Mengapa Batik Identik dengan Kondangan 2

12.01.00 jino jiwan 0 Comments

Tulisan ini adalah lajutan dari tulisan sebelumnya: Mengapa Batik Identik dengan Kondangan bagian 1

Satu hal yang disoroti adalah ternyata batik sejak dahulu memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari upacara pernikahan. Terbukti dari dominasi keterlibatan batik bahkan dalam setiap segi terkecil yang biasanya berpangkal pada aturan pemakaian batik dalam upacara pernikahan terutama pernikahan adat ala Yogyakarta dan Surakarta. Misalnya; penggunaan kain panjang dengan gaya kembaran adalah tata pemakaian kain panjang yang bercorak sama atau serupa (kesamaan corak ini bermakna persatuan dua keluarga) oleh pengantin atau keluarga pengantin atau misalnya pemakaian kain dodot gaya ngumbar konco yang menunjukkan bahwa yang punya hajatan berasal dari keluarga ningrat. Contoh lainnya adalah pemakaian kemben gaya semekan sindur khas Yogyakarta bagi calon pengantin wanita pada malam midodareni.

Dari fungsi batik pada masa lalu di atas terlihat bahwa pemakaian batik dengan berbagai pengembangan penerapannya seperti, kain panjang, kain sarung, dodot, selendang, kemben, ikat kepala ternyata tidak hanya diidentikkan oleh upacara pernikahan seperti yang disangkakan terjadi di masa sekarang, namun juga meresap dalam hidup masyarakat sehari-hari selain tentunya dimanfaatkan dalam sejumlah upacara keagamaan atau upacara penobatan raja.

Lalu kemana perginya batik dari relung kehidupan masyarakat saat ini dalam rutinitas non upacara adat? Yang mana menghilangnya batik dari keseharian telah menyebabkan steriotip bahwa batik itu sama dengan resepsi pernikahan dan dikenakan hanya pada saat ada upacara pernikahan.

Sebagai bagian dari budaya, batik tak lepas dari terpaan sejarah yang berjalan beriringan dengannya. Jatuh bangunnya kerajaan, masa kolonialisme dengan berbagai kebijakannya, dan masa kemerdekaan hingga sesudahnya ikut memberikan andil pada kisah batik yang dahulu sempat menjadi busana yang lumrah ditemui ini.

sumber gambar dari all-free-download.com
Akhir abad 19, 1870-1900, pada masa Sultan Hamengkubuwono VII industri perdagangan/pertanian makin maju seiring dengan politik ekonomi liberal yang dikuti politik etis ala penjajah Belanda yang menggantikan sistem keji Cultuure Stelsel, membawa perubahan besar dalam sistem kehidupan terutama di bidang pendidikan. Awal abad 20, batik cap mulai diperkenalkan demi pengefektifan produksi batik, sebuah pengaruh revolusi industri di Inggris, setelah sebelum 1920an batik selalu dikerjakan secara manual.
Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII lahirlah undang-undang penggunaan busana keprabon bernama Pranatan Dalem Bab Namanipun Panganggo Ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat pada tahun 1927. Yang bertujuan mengatur penggunaan busana keprabon dan melarang penggunaan motif tradisional tertentu bagi kalangan di luar keraton seperti motif parang rusak (barong, gendreh, klithik), semen gedhe, kawung, dan udan riris. Pengaturan ini dibuat demi menjaga citra keraton dalam menjalankan upacara adat penting. Pengaturan yang mungkin malah menjadi bibit dari sempitnya ruang gerak pengembangan kreatifitas motif batik tradisional oleh masyarakat. 

Keputusan bergabungnya Kasultanan Yogyakarta ke NKRI yang pasti sulit dihindarkan selain keduanya memang telah memiliki kedekatan secara kultural. Mau tak mau berdampak pada tergerusnya budaya Yogyakarta, sebagai sumber dan pemegang budaya batik. Pergantian status Yogyakarta dari sebuah negeri menjadi propinsi bergelar Daerah Istimewa tampak tidak cukup membendung laju arus perubahan ke arah modern. Hal serupa pun terjadi di seluruh daerah yang selama ini dikenal sebagai pusat batik baik batik tradisional maupun pesisir. Sama-sama kehilangan pengaruh pada masyarakatnya.

Makin gencarnya kemajuan teknologi ciptaan manusia berimplikasi pada kemudahan pertukaran informasi antar manusia terutama pada masa orde baru telah mempengaruhi setiap sendi kehidupan bangsa Indonesia sejak kesultanan-kesultanan selaku lembaga tertinggi lokal pemegang kebudayaan mulai kehilangan wibawanya di tengah laju modernitas. Lenyapnya ciri feodalisme dari sisa-sisa kerajaan di Nusantara—yang telah dimulai dari kolonialisme yang mencap pribumi sebagai sosok bodoh, bahkan politik etis pun disinyalir sebagai upaya pelenyapan budaya asli Indonesia—makin memperkuat pengaruh barat. Batik sebagai pakaian sehari-hari perlahan tergeser sedikit demi sedikit oleh pakaian modern yang lebih praktis, tidak se“kuno” dan serumit batik dari sisi fungsi maupun tata cara pemakaian. Batik terlupakan dan tak lebih dari sekedar seragam wajib buat siswa SD ataupun PNS.

Namun ajaibnya pemakaian elemen batik untuk upacara adat tampak masih dipertahankan mengingat tingkat kesakralan dan tradisinya. Tampaknya batik belum dapat digantikan dalam prosesi upacara adat. Dalam hal ini kedudukan keraton-keraton Nusantara, termasuk Keraton Yogyakarta dan Surakarta masih dapat diandalkan dalam mempertahankan warna warisan budaya batik di Indonesia di tengah busana modern yang serba praktis.

Entah hal ini disadari atau tidak oleh para tamu undangan yang hari ini menghadiri sebuah acara resepsi pernikahan dengan membalut tubuh mereka dalam batik. Terlepas pemakaian batik dapat diterjemahkan sebagai: bentuk perlawanan dari klaim sepihak sejumlah budaya oleh negara lain, hari Jumat harinya batik, dan perayaan hari batik tiap tanggal 2 Oktober. Jauh di dalam hati, mereka telah menyadari bahwa batik telah menjadi simbol tradisi sekaligus identitas bangsa dalam sebuah prosesi sakral penuh ritual macam pernikahan, atau barangkali batik dilihat sebagai betuk romatisme masa lalu dimana batik masih menjadi sandangan sehari-hari. Sebuah romantisme yang tak dapat dilakukan sebebasnya pada masa sekarang. Sebab memakai batik tiap hari justru dipersepsikan berbeda oleh orang Indonesia modern. Bisa jadi khawatir dinilai pamer, karena batik identik pula dengan harga mahal atau dinilai tidak membaur dalam iklim modern dan atau kembali lagi ke awal memakai batik malah dinilai hendak menghadiri respsi pernikahan.

oleh Jino Jiwan

Sebagian disarikan dari:
Djumena, Nian S, 1990, Batik dan Mitra, Batik and It’s Kind, Jakarta: Djambatan.
Suyanto, A.N, 2002, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Merapi.

0 komentar: