Cerita tentang Tawon dan Lebah

23.30.00 jino jiwan 0 Comments


Belakangan ini aku sudah banyak membunuh…tawon. Iya tawon, tawon yang warnanya coklat gelap kemerahan itu loh. Aku gak yakin apa bahasa Inggrisnya yang tepat, apakah wasp atau hornet (tapi sepertinya wasp sih, itu loh monster yang nama-Jawanya tawon endas).

tawon endhas tewas (koin 500 untuk pembanding ukuran)

Jadi ceritanya beberapa malam lalu aku berpapasan dengan satu ekor. Besar lagi legam. Dia bersembunyi di korden pintu kamar kerjaku, entah dari mana si motherfucker ini masuk dan ada keperluan apa, mengapa pula dia tidak punya sopan santun larut begini menggangguku.

Dengan sigapnya aku menggerakkan kepala sedikit untuk menghindarinya. Sumpah, cara ini sangat ampuh memberitahu si tawon bahwa aku-kamu adalah makhluk hidup yang not to be mess around with. Si tawon biasanya akan mengerti dan akan memilih terbang menjauh.

Insting orang yang belum aware (alias ngeh) adalah mengibaskan tangan ke arah tawon. Ini kesalahan besar. Sebab jika tanganmu menaboknya maka yakinlah dijamin 99% si tawon yang sok innocent itu bakal menyengatmu…di sekeliling kepala (itu sebabnya mereka disebut tawon endas kan?).

Andaikata ini terjadi. Pertolongan pertama yang ampuh pada kasus sengatan tawon adalah melumatkan bunga lalu mengusapkannya pada bagi tubuh yang disengat. Dan gak usah coba-coba disusul dengan joke garing Bunga Citra Lestari atau bahkan Bunga Sejuk Segar (wisudawati UGM yang lulus bareng 2018 kemarin, ck aku ingat terus namanya). Kalau mengusap-usap mereka mah bisa diperkarakan aku.

Bunga yang ku maksud adalah sebagaimana yang sepakati sebagai bunga oleh orang-orang. Bunga yang merupakan bagian dari tumbuhan, bunga yang terdiri dari putik, serbuk sari, mahkota, kelopak, dll., yang tak lain organ reproduksi tumbuhan.

Jadi teknik ini semacam mengusapkan alat kelamin mereka ke kita. Pikirkan ini lagi ketika manusia membudayakan menghirup wangi bunga, sebenarnya sama dengan menghirup alat kelamin. Bukankah kita jadi lebih bisa mengapresiasi apa yang dilakukan bintang bokep setelah membaca ini?

Eniwei, aku pelajari pengobatan ini dari simbah putri. Ketika pada suatu siang di masa kecil aku secara reflek menabok tawon yang usil mengitari kepalaku. Si tawon itu serta merta mendaratkan jarum pantat keparat itu di belakang telingaku. Rasa perih itu langsung menguar. Melihat itu beliau segera memetikkan bunga (sepertinya bunga terompet warna pink) dan memerintahkan kepadaku untuk menggosokkannya.

Ajaib, rasa sakitnya langsung hilang. Lebih mujarab daripada minyak gosok ataupun balsem. Dalam beberapa hari saja bengkaknya sudah lenyap.

Kembali ke situasi malam di parapraf ketiga. Di terang hari (maksudnya pagi-sore) tawon akan segera menjauhimu dan mencari pintu keluar bila kamu menggunakan trik tadi (menggerakkan kepalamu menghidari si tawon). Tapi di malam hari, di dalam ruangan, sementara aku masih butuh menggarap sesuatu di kamar. Maka tiada pilihan lain, si Tawon perlu dieliminir.

Pilihan untuk itu tidak banyak, racun serangga semprot atau api (kertas dibakar atau pakai lilin, mereka kan takut api).

Yang terdekat adalah racun serangga. Sayangnya tawon jenis ini tergolong tough bastard. Tidak seperti another prick kecoa alias coro yang bisa langsung teler dalam satu kali semprot. Si Tawon lazimnya butuh lebih dari lima semprot sebelum berkelonjotan (tapi aku sendiri pernah mencoba hanya menyemprotkan sekali saja ke si tawon. Tetap mati dianya, tapi butuh waktu yang lebih lama. Lamaaa sekali), seperti yang aku lakukan malam itu.

Tentu saja aku sadar bahwa setiap makhluk (mati maupun hidup) masing-masing punya perannya dalam ekosistem, dalam rantai makanan. Tapi astaga, kenapa juga sengatan mereka mesti sepedih itu juga? Kenapa pula mereka tidak langsung tewas seperti lebah madu yang perutnya robek akibat kehilangan sengat, membuat mereka menjadi martir. Kenapa mereka masih bisa mabur kabur dengan sempurna sementara orang yang disengatnya terkapar dan meringis?

Sialnya ini pula yang sering bikin aku tidak merasa terlalu bersalah ketika membunuhi mereka. Malahan agak lumayan puas, karena mereka…hmm…seperti semboyan yang beredar luas di internet, wasps are asshole, while bees are good, bukankah demikian?

Ayamku saja secara instingtif emoh melihat bangkai tawon. Karena mereka tahu bahwa bahkan saat sudah matipun, tawon tetaplah asshole till die. Beda dengan jenis serangga lain yang bisa jadi kudapan mereka seperti jangkrik, belalang, atau bahkan kecoa.

Namun nyatanya ketika kita (baiklah, aku) membunuh tawon maka itu suatu kerugian bagi semesta ekosistem, karena konon kita bisa berjumpa dengan serangga yang lebih jelek lagi: lalat hijau dan ulat hama. Tanpa tawon kita akan menghadapi masalah hama pertanian. Itu karena mereka adalah predator bagi hama.

Beda dengan koloni lebih madu yang begitu baiknya menyediakan madu melebihi kemampuan mereka sendiri untuk menghabiskannya.

Dulu sewaktu masih anak-anak, sewaktu kami masih tinggal sebuah rumah dinas di Singaraja, Bali. Di salah satu sudut luar belakang rumah, tepatnya di bawah atap rumah yang eternitnya jebol terdapatlah sarang lebah madu liar. Kami tidak tahu persis kapan koloni itu mulai bersarang di situ. Tahu-tahu sudah membesar saja (kira-kira lebarnya 1x1 meter).

Penghuninya pun tak terhitung. Mereka berseliweran di belakang rumah. Disengat lebah madu sudah biasa bagi anggota keluarga kami. Karena saking biasanya, rasanya tidak lagi sakit untukku. Oke, masih tetap bikin bengkak sih. Tinggal diusap minyak angin juga sembuh.

Aku tidak tahu dari mana lebah-lebah pekerja tersebut menghisap nektar bunga, karena di kisaran rumah tidak banyak tanaman berbunga. Tapi yang jelas mereka sering mengambil air dari bak penampungan air (buat mencuci piring) yang juga ada di belakang rumah. Kami tahu jika ada lebah sedang ‘minum’ maka otomatis kami menghindarinya atau menunggu dia selesai dulu dengan urusannya.

Gambar terkait
kira-kira seperti ini (gambar ambil dari Fimela dari Google Search)
Hingga pada suatu hari, Bapak dan Ibu merasa bahwa sudah waktunya sarang lebah itu disingkirkan karena sudah demikian mengganggu kenyamanan penghuni rumah. Pasalnya bukan saja kami yang kena sengat, tapi tetangga juga. 

Tetangga terdekat adalah anak-anak penghuni asrama SLB-B (untuk bisu dan tulis/tuna wicara dan tuna rungu) seusia SD-SMP. Bukan bocah-bocah yang punya akses mudah terhadap pengobatan terhadap sengatan lebah. Yang mereka bisa lakukan adalah menangis kesakitan. Percayalah erangan anak bisu jauh lebih tidak enak didengar.

Cerita adanya sarang lebah madu liar pun menyebar di lingkungan. Maka datanglah orang yang memang sudah terlatih untuk menyingkirkan (merusak?) sarang lebah. Seorang kerabat dari kepala SLB. Dia menawarkan diri (setengah memaksa) untuk memanen madu dari sarang lebah itu.

Kami sekeluarga menyaksikan dari jarak 5-7 meter, bagaimana dia beraksi tanpa baju pelindung sama sekali. Pertama-tama dia mengasapi sarang dengan bakaran dupa yang biasa digunakan untuk sembahyang sehingga lebah-lebah itu jadi mabuk. Tapi itu toh tidak cukup mencegah beberapa lebah merubungi tubuhnya.

Bapak dan Ibu sempat menduga orang ini pakai ‘ilmu’. Maksudnya semacam ilmu kebal. Mungkin dengan merapal mantra atau pakai jimat. Di Bali hal demikian bukan hal mengejutkan.

Sayangnya sebagai orang yang ketempatan, kami hanya diberi sedikit dari madu yang dipanen. Seingatku satu botol sirup ABC Squash (kedua orang tuaku bilang kurang dari itu). Aku sendiri gak suka rasanya. Tetap manis sih tapi terlalu kasar. Banyak serpihan sarang dan mungkin larva lebah.
Sama seperti sepupunya yang mudah tersinggung, tawon, lebah terlebih yang liar (bukan diternakkan) pun juga berperan vital terhadap kelangsungan rantai makanan. 

Andai aku punya kuasa, aku tidak akan mengganggu sarang mereka ketika itu. Aku akan memilih membiarkan mereka hidup di belakang rumah dan berdampingan dengan kami. 

Well, tetap beda kasusnya dengan tawon, asal mereka gak ganggu banget mereka akan kubiarkan melanglang buana, tapi kalau sudah kelewatan jangan salahkan jika kusemprot dengan racun serangga atau kubakar.

0 komentar: