Ideologi Militeristik Bela Negara

21.25.00 jino jiwan 0 Comments

Bela Negara sebagai sebuah praktik tidak ada salahnya. Kamu cuma diminta setia pada negaramu. Cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme, dst. Praktik yang pada dasarnya penerapannya bisa sangat beragam. Sebuah kewajiban (yang di dalamnya sebenarnya sekaligus melekat hak warga negara) bagi kita untuk membela negara kita. Tapi mengapa mesti dilekat-lekatkan dengan militer?

Aku, katakanlah semacam penyintas dari diklat bertajuk bela negara. Adakah istilah penyintas barangkali terdengar hiperbolik? Bisa jadi. Bergantung perspektifmu. Biar kusampaikan perspektifku dalam ketikan ini.

Ikut diklat model gini bukan sukarela tentu saja. Melainkan semata karena institusi tempatku macul wakul saat ini memang miliknya pemerintah yang punya sejarah pernah berada di bawah atap Kemenhan. Jadi diklat ini sifatnya wajib bin(ti) harus bagi semua karyawan di sini.

Diklat yang kujalani berusia tepat setahun lalu. Di kala pandemi Covid-19 mulai mereda. Lokasi? Di Pusdiklat di R****n. Seharusnya bukan aku yang dipilih untuk ikut, tapi nasib berkata lain. Seharusnya aku ikut diklat di A** Yogyakarta tapi namaku diselipkan ke sana. Ya sudah mau apa lagi?

Sebetulnya bisa diduga dengan mudah kenapa diklat bela negara seolah mendadak muncul. Karena tidak lain dan tidak bukan berasal dari meningkatnya kecenderungan perilaku ekstrimisme (mungkin menjurus ke terorisme), terutama yang bawa-bawa agama. Dengan kata lain, iya, bisa dimaklumi. Tapi sekalilagi, kenapa kudu banget dilekatkan dengan militer?

Seperti apa sih kemiliteran yang kumaksud?

Pertama, kami kumpul di sebuah kampus yang menjadi tuan rumah di sebuah kota paling besar di negeri ini. Para tentara yang memang kerjanya di Pusdiklat sudah muncul di situ. Mereka 'menuntut' kami untuk memanggil mereka dengan sapaan "Pelatih" bukan "Pak" atau "Bu" tak peduli seberapa tua usia mereka. Dan sebaliknya, kami sebagai peserta dipanggil "Siswa". Kami sebagai peserta tengah "di-nol"kan.

Kedua, kami lantas diberi sebongkah tas ransel kualitas rendah yang di dalamnya berisi kaos-celana olahraga, sepatu olahraga, dan seperangkat seragam PDL "Loreng Nusantara" yang terdiri dari baju atasan, kaos dalam, celana panjang, sabuk (kopel), tempat air (peples), topi, masker, kaos kaki tebal, sepatu tentara, dan tali karet buat menyisipkan celana di kaos kaki. Pakaian yang harus kami pakai selama seminggu dalam semua kegiatan kecuali senam dan outbound. Untungnya ada dua setel baju PDL ini, yang selama mengikuti diklat tidak kucuci sama sekali. 

Ketiga, sesudah pakai perangkat lengkap kami berangkat ke lokasi Pusdiklat dalam iringan belasan bus dikawal mobil patroli tanpa berhenti hingga titik lokasi. Iya, itu baru pertama kali aku merasakan seperti apa rasanya dikawal mobil patroli. Ngerasa spesial? Mungkin. Yang jelas aku yang sipil ini jadi ngerti rasanya diprioritaskan bak iringan kendaran berisi personel militer memotong kemacetan lalu lintas, seolah nyawa dan waktuku jauh lebih berharga dibandingkan mereka yang ada di 'bawah' sana.  

Keempat, sampai di lokasi langsung disuruh baris di lapangan. Membiarkan tas di bus lalu semua peserta diminta beriringan susur hutan karet yang menyelubungi lokasi. Dengan konyolnya tiba-tiba para pelatih meneriaki kami agar kami tiarap dan mencari tempat berlindung di antara semak-semak. Kami harus tiarap karena ada musuh. Musuh yang invisible, sekurangnya imajinatif. What the heck? Kalau ada musuh kenapa mereka (para pelatih ini) masih berdiri. Ikutan tiarap juga dong! Aku malah bawaannya terbahak saja atas kekonyolan ini.

Kelima, untuk tidur, kami ditempatkan di sebuah gedung yang modelnya macam barak tentara dengan dipan-dipan lipat kecilnya. Urusan buang hajat dan kebersihan (mandi) juga mirip. Disekat-sekat dalam bilik mungil. Dengan kata lain, fuck your privacy.

Keenam, kemana-mana kami harus berbaris saling menunggu. Dilatih solidaritas dan kekompakan? Iya, tidak ada salahnya. Namun apa kami sebagai buruh ajar tidak tahu menahu soal ini, apa kami ini kering kerontang jiwa kekompakannya? Yang perlu dipertanyakan di sini adalah penggunaan terma "jiwa korsa" aka. kebersamaan senasib sepenanggungan. Ideologi yang berasal dari militer yang konon berasal dari Julius Caesar dan Napoleon Bonaparte, dua diktator yang memang militeristik. Jiwa korsa ini hampir tidak pernah dipertanyakan motif politiknya dan dampak buruknya ketika diserap secara buta.

Ketujuh, untuk makan yang merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia untuk bisa tetap hidup (artinya hak paling asazi dari manusia), kami masih harus mengikuti tata cara militer. Antri berbaris di depan ruang makan, sikap hormat (entah ke siapa), baris lalu berdiri di depan meja sampai semua pesertanya siap, copot topi, geser kursi, duduk nyantai, duduk siap, berteriak "selamat makan", ditutup dengan "terima kasih". Rentetan ritual yang durasinya bisa setengah jam sendiri. Makannya? Cukup lima menit macam dikejar-kejar iblis. Kamu akan disuruh mendorong (baca:menelan paksa) makanan dalam mulut yang belum dikunyah sempurna dengan air putih. Kenyang gagal, kembung sukses, sakit pun diraih. Iya, cukup tiga hari diperlakukan demikian, aku terkapar merasakan panasnya maag di lambung yang meruap ke dada. Faedahnya? Versi mereka: "yang makannya cepat, maka kerjanya juga cepat". Versiku: makan cepat-cepat menghilangkan kenikmatan dan mendatangkan mudharat. Dan Nabi Muhammad sepakat dengan ini. 

Kedelapan, sejak sebelum berangkat sudah disampaikan adanya kemungkinan hape akan disita. Tapi di detik terakhir ternyata hape boleh dibawa serta. Bahkan dengan sudah diizinkannya membawa hape dan alat komunikasi lain (misalnya laptop), aku (baca: kami) sebagai peserta sudah tidak sempat membuka hape kecuali saat istirahat, selain juga karena sudah ditebar ancaman bahwa kalau ketahuan mainan hape maka hape akan dibanting saat itu juga. Gimana gak khawatir, hape kan vital buat buruh ajar yang gajinya gak seberapa itu. Hape juga masih diperlukan karena secara jadwal yang masih bersamaan dengan berlangsungnya perkuliahan. Jadi kami (sebagian peserta) selaku buruh ajar masih harus nyambi ngajar, ngasih intruksi ke mahasiswa, presensi ngajar yang sifatnya administratif yang semuanya serba online, dst.

Yang mana, membuatku terkejut adalah di sebuah diklat di A** baru-baru ini (Des 2022), hape semua peserta disita. Sekarang kutanya, manusia mana yang hari ini bisa hidup tanpa hape? Bagiku ini adalah bentuk kekerasan. Sebuah perampasan hak asasi manusia modern dari kebebasan menggenggam dan mentransmisikan informasi. Apa sih tujuan dari penyitaan hape ini? Aku seriusan bertanya. Apakah takut kalau ada peserta yang menebarkan kepada publik cara-cara yang mungkin dapat dimaknai sebagai kekerasan selama diklat? Bisa jadi. Lantas, sekarang pertanyaannya. Kok bisa ada yang gak terima dengan cara-cara diklat militeristik? Tidakkah perlu bercermin?

Kesimpulannya?

Tentara sebagai institusi ingin menanamkan superioritas kemiliteran mereka di atas sipil. Ingin diakui, ingin dikagumi, dihormati. Bukan rahasia kalau posisi militer hari ini tidak sehegemonik di zaman Soeharto. Dengan kata lain yang sebenarnya terjadi adalah warga sipil tengah dimiliterkan. Di saat keduanya memang (seharusnya) berbeda. Satunya alat negara, yang satunya lagi unsur dari negara berdaulat yang bisa berfungsi sebagai penyeimbang/pengendali dari jalannya pemerintahan pada sisi lain di atas sebuah kapal yang sama bernama negara.

Aku (baca: kami) ketika itu sebagai peserta diklat tidak lebih dari pura-pura tentara dan tentara pura-pura. Sebagai buruh ajar, aku mempertanyakan sebetulnya diklat ini--dalam bahasa teknis pengajaran--apa sih CPL-nya? Dan apakah CPL itu hanya bisa diraih dengan menerapkan cara-cara militer?

Sekarang balik lagi ke pertanyaan di awal, haruskah bela negara dilekatkan dengan nalar-nalar militeristik? Bahwa kalau kamu dilatih dengan cara militer maka kamu auto-nasionalis, auto-patriotik, auto-bela negara. Apakah pekerjaanku sebagai buruh ajar masih kurang berbela negara? Di bagian mana dari Tridharma PT plus penunjang yang sudah menjadi kewajiban kami yang tidak terlihat bela negaranya? Jika jawabannya iya, maka ideologi militeristik ini tak lain adalah ideologi narsistik.

0 komentar: