Bentuk Komik dan Perlintasannya

12.13.00 jino jiwan 0 Comments

Anda pernah membaca komik? Saya yakin kita semua pernah membacanya setidaknya sekali seumur hidup. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah anda suka membacanya, atau justru tidak? Jika tidak, mengapa? Jika suka, komik apa yang disukai? Apa yang membuat anda menyukainya? Gambar, cerita, tokohnya?

Pertanyaan di atas bukan bermaksud melugukan diri. Pertanyaan di atas adalah pertanyaan-pertanyaan pembuka yang ke depannya saya harap akan memicu lebih banyak pertanyaan untuk diri kita sendiri.







Dalam DKV, komik adalah medium komunikasi visual paling lengkap. Begitulah guru saya Pak Asnar Zacky pernah berujar. Pada komik kita jumpai elemen-elemen dasar DKV: garis, bentuk, ruang yang dipelajari di Desain Elementer; huruf (Tipografi); dan gambar (Ilustrasi). Tapi hal-hal teknis ini sama pentingnya dengan bentuk-bentuk komik dan proses dialogisnya terhadap wacana lainnya. Kita perlu melihat betapa luwes dan lenturnya bentuk komik hingga menjadi komik yang kita kenal sekarang.

Berdasarkan bentuknya komik digolongkan menjadi lima (Maharsi, 2011): komik strip (komik strip bersambung dan kartun komik), buku komik, novel grafis, komik kompilasi, dan komik online (web comic).

Komik Strip


Komik ini terdiri dari beberapa panel saja (3-4 panel) dan biasanya hadir di surat kabar atau majalah. Salah satu komik strip paling populer di Indonesia adalah Panji Koming di Kompas terbitan Minggu. Maharsi memang membedakan lagi antara strip bersambung dangan kartun.

Mengenai “kartun” McCloud (2002) menegaskan perbedaannya dengan “komik.” Sementara komik adalah medium, kartun merupakan pendekatan gaya gambar, yaitu yang kita kenal sebagai non-realis. Sebuah abstraksi/penyederhanaan dari kenyataan yang berfokus pada detail mendasar yang lantas menguatkan makna di mana yang nyata tidak mampu melakukannya. Kita bisa melihat diri kita sendiri ada pada yang-kartun. Ada kesadaran akan identitas diri yang universal ketika kita menyimak kartun.

Karena ikatan identitas manusia itu, kartun menjadi senjata untuk bersuara, berpendapat, dan kritik. Gaya kartun membuatnya dapat di-isi oleh pembaca. Pembaca dapat ikut mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh di dalam Panji Koming, mengambil posisi yang sama (atau berseberangan?) dengan komik Panji Koming. Kartun yang tampilannya sederhana tidak lagi menjadi lucu (atau justru lucu dalam bingkai miris?), ia menjadi…istilahnya relatable.

Buku Komik

Komik ini terbit dalam bentuk buku yang bukan bagian dari media cetak lain. Kemasannya menyerupai majalah yang terbit secara rutin. Di Amerika Serikat, buku komik mulai populer 1930-an bersamaan dengan komik Superman tahun 1938. Era 1930-1960an ini kemudian disebut The Golden Age Of Comic Books.



Begitu pesatnya industri komik tumbuh di Amerika sehingga timbul reaksi balik dari masyarakatnya sendiri yang menuduhnya sebagai penyebar kebodohan, menurunkan minat baca, dan pelenyap nilai-nilai moral yang ditimbulkan komik dengan tema kriminalitas, horor, penggunaan obat terlarang, dan seks bebas. Terutama sesudah Fredric Wertham menerbitkan The Seduction of Innocent yang berisi kritik dan tuduhan terhadap komik.

Sebagai bentuk ‘tanggung jawab’ terhadap masyarakat, industri komik Amerika lantas membuahkan Comics Code Authority (CCA) atau dikenal Comics Code yang bertujuan menyensor komik dengan konten tertentu. Komik yang lulus sensor lalu berhak mendapat cap logo CCA pada sampulnya. Ketatnya sensor mendorong sejumlah penerbit buku komik menutup usahanya.

Di Indonesia, agak sedikit berbeda. Komik bukan hanya dituduh penyebar kebodohan tapi mewakili Barat yang liberal dan kapitalistik yang membahayakan identitas bangsa (Wibowo,2012). Namun bukan hanya itu. Lewat Seksi Bina Budaya yang bagian dari kepolisian dan Opterma (Operasi Tertib Remaja), komik disensor. Uniknya sensornya cukup luwes karena komik yang memuat “pornografi” (dengan tanda kutip) boleh tetap terbit asal tidak frontal (Bonneff, 2008). Lihat bagaimana isu yang berbeda  digunakan mengkambing-hitamkan komik.

Novel Grafis

Istilah ini muncul saat A Contract with God karya Will Eisner terbit 1978. Menurut Maharsi (2011) tema yang diangkat di novel grafis lebih serius, lebih panjang, ceritanya bukan untuk anak-anak pula. Tujuannya hanya satu: menghilangkan kesan murahan.


Mengapa demikian? Tak lain karena komik masih lagi-lagi dicap pembawa kebodohan, bahkan hingga sekarang. Dari sejarahnya komik pernah dibakar, tidak hanya di Indonesia pada 1955, tapi di Amerika Serikat yang konon menjunjung kebebasan berpendapat tahun 1948. Dengan banyaknya gambar, tuduhan yang dialamatkan pada komik adalah dibatasinya imajinasi pembaca. Tidak seperti ketika membaca novel (Eisner, 1985).

Dari situasi ini tumbuh istilah novel grafis (di Indonesia ada “nopel bergambar”). Maunya ingin agar komik dianggap setara dengan novel, sama-sama dianggap produk sastra. Dengan memakai istilah ini bisa jadi komikus sadar posisinya yang marjinal tetapi dengan secara tidak sadar mengakui wacana dominan yang menggunggulkan novel di atas komik.

Sebagai catatan, di Indonesia dikenal istilah cergam untuk menyebut komik. Bahkan perkumpulannya disebut Ikasti (Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia). Para komikus merasa lebih nyaman dengan istilah ini karena terdengar lebih bagus (Bonneff, 2008). Di sini saya mau menunjukkan bahwa suatu istilah semacam novel grafis yang terdengar keren tidak lantas lepas dari hal-hal lain yang non teknis.

 

Komik Online

Komik ini menggunakan internet dalam publikasinya. Kemunculan internet telah membuka kesempatan seluasnya buat komikus untuk berkarya dan menyiarkan karya mereka ke seluruh dunia. Terlebih sejak hingar bingarnya media sosial, kegiatan pamer tidak lagi dilabeli pamer melainkan “berbagi.” Menyimak sejarahnya, justru keterbatasan media massa era sebelumnya seperti surat kabar dan penerbit buku yang mendorong pesatnya komik online. Tentu kehadirannya didukung perangkat teknologi dan akses internet yang makin terjangkau.

Keterbatasan itu bukan hanya dari jumlah medianya, tapi juga alokasi [ruang] cetak, biaya cetak dan distribusi, serta jangkauan pembaca. Internet mengizinkan alih kuasa yang lebih kentara dari pemilik media ke orang biasa. Model komunikasi satu arah dan berjarak berubah ke lintas arah di mana komikus bisa langsung berinteraksi dengan penyimaknya (pemberi komentar).

Penyebab kepopuleran komik online adalah kebutuhan akan wadah berekspresi, yaitu ekspresi yang lain dari biasa/umum. Misalnya salah satu komik online yang populer di Indonesia adalah TahiLalats (dengan bentuk komik strip!). Komik dengan konten nyeleneh yang tidak biasa seperti TahiLalats jelas tidak akan bisa masuk ke media massa arus utama (Kompas misalnya) karena tidak sejalan dengan misi yang telah ditetapkan.

Kendati begitu adalah tidak tepat jika mengatakan internet adalah ruang sebebasnya yang menjunjung kesetaraan. Dunia maya tetap diikat aturan yang ada di dunia nyata. Apalah artinya ruang kebebasan jika hanya untuk melukai pihak lain. Di sisi lain akses suatu konten dapat dengan tiba-tiba dibatasi. Penyedia layanan tetap punya kuasa lebih di atas “pengguna.” Komunikasi lintas arah juga bukannya tanpa masalah karena menimbulkan gesekan antara yang disebut sebagai haters dengan fans.

Tentu ada beberapa kasus menarik di mana komikus mampu membangun kapital berupa basis pendukung (fans) yang bisa dengan kompak menyokong komikusnya baik lewat pendanaan publik (misalnya: patreon) atau gerakan sosial yang pernah menimpa komik TheOatmeal kala menghadapi tuntutan hukum dari situs berbagi konten lucu, FunnyJunk dan serangan para pengguna situs tersebut. Bisa dibaca di sini.


Dari paparan dinamika di atas terlihat bagaimana bentuk komik tidak merupakan ketetapan tunggal, bentuk itu sendiri membentuk diri,  dan seringnya adalah tanggapan atas sebuah situasi sosial. Maka itu pemaknaan atasnya terus dan masih akan berubah.

(Restu Ismoyo Aji)

Sumber:
Bonneff, Marcel, 2008, Komik Indonesia, Jakarta: KPG.
Eisner, Will, 1985, Comis and Sequential Arts, Florida: Poorhouse Press.
Maharsi, Indiria, 2011, Komik Dunia Kreatif Tanpa Batas, Yogyakarta: Kata Buku.
McCloud, Scott, 1993, Understanding Comics, New York: Harperperennial.
Wibowo, Paul Heru, 2012, Masa Depan Kemanusiaan: Superhero Dalam Pop Culture, Jakarta, LP3ES.

0 komentar: