Ulasan Panjang Film Wiro Sableng

12.33.00 jino jiwan 0 Comments

Jika ditanya apa serial televisi Indonesia 90-an yang meninggalkan kesan begitu dalam bagiku jawabannya adalah Wiro Sableng. Tampil hanya setiap Minggu siang di RCTI (tidak seperti sekarang di mana sinetron tayang setiap hari selama 2 jam) Wiro Sableng versi sinetron, terutama sewaktu diperankan oleh Ken Ken (fuck the other guy really), menguasai imajinasiku atas kemasalaluan Nusantara dan dunia perpendekaran (persilatan). Hingga saat aku nangkring di bangku bioskop awal September demi menonton filmnya, lagu tema dari masa lalu itu terngiang...

 “Wiro sableng, dasar sableng,gurunya gendeng, muridnya sableng …”



Wiro Sableng yang asli

Jauh ketika mendengar kisah pendekar legendaris ciptaan Bastian Tito akan dibikinkan format layar lebarnya (untuk sekian kali), aku termasuk dari kalangan yang bergembira ria namun juga tidak yakin, bahkan khawatir akan kualitas film ini. Wiro Sableng dari segi karakternya terlampau kompleks untuk dipadatkan ke dalam satu buah film berdurasi 2 jam.

Bila serial televisinya bisa memberi banyak waktu bagi pembuatnya untuk mengembangkan aspek menarik pendekar bernama asli Wiro Saksana perlahan-lahan dari ratusan cerita silatnya (cersil) dan buat penontonnya sendiri untuk membangun imajinasi karakter ini dalam benak mereka, aku khawatir film ini tidak akan sanggup melakukannya (semacam do justice gitu).

Omong-omong, tahukah kamu bahwa selain pendekar 212 yang kita sudah sama-sama tahu siapa, ada pula Pendekar 108: Si Mata Keranjang, Pendekar 131: Si Joko Sableng, dan Pendekar 71: Si Gento Guyon?

Enam cersil yang tokohnya mirip Wiro Sableng

Iya, sama seperti Si Buta dari Goa Hantu karangan Ganes TH yang dikopi sekaligus diejek Tatang S. menjadi Si Gagu. Wiro Sableng memunculkan epigon-epigon dari penulis lain yang bukan saja tanpa sungkan mengekor keber-angka-annya namun juga perilaku dan pembawaan Wiro Sableng yang agak dungu-dungu kocak-gila.

Selain nama-nama di atas ada pula Satria Gendeng, Pendekar Blo’on, Pengemis Binal, dan Pendekar Slebor. Siapa penulisnya? Silakan cari sendiri. Aku menemukan data ini di sejumlah forum cersil di internet yang kadang di sampulnya pun kerap tidak menyertakan nama si penulis.

Kurasa di situlah letak seksinya Wiro Sableng. Berbeda dari Jaka Sembung yang sangat stoic dan terikat kode moral agama, Panji Tengkorak pengelana yang sendu, dan Barda Si Buta dari Goa Hantu pemendam dendam. Wiro Sableng punya cara pandang yang berbeda terhadap dunia. Dia menertawakannya sembari tetap membawa keseriusan. Semacam komentar sosial kritis namun komedik (atau parodik?) atas segala masalah yang mendera umat manusia.

Wiro Sableng adalah pendekar yang  pembawaannya santai dan sangat fleksibel bahkan terhadap kode moral hero: dia tidak segan membunuh (penjahat tentu saja), minum minum, dan tidur dengan perempuan. Keunikan ini yang membuatnya berbeda dari pendekar lain; membuatnya ditiru penulis cersil lain, barangkali karena sebagai hero dia lebih dekat dengan manusia biasa.

Meminjam komentar dosen pembimbingku (Prof. Faruk) atas sosok Wiro Sableng—jika tidak keliru mengingat—yang disebutnya sebagai pendekar yang berada di antara waras dan gila, dia adalah sosok berkelakuan nyeleneh tapi hatinya wali. Dengan segenap latar inilah pengharapanku atas film ini menanjak.

Tentu bukan cuma itu. Selain keterlibatan Yayan Ruhian sebagai penata adegan silat dan sederet aktor pendukung lain, ada bujet yang konon mencapai 2 juta dolar AS. Cukup besar untuk ukuran film Indonesia, sehingga tidak ada alasan mengada-ada buat tidak menjangkau suatu standar film yang enak ditonton. Seminim-minimnya cerita dan plot yang prima, atau sekurangnya penulisan karakter (transformasi karakter/character arc) yang masuk akal, itu kalau CGI a la Hollywood terlalu berat dikejar, atau kalau capaian eksyennya The Raid sulit disamai.

Dari segi kisah, Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 (selanjutnya menjadi Wiro Sableng 212), tidak bergeser teramat jauh dari dua cersil Wiro Sableng terbitan awal: Empat Brewok dari Sanggreng dan Maut Bernyanyi di Padjajaran.

Tanpa Spoiler Alert—untuk sekedar menyinopsiskan—ceritanya dimulai dari dibunuhnya Ranaweleng dan Suci, orang tua Wiro Saksana oleh Suranyali (Mahesa Birawa). Dijadikannya Wiro cilik sebagai murid oleh pendekar Sinto Gendeng hingga dilepasnya Wiro dewasa untuk berkelana mencari pembunuh ayah-ibunya yang juga kakak seperguruannya itu. Dalam petualangan tersebut Wiro turut menyelamatkan kerajaan Padjajaran dari serangan para pemberontak.

Dengan plot sederhana ini saja seharusnya Wiro Sableng 212 tidak akan kekurangan bahan pemikat, sehingga tidak perlu ditambah-tambahi plot lain dan segunung karakter yang tidak menyumbang peran lebih terhadap perkembangan cerita. Tapi nyatanya itulah yang terjadi. Wiro Sableng 212 begitu riuh, berlawanan dengan kosong-kosongnya kursi di bioskop.

Iya, suasana di dalam studio yang memutar Wiro Sableng 212 sore itu cukup lengang, sehingga aku leluasa bergeser tempat duduk (di sebelah kiriku ada seorang cowok duduk sendirian soalnya, merasa senasib aku bergeser satu kursi ke kanan, bikin sekat privasi dab).

Kuperhatikan pula beberapa dari penonton tampak berada di rentang usia yang lebih muda dariku. Aku yakin ketika sinetron Wiro Sableng tayang 1990-an mereka masih imut-imut atau malah belum lahir.

Yang mana membuatku bertanya-tanya, mengapa mereka mau menonton film ini? Berbeda dari generasiku yang mungkin ingin merasakan atmosfer nostalgia dan penasaran akan seperti apa filmnya. Generasi mereka barangkali tergoda oleh promosinya yang gencar atau ingin menatap wajah mulus Vino G. Bastian, aktor dan model yang juga putra pengarang pendekar kapak naga geni 212, Bastian Tito, sama seperti sebagian orang yang masih belum bosan ketemu Reza Rahadian lagi dan lagi di layar lebar.

Terus terang Vino G. Bastian bukanlah aktor favoritku. Pembawaannya dari sinetron dan film-filmnya terdahulu masih sangat terasa di sini. Cuma secara sporadis sepanjang durasi film aku bisa melihat jiwa sableng ideal dari Wiro Sableng, yang tak lain merupakan residu dari Ken Ken, sisanya aku masih melihat seorang Vino yang yah…gitu deh. Tidak banyak berubah. Aksen ibukota Vino pun masih kental terdengar, belepotan di sana-sini meski ia sudah berjuang untuk menekannya.

Pertanyaannya adalah, apa tidak ada aktor lain yang lebih pantas memerankan Wiro Sableng? Jelas berlimpah ruah. Tidak harus mencari yang terkenal, sebisa mungkin malah yang tidak terkenal. Secara umur Vino sebetulnya juga sudah kurang layak karena Wiro Sableng seharusnya masih remaja. Itu sebabnya Wiro dilepas oleh Sinto Gendeng untuk turun gunung setelah genap 17 tahun berlalu, artinya usianya adalah 17 tahun.

Vino di sini, istilahnya sudah kurang pas untuk memerankan Wiro yang masih berjiwa “sableng.” Itu sebabnya dia kurang bisa sableng maksimal di sini. Bukan berarti Vino tidak bisa membawakan tokoh Wiro untuk paling tidak tiga film ke depan, hanya saja dengan usianya yang hampir kepala empat, sulit bisa percaya bahwa tokoh Wiro masih edan-edannya. Apalagi karena dalam cersilnya, Wiro bertransformasi menjadi lebih bijak seiring usianya yang bertambah. Jadi, jika film ini masih ada terusannya (sekuel), besar kemungkinan kita tidak akan menjumpai Wiro yang sableng lagi.

Bukan rahasia memang bila Vino menginginkan peran atas tokoh kreasi ayahnya. Begitulah yang ditulis media massa bertahun lalu ketika obsesinya itu disampaikan. Apalagi Vino muda sempat jadi model sampul novel (?) teenlit Boma Gendenk.

Covernya emang rada norak
Siapa itu Boma Gendenk? Boma Gendenk yang mengingatkan pada Catatan Si Boy dan serial Lupus
adalah semacam sempalan (spin off) dari serial Wiro Sableng yang berfokus pada remaja SMA bernama Boma. Bedanya ia berlatar “masa kini,” masa kini 90-an tentu saja, waktu di mana serial ini di tulis Bastian. Kisah masa kini itu berjalan paralel dengan masa di mana alkisahnya Wiro Sableng atau tokoh-tokoh dalam cersil Wiro Sableng masih hidup. Cukup menarik sebenarnya kalau mau dibuat sinetronnya. Mumpung sekarang sedang ngetren sinetron ngamuk-ngamukan (Hei, aku sedang melototin kamu Anak Jalanan dan Anak Langit! Iya kamu!).

Tapi apa hanya dengan bermodal keinginan saja cukup buat Vino? Jelas tidak. Dipilihnya Vino untuk memainkan Wiro Sableng adalah juga pertimbangan tampilan fisik dan fansnya. Sama seperti belum bosannya sebagian orang menggandrungi Reza Rahadian yang masuk checklist standar tertentu (yaitu: putih, tinggi, dan indo), begitulah juga Vino. Sudah dia anak Bastian Tito, ganteng pula untuk sebuah standar entertainmen yang dibentuk salah satunya oleh Hollywood.

Bicara soal Hollywood, aromanya memang sangat terasa sedari detik awal film dibuka. Tidak, bukan logo 20th Century Fox yang aku maksudkan. Logo yang dibangga-banggakan para warga net Indonesia yang mana malah menampakkan mental inferior kita di mata warga dunia. Yang aku maksud adalah saat di mana Mahesa Birawa dan komplotannya hendak menggasak desa Jatiwalu. Pembukaan yang mengingatkanku pada film Apocalypto ketika para pemburu bayaran hendak menyerang pemukiman Jaguar Paw di tengah belantara. Sialnya, adegan pembuka ini adalah satu-satunya yang berkesan buatku dari film Wiro Sableng 212.

Dan, seperti film super hero Hollywood yang memopulerkan mid-credit scene dan post-credit scene, Wiro Sableng 212 menggunakan formula yang serupa, memberikan adegan selepas kredit-awal. Walau sayangnya tanpa konteks berarti yang dibuat dengan mengasumsikan seolah penontonnya mengerti sejarah dan mitologi Wiro Sableng yang cersilnya pertama kali terbit 1967, lebih dari lima puluh tahun lalu.

Lalu, tak sulit menemukan model komentar bernada “apresiatif” sebagai berikut: “Hei, film kita sudah selevel film Avengers karena ada adegan sesudah kredit! Kita harus bangga! Ini waktunya kita mendunia.”

Pertanyaannya, apakah pembuatnya berharap penonton bakal excited (senang?) bahwa akan ada sebuah sekuel yang belum lagi akan dikerjakan?

Bahwa akan ada tokoh yang kita gak tahu “siapa mereka” sebetulnya?

Wiro Sableng dan segenap pendekar silat fiktif lokal, seperti Si Buta dari Goa Hantu, Panji Tengkorak, Jaka Sembung maupun super hero semacam Gundala dan Godam, sudah lama ter/dicabut dari akar komik (baca: literatur) Indonesia. Komiknya sudah menjadi relik sejarah dengan harga tinggi di mata kolektor dan DIBIARKAN dalam keadaan demikian. Jejaknya lama hilang dan mereka kini tertatih terseok di tengah iklim komik global.

Berbeda dari industri film Amerika Serikat yang bersinergi dengan industri komiknya. Komik super hero Amerika masih terus diproduksi dan diperbarui lewat beragam versi sehingga source material-nya semakin kaya. Pembuat film super hero tidak akan kesusahan mencari ilham.

Komik Indonesia lawas susah payah mengeksistensikan dan mengekstensikan diri di Klasika Kompas, sisipan yang mungkin diabaikan orang. Mereka menjejak kaki pada label “hero legendaris” yang HARUS dipertahankan. Tetapi tidak tahu MENGAPA perlu dipertahankan.

Cersil Indonesia sendiri tidak berbeda drastis nasibnya. Tidak pernah mendapat pengakuan kesastraan dari pemerintah lewat corong Depdikbud-nya. Tidak satupun pengarang cersil yang masuk “wadah” angkatan sastrawan. Pengarang cersil sengaja disingkirkan karena mereka adalah deviants yang karyanya tidak sesuai dengan proyek kesastraan yang polanya dikotak-kotakkan itu.

Cersil Wiro Sableng bukan pengecualian. Dulunya dijual di kios pinggiran dengan harga murah di atas kualitas kertas yang buruk, kini file pdf-nya beredar secara gerilya di internet. Kiranya posisi demikian kian menegaskan kemarginalannya.

Lenyapnya akar literasi ini yang kiranya kurang diperhatikan pembuat film dengan mid-credit scenenya. Wiro Sableng 212 bimbang hendak kemana, melayani siapa. Penonton “milenial” atau pembaca cersilnya.

Siapa kiranya peduli dengan kemunculan tokoh yang penampakannya antagonis itu jika tidak diberi penjelasan bahwa dia adalah musuh utama Wiro Sableng, Pangeran Matahari? Karena kemungkinan besar hanya pembaca cersilnya yang usianya kini di atas 30-60 tahun yang paham referensi tersebut, meski belum tentu juga. Sehingga aku merasa bahwa mid-credit scene ini jika bukan kesia-siaan, ya semacam coba-coba mengekor Hollywood sekaligus mengetes reaksi penonton.

Resep Hollywood ini juga terasa dari upaya pembuat filmnya membangun sebuah cinematic universe selayaknya dilakukan [dengan sukses oleh] Marvel-Disney. Wiro Sableng yang sebenarnya sebagai tokoh pendekar sudah sangat kuat ternyata masih butuh sokongan sesama pendekar lain.

Tidak salah tentu, karena seorang hero dalam konsepnya hampir selalu membutuhkan bantuan teman-temannya (side kick). Tapi apa perlunya teman-teman dari si hero ini jika mereka tidak menjalani fungsi tertentu, yaitu sebagai pembantu dari si hero, bukan hendak menyamainya.

Misalnya si Bujang Gila Tapak Sakti yang asalnya antah berantah ini. Bukankah film ini sudah punya comic relief yang diemban oleh tokoh utama, Wiro Sableng sendiri. Jika rekan seperjalanannya sama-sama gilanya—apalagi namanya saja pakai embel-embel “gila”—maka keduanya jatuh ke dalam kedataran, karena keduanya saling berusaha tampil lebih edan dan bodoh satu sama lain.

Setiap arketip tokoh dalam sebuah cerita selalu mewakili fungsi tertentu. Buat apa ada dua tokoh yang persis sama terlebih berada di kutub yang sama? Hilangkan saja Si Bujang Gila dan plot film tidak mengalami perubahan berarti.

Menyoal fungsi, Wiro di sini juga tidak tampak cukup mulia. Berbeda dengan versi cersil di mana sedikit-sedikit Wiro menolong orang yang sedang kesusahan. Di film ini—yang bertema pendekar baik melawan pendekar jahat—hampir tidak ada kebajikan yang diperbuat Wiro untuk menghantarnya pada peran hero klasik tersebut.

Jalan yang dilaluinya secara kebetulan melintasi pemberontakan atas sebuah kerajaan yang entah buat apa dia—sebagai pengelana—merasa punya kepentingan atasnya, jika tidak [secara kebetulan] melibatkan Mahesa Birawa musuhnya.

Mahesa Birawa yang seharusnya berdiri di sisi seberang Wiro juga tidak cukup terlihat kekejiannya. Sayang sekali, tampang Yayan Ruhian yang secara natural selalu pantas memerankan penjahat di film-film terdahulu tidak cukup menguarkan auranya di sini.

Kita bisa ikut merasa segan sekaligus kagum pada sosok Mad Dog di film The Raid yang saking bad ass-nya dia sampai jadi meme. Mungkin jangan-jangan diam-diam Gareth H. Evans pandai juga meramu karakter. Dalam The Raid, sosok Mad Dog sebagai seorang petarung gila nan tangguh dibangun lewat kebrutalannya sewaktu menghadapi Sersan Jaka (Joe Taslim) dan ketenangannya melawan dua bersaudara, Rama (Iko Uwais) dan Andi (Dony Alamsyah).

Nulis cerita tapi gak tahu tentang apa, biar greget

Lupakan bahwa penulis naskah Wiro Sableng 212 ada tiga orang, yang salah satunya Seno Gumira Ajidarma, pengarang novel Nagabumi yang kemungkinan namanya dipinjam demi meningkatkan gengsi di mata calon penonton. Ketiganya tidak sanggup menjabarkan character arc Mahesa Birawa sebagai musuh besar dengan menarik dan masuk akal.

Para penulis naskah ini telah gagal menyajikan Mahesa Birawa selaku antitesis dari Wiro Sableng. Memang cersilnya kurang sanggup menjelaskan latar karakter Mahesa dengan cukup baik, dan ini seharusnya menjadi ladang bagi penulis naskah untuk menetapkannya menjadi penjahat yang kompeten.

Tapi sepanjang film ‘hanya’ dua kejahatan besar yang dilakukannya: membunuh Ranaweleng, ayah Wiro dan berupaya merebut kapak pusaka milik Sinto Gendeng. Sudah, itu saja.

Ketika dia mati, orang tidak ikut bahagia, sama seperti ketika dia tampil di layar, orang tidak ikut sebal, takut, atau cemas terhadap keselamatan Wiro dkk. Mahesa semata hanya “nongol,” untuk kemudian dia lenyap. Pertarungan puncak di akhir film pun terasa antiklimaks, tak lain satu di antaranya karena Wiro kudu dibantu oleh teman-teman barunya yang tidak punya urusan langsung dengan Mahesa Birawa.

Padahal Mahesa Birawa adalah musuh “bebuyutan” Wiro yang pertama. Dia adalah alasan Wiro Sableng dikirim turun gunung oleh Sinto Gendeng. Tidak, bukan hanya itu. Dia adalah alasan Wiro diambil jadi murid Sinto Gendeng. Mahesa Birawa adalah tugas pertama Wiro untuk membuktikan kapasitas diri sebagai pendekar. Namun perannya tidak lebih dari musuh generik yang dangkal.

Mahesa Birawa memang lantas memimpin pemberontakan atas sebuah kerajaan yang tidak disebut namanya. Namun motivasinya tidak digali lebih jauh selain ucapan: “kita bangun yang baru di atas tatanan lama.” Yang menunjukkan bahwa karakter Mahesa Birawa punya potensi lebih jika mau digali lebih.

Bahwa jangan-jangan dia cuma sosok yang disalah-pahami oleh orang awam. Mungkin maksud Mahesa Birawa baik, ingin menjungkalkan raja Kamadaka yang mungkin menurutnya tidak tahu caranya menjalankan kerajaan.

Dengan dana raksasa (sekali lagi untuk ukuran film Indonesia), Wiro Sableng 212 bukan hanya seakan tidak percaya diri kepada potensi karakter Mahesa Birawa (dan Yayan Ruhian) tapi juga ingin menyaingi skala Hollywood. Ini mendorong Mahesa Birawa ditenggelamkan oleh penulis naskah melalui parade tokoh-tokoh pendekar musuh yang di dalam film jadi forgettable dan layak diteriaki who the f*ck are they anyway.

Padahal di dalam cersilnya tokoh-tokoh musuh ini cukup layak dikenang karena keunikannya: misal Bagaspati dan Pendekar Pemetik Bunga yang di film ini mereka tidak lebih dari sekedar tempelan. Jika aku tidak mau repot menengok poster promosinya aku tidak akan tahu kalau Cecep Arif Rahman yang memerankan “The Assassin” di The Raid 2, kebagian jadi Bagaspati.

Terlepas dari kekurangannya, film ini tetap punya niatan serius. Ini tampak dari departemen wardrobe dan makeup (kecuali Sinto Gendeng yang kelihatan banget makeupnya). Rasanya bolehlah kalau di dada para desainer-kostum disematkan bintang penghargaan “penyelamat film.”

Pakaian semua tokohnya (terutama penjahatnya) cukup imajinatif, mampu menghidupkan pembayangan pembaca atas tokoh-tokohnya dalam cersilnya. Hanya pakaian Mbak Bidadari Angin Timur yang terlalu terasa aroma kekiniannya. Melihat sandangan yang dikenakan tokoh yang diperankan oleh istri aktor utama ini bak melihat ibu-ibu ‘peri’. Bukan peri dalam sinetron melainkan baju peri a la baju karnaval pada aneka acara festival yang belakangan sering dihelat di daerah-daerah.

Keunggulan lain dari film ini adalah pemilihan lokasi yang sulit dideteksi keberadaannya oleh warga awam yang jarang jalan-jalan (seperti aku). Latar hutan, pegunungan, ngarai, sungai sangat menyejukkan mata sekaligus meyakinkan bahwa kisah terjadi di semesta persilatan. Istana kerajaan pun kelihatan bukan sekedar pakai tempat yang sudah ada namun butuh untuk diadakan alias dibuat dari nol. Keduanya memberi nyawa bagi film ini, sejenis redeeming quality.

Ke depannya (di sekuelnya bila jadi dibuat) aku berharap, sutradaranya, siapapun nanti, mau ikut bertanggung jawab terhadap naskah. Pastikan juga penulisnya bukan orang yang sama dengan ini film dan sebisa mungkin patokannya tidak melulu Hollywood. Bukannya anti asing, tapi kita ini butuh standar sendiri yang tujuannya bukan mau menyaingi, cukup bikin film yang enak ditonton dan bisa dinalar.

Catatan Akhir:

1. Agak lebay kalau aku bilang Wiro Sableng adalah satu-satunya sinetron berkesan bagiku, karena  masih ada Si Doel Anak Sekolahan dan beberapa sinetron jadul bermutu (diangkat dari novel) yang dibintangi Paramitha Rusady, Desy Ratnasari, Dian Nitami, Ari Wibowo, Cok Simbara, Ayu Azhari, Meriam Bellina, Gunawan (yang pakai embel-embel Sahrul maupun yang tanpa), Anjasmara, Primus Yustisio, dll. Gak ingat lagi judul sinetronnya, apalagi ceritanya. Yang jelas lagu-lagu soundtracknya masih enak didendangkan hari ini, salah duanya Keliru (Ruth Sahanaya) dan Bahasa Kalbu (Titi Dj).

2. Komik Indonesia hingga sekarang masih berusaha menemukan warna khasnya setelah sempat dijejali komik Amerika di tahun 1950 hingga 60-an dan manga di tahun 1990-an. Kehibridaannya kerapkali dibantah-bantah dan disingkirkan, bukannya diakui.

3. Muncul kembalinya komik Indonesia lawas sepertinya tidak disertai alasan kuat mengapa harus dimunculkan kembali. Ini juga terjadi dalam film-film yang muncul belakangan. Dari Warkop DKI yang me-Reborn diri, Benyamin Sueb versi Reza Rahadian, dan Suzanna berwajah Luna Maya yang bukannya membuat ulang (remake) dengan menambah kebaruan, mereka jatuh pada mimicking atau lebih tepat melakukan impresi dengan dalih melestarikan aktor dari film-film tua tersebut kepada generasi muda.

4. Kekurangan lain film ini: Aku yang berusaha menjauhi trailer dan poster promonya terkejut dengan pemilihan Marcel Siahaan sebagai Ranaweleng. Nyaris tidak ada kemiripan struktur wajah dengan si Vino. Malah awalnya kukira dia ini malah aktor Jepang yang entah siapa. Satu lagi, romansa Wiro Sableng dengan Rarawuni terasa dipaksakan. Hanya dengan bertatapan sejenak lalu sudah jatuh cinta? Ini membikin aku tidak merasa trenyuh, simpati, dan kasihan saat Rarawuni tewas.

0 komentar: