’, di gerbang masuk dusun-dusun, hingga di hampir tiap persimpangan jalan. Spanduk-spanduk ini diikat sekenanya pada pohon, tiang listrik, pagar rumah. Fenomena ini tentu tidak bermaksud semata-mata meminta perhatian atau sekedar bertujuan merebut ruang publik seperti yang sering didengungkan sebagai “sampah visual” yang mana hampir selalu bertujuan komersial atau politik praktis. Spanduk-spanduk ini adalah ruang perlawanan Slemania pun Brigata Curva Sud terhadap apa yang ditatap sebagai tirani dalam sepak bola.

Jl. Palagan, perempatan Jl. Gitogati - Jl. Kapt. Hariadi

di Jl. Palagan Tentara Pelajar

Seperti fenomena visual lainnya yang tidak lahir begitu saja tanpa latar peristiwa. Spanduk-spanduk yang menjamur di musim penghujan dipicu oleh insiden memalukan dalam sejarah sepak bola Indonesia pada Minggu 26 Oktober 2014, ketika tragedi “sepak bola gajah” terulang setelah pertemuan Indonesia lawan Thailand di Piala Tiger pada 1998 silam. Kali ini di Yogyakarta pada laga Divisi Utama yang mempertemukan PSS dengan PSIS Semarang. Pertandingan dimenangkan PSS 3-2, di mana gol yang tercipta seluruhnya merupakan gol bunuh diri. Kedua tim rupanya berupaya menghindari pertemuan di semifinal dengan Pusamania Borneo FC yang dirumorkan dekat dengan mafia lokal. Menyusul insiden ini PSSI kemudian mendiskualifikasi kedua tim dan menghukum pemain masing-masing klub.

di Jl. Besi-Jangkang

Dugaan adanya mafia dalam sepak bola bukan masalah yang bisa dianggap remeh. Sudah lama rumor mengenai mafia pengaturan skor beredar. Belum lagi masalah persepakbolaan Indonesia memang pelik. Dari perpecahan kepemimpinan PSSI sehingga memaksa pemerintah dan FIFA untuk turun mengimbau perdamaian, dua format liga yang pernah berjalan berbarengan (LSI vs LPI--Liga Primer Indonesia), masalah pengadil lapangan yang kerap dituding tidak adil, hingga kasus meninggalnya pemain asal luar negeri yang tidak mampu membayar biaya pengobatan akibat klub menunggak gaji. Wajar jika kekecewaan demi kekecewaan timbul, terlebih harapan untuk meraih prestasi yang dibebankan kepada timnas U-19 di Piala Asia berujung kegagalan.

Di pertigaan Pakem, Jl. Kaliurang

Dalam bingkai kekecewaan inilah spanduk-spanduk ‘sederhana’ ini muncul sebagai medium suara hati Slemania. Kuatnya media massa resmi dalam menguasai wacana pemberitaan yang disajikan kepada masyarakat, membuat Slemania memilih medium pinggiran yang lebih dekat dengan mereka untuk mengomunikasikan kegelisahan atas apa yang dinilai sebagai sebuah ketidakadilan, ketika klub kebanggaan harus ditumbalkan atas ketidakberesan PSSI sebagai induk dan PT Liga Indonesia sebagai penyelenggara turnamen. Terbukti hanya dalam beberapa hari berselang berita tentang peristiwa ini seolah lenyap dari sorotan media. Bagi Slemania media massa telah gagal menjalankan peran menjernihkan persoalan dan memberi perlindungan.  

di Jl. Kaliurang dekat RS Pantinugroho, Pakem

Penempatan spanduk yang berkesan alakadarnya di setiap sudut Sleman menunjukkan pemasangannya jelas tanpa mengindahkan izin dari badan terkait. Hal ini merupakan suatu bentuk anarki namun sekaligus kekuatan dan keberanian bersuara. Di masa sebelum reformasi tentu sulit melihat kebebasan berpendapat dihargai terutama di ruang publik. Ruang publik di mana ia dipahami sebagai sarana pengungkapan identitas untuk bergerak bersama menuju pada kebebasan (Haryatmoko, 2014:176). Spanduk ini bisa saja dibaca sebagai aksi politik yang berada di tingkat bawah dan dalam lingkup kecil. Gerakan protes lewat medium spanduk bekas ini menjelma menjadi demonstrasi dalam ‘bisu’ yang mampu berbicara sendiri tanpa perlu berkumpul secara fisik. Slemania mengikat diri dalam suatu identitas dengan keprihatinan yang sama dalam semangat mengingatkan publik agar menolak lupa.

di Jl. Palagan dekat Monjali

Penempatan spanduk di ruang publik setidaknya melayani dua hal. Pertama fungsi internal, yaitu demi menunjukkan eksistensi pendukung klub. Spanduk ini ada sebagai upaya memaknai peristiwa secara kritis, penegasan kecintaan dan kepedulian kepada  klub, serta sebentuk solidaritas dan dukungan moral kepada tim kesayangan bahwa mereka akan tetap hadir menjalani kesulitan bersama-sama. Dalam menjalankan fungsi ini tidak diperlukan keindahan normatif desain, karena bagi pendukung klub, keindahan adalah kalau tim mereka bisa menang, main cantik, tidak terkena sanksi terlebih diskualifikasi. Keindahan adalah jika mereka mampu bergerak secara partisipatoris mencoreti spanduk lalu memajangnya dalam nalar yang dimiliki secara kolektif. Itu sebabnya pilihan kata-kata dukungan diambil dari hal paling dekat dengan dunia mereka, bukan mengenai benar/salahnya tata bahasa, entah itu bahasa negeri sendiri atau bahasa Inggris yang asal comot.

di Jl. Kaliurang km 14

Kesan militan, spontan, ekspresif, dan eksplosif tertangkap pula dari bahan-bahan yang dipakai. Merujuk McLuhan bahwa “medium adalah pesan”, di mana tak ada dikotomi media dengan pesan, tak ada batas antara baik/buruk, boleh/tidak boleh (Piliang, 2012:70), spanduk ini tengah menyampaikan wacana "perlawanan dari bawah" atau "anti elitisme." melalui mediumnya. Pasalnya spanduk didominasi oleh bekas iklan komersial yang dibaliknya masih menyisakan lembar kosong putih, pada lembar kosong inilah kata-kata dukungan ditorehkan.

Penerapannya sendiri mengingatkan pada pratik vandalisme tembok di ruang publik oleh tangan-tangan usil, hanya saja oleh Slemania spanduk ini tidaklah anonim sebab identitas pemasang dan tujuannya jelas tertera. Penggunaan spanduk bekas dan cat semprot seolah mengejek mesin cetak yang nyaris selalu melayani korporasi berbau komersial maupun politisi dalam kampanye. Dari sini terlihat pula keistimewaannya karena setiap spanduk tampil unik dan tidak identik antara satu dengan lainnya berkat pengerjaan manual, berbeda dengan mesin cetak yang mampu mencetak dalam jumlah besar lagi seragam. Dengan demikian Slemania hampir tidak mengeluarkan biaya kecuali untuk cat semprot. Kendati bisa saja dikemukakan bahwa alasannya adalah soal biaya.

di Jl. Besi-Jangkang dekat SPBU

Kedua, fungsi eksternal spanduk di ruang publik adalah agar masyarakat awam melihatnya, yaitu mereka yang bukan pendukung PSS atau warga Sleman pada umumnya. Orang awam dapat bebas menyikapi. Entah dengan tidak peduli, mencibir, merasa terganggu namun tidak bisa apa-apa, atau justru bertanya-tanya ada apa sebenarnya di balik spanduk-spanduk yang mau menawarkan cara melihat masalah dari sudut pandang Slemania.


Tentu spanduk ini bukan tanpa masalah. Masyarakat mungkin merasa terjebak dalam ketidakberdayaan atas ketidaksetujuan mereka terhadap invasi spanduk di ruang publik. Belum lagi adanya kecenderungan fanatisme dari Slemania, yang mana fanatisme memiliki kecenderungan untuk menuding pihak lain yang bersalah (walau memang ada pula yang mengkritisi sikap manajemen PSS sendiri yang jelas terlibat). Sehingga alat protes ini berpotensi menyimpan benih kekerasan (non fisik), tidak saja kepada PSSI yang memang jelas diserang secara verbal lebih-lebih kepada publik yang melihat atau yang diasosiasikan dengannya. Tetapi setidaknya gerakan ini bisa dipandang sebagai kebebasan menyampaikan pendapat yang merupakan bagian dari pluralitas dalam praktik berdemokrasi di mana spanduk yang mampu berteriak ini akan dikenang oleh siapapun yang pernah memintasinya.

(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)

Sumber:
Haryatmoko. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.
Piliang, Y.A. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna. Bandung: Matahari.

Foto: dokumentasi pribadi, kecuali dua foto terakhir yang ditandai.

0 komentar:

Antara Desain dan Budaya Modern

12.22.00 jino jiwan 0 Comments

Tulisan Julliette MacDonald berjudul Design and Modern Culture dalam kumpulan esai Exploring Visual Culture (Matthew Rampley) menjabarkan dengan sangat baik nyaris seluruh isu-isu dalam desain dan dunia yang meliputinya hingga keluasan makna “desain” sebagai sesuatu yang memengaruhi segala aspek kehidupan manusia.

MacDonald menyebut desain sebagai sebuah proses di mana beragam wacana bertemu di dalamnya. Tujuan desain adalah untuk memudahkan (dan kenyataannya memang memudahkan) manusia dalam keseharian, tapi malah berujung mengabdinya desain pada kapitalisme yang hanya memanfaatkannya sebagai komoditas demi memicu konsumerisme masyarakat. MacDonald mengisahkan perjalanan desain dari awal ketika bersentuhan dengan industri sampai digunakan untuk membentuk identitas budaya, menginvasi kehidupan paling pribadi manusia, menciptakan standar ideal baru yang tanpanya orang dibuat seolah akan kesulitan menjalani hidup. Desain pun menjadi kedok bagi pengendalian konsumen dan  pencarian keuntungan semata.

Tulisan MacDonald sesungguhnya serba kontradiktif. Dia memaparkan melimpahnya permasalahan berkonotasi negatif dalam desain tapi kemudian dibantahnya sendiri sebagai hal yang tidak mungkin begitu saja dihilangkan. Ini jelas tidak lepas dari profesi MacDonald yang seorang akademisi dan peneliti pada sebuah lingkungan kampus seni. Tulisannya seperti hanya menuturkan kenyataan tanpa mencoba untuk menegaskan keberpihakan atau hendak menegasikan sesuatu. Dia mencoba untuk objektif dan menjaga jarak, namun jika dilihat dari profesinya sudah jelas posisinya ada di mana. Dalam penutupnya yang seakan melepaskan pembaca (dalam hal ini terutama para desainer yang membaca tulisannya) untuk mengambil sikap, MacDonald menunjukkan ketidakberdayaan  menghadapi permasalahan dalam bidang yang ditekuninya. Setiap elemen dalam tulisannya mengulangi apa yang memang telah lama menjadi keresahan desainer. Hal ini tidak lantas menjadikan tulisannya tanpa manfaat, setidaknya dia bisa mengingatkan para desainer atas wacana yang berkembang belakangan dalam bidang desain.

MacDonald menyampaikan betapa mendesain adalah suatu proses yang tidak mudah nan rumit, bahkan mampu menyentuh sisi pengalaman terdalam manusia. Jadi apakah salah jika desainer dibayar mahal atas kerumitan itu? Barangkali pertanyaannya bukan mengenai salah atau benar. Karena desainer sama seperti profesi lain yang bertujuan bertahan hidup dan menghidupi dengan menawarkan jasa kepada yang membutuhkan, jasa yang terkait kemampuan serta intuisi yang mana tidak mudah diraih oleh seseorang tanpa mempelajari dan menggelutinya. Memang sayang jika desain hanya dipertukarkan dengan uang. Hal demikian berpotensi mematikan kreativitas dan nurani seorang desainer, walau harus diakui juga bahwa kehadiran uang dapat memotivasi dalam berkarya, dan jika tidak dipertukarkan dengan nilai yang setara terhadap kualitas karya seorang desainer lalu di mana asas keadilan?

Harus diperhatikan pula bahwa desain tidak melulu mengarah pada rasa dahaga manusia atas simbol dari objek yang sudah menjelma komoditas itu. Ada tebaran desain-desain pinggiran dan remeh luput dari perhatian MacDonald, desain-desain yang jauh dari cara pandang MacDonald yang serba luas dan cenderung menyamaratakan gejala secara global. Seolah “Barat” adalah satu-satunya pusat dari wacana desain. Desain-desain yang dimaksud bisa dengan mudah ditemui di bagian terbawah perekonomian, di warung-warung kecil, di pasar-pasar, hingga angkringan yang barangkali tengah mencoba keluar dari jebakan konsumsi simbol tersebut. Konsumen sendiri sebenarnya turut berperan melalui perilaku aktif mereka, walaupun kerap dituding sebagai perilaku ketertipuan massal yang pasif. Desainer, konsumen, dan produsen saling membutuhkan dalam sebuah komunikasi timbal balik untuk menciptakan kebaruan karya-karya desain selanjutnya. Kebaruan sejati yang nantinya melampaui fungsi dan simbol, bukan lagi fungsi kabur dan dangkal sebagaimana disebut MacDonald.

Jika MacDonald membuka tulisannya dengan menyatakan bahwa “desain” adalah sesuatu yang sulit dipahami serta identik dengan keeksklusifitasan dan cenderung elitis. Sesungguhnya inilah yang sedang diperjuangkan sebagian desainer. Bahwa setiap orang sesungguhnya memiliki cita rasa (desain) yang unik, mereka memiliki estetikanya sendiri-sendiri terlepas dari peran media yang membentuk selera itu. Artinya siapapun punya hak dan kesempatan berperan sebagai desainer sekaligus menilai mana desain yang sesuai dengan dirinya dan mana yang tidak, meskipun tidak pernah mengecap pendidikan desain secara formal

Di sisi lain titik problematika dari para desainer adalah mereka ‘tidak benar-benar punya pilihan lain’. Karena ada anggapan pencapaian atau kebanggaan seorang desainer adalah ketika dapat melayani perusahaan atau lembaga raksasa beserta perangkat birokrasinya yang sebetulnya membuat desainer harus menyiapkan diri menghadapi apa yang disebut dengan “kompromi,” termasuk mengompromikan (baca: mengorbankan) idealismenya sendiri. Ini bukan sepenuhnya salah desainer namun lebih kepada sistem yang menyeret masyarakat dalam struktur kapitalisme.

Bila seorang desainer memang hendak keluar dari jerat kapitalis maka dia tidak akan dapat melakukannya seorang diri. Desain yang berupaya memanusiakan manusia adalah sebuah jalan panjang untuk dilalui yang bisa dimulai dari memunculkan kekuatan desain untuk memuat tujuan-tujuan partisipatoris. Ini adalah sebuah tugas besar tanpa akhir untuk ditunaikan bersama. Mungkin inilah yang ingin disampaikan oleh MacDonald.

(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)

0 komentar:

Mas Bram, Mbak Hana, dan Karin

00.22.00 jino jiwan 0 Comments

Pada hari Minggu Mas Bram pamit pergi ke kantor. Katanya sih ada klayen untuk ditangani. Ia naik Metromini karena mobil Lamborjini-nya sedang dipakai Mbak Hana, istrinya ke pasar buat kulakan bahan bikin siomay.

Sebenarnya itu sih hanya akal-keong-nya Mas Bram saja. Ia membelok ke Mol Taman Bongkrek setelah berpindah moda ke taksi tentu saja. Ia cuma mau ketemu Dik Karin, seorang wanita saikopat yang menjadi selingkuhannya selama tiga bulan terakhir ini.

Mas Bram pun bertemu dengan Dik Karin. Mereka saling senyum-senyum macam anak SD sedang kasmaran. Mereka lalu duduk-duduk di Fud Kort dan dengan santainya makan nasi tempe orek + sayur kacang + sambel ijo yang dibawa Dik Karin dari warteg sebelah rumah.

Berhubung bahan siomaynya habis akibat Mbak Hana datangnya ke pasar kesiangan. Dia putuskan pergi ke Mol Taman Bongkrek untuk cari bahan siomay. Setelah dibuat frustasi karena ternyata Kerfur tidak menjual borax, ia masuk ke area Fud Kort, niatnya hanya untuk menontoni orang-orang makan, siapa tahu jadi kenyang. Alangkah terkejutnya ia melihat Mas Bram sedang makan berdua dengan seorang wanita yang tidak dikenalnya. Mereka tampak akrab dalam guyonan mbelgedes.

Mbak Hana geram, ia melabrak keduanya, meja jadi sasaran gebrakan tangan. Mas Bram terkesiap, ia tak menduga situasi mendadak runyam.

“Mas Bram, apa-apaan kamu ini!?” Mbak Hana langsung mewek sejadinya, air matanya langsung satu gelas, tapi tetap tidak bisa melarutkan bedak di pipinya.

“Tunggu, Han. Aku bisa jelasin semuanya.” Mas Bram merengkuh Mbak Hana mencoba menenangkannya. “Aku bisa jelasin semuanya, sungguh!” Tapi tangis Mbak Hana tidak bisa berhenti hingga 30 menit.

“Aku malu, Mas. Aku malu. Kok tega kamu berbuat seperti ini...” ratap Mbak Hana.

Dik Karin tidak yakin harus ngapain selain..., “Mbak Hana, tenang Mbak, gak terjadi apa-apa di antara kami.”


Hana melotot, “Gak terjadi apa-apa gimana, sudah jelas kalian duduk berdua di Fud Kort, bukannya pesen makanan dari sini malah makan nasi warteg. Malu-maluin. Dasar!” 

0 komentar:

Plural Plural Apaan Sih?

23.25.00 jino jiwan 0 Comments

Semakin ke sini kata pluralitas kian membingungkan. Adakah ia sama dengan sekularisme? Apakah ia sama dengan multikulturalisme?

Sebagai muslim yang belum teramat taat, aku tidak paham dengan orang beridentitas Islam yang gaya-gayanya itu mau sok “mengakomodir perbedaan” (bukan sekedar menerima perbedaan), tapi jatuhnya malah mencampuradukan antara yang memang tuntunan (sunnah) agama dengan penafsiran dirinya sendiri.

Ambil contoh ketika ada yang menanyakan kabar, orang ini malah menjawab “puji tuhan, kabar baik.” Temannya ini yang menanyakan kabar karuan alisnya berkerut, terheran lalu menanyakan alasan dia menjawab seperti itu. Orang ini lalu menguraikan bahwa “Alhamdulillah kan artinya sama saja dengan puji tuhan.” Padahal jawaban demikian sangat ambigu karena kita sudah memasuki wilayah simbol. Simbol yang amat kuat, sehingga anak TK saja mungkin tahu arahnya. Lalu apa selanjutnya? Mengubah “Allahuakbar” (dalam ibadah sholat) jadi “Tuhan Yang Agung” hanya karena artinya sama?

Ini pula yang digunakan jadi mainan oleh para capres cawapres tempo hari. Biar dibilang peduli nan toleran ber-bhineka-is-pluralis sejati, mereka menyampaikan salam panjang yang tidak lazim dirangkai namun tak punya makna jelas. “Assalamualaikum, Om Swastiatu, Shalom, Selamat malam.” Coba saja diartikan kata-per-kata, apa ada maknanya? Tidak, maknanya sudah hancur lebur demi kepentingan sesaat. Ujungnya jelas, mereka ini cuma mau meraih suara dari orang-orang yang menurut sangkaan mereka tengah tersingkirkan dalam struktur sosial masyarakat.


Plural yang menjadi tujuan seharusnya bukan mau mengaburkan batas atau identitas. Jika identitas kian kabur, maka bukan keragaman lagi namanya. Arah pluralisme yang mencong seperti ini layak dipertanyakan karena berpotensi memecah belah. Menerima perbedaan sebagai identitas bukan berarti menyatukan keberbedaan menjadi ketunggalan. Menghormati perbedaan bukan dengan cara merayakan hari raya keagamaan secara bersama-sama atau menghadirinya dengan alasan agar saling memahami nilai-nilai sang Liyan. Mengetahui dan menyadari perbedaan, tidak mengganggu lainnya dengan saling melihat ke dalam diri masing-masing sembari menjauhi dominasi dapat sebagai langkah awal yang sudah lebih dari cukup untuk menjaga perbedaan tidak meretak. Untukmu lingkupanmu, untukku lingkupanku. 

0 komentar:

Kontemplasi Jilbab

13.26.00 jino jiwan 0 Comments

Bagiku jilbab (atau hijab?) mampu memengaruhi persepsi mengenai kecantikan seorang perempuan. Jika ditanya seperti apa perempuan ideal untuk dijadikan pasangan hidup, salah satunya aku akan menjawab: “kalau bisa sih yang berjilbab.”  Tentunya bukan yang terus-terusan berjilbab sampai-sampai di dalam rumah (atau di depan suaminya) pun berjilbab, melainkan berjilbab yang proporsional—yang cerdas menempatkan sandangannya dalam beragam situasi.


Barangkali ini ada hubungannya dengan pendidikanku di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyaah (MA), sehingga membuatku terbiasa bertemu perempuan berjilbab. Teman-teman perempuan di sekolah masih bisa tampil menawan hati dalam balutan seragam jilbab. Jilbab sama sekali bukan penghalang untuk menunjukkan pesona diri mereka. Buatku yang ada malah rasa “hormat” (mendekati salut), karena pastinya tidak mudah untuk mengenakan jilbab di negeri tropis nan lembab seperti Indonesia. Maksudku, laki-laki tidak akan pernah tahu seperti apa rasanya memakai jilbab, ya kan?

Memang benar “berjilbab” tidak serta merta membuat si perempuan ini seorang yang taat pada perintah Tuhannya, tidak lantas membuat dia paling mulia dan bebas dari perbuatan jelek. Sering sekali kudengar ucapan-ucapan berkesan meremehkan semacam, “kalau hanya kepalanya yang berjilbab, toh percuma saja,” atau “yang penting mah hatinya berjilbab.” Namun ucapan model begini cenderung menafikan bahwa jilbab sendiri adalah simbol. Setidaknya perempuan yang berjilbab sudah meraih dan menerapkan simbol itu pada dirinya untuk ditunjukkan dalam interaksinya dengan orang sekitar terlepas apapun tujuannya.

Mau jilbab yang dikenakannya itu masuk ‘genre’ jilbab gaul atau jilbab lebar tidak masalah buatku, kecuali...jilbab ninja alias jilbab bercadar. Jilbab bercadar membuatku tidak nyaman. Aku merasa itu tidak terlalu elok bahkan sok, terlebih yang seluruhnya berwarna hitam dari atas hingga bawah. Seperti ada sesuatu dalam diriku mengatakan bahwa pemakai jilbab model ini adalah seorang yang fanatik atau fundamentalis. Suatu prasangka memang, yang aku sendiri tidak yakin apakah prasangka ini bentukan dari tontonan atau bacaan tapi begitulah kenyataannya. Selain itu jilbab bercadar telah merenggut identitas pemakainya. Dari mana kita bisa mengenali dia jika hanya matanya yang tampak? 

Bukankah wajah adalah bagian identitas paling utama? Meski begitu sebagai laki-laki aku juga harus mengakui bahwa wajah perempuan (meskipun ia berjilbab) masih berpotensi mengalihkan perhatian dan waktuku walau itu hanya sekelebatan, lagi pula ‘pengalihan’ ini juga tidak memberi kebaikan bagiku. Dari sini aku berusaha menghargai perempuan-perempuan bercadar yang berniat hendak menjaga diri, meskipun masalahnya mungkin dari keegoisan laki-laki sendiri.

Lumrahnya perempuan muslim Indonesia yang berjilbab patut disyukuri. Sedikitnya ini menunjukkan mereka bangga dengan keislaman mereka dan tidak takut dengan prasangka buruk di luar sana tentang jilbab. Sayang memang jika jilbab sekarang seolah hanya jadi sekedar tren, dan yang namanya tren tentu akan cepat menguap lalu lenyap. Di sisi lain, hati ini ikut senang menyaksikan kreasi-kreasi model jilbab baru yang unik dan menarik, namun kebaruan sekaligus menggerus hakikat sejati dari jilbab. Maknanya jadi bergeser. Jilbab berubah jadi penarik perhatian (lawan jenis) yang mana bukan begitu tujuan awalnya. Ataukah tren jilbab itu termasuk “hidayah” yang senantiasa didengungkan? Akan jadi pertanyaan yang sulit dijawab.

(Restu Ismoyo Aji)


0 komentar:

Estetika Desain dan Refleksi Diri

01.14.00 jino jiwan 0 Comments

Estetika dalam dunia desain (utamanya) komunikasi visual sering menimbulkan perdebatan, karena konon konsep tentang keindahan—yang merupakan padanan kata dari estetika—tidak selalu mengalami kesepakatan. Bahwa suatu keindahan atau kecantikan akan berbeda bergantung pada siapa yang menilai. Misalnya ketika seseorang diminta memberi penilaian terhadap sebuah karya desain. Bisa jadi orang itu akan mengatakan “bagus,” sedangkan orang lain dapat mengatakan sebaliknya. Sebuah isu subjektivitas tak berkesudahan.

Gerandong
Udang Grandong?
Kita semua setuju “estetika” dipadankan dengan “keindahan.” Tetapi keindahan seperti apa sih yang diawang-awangkan ini, apa yang menjadi ukurannya? Samakah ia dengan “kreativitas” yang seringkali digumamkan seseorang dalam memandang suatu karya...katakanlah iklan, “hm, kreatif nih iklan!” Sementara ada saja desain yang dicap “terlalu sederhana,” dilabeli “wagu,” dan “ndeso.” Namun sesungguhnya mereka menyimpan estetikanya sendiri yang lebih layak diapresiasi, desain-desain yang kadang telah disesuaikan dengan apa yang menjadi tujuannya, meskipun hal ini barangkali tidak disadari sepenuhnya oleh desainer tersebut.

Estetika dalam desain (utamanya Desain Komunikasi Visual) perlu bergerak dari prasangka orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa “keindahan” dalam desain berbeda ruang dari kreativitas. Pun kreativitas sendiri harus terus didorong supaya tidak terjebak dalam kesetaraan arti dengan “kenyelenehan-keanehan-kekomedian-(menimbulkan) keterkejutan” semata, seperti yang sering diterima secara luas bahkan oleh desainernya sendiri. Keduanya, estetika dan kreativitas adalah satu.

Khas Ciamis
Estetika "Basreng"
Estetika butuh makna ‘baru’, pemahaman baru. Yaitu keindahan yang memiliki dan mengandung tujuan. Tujuannya boleh jadi mulia tapi bukan dalam bingkai moral (semata) melainkan ber-tujuan yang bijaksana dan bertangung jawab dalam praktiknya. Pada tujuan inilah estetika dapat bebas bermain-main. Namun, yang paling penting adalah bagaimana tujuan ini dikomunikasikan, karena kunci untuk membuat sebuah gerakan adalah pada komunikasi.

Permainan estetika membutuhkan etika. Etika di sini harap tidak dimaknai sebagai seperangkat aturan yang mengekang kebebasan dalam mengekspresikan apa yang dituju oleh desainer. Karena etika letaknya ada di depan sebelum seorang desainer mulai mendesain, ia tidak sama dengan hukum yang menjatuhkan vonis setelah pelanggaran terjadi.

Etika dalam mendesain diperoleh dari refleksi diri terhadap pengalaman. Pengalaman hendaknya mampu mengendalikan seorang desainer dari keinginan untuk melayani hasrat liar estetik-nya yang kerap kali tanpa kejelasan. Pengalaman desainer mengatakan bahwa sering terjadi negosiasi—dalam arti sebenarnya—dalam arti yang sudah sering kita dengar sehari-hari. Pertanyakanlah pada diri: pantaskah desain ini untuk suatu khalayak tertentu? Apakah waktunya sudah tepat? Sesuaikah pesan-pesan yang akan disajikan kepada khalayak? Adakah yang harus dikurangi atau ditambahkan? Akankah desain ini diterima dan tidak menimbulkan kehebohan (atau justru ingin agar ada kehebohan)? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah bentuk negosiasi baik dengan diri sendiri maupun dengan orang-orang yang (mungkin akan) berkepentingan terhadap desain itu.

Koleksi kemasan teh
kemasan teh pun punya estetika
Desainer yang baik bukan hanya berpikiran menjual atau menanamkan pesan saja, namun yang mampu menghayati bagaimana tujuannya bisa dikomunikasikan, jika sudah maka ia pasti dapat mengatasi pertanyaan-pertanyaan di atas dengan mudah. Refleksi diri selain sebagai etika juga berfungsi sebagai objektivisme yang subjektif atau subjektivisme yang objektif. Dengan begini persoalan estetika yang sarat akan perspektif berbeda dapat teratasi.


Dalam industri desain yang hitungannya berbau uang dari menit hingga jam, seorang desainer seringkali tidak mungkin melakukan penelitian detail seperti idealnya ketika mahasiswa menggarap tugas kuliah, terlebih tugas akhir yang merupakan proyek besar akademiknya. Keterbatasan ini tentu bukan penghalang bagi desainer. Sebaliknya rangkaian ini sudah menjadi setelan-wajib desainer. Tak ubahnya seperti seperti pemain sepakbola yang sudah bisa memperkirakan apa yang akan dilakukannya atau akan dibawa ke arah mana bola dikaki. Rangkaian ini sudah menjadi kebiasaan atau lebih tepatnya “jiwa” seorang desainer. 


Desainer harus bangga karena mereka bukan hanya sibuk merenung dan memikirkan atau hanya sampai dalam tahap mencoba menjelaskan atau mencoba menawarkan solusi abstrak. Mereka sudah melebihi dari apa yang dilakukan para kritikus/filsuf visual, sebab desainer sudah melakukannya sendiri, telah membuat tindakan. Mereka menawarkan solusi nyata yang dengan itu mereka jadi punya pengalaman yang kemudian akan digunakan untuk belajar tanpa henti dengan tidak hanya mendekonstruksi tapi juga merekonstruksi segala fenomena visual (yang sosial) dari refleksi diri demi tercapainya kebaruan-kebaruan dalam desain. 

0 komentar:

Kerokan, sebuah telaah

19.59.00 jino jiwan 0 Comments

Adalah sejenis tato temporer tradisional warisan leluhur Bangsa Jawa. Metode tato ini boleh dibilang tidak manusiawi karena diterapkan pada orang yang sedang menderita sakit demam tropis (alias masuk angin, aka. The wind that enters your body, udah kayak judul film aja nih)

Pertama-tama korban diminta menanggalkan pakaiannya lalu seorang ‘algojo’ akan mengoleskan balsem atau minyak angin merek tertentu dengan aroma mengerikan pada punggung korban lalu ia akan menggoreskan pola tato menggunakan keping perunggu pada alur balsem tersebut secara membabibuta hingga kulit korban mengelupas dan korban (terutama yang jarang menjalani kerokan) akan menggeliat berteriak-teriak mohon ampun. Tato ini ketika pertama kali digoreskan ke kulit korban berwarna merah darah yang kemudian menjadi kehitaman atau keunguan. Kelihatan persis seperti bekas luka cambukan jika anda pernah kena sabet atau semacamnya.

...konon katanya menyehatkan, penekanan pada kata "konon."

Rata-rata pola tato ini bertahan di kulit selama 2 hingga 3 hari tergantung tingkat keparahan yang ditimbulkan atas ulah sang 'algojo.' Anehnya banyak dari mereka yang pernah merasakan kerokan biasanya akan ketagihan, persis seperti orang yang ditato sungguhan. Lagipula tato kerokan ini murah malah bisa jadi gratis, sehingga tak masalah kalau anda ingin lagi dan lagi. Apalagi jika yang melakukan prosesi kerokan adalah ibu anda sendiri atau istri/suami anda (jika anda sudah menikah) atau pacar anda (itu jika anda punya pacar).

Pola Kerokan yang Dikenal
Meski telah ada sejak zaman dahulu kala sekali namun ajaibnya pola tato pada sistem kerokan jarang sekali berubah, bahkan hingga kini di era posmodern. Biasanya pola kerokan adalah mengikuti alur tulang rusuk sepanjang punggung korban dari tengkuk sampai bokong. Memang ada yang mencoba pola tidak lazim yang aneh-aneh, mungkin disangkanya keren dengan mencoba menulis nama dan entah apa, namun mau sekeren-kerennya yang namanya tato kerokan ya sama saja. Gak layak dibanggain.

Alat yang Diperlukan
Kerokan adalah sistem penatoan yang hanya dapat dikerjakan oleh orang-orang yang telah mahir, karena alat-alat yang digunakan untuk membuat pola kerokan berbeda dengan tato konvensional. Berikut ini alat yang dibutuhkan:

-          Perunggu berbentuk kepingan. Dapat digantikan oleh uang logam, atau medali perunggu (medali emas dan perak tidak boleh digunakan karena eman-eman), atau sendok makan dari perunggu atau bisa pakai kunci motor/mobil, hingga kunci inggris.

-          Balsem atau minyak angin beraroma mengerikan lagi memuakan yang akan menyisakan rasa pedas lagi pedih pada kulit. Zaman dahulu kala sekali yang dipakai adalah Rheumason, namun sekarang sudah biasa memakai Balpirik atau Geliga (Tidak ada maksud beriklan di sini).

Fakta Menarik

Seorang perempuan seseksi apapun akan turun derajatnya jika ia ketahuan memiliki pola tato ini. Sehingga mereka akan berusaha menutupinya sekeras mungkin. Jika anda tiba-tiba melihat seorang cewek super seksi yang biasanya mengenakan pakaian “u bole liat” namun tiba-tiba ia memakai baju kurung (mohon dibedakan dengan baju kurungan) atau jilbab ada kemungkinan ia baru saja di keroki dan pola-pola tato tersebut menyeruak jelas pada kulit mulusnya. 

0 komentar:

Blunder Wall's Ice Cream Day

12.54.00 jino jiwan 0 Comments

Pagi itu matahari belum beranjak terlalu naik, acara di Alun-alun Selatan Yogyakarta (Alkid) pun baru saja dimulai, tapi pengunjung sudah pada bubar. Bubarnya tidak mudah, jalan seputaran Alkid macet padat bin berat. Tampaknya mereka kecewa karena pesaing untuk mendapat sebungkus es krim terlampau berlimpah ruah. Iya, Minggu pagi itu ada ajang nasional serentak di kota-kota tertentu se-Indonesia, sebuah hajatan yang layak dihujat: Wall’s Ice Cream Day atau harus disebut: Wall’s Ice Crap Day.

Entah media mana yang dimaksud oleh kedua pembawa acara, kata mereka ada 40-an media yang meliput acara Wall’s Ice Cream Day tanggal 11 Mei 2014 itu. Klaim semacam ini barangkali dibentuk dan diada-adakan saja biar seolah hebat. Karena pada kenyataannya acara yang berlangsung di Yogyakarta berlangsung seolah tanpa persiapan matang. Tidak ada informasi sebelumnya mengenai “kupon penukaran es krim,” tidak ada informasi jelas mengenai kapan es krim dibagikan, tidak ada kantong parkir yang memadai di lokasi, tidak ada cukup tenda untuk berteduh dari garangnya sinar matahari Jogja.

Hingga muncul dugaan di benak bahwa ajang ini ilegal (atau semi-ilegal). Sebab tidak terlihat sama sekali pihak polisi untuk urusan pengamanan atau paling tidak untuk mengatur jalan yang super macet. Bisa dibayangkan, jika dijanjikan 12.500 batang es krim gratis (katanya untuk pengunjung pertama), dan jika satu orang hanya boleh mendapat satu batang es krim artinya akan ada 12.500 orang memenuhi lapangan. Itu bukanlah jumlah yang sedikit. Pada kenyataannya jumlah pengunjung membludak lebih dari itu.

Aku yakin banyak yang merasa tertipu. Dan inilah akibatnya.

Bangga karena bisa bikin macet
Pengunjung yang memilih untuk beli es krim di minimarket dekat rumah
Diri ini sudah niat datang karena penasaran, tanpa tahu ada iming-iming 12.500 es krim gratis, itu juga dari iklan di tv. Sebuah acara yang inovatif kalau boleh dibilang begitu. Mendekatkan/mengedukasi (manfaat) es krim ke masyarakat atau semacam itulah, sekalian peluncuran ikon/logo baru yang tidak penting. Memang cukup menggiurkan kalau yang dibagikan adalah es krim yang paling mahal itu (tahu kan merek apa?). Jika pun tidak, bayangkan andai satu batang nilai es krim yang dibagikan (gratis) hanya senilai Rp. 3000,- saja, dikalikan 12.500. Itu jelas uang yang banyak. Sayang nominal itu gak sepadan dengan kekonyolan sosial (dan waktu) yang diderita pengunjung dan kota tempat helatan berlangsung (juga pada Wall’s sendiri). Tengok apa yang terjadi di Surabaya, di mana Bu Walikota sempat geram dibuatnya. Tanaman di taman kota sampai hancur terinjak-injak hanya demi sebatang es krim gratis.

Twitter anehnya dipenuhi kicauan para penjilat yang bahkan mungkin tidak hadir langsung di lapangan untuk melihat kenyataan. Ini yang kujumpai ketika malamnya aku mengecek #WallsIceCreamDay di Twitter. Rupanya sama seperti medan politik yang membutuhkan para simpatisan (maksudnya pengiklan), acara ini juga dipenuhi para pengiklan, yaitu orang yang memang dapat duit dari menyiarkan kicauan bernada positif alias memuja-muji sesuatu ke para pengikut.

Para mupengers es krim (gratis)
Mbaknya sedang memberi penjelasan tata cara dapat es krim gratis untuk ke-100 kali
"Wah, ada truk es terbuka. Serbu!"
Begitu aku sudah di atas motor mengitari Alkid siap melaju pulang dan bersumpah untuk mengetik sebuah tulisan tentang ajang ra urus ini, sirine itu berbunyi. Sirine pertanda penukaran kupon gak jelas dengan es krim gak jelas (mungkin bisa juga tanpa kupon, siapa yang tahu?). Lalu pemandangan yang sungguh tidak layak itu meledak di hadapan. Lautan manusia dengan tergopoh berlarian menyerbu tenda-tenda dan truk-truk pengangkut es krim hanya demi es krim harga 3000-an atau paling pol seharga 7000-an. Tak hentinya aku ditaburi rasa takjub dengan mereka yang rela berpanas dan bersikutan demi sebatang es krim gratis. Kemudian aku sadar bahwa apapun yang dibalut kata “GRATIS” di negeri ini amat kuat menyihir orang untuk rela melakukan apapun, termasuk diminta untuk manut memakai kaos warna merah. Jadi, panitia dan EO-nya yang terlampau meremehkan arti kata “GRATIS” boleh makan mentah-mentah tuh niatan untuk mencetak rekor Muri. Sungguh sebuah cakaran besar di wajah Wall’s dan Unilever.

0 komentar: