Hujan di Malam Tahun Baru
Pada suatu hari, Musim Hujan sedang ngambek. Dia sedang tidak
rela dijadikan alasan buat mahasiswa yang suka telat datang ke kampus atau
telat ngumpul tugas. Tidak ingin dituduh sebagai penyebab wafatnya aliran
listrik. Tidak suka dikatai penyebab genteng rumah bocor. Tidak mau pula
dianggap penghalang bagi para pekerja untuk masuk kantor. Dia juga tidak ikhlas
dituding sebagai penyebab seorang cowok telat menjadi tukang ojek bagi si
cewek. Itu makanya Musim Hujan memilih menyendiri di tempat tersembunyi untuk
merenungi nasib. Betapa dia tidak dicintai, betapa dia tidak diingini.
Ketidakberadaan musim ini membuat
Musim Kemarau yang sedang liburan terjun
menggantikan posisi Musim Hujan untuk sementara sampai emosi Musim Hujan
mereda.
“Kemana Si Musim Hujan? Aku sudah gatal mau menyengat orang yang ada di
bawah sana! Aku ingin membuat orang-orang itu menutupi telinga bergidik ngeri
waktu melihat kilatan cahayaku.” Ujar Si
Petir penuh amarah.
Si Kilat yang merasa tidak diberi
kredit tidak dapat menerima perkataan Petir. “Hei. Yang kau bicarakan itu aku juga
tau. Aku yang bikin mereka kaget lalu menutupi telinga!”
“Kau tidak berarti apapun tanpa
aku, kau bahkan tidak nyata!!” Petir meledak.
Musim Kemarau pun menyahut
mencoba mendinginkan suasana (yang mana agak gak begitu cocok dengan perannya), “Tenangkan dirimu hai Petir...dan kilat. Kalian bisa mengejutkan
atau membunuhi orang nanti jika Musim Hujan sudah kembali. Jika kalian muncul
sekarang orang-orang bisa panik menyangka itu sebagai pertanda buruk yang bakal
terjadi. ‘Petir kok di hari bolong’. Lagi pula kalian tidak mungkin ada tanpa
kehadiran Musim Hujan, jadi seharusnya kalian berdua tidak di sini.”
“Ah, kau benar, Kemarau.”
(Petirpun menghilang tanpa bekas, tentu saja Kilat juga ikut lenyap).
“Bagaimana denganku, sahabat
setiamu?” Angin menyapa Musim
Kemarau.
“Ah, Angin. Baiklah, meski kau
sering selingkuh dengan Musim Hujan. Kau bolehlah berembus bersamaku.” Jawab
Musim Kemarau.
Maka Musim Kemarau pun memeluk
dunia. Hawa kerontang menyelekiti setiap kulit manusia di bawah sana, mengubah
tanah jadi debu, menjerakan dedaunan yang rajin mengisap saripati bumi. Kala itulah
para pedagang es (genre apapun) kejatuhan
duit seabrek-abrek dan para manusia bergumul di Indomacet dan Alfakemaruk
sekedar buat ngadem atau menenggak
minuman yang harganya bisa lebih mahal sepertiga harga dari toko sebelah. Angin lalu dengan sengaja
mengamuk menggoyahkan pepohonan. Sebuah pohon yang telah kehilangan daya hidup memilih
merebahkan diri menindih duo manusia yang sedang berkencan di bawahnya
(sukurin!).
Para manusia sedih, mereka
memanggil-manggil Musim Hujan agar kembali.
Musim Hujan tergugah mendengar jeritan
para manusia. “Ternyata mereka (masih) mencintaiku.” Gumamnya.
Dia pun kembali. Disambut dia
dengan suka cita oleh Musim Kemarau dan Angin. Petir dan juga Kilat melesat
bergabung dengan gembira. Mereka kembali dipersatukan setelah sekian lama. Saling
kangen-kangenan lalu membicarakan rencana dan jadwal untuk menghujani sejumlah petak-petak
yang merindukan kedatangan mereka bertiga.
...belum berapa lama mereka bergabung.
Suara sekumpulan manusia mendengung
hebat. “Etunggudulu, malam ini kan malam tahun baru. Alangkah lebih syahdu
kalau kemarau saja yang menaungi kami. Biar kami bisa pacaran bergandengan berpelukan
berdekapan menggaulkan bertindihan bersandaran sambil menatap langit yang byar-pet Jder
byar-pet JDEER lalu ber-toet-toet-toet
tiada jemu seolah tidak sah bagi kami untuk melakukannya di lain hari. Kau taulah,
ini kan sudah tradisi. Jika kamu wahai Hujan yang datang. Kamu bisa membunuh
nuansa ini. Jadi mendingan kamu tidur dulu atau ngapainlah sana terserah. Ngapain
aja asal jangan menghujani kami.
Musim Hujan menunduk nesu. Perasaannya kelabu nan sendu. Dia pun
menghilang lagi bersama Petir dan Kilat. Musim Kemarau yang tadinya mau tidur
panjang bangkit kembali demi melembur pekerjaan yang tidak seharusnya dia
tanggung.
Dan kamu. Iya kamu anggota IPJ,
Ikatan Para Jomblo kasta terbawah. Cuma bisa menggigiti kuku jari kakimu
seiring jari(tangan)mu meng-scroll-i
cerita ini. Di luar tidak hujan, tapi hatimu banjir tangisan. Tangisan dari bijimu sendiri.
HA-HA-HA-HA-HA.
0 komentar:
Posting Komentar