Kenapa Aku Gak Suka Avatar: Way of Water

23.16.00 jino jiwan 0 Comments

Sabtu dwiminggu lalu aku ajak Mbak Bojo nonton Avatar: Way of Water (selanjutnya disingkat WoW). Random aja, tiba-tiba ngajak nonton film. Biasanya weekend kami joint venture ngurusi kerjaan rumah. Berangkatlah kami pada suatu siang jelang sore ke sebuah bioskop di area Rungkut.

Mbak Bojo rupanya tidak tahu film ini dan aku memang tidak bilang kami akan menonton apaan. Dikiranya ini adalah versi film Avatar Aang (The Last Airbender), yang dulu kalau ada yang ingin melupakan, pernah dibuat live actionnya oleh M. Night Shyamalan (or should I say Shame-lan?). Jadi begitu muncul tulisan "Way of Water" disangkanya: "Loh, ini masih yang water?" Ah, nope, bukan Avatar yang 'itu' tapi yang 'ini'. 

Omong-omong, lagian aneh juga James Cameron milih judulnya diembeli water, ntar jangan-jangan sekuelnya Way of Earth, terus terakhir Way of Fire.


Dan ternyata Mbak Bojo juga belum pernah menoton Avatar (2009). Film yang kutonton tiga kali di bioskop dan entah berapa kali di komputer/laptop. Jadi ketika karakter makhluk biru ini muncul, istriku langsung bilang kalau dia takut ngeliatnya sembari mengalihkan wajah dari layar.  

Waduuh, ngalamat iki.

Secara umum aku kurang menyukai film ini. Ditambah lagi sedikit-sedikit aku harus menjelaskan plot film ke Mbak Bojo tentang apa yang terjadi kepada tokoh-tokoh di dalam WoW. Aku bisa merasakan dia bosan. Cukup sering ngecek hape membuka WA. Aku maklum, wong, aku juga bosan. Tapi ya gimana lagi, sudah terlanjur bayar. Yang bisa kulakukan adalah melindungi agar sinar hapenya tidak mbelerengi penonton lain dengan cara menutupi hape dari samping pakai telapak tanganku. 

Kenapa aku tidak suka plus merasa bosan, terlepas dari pencapaian visual yang memang ciamik meski sejatinya aku tidak merasa ada sesuatu yang signifikan dibandingkan film pertamanya?

1) Secara garis besar ceritanya mengulang sama persis dengan film pertama. Hanya saja lokasinya pindah ke bagian lain dari Pandora. Ke sebuah komunitas/klan yang budaya dan gaya hidupnya berbeda. Dimana, baca nih...Jake Sully dkk (dan kawan-keluarganya) harus belajar bagaimana hidup seperti klan Metkayina yang seperti tinggal di 'Maladewa'. Berlawanan dengan mereka yang berasal dari hutan 'Amazon'. Persis banget dengan dulu saat dia harus adaptasi dengan kehidupan Na'vi Omaticaya. Mereka makhluk asing dan di akhir kisah, mereka tidak lagi dianggap asing. Kalau sudah menonton keduanya akan banyak plot yang sama persis.

2) Skala konfliknya jauh menurun. Tidak ada lagi perang besar dimana sosok "avatar" dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik. Konflik dan perang hanya berkisar di sebuah kapal karam di tengah lautan. Bisa dimengerti karena Cameron mau memperpanjang seri film ini sampai tak terbatas, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

3) Terbangunnya karakter Jake Sully di film pertama menguap lenyap. Dari yang seorang pejuang yang peduli dengan Omaticaya dan Eywa. Sampai menjadi Toruk Makto, mendadak jadi lemah dan egois. Mentingin keluarganya sendiri. Malah cuma ingin melarikan diri dari kejaran RDA. Hanya dengan alasan bahwa Quaritch kemungkinan besar akan balas dendam dan akan membahayakan Omaticaya, dia memilih kabur ke lautan dan malah membahayakan klan lain. Bilangnya ingin melindungi keluarga, tapi malah...ah...dia kan bisa memimpin lagi perang besar, tinggal menyatukan semua klan, terus perang. Tapi ini malah cuma mengadakan gerilya kecil-kecilan.

4) Jadi bergaya dokumenter tentang perburuan 'ikan paus' (disebut "tulkun"). Yang mana karakter pemburunya sendiri berusaha keras menjadi villain dengan lagak komikalnya. Ini bukan masalah akting, tapi penulisan karakter. Karakteristik mereka jadi annoying bukan terrifying. Apa memang itu yang dituju? Entahlah.

5) Motivasi manusia bukan lagi unobtanium yang entah fungsinya apa, melainkan jus otak ikan tulkun sebagai obat awet muda. Yang harganya di-pump-up jadi lebih mahal daripada batu/mineral di film pertama. Obat awet muda jadi tidak masuk akal, apalagi dituturkan bahwa Bumi sedang sekarat. Teraforming Pandora lebih masuk akal tapi tidak, bukan itu yang dilakukan. Jus otak ikan ini jadi agak mendadak. Tiba-tiba dibuat, diada-adakan. Dan gimana caranya manusia bisa kepikiran hunting ikan tulkun buat diambil otaknya? Sangat terasa hard selling pesan environtmental-nya. Bukannya aku kontra dengan pesan untuk kebaikan lingkungan, tapi sangat terasa maksa.

6) Jadi terlalu berfokus ke kisah kenakalan remaja yang sangat terasa "Amerikasentris". Movie trope genre teenage yang agak semi coming-to-age. Ada pranking, bullying, fighting, love interest, ngertilah. Intinya mereka sangat berbudaya manusia Bumi (saat ini). 

7) Penggunaan bahasa Inggris jauh lebih banyak daripada film sebelumnya. Seolah itu bahasa satu planet. Kata "Bro" bahkan bertebaran seolah lazim digunakan untuk saling menyapa antar duo-karakter. Buatku ini amat sangat menyebalkan untuk didengar. Beda sekali dengan film pertama dimana world-building terasa lebih kompleks dan believable.

Mungkin itu saja sih, unek-unekku tentang film ini. Jelas, aku tidak berminat menonton Avatar 3 Whatever The Title Will Be apalagi jika nanti bakalan semembosankan WoW ini, karena apa? Mbak Bojo jadi menuntutku untuk membalas kesediannya menemaniku nonton dengan cara nobar drakor di rumah. Hmm...mungkin itu jauh lebih baik.

0 komentar:

Ideologi Militeristik Bela Negara

21.25.00 jino jiwan 0 Comments

Bela Negara sebagai sebuah praktik tidak ada salahnya. Kamu cuma diminta setia pada negaramu. Cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme, dst. Praktik yang pada dasarnya penerapannya bisa sangat beragam. Sebuah kewajiban (yang di dalamnya sebenarnya sekaligus melekat hak warga negara) bagi kita untuk membela negara kita. Tapi mengapa mesti dilekat-lekatkan dengan militer?

Aku, katakanlah semacam penyintas dari diklat bertajuk bela negara. Adakah istilah penyintas barangkali terdengar hiperbolik? Bisa jadi. Bergantung perspektifmu. Biar kusampaikan perspektifku dalam ketikan ini.

Ikut diklat model gini bukan sukarela tentu saja. Melainkan semata karena institusi tempatku macul wakul saat ini memang miliknya pemerintah yang punya sejarah pernah berada di bawah atap Kemenhan. Jadi diklat ini sifatnya wajib bin(ti) harus bagi semua karyawan di sini.

Diklat yang kujalani berusia tepat setahun lalu. Di kala pandemi Covid-19 mulai mereda. Lokasi? Di Pusdiklat di R****n. Seharusnya bukan aku yang dipilih untuk ikut, tapi nasib berkata lain. Seharusnya aku ikut diklat di A** Yogyakarta tapi namaku diselipkan ke sana. Ya sudah mau apa lagi?

Sebetulnya bisa diduga dengan mudah kenapa diklat bela negara seolah mendadak muncul. Karena tidak lain dan tidak bukan berasal dari meningkatnya kecenderungan perilaku ekstrimisme (mungkin menjurus ke terorisme), terutama yang bawa-bawa agama. Dengan kata lain, iya, bisa dimaklumi. Tapi sekalilagi, kenapa kudu banget dilekatkan dengan militer?

Seperti apa sih kemiliteran yang kumaksud?

Pertama, kami kumpul di sebuah kampus yang menjadi tuan rumah di sebuah kota paling besar di negeri ini. Para tentara yang memang kerjanya di Pusdiklat sudah muncul di situ. Mereka 'menuntut' kami untuk memanggil mereka dengan sapaan "Pelatih" bukan "Pak" atau "Bu" tak peduli seberapa tua usia mereka. Dan sebaliknya, kami sebagai peserta dipanggil "Siswa". Kami sebagai peserta tengah "di-nol"kan.

Kedua, kami lantas diberi sebongkah tas ransel kualitas rendah yang di dalamnya berisi kaos-celana olahraga, sepatu olahraga, dan seperangkat seragam PDL "Loreng Nusantara" yang terdiri dari baju atasan, kaos dalam, celana panjang, sabuk (kopel), tempat air (peples), topi, masker, kaos kaki tebal, sepatu tentara, dan tali karet buat menyisipkan celana di kaos kaki. Pakaian yang harus kami pakai selama seminggu dalam semua kegiatan kecuali senam dan outbound. Untungnya ada dua setel baju PDL ini, yang selama mengikuti diklat tidak kucuci sama sekali. 

Ketiga, sesudah pakai perangkat lengkap kami berangkat ke lokasi Pusdiklat dalam iringan belasan bus dikawal mobil patroli tanpa berhenti hingga titik lokasi. Iya, itu baru pertama kali aku merasakan seperti apa rasanya dikawal mobil patroli. Ngerasa spesial? Mungkin. Yang jelas aku yang sipil ini jadi ngerti rasanya diprioritaskan bak iringan kendaran berisi personel militer memotong kemacetan lalu lintas, seolah nyawa dan waktuku jauh lebih berharga dibandingkan mereka yang ada di 'bawah' sana.  

Keempat, sampai di lokasi langsung disuruh baris di lapangan. Membiarkan tas di bus lalu semua peserta diminta beriringan susur hutan karet yang menyelubungi lokasi. Dengan konyolnya tiba-tiba para pelatih meneriaki kami agar kami tiarap dan mencari tempat berlindung di antara semak-semak. Kami harus tiarap karena ada musuh. Musuh yang invisible, sekurangnya imajinatif. What the heck? Kalau ada musuh kenapa mereka (para pelatih ini) masih berdiri. Ikutan tiarap juga dong! Aku malah bawaannya terbahak saja atas kekonyolan ini.

Kelima, untuk tidur, kami ditempatkan di sebuah gedung yang modelnya macam barak tentara dengan dipan-dipan lipat kecilnya. Urusan buang hajat dan kebersihan (mandi) juga mirip. Disekat-sekat dalam bilik mungil. Dengan kata lain, fuck your privacy.

Keenam, kemana-mana kami harus berbaris saling menunggu. Dilatih solidaritas dan kekompakan? Iya, tidak ada salahnya. Namun apa kami sebagai buruh ajar tidak tahu menahu soal ini, apa kami ini kering kerontang jiwa kekompakannya? Yang perlu dipertanyakan di sini adalah penggunaan terma "jiwa korsa" aka. kebersamaan senasib sepenanggungan. Ideologi yang berasal dari militer yang konon berasal dari Julius Caesar dan Napoleon Bonaparte, dua diktator yang memang militeristik. Jiwa korsa ini hampir tidak pernah dipertanyakan motif politiknya dan dampak buruknya ketika diserap secara buta.

Ketujuh, untuk makan yang merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia untuk bisa tetap hidup (artinya hak paling asazi dari manusia), kami masih harus mengikuti tata cara militer. Antri berbaris di depan ruang makan, sikap hormat (entah ke siapa), baris lalu berdiri di depan meja sampai semua pesertanya siap, copot topi, geser kursi, duduk nyantai, duduk siap, berteriak "selamat makan", ditutup dengan "terima kasih". Rentetan ritual yang durasinya bisa setengah jam sendiri. Makannya? Cukup lima menit macam dikejar-kejar iblis. Kamu akan disuruh mendorong (baca:menelan paksa) makanan dalam mulut yang belum dikunyah sempurna dengan air putih. Kenyang gagal, kembung sukses, sakit pun diraih. Iya, cukup tiga hari diperlakukan demikian, aku terkapar merasakan panasnya maag di lambung yang meruap ke dada. Faedahnya? Versi mereka: "yang makannya cepat, maka kerjanya juga cepat". Versiku: makan cepat-cepat menghilangkan kenikmatan dan mendatangkan mudharat. Dan Nabi Muhammad sepakat dengan ini. 

Kedelapan, sejak sebelum berangkat sudah disampaikan adanya kemungkinan hape akan disita. Tapi di detik terakhir ternyata hape boleh dibawa serta. Bahkan dengan sudah diizinkannya membawa hape dan alat komunikasi lain (misalnya laptop), aku (baca: kami) sebagai peserta sudah tidak sempat membuka hape kecuali saat istirahat, selain juga karena sudah ditebar ancaman bahwa kalau ketahuan mainan hape maka hape akan dibanting saat itu juga. Gimana gak khawatir, hape kan vital buat buruh ajar yang gajinya gak seberapa itu. Hape juga masih diperlukan karena secara jadwal yang masih bersamaan dengan berlangsungnya perkuliahan. Jadi kami (sebagian peserta) selaku buruh ajar masih harus nyambi ngajar, ngasih intruksi ke mahasiswa, presensi ngajar yang sifatnya administratif yang semuanya serba online, dst.

Yang mana, membuatku terkejut adalah di sebuah diklat di A** baru-baru ini (Des 2022), hape semua peserta disita. Sekarang kutanya, manusia mana yang hari ini bisa hidup tanpa hape? Bagiku ini adalah bentuk kekerasan. Sebuah perampasan hak asasi manusia modern dari kebebasan menggenggam dan mentransmisikan informasi. Apa sih tujuan dari penyitaan hape ini? Aku seriusan bertanya. Apakah takut kalau ada peserta yang menebarkan kepada publik cara-cara yang mungkin dapat dimaknai sebagai kekerasan selama diklat? Bisa jadi. Lantas, sekarang pertanyaannya. Kok bisa ada yang gak terima dengan cara-cara diklat militeristik? Tidakkah perlu bercermin?

Kesimpulannya?

Tentara sebagai institusi ingin menanamkan superioritas kemiliteran mereka di atas sipil. Ingin diakui, ingin dikagumi, dihormati. Bukan rahasia kalau posisi militer hari ini tidak sehegemonik di zaman Soeharto. Dengan kata lain yang sebenarnya terjadi adalah warga sipil tengah dimiliterkan. Di saat keduanya memang (seharusnya) berbeda. Satunya alat negara, yang satunya lagi unsur dari negara berdaulat yang bisa berfungsi sebagai penyeimbang/pengendali dari jalannya pemerintahan pada sisi lain di atas sebuah kapal yang sama bernama negara.

Aku (baca: kami) ketika itu sebagai peserta diklat tidak lebih dari pura-pura tentara dan tentara pura-pura. Sebagai buruh ajar, aku mempertanyakan sebetulnya diklat ini--dalam bahasa teknis pengajaran--apa sih CPL-nya? Dan apakah CPL itu hanya bisa diraih dengan menerapkan cara-cara militer?

Sekarang balik lagi ke pertanyaan di awal, haruskah bela negara dilekatkan dengan nalar-nalar militeristik? Bahwa kalau kamu dilatih dengan cara militer maka kamu auto-nasionalis, auto-patriotik, auto-bela negara. Apakah pekerjaanku sebagai buruh ajar masih kurang berbela negara? Di bagian mana dari Tridharma PT plus penunjang yang sudah menjadi kewajiban kami yang tidak terlihat bela negaranya? Jika jawabannya iya, maka ideologi militeristik ini tak lain adalah ideologi narsistik.

0 komentar: