Membaca Perangko Muhammadiyah Bagian 2

22.05.00 jino jiwan 0 Comments

Ketikan ini adalah lanjutan dari Membaca Perangko Muhammadiyah Bagian 1


Visualisasi Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta ini tidak lepas dari usaha pembingkaian suatu peristiwa penting di masa lampau yang mempunyai tujuan atau penyampaian pesan tertentu. Beberapa objek dalam gambar masjid pada perangko tampak sangat berlainan dengan kenyataan di lapangan. Selain penghilangan ‘objek pengganggu’ seperti telah diungkap di atas. Terdapat sejumlah keganjilan.

Perbandingan gapura masjid Kauman Yogyakarta.
Jika dicermati gapura pada gambar masjid dalam perangko (gambar kanan-atas) berbeda dengan gapura Masjid Kauman yang dikenal sekarang (gambar kanan-bawah). Gapura pada perangko tampaknya malah mengacu ke masa awal keberadaan masjid yang menampilkan gambar daun Kluwih dan Gadha bukan masjid seperti yang dikenal saat ini dengan hiasan jam dan lambang Keraton. Terlihat jelas ada kesesuaian bentuk gambar gapura pada perangko dengan tampilan gapura pada tahun 1888 seperti pada gambar sebelah kiri-bawah. Gambar yang sama pula dengan gapura pada 1925 (tengah-bawah), atau dua tahun setelah Dahlan wafat. Sayang tidak ditemukan dokumentasi wujud masjid pada awal berdirinya di 1773, sehingga tidak benar-benar terbukti apakah masjid pada perangko berusaha menyamai fisik masjid ketika itu. Daun kluwih sendiri bermakna linuwih atau punya kelebihan yang sempurna, sementara gadha berarti tunggal/hanya mengakui keesaan Allah SWT.

Tanda tanya yang kemudian muncul adalah, jika memang masjid dalam perangko berupaya tampil seperti tahun awal-awal berdirinya. Kenapa muncul batu penanda di sisi kiri gapura di depan pagar pada gambar di perangko? Padahal berdasarkan penelusuran dari sejumlah dokumentasi yang tersedia. Batu penanda ini sendiri baru muncul pada tahun 2010. Seperti terlihat pada gambar. Tahun 1888 batu tersebut jelas belum ada, bahkan dari gambar yang diambil tahun 2009 batu penanda itu juga belum ada.

Yang perlu jadi perhatian adalah batu ini bukan batu peresmian seperti masjid pada umumnya yang dibubuhi tanda tangan orang penting, namun lebih mirip batu pemberitahuan informasi tentang masjid di belakangnya.

Batu penanda tersebut berisi informasi sebagai berikut:
Masjid Raya Kauman
Masjid Raya Daerah Istimewa Yogyakarta
Masjid Kagungan Dalem Karaton Nyayogyakarto Hadiningrat
The Grand Mosque of The Royal Palace of Yogyakarta
Cagar Budaya Nasional : Monumenten Ordonantie n.238/1931 
Dibangun pada/built on : Ahad/Sunday 29 Mei 1773


Tahap kemunculan batu penanda di masjid.
Jadi apa itu Monumenten Ordonantie? Apa hubungannya dengan Masjid Kauman sebagai cagar budaya nasional ala penjajah Belanda yang kala itu tengah mencengkram Indonesia? Melawan dan bangga atas apa?

Dari sebuah penelusuran tentang Monumenten Ordonantie n.238/1931 terungkap fakta bahwa pada 1900, benda-benda warisan budaya Indonesia yang dipamerkan dalam Pameran Kolonial Internasional di Paris ternyata mendapat perhatian yang luar biasa dari khalayak Eropa. Sehingga mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk menggiatkan lagi komisi bernama Commisie in Nederlandsche-Indie voor Oudheidkundige Orderzoek op Java en Madoera yang diketuai J.L.A. Brandes. N.J. Krom, yang menggantikannya pada 1910 menganggap bahwa pengelolaan warisan budaya di Indonesia akan lebih mudah jika Komisi tadi ditingkatkan menjadi Jawatan atau Dinas dengan diperkuat oleh para peneliti arkeologi dan sejarah yang handal.

Atas desakan Krom, pada tanggal 14 Juni 1913 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Oudheidkundige Dienst in Nederlandsche-Indie (Jawatan atau Dinas Purbakala di Nederland-Indie). Peran pemerintah kolonial menjadi semakin kuat dengan ditetapkannya Monumenten Ordonnantie Nomor 19 tahun 1931 Staatblad 238 demi menjamin akses mereka terhadap warisan budaya milik bangsa Indonesia. Sejak itu, semua urusan yang berkaitan dengan warisan budaya di Indonesia, termasuk upaya untuk mengumpulkan, mendaftar, meneliti, serta melestarikan, dan memanfaatkannya menjadi urusan negara. Tak terkecuali Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta yang masuk kategori Benda Cagar Budaya.

Persayaratan untuk digolongkan sebagai benda cagar budaya, yaitu telah berusia 50 tahun atau lebih, yang kekunoannya dan keasliannya telah teruji. Demikian pula ditinjau dari segi estetika dan seni bangunan harus memiliki mutu cukup tinggi dan mewakili gaya corak-bentuk seni arsitektur yang langka.

Melihat fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa penyeleksian sejumlah objek dalam gambar masjid pada perangko, seperti penggunaan gapura gaya lama adalah upaya untuk mengomunikasikan bahwa masjid pada gambar perangko adalah masjid kuno Kauman yang masih asli seperti saat Dahlan baru mengawali perjuangannya sebagai guru ngaji di masjid tersebut. Atau setidaknya ingin menunjukkan masjid yang sama dengan masa ketika Dahlan masih hidup sebagai khotib Amin dan ketua Persyarikatan Muhammadiyah.

Sementara fakta yang tertera pada batu penanda bahwa masjid dibangun pada 1773 dan dimasukkan(diakui) kolonial Belanda sebagai cagar budaya adalah wujud kebanggan bahwa masjid ini sampai diakui sebagai cagar budaya oleh Belanda, yang saat itu telah berusia 150 tahun. Namun juga sekaligus wujud penolakan dari klaim Belanda dengan aturan Monumenten Ordonantie nya lewat penegasan bahwa masjid ini milik Keraton Yogyakarta.

Penelitian oleh :  Restu Ismoyo Aji (aka. Jino Jiwan) pada 2010.

Untuk menyimak artikel jurnal DeKaVe ISI Yogyakarta klik di sini.


Sumber:
Nashir, Haedar, Muhammadiyah Gerakan Pembaruan, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.
Soerjono, Filateli Dunia Penuh Warna, Jakarta: PT Pos Indonesia, 2009.
antaranews.com []corlena.wordpress.com [] id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah [] lazismu.org/muhammadiyah-corner [] muhammadiyah.or.id [] oase.kompas.com [] pda-id.org/library [] publikasi.umy.ac.id/index.php/hukum/article/viewFile/1736/187 [] republika.co.id [] suaramerdeka.com [] tempointeraktif.com [] umj.ac.id [] umm.ac.id [] umy.ac.id


0 komentar: