Kecurangan Nilai Wawancara dan Microteaching PPPK

17.57.00 jino jiwan 0 Comments

Di Indonesia, kecurangan pewawancara dalam memberi nilai CPNS dan Calon PPPK dosen pada saat tes microteaching dan wawancara masih dianggap biasa dan masih terjadi. Ingat ketika itu pernah menyebar twit seorang pengguna yang ditikung di akhir di tahap wawancara? Kali ini terjadi kepadaku.

Screenshot twit @alhrkn. Sumber: https://twitter.com/alhrkn/status/1474925007297921026

Aku melamar posisi PPPK formasi khusus di sebuah kampus di sebuah kota besar di Jawa Timur yang memang aku bekerja di sana sejak 2020. Formasi khusus artinya memang ditujukan buat yang belum berstatus ASN. Formasi ini hanya dibuka untuk satu orang tapi ada tiga orang yang berstatus pegawai tetap termasuk aku. Iya, kami semua ordal.

Mumpung kesempatannya ada ya aku coba. Apalagi Rektor sudah bertitah bahwa semua yang masih Non-ASN harus jadi ASN, entah lewat CPNS ataupun CPPPK. Kenapa? Karena kami semua dianggap membebani keuangan kampus apalagi ketika nanti berstatus PTNBH. Sekadar informasi, formasi pendidikan yang diminta memang tidak sesuai dengan latar S-2 ku. Tapi nyatanya toh lolos administratif. Begitu juga dua rekan kerjaku yang latar pendidikannya juga sama-sama tidak sesuai.

Kudengar ada dosen dari luar kampus yang coba daftar tapi dia gagal karena salah satu syaratnya adalah punya surat keterangan bekerja di kampus tersebut yang ditandatangani pejabat/atasan. Orang ini penting untuk kusebut karena ada hubungannya (nanti balik lagi ke sini).

Untuk mempersiapkan diri, aku sampai beli dua buku tentang PPPK guru dan dosen (online). Aku belajar sungguhan dan aku tekuni sampai larut malam di tengah kesibukan, juga menyimak video di YouTube yang sebetulnya tidak cukup membantu. Sebagai informasi, tesnya berbeda dengan CPNS. Terdiri dari teknis, manajerial, sosial kultural, & wawancara. Ada juga soal penalaran.

Ketika menjalani SKD PPPK online di sebuah kampus, aku terkejut ternyata ada soal bahasa Inggris (di buku yang dibeli tidak ada sama sekali menyebut soal bahasa Inggris). Meski begitu aku masih bisa menjawabnya (skor 75, cukup baik).  Total nilai yang bisa kuraih adalah 489.

Dua rekan dosen lain, skornya 461 dan 350. Artinya posisiku adalah nomor satu. Katanya ada passing grade tapi ternyata tidak berlaku/tidak menggugurkan bagi pelamar formasi khusus. Di sini sudah terlihat bahwa posisi ini memang untuk mengakomodasi ordal.

Pengumuman jadwal wawancara dan microteaching

Menjelang tanggal tes microteaching dan wawancara tersebar perkiraan siapa yang akan mewawancarai kami, yaitu wadek 2 & 3 fakultas tempat kami kerja. Sebagian rekan kerja lain yang sudah lama kerja di situ (sudah ASN)  mulai menduga bakal ada main mata antara pewawancara dengan salah seorang pesaing. Pasalnya wadek 3 adalah teman baik salah seorang pesaingku yang total nilainya 461 (posisi kedua). Tapi aku tetap berpikir positif dan mengabaikan kecurigaan rekan-rekan kerja.

Saat selesai wawancara online, hasilnya bisa langsung dilihat di livescore (yang hanya bertahan sehari saja). Ternyata nilaiku 'hanya' 21,5. Sementara pesaingku mendapatkan 25, yang mana adalah nilai maksimal. Rekan-rekan kerja lain menyemangatiku agar saat microteaching nanti pakai bahasa Inggris.

Ya sudah, tidak ada salahnya. Sekurangnya slide materi microteaching dalam bahasa Inggris. Bisa bantu IKU. Aku siapkan materi sederhana dengan alat peraga offline maupun online. Hasilnya, nilaiku 'hanya' 20,5, pesaingku lagi-lagi dapat nilai maksimal, 25. Nilai milikku bahkan masih di bawah nilai rekan lain yang ikut tes CPNS tahun ini.  Bohong jika aku mengatakan itu tidak ada pengaruhnya, tentu aku sempat merasa minder, 'apa memang sepayah itukah ngajarku?' Tapi ya berusaha tetap optimis.

Tanggal 24 Des, pengumuman PPPK 2033 itu terbit.  Namaku jadi urutan kedua, yang artinya pesaingku inilah yang lolos. Kecewa? Pasti. Marah? Sangat.

screenshot pengumuman akhir PPPK 2023

Angka total yang muncul di pengumuman juga sebetulnya agak aneh. Seperti punya algoritma khusus yang entah dari mana asalnya. Aku tidak tahu dari mana nilai "teknik" dan "murni" berasal. Kalau nilai Sosio, Manajerial, Wawancara itu memang benar nilai yang kuperoleh seusai SKD. Mungkinkah memang ada hitungan spesial berdasarkan jabatan fungsional dan lama masa kerja?

Jika memang iya, pesaingku ini memang lebih lama mengajar di situ dan jabatan fungsionalnya lebih tinggi daripada aku yang cuma AA.

Tapi... pesaingku lainnya yang nilai SKD PPPK nya 350 (posisi tiga) jauh lebih lama ngajarnya di situ. Jika memang urut kacang kenapa tidak dia saja yang dinaikkan, sisanya dijatuhkan?

Jika memang ada hitungan khusus, mengapa pula nilaiku mesti dipangkas dan pesaingku yang sudah kalah nilai SKDnya justru dimaksimalkan? Jika memang ada hitungan khusus mengapa tidak diterakan di awal sehingga bisa diawasi dan transparan.

Sebagai informasi, pesaingku ini pada bukaan CPNS tahun lalu juga dibantu nilai wawancara dan microteachingnya oleh dua pewawancara yang sama (saat itu dia belum menjabat sebagai Wadek 3, dia hanya dosen biasa). Nilainya 98! Sementara pesaingnya hanya 68! Tahun lalu adalah batas umurnya untuk bisa melamar CPNS.

Sayangnya dia tidak lolos passing grade SKB bahasa Inggris. Itu makanya dia gagal jadi PNS dan itu sebabnya dia ikutan PPPK tahun ini.

Alhasil pelamar yang nilainya sudah dijatuhkan sampai ke angka 68 itulah yang lolos dan jadi PNS. Ironisnya jadi rekan kerja kami yang paling andal.

Ingat tadi ada dosen luar kampus yang mencoba melamar posisi ini? Dia adalah suami dari pesaing yang akhirnya lolos PPPK ini. Lucu ya?

Kurasa aku ingin menemui kedua pewawancara yang notabene atasanku itu lalu mempertanyakan alasan nilaiku sampai sejatuh itu, semacam konfirmasi. Yang mana mendorongku untuk curiga bahwa mereka sudah tahu cara hitung hitungannya sehingga nilaiku sengaja dibuat nanggung sedangkan pesaingku sebaliknya: ngepoll.

Sampai itu terjadi, untuk sementara ini aku bisa simpulkan: jadi ordal tidak cukup kalau pesaingmu adalah adalah ordal yang posisinya lebih tinggi/dekat dengan pewawancara. Di atas ordal masih ada ordal lain.

Btw, kehebohan tes microteaching dan wawancara CPNS tahun lalu itulah agaknya yang mendorong pengubahan urutan tes. Di mana tahun ini SKB baru dilaksanakan sesudah wawancara dan microteaching.

Aku pun jadi bertanya-tanya, kira-kira gimana perasaan pesaingku itu, dia lolos PPPK gara-gara dibantu temannya. Apa gak bakal merasa utang budi selamanya? Aku pun juga bertanya-tanya apa yang ada dalam pikiran pewawancara, pembenaran apa yang ada di benak mereka ketika melakukan itu? Tidakkah barokah posisi jabatan/status PPPK-nya yang mana menurun ke keberkahan penghasilnnya? Bahwa dia mendapatkan penghasilan secara tidak langsung dari mencurangi orang lain. Tidakkah takut akan tertimpa 'hidayah' yang bisa datang dalam bentuk apapun dan kapanpun tanpa mereka sadari?

"Sudah biasa, dari dulu juga begitu.' Abuse power sudah biasa. 

sempet curhat di twitter, tapi tentunya tidak akan pernah bisa viral 😶.





 

0 komentar:

Industri Komik Indonesia 1960-an: Menyimak Serial Komik Silat Jaka Sembung Karya Djair

11.32.00 jino jiwan 0 Comments

Tulisan berikut bermula dari bab yang dipangkas dari Tesis berjudul "Mitos Pendekar Jaka Sembung dalam Komik Pendekar Jaka Sembung (1969) Karya Djair" yang diuji pada sidang akhir Prodi Kajian Budaya dan Media tahun 2018. Tesis tersebut dapat dibaca di Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UGM (kurasa). Repository ada di sini

Bab yang membicarakan latar atau konteks dunia komik pada tahun 1960-an ini belum sempat dipublikasikan. Aku lantas mengirimnya ke ajang ComSequence: Comic and Sequential Art Festival 2022 untuk diikutsertakan dalam buku bunga rampai "Menilik Komik Indonesia". Setelah berbulan-bulan, buku ini akhirnya terbit juga (April 2023). Sayangnya buku ini tidak dicetak. 

ComSequence: Comic and Sequential Art Festival 2022 adalah format baru festival komik yang diselenggarakan oleh prodi DKV, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta (dulu bernama FKN-Festival Komik Nasional) yang digelar pertama kalinya pada tahun 2012 di Jogja Nasional Museum. ComSequence diperluas jangkauannya pada level Asia Tenggara (mungkin bisalah dianggap tingkat internasional).

Berikut adalah ringkasan artikelnya:

Sejak terbitnya Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH pada 1967 bermunculanlah gelombang komik silat di Indonesia. Salah satu yang cukup tenar adalah serial Jaka Sembung karya Djair, yang serial utamanya terbit dari 1968-1977 mengisahkan perjuangan seorang pemuda bernama Parmin alias Jaka Sembung mempersatukan para pendekar Nusantara, bahkan sampai Selandia Baru untuk melawan para pendekar jahat dan tentu saja untuk mengusir Kompeni Belanda dari “Indonesia”. Dia bukan saja diceritakan sebagai keturunan bangsawan Keraton Kanoman Cirebon tapi juga berhadapan dengan tokoh nyata seperti Sultan Agung. Dengan jalinan kisah yang mengesankan bahwa dia pernah benar-benar hidup ini—terlepas  dari narasinya yang terdengar spektakuler—wajar jika ada sebagian kalangan yang menganggap Jaka Sembung sebagai tokoh sejarah.

Cover perdana serial Jaka Sembung yang bahkan tidak memuat nama karakter utama (Djair, 1968) 

Dikenal sebagai satu dari maestro komik silat Indonesia, Djair, anak kedua dari tujuh bersaudara dilahirkan pada 13 Mei 1945 di kampung Karangtengah, Kebarepan, sebelah barat kota Cirebon. Wafat pada 27 September 2016, dia mewariskan serial komik silat Jaka Sembung. Begitu lekatnya Djair dengan Jaka Sembung. Tidak mengherankan bila dia menciptakan satu universe yang di dalamnya sejumlah karakter komik ciptaannya saling bertalian. Misalnya Si Tolol (serial Si Tolol) yang tak lain murid spiritual Parmin, serial Malaikat Bayangan yang menceritakan petualangan keempat anak asuh Parmin: Kinong, Kartaran, Pe’i, dan Thomas, dan komik Pekutukan yang menceritakan kisah Muhammad Ilham, seorang santri keturunan Parmin.

Sebagai pendekar yang diceritakan hidup pada latar waktu tertentu di Nusantara, tidak diceritakan tepatnya Parmin lahir, yang jelas dia hidup di zaman Kompeni. Djair baru menjelaskan mengenai latar belakang Parmin secara detail di komik Tahta Para Bangsawan (1994), yang terbit jauh sesudah serial Jaka Sembung berakhir di Wali Kesepuluh (1977). Komik Tahta Para Bangsawan sendiri berperan bak prekuel sekaligus reboot (memulai ulang) naratif Jaka Sembung yang sudah ada sebelumnya, karena di saat beberapa bagian ceritanya seolah mengisi apa yang belum disampaikan secara detail sebelumnya, namun komik ini juga membatalkan dan sekaligus mengacaukan nalar waktu serial komik terbitan 1968-1977.

Komik Tahta Para Bangsawan secara garis besar berkisah mengenai awal pertemuan Ki Sapu Angin yang menolong Elang Sutawinata sekeluarga dari sergapan anak buah perampok Gembong Wungu. Elang Sutawinata adalah ayah Parmin, dia bangsawan Keraton Kanoman Cirebon yang mengundurkan diri setelah berselisih pendapat dengan dua saudara tirinya yang menjadi sultan karena mereka rela tunduk kepada Belanda. Ki Sapu Angin kemudian meminta Sutawinata memasrahkan Parmin cilik kepadanya untuk dididik sebagai pendekar. Proses latihan berat menjadi pendekar dijalani Parmin hingga dewasa dan berakhir dengan dilepasnya Parmin untuk bertualang (yang mana menjadi permulaan komik Bajing Ireng).

Parmin cilik yang diminta oleh Ki Sapu Angin untuk dididik. Diambil dari Pendekar Gunung Sembung (1969)

Komik tersebut menyebut Parmin lahir pada 1602, bertepatan dengan berdirinya VOC. Penyebutan spesifik ini mengacaukan lini waktu serial komik awal. Kasultanan Cirebon baru terpecah menjadi tiga pada 1679, menjadi kasultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Panembahan Cirebon. Dengan data ini ketika ayahnya diusir dari keraton Kanoman Cirebon, paling tidak Parmin berusia 70 tahun. Sehingga tidak masuk akal rasanya jika Parmin lahir pada 1602.

Adegan yang sama di komik Tahta Para Bangsawan (1994)

Berbicara mengenai kualitas gambar Djair, diakui sendiri olehnya memang tidak sebaik komikus lain (Kurnia, 2014). Tapi lebih tepat kiranya disebut tidak konsisten. Dalam Bajing Ireng (1968), tokoh Parmin tampak seolah digambar oleh orang yang berbeda jika dibandingkan dengan goresan gambarnya di komik Pendekar Gunung Sembung (1969). Padahal pembuatan kedua komik hanya terpaut satu tahun. Belum lagi jika membandingkan komik-komik karya Djair 1970-an dan akhir 1980-an, tidak menyertakan pula komik terakhirnya Jaka Sembung vs. Si Buta dari Gua Hantu (2010) yang bukan hanya dari segi penuturan kisah, secara kualitas jauh menurun. Besar kemungkinan ini disebabkan oleh, Pertama, Djair, sebagai komikus otodidak yang pada awal karirnya masih dalam proses mengadaptasi gaya gambar komikus lain, dan Kedua, industri komik itu sendiri yang membuat gambar Djair semakin tidak rapi.


Dari kiri atas searah jarum jam: Bajing Ireng (1968), Pendekar Gunung Sembung (1969), Wali Kesepuluh (1977) dan Papua (1972)


Adalah hal lazim pula ketika pengarang menyisipkan pesan filsafat dan pesan keagamaan (Bonneff, 2008-116). Tidak menutup kemungkinan situasi Indonesia tahun 1970an atau malah sebelum itu, di mana pengamalan agama menjadi umum setelah komunisme disinonimkan dengan ateisme, ikut berperan membentuk serial Jaka Sembung menjadi kental dengan pesan keagamaan. Bonneff (2008:42-44) tidak secara tegas menyinggung dampak peristiwa 1965 pada komik, selain dari kemunculan demonstran yang memasuki toko buku untuk menyita buku-buku murahan yang dinilai melanggar moral. Insiden yang mendorong dibentuknya Seksi Bina Budaya yang menjadi bagian dari Kepolisian Indonesia dengan salah satu tugasnya adalah untuk mengawasi peredaran komik. Badan pengawasan ini mungkin punya andil terhadap keinginan komikus dan penerbit sendiri untuk bertekad “membina kebudayaan bangsa”. Salah satunya dimaknai oleh para komikus lewat pesan-pesan filsafat dalam komik.

Komik Jaka Sembung penuh nasehat dan petuah

Berlawanan dengan konstruksi moralitas tersebut. Muncul unsur yang disebut Atmowiloto (2012) sebagai “bumbu telanjang.” Ketelanjangan atau pornografi ini walau tidak dominan juga hadir dalam komik silat, tidak terkecuali serial Jaka Sembung. Bisa jadi memang ada kaitan antara konten pornografi dalam komik silat dengan pembaca komik silat yang menurut Bonneff (2008:91) didominasi remaja lelaki. Tetapi menariknya sistem penerbitan komik di Indonesia yang sejak 1967 melibatkan aparat kepolisian ternyata punya andil membiarkan pornografi dan sadisme menyebar dalam komik, antara lain karena acuan penilaiannya yang berupa Pancasila diterapkan secara sederhana dan luwes. Definisi pornografi kian melonggar karena pihak kepolisian meyakini apresiasi masyarakat berubah dan moralitas juga berkembang. Asalkan tidak berlebihan gambar bermuatan pornografi diizinkan dengan cara mengarsir adegan atau menutupi bagian tubuh yang terlarang (Bonneff, 2008:75-77). Dengan demikian dapatlah dibaca bahwa ketelanjangan dalam serial komik silat Jaka Sembung dan secara umum komik lainnya tidak bisa melepaskan diri dari ideologi kapitalisme, yang bertujuan agar komik laku di pasaran

Ketelanjangan dan tema seksual yang disamarkan. Ini ketika karakter bernama Tirta digoda oleh seorang perempuan pimpinan rampok Lalawa Hideung

Anakronisme sejarah, gaya berkomik yang sarat kata-kata bermuatan moral, dan kualitas gambar tidak konsisten dari Djair adalah akibat tekanan pelaku industri komik yang tidak memungkinkan dia melakukan riset mendalam mengenai topik tertentu dan sekaligus menunjukkan hubungan kuasa yang tidak seimbang antara komikus, industri komik, pembaca pada satu sisi dengan penentang komik (lewat lembaga tidak resmi seperti Opterma atau Operasi Tertib Remadja yang diperbantukan di seksi khusus kepolisian) dan Pemerintah di sisi lain.

Baca artikel lengkapnya beserta Daftar Pustaka di sini.  

0 komentar:

Dosen kok Suruh Ngurus Absensi

16.10.00 jino jiwan 0 Comments

Adalah sebuah pengetahuan umum, tugas dosen adalah melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi: pendidikan/pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Satu lagi disebut penunjang yang berkutat biasanya pada kepanitiaan yang sudah pasti tidak bisa terhindar darinya.

Yang mengherankan di kampus tempatku 'macul wakul' ini, para dosen masih disuruh presensi dua kali: pagi (masuk) dan sore (pulang). Presensi ini digunakan sebagai patokan seberapa besar uang makan/minum (mamin) harian yang diperoleh dosen. Seharinya sekira Rp37ribu (disetarakan dengan PNS, walau tidak berstatus PNS--untuk ini aku bersyukur). Tapi belakangan presensi semakin diketatkan. Jika melebih jam masuk yang 7:30 ini maka secara otomatis, dosen tersebut tidak akan mendapatkan uang mamin (gaji dosen tanpa adanya uang mamin bakal di bawah UMR). Sambil di sisi lain, luaran Tridharma juga masih dituntut. Dosen yang notabene garda terdepan Perguruan Tinggi disuruh tertib masuk-keluar. Jika ingin berkegiaran di luar, maka wajib mengurus/mengajukan Surat Tugas (ST) dan Surat Perjalanan Dinas (SPD).

Masalahnya pengurusan ST dan SPD adalah hal yang sangat administratif dan birokratif dan juga kerap berubah-ubah semaunya para pejabat Dekanat. Alurnya seolah sengaja dibuat rumit. Seolah kami ini--para dosen--gemar berdusta soal kegiatan Tridharmanya. Misalnya: kegiatan yang diajukan tidak boleh melebihi bulan di mana kegiatan tersebut dilaksanakan, dengan alasan nomor ST terbatas. Padahal kalau kegiatan dosen ada banyak, fakultas ikut diuntungkan karena pasti remunerasi para pejabatnya bakal ikutan meroket (lucunya/ajaibnya ST seakan-akan turun jauh di tanggal sebelum ST diajukan. Misalnya kami mengajukan kegiatan pengabdian masyarakat pada 10 September, maka nanti ST (paling cepat) baru kami terima pada 20 September namun bertanggal 31 Agustus).

Nah, sambatan ku kali ini berkaitan dengan hal-hal di atas.   

Alkisruh pada pekan keempat Agustus 2023, para dosen PNS di kampus ini mendapat surat teguran tentang alpha/mangkir kerja. Yang mengejutkan beberapa nama bisa dianggap alpha hingga mencapai >100 hari. Para dosen yang disurati diminta mengisi surat pernyataan menerima/tidak menerima temuan ini dan jika menerima maka harus mau diberi sanksi: teguran, pemotongan tunjangan, sampai pemecatan. Untuk mencegah itu terjadi maka dosen-dosen yang disebut namanya harus menyediakan bukti-bukti berupa ST dan SPD di hari-hari ybs. dihitung alpha. Tentu saja ini bikin dosen-dosen satu kampus gerah, heboh, dan panas.  

Daftar nama dosen PNS yang dituduh alpha 

Yang memanggil adalah Satuan Pengawas Internal (SPI) kampus kepada dosen-dosen yang lucunya beberapa nama anggotanya masuk juga di dalam daftar "merah" ini. Di mana awalnya ada temuan dari Irjen mengenai ketidaksinkronan antara ajuan uang mamin ke Pusat dengan rekap kehadiran dosen. Rumornya ajuan mamin dari kampus selalu full 100%, tapi kemudian Irjen mempertanyakan sistem masuk dosen, yang mana lantas ditunjukkanlah peraturan masuk-keluar dua kali pagi-sore, yang ketika ditelusuri ada banyak "kebolongan" pada presensi dosen, yang sebenarnya awalnya sudah dipertanyakan oleh Irjen: "ini dosen-dosen sama sekali tidak pernah ada dinas, kah? kok ajuan mamin selalu penuh?" Dan terjadilah peristiwa pemanggilan terhadap nama-nama dosen sekampus untuk mempersiapkan bukti atau siap menerima sanksi.

Setelah ditelisik lagi. Jumlah alpha bisa sedemikian besar adalah karena: 1) bagian Tata Usaha (TU) di masing-masing fakultas tidak pernah mengoreksi ke-alpha-an dosen menjadi "D" (dinas) ketika dosennya memang sedang berdinas keluar kampus (penelitian atau pengabdian masyarakat). Sementara konyolnya adalah seluruh ST dan SPD yang mengeluarkan ya mana lagi jika bukan TU sendiri. Dan 2) beberapa nama dosen PNS yang dicantumkan di situ dihitung masuk mulai awal Januari 2022 (rekrutan CPNS 2021), di saat sebetulnya TMT (Terhitung Mulai Tanggal) masuknya adalah Maret 2022. Sehingga coba dihitung saja seandainya setiap bulan, mulai Januari-Februari harusnya masuk ya ketemu paling tidak: 40 hari kerja yang konyolnya kan tidak digaji juga. Entah keteledoran dari mana pihak mana data seperti ini bisa luput dari penghitungan.

Yang disayangkan adalah, mengapa data yang masih mentah tersebut dilaporkan begitu saja ke Pusat tanpa dilakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan para dosen yang namanya disebut/dianggap mbalelo? SPI seharusnya menjadi benteng terakhir dari kinerja kampus (terutama dosennya sendiri) di saat pihak Dekanat juga tampak sibuk cuci tangan sendiri dan membela pihak TU yang sangat pasif, tidak ikut membela dosen-dosen yang sudah bekerja demi kocek remunerasi mereka yang besarannya mencapai dua digit itu. Mereka malah asyik menjejalkan peraturan-peraturan PNS serta sanksi-sanksi yang menanti.

Pertanyaannya, mau sampai kapan ini dibiarkan berlangsung?!!

0 komentar:

Jiwa Daur Ulang (Pemanfaatan Daun Pisang Bekas)

13.30.00 jino jiwan 0 Comments

Adalah secuil tabiatku untuk membenci sesuatu yang terbuang sia-sia. Mbak Bojoku dengan segera mengetahui dan memahami hal ini. Bukan hanya makanan yang bersisa di piring, tapi juga termasuk benda seremeh dan kerap terabaikan seperti: daun pisang bekas pembungkus atau pengalas makanan. Tentunya dengan catatan masih bersih dan tidak layu.

Akhir Desember tahun lalu sekembalinya Mbak Bojo dari diklat pura-pura jadi tentara (baca di sini). Dia membawa oleh-oleh sekotak gudeg Yu Narni. Nah, alasnya adalah beberapa helai daun pisang yang masih terlihat hijau dan segar. Olehnya, tanpa anjuranku, dia mencuci lalu menggunakan kembali daun pisang bekas alas gudeg itu sebagai bungkus nasi bakar racikannya sendiri yang sopasti rasanya lezat. Sungguh membanggakan! Ternyata Mbak Bojo sudah sepaham soal "jiwa daur ulang" dalam diriku.

nasi bakar
Nasi Bakar pakai daun pisang bekas gudeg

Terdengar bagaikan upaya pengiritan yang keterlaluan? Barangkali iya. Masalahnya kami yang sekarang berdomisili di Surabaya tidak lagi cukup mudah beroleh daun pisang. Tidak seperti saat kami di Jogja bagian pedesaan. Tinggal jalan kaki ke sawah, petik daun sendiri langsung dari pohonnya. Kami juga belum tahu (ketika itu) harus kemana kalau mau membeli daun pisang. Di pasar dekat rumah [kontrakan] daun pisang tidak selalu ada.

Alasan lain adalah soal lingkungan. Dengan menggunakan ulang daun pisang yang belum rusak, kami telah berusaha turut serta dalam pelestarian lingkungan. Lagian loh, daun pisang itu lama busuknya, juga mumpung ada.

Nah, bukan kebetulan pula awal Januari aku ngadain syukuran ulang tahun di kampus tempat aku mburuh. Syukurannya berupa nasi kuning plus lauk-pauknya di atas tampah sekira untuk 20 porsi. Total habis Rp. 450 ribu. Harga yang layak, mengingat rasanya yang sedap dan porsinya yang besar. 

nasi kuning
Nasi kuning pesen di teman kerja Mbak Bojo

ulang tahun
Sesi pura-pura berdoa sambil difoto. Ini sesi sehabis senam di suatu Jumat

Berhubung hari di mana aku berulang tahun bertepatan dengan acara sambut-pisah dekan lama ke dekan baru, aku sempat ragu mau pesan nasi kuning ini. Takutnya gak ada teman-teman yang makan. Alhamdulillah, cuma sisa sedikit. Itupun sudah dibagi-bagi ke teman-teman. Hanya tinggal lembaran daun pisang dalam plastik bening yang tadi digunakan untuk menutup nasi kuning.

Tanpa basa-basi kuangkut pulang. Kujelaskan ke teman-teman kerja yang ada di situ, bahwa daun-daun pisang ini masih bisa dibuat nasi bakar. Salah seorang dari mereka heran bin melongo, "emang bisa dibuat nasi bakar? Kan udah bekas, kena minyak." Bisa saja, jawabku. Tinggal dicuci. Dalam benaknya mungkin aku ini terlampau pokel alias medit alias pelit. Tapi terserah apa yang ada dalam pikirannya. 

Ketika Mbak Bojo tahu aku membawa pulang sebongkah (karena jumlahnya cukup banyak) daun pisang, dia langsung mengerti tujuanku, meski baru keesokannya daun-daun itu dibersihkan, dilipat, lalu disimpan dalam kantong plastik tertutup dalam kulkas.

Baru berhari kemudian, dia sempat memanfaatkannya untuk membungkus pepes atau dikenal juga dengan brengkes kalau di Surabaya dan mungkin di Jawa Timur (di Bojonegoro juga disebut brengkes).

pepes alias brengkes
Pepes ikan pindang pakai daun bekas nasi kuning

Pertanyaan selanjutnya adalah, kami kemanakan daun-daun pisang bekas nasi bakar dan pepes itu? Balik lagi ke awal dan pertengahan ketikan ini. Bahwa aku membenci segala yang terbuang sia-sia + alasan kepedulian lingkungan atau "jiwa daur ulang". Kami menguburnya atau lebih tepat mencampurnya dengan sampah dapur untuk dijadikan kompos. Demi untuk memuaskan hobi kami bertanam-nanam di perkotaan. Tapi itu cerita untuk ketikan lainnya di lain waktu.

0 komentar: