Apa yang Mereka Sensor dari Film
Butuh imajinasi
untuk menonton film-film (terutama asal Hollywood) yang tayang di televisi setahun
belakangan ini. Kian hari kian tidak nikmat dan cukup bikin gusar. Banyak bagian
yang hilang, yang entah bagaimana aku yakin anda semua bisa merasakannya. Apa
saja yang menjadi kebijakan baru sensor menyensor ini?
Pukul-pukulan bin
baku hantam turut jadi korban sensoran. Tentu kerap anda saksikan—kalau sering
memperhatikan film—adegan di mana salah satu karakter yang tengah
berhadap-hadapan untuk saling menukar tinju, tau-tau sudah ambruk karena adegan
pukulannya (di mana tinju mendarat di wajah karakter dalam film) dipotong.
Belahan dada (wanita)
hanya satu di antara yang menjadi mangsa dari sensor dengan metode “pengaburan”
alias blur. Tentu anda sering melihat
ada bagian yang tampak tidak lazim pada sejumlah karakter wanita dalam film
yang dinilai keterlaluan seksinya oleh tim sensor. Bagian dadanya terlihat
kabur. Eh, emangnya sulit ya kalau mau lihat bagian ini? Main saja ke mal, maka
dijamin hidangan ini tersedia untuk mata nyaris di setiap sudut. Di internet
pun semua juga bisa menemukannya hingga bergiga-giga kalau mau. Malah bagian
dada yang dikaburkan ini bikin aku penasaran “memang seberapa eksplisitnya
sampai harus disensor segala?” Akhirnya, tahu apa? Aku mencari—via apa lagi
kalau bukan Google—sebuah versi tanpa
blur-nya. Sederhana alasannya, hanya
PENASARAN.
![]() |
mau liat tanpa sensornya? |
Adegan merokok
juga dikaburkan, seolah kita tidak tahu sedang menjepit apa si karakter dalam
film itu dengan jemarinya. Kita tahu karena kita menggunakan imajinasi kita.
Kenapa tayangan film yang disalahkan kalau ada anak-anak yang jadi perokok?
Setahuku rokok tidak merokok itu masalah jodoh tidak berjodoh, cocok tidak
cocok, dan soal gaulnya dengan siapa. Bagaimana dengan orang tua yang merokok? Apakah
ini tidak dipertimbangkan oleh tim sensor? Aku punya beberapa teman perokok, tidak
lantas membuat aku jadi perokok—jika memang itu yang dikhawatirkan dari pem-bluran jemari orang yang sedang pegang
rokok di dalam film.
Agaknya sensoran
pada kegiatan merokok ini akarnya serupa dengan iklan rokok yang dilarang
memperlihatkan orang sedang merokok. Akibatnya, iklan rokok malah tampil jauh
jauh lebih kreatif dan menghibur melebihi iklan produk lain di televisi
(silakan buktikan). Padahal dalam film, rokok adalah salah satu elemen penting
untuk menunjukkan latar kejiwaaan dari peran yang dilakoni si aktor. Rokok
dalam sebuah film apalagi sebesar Hollywood punya, pastilah tidak main-main.
![]() |
hasil olahan "blur tool ver. 1.01" |
Belakangan
adegan menodongkan pistol juga ikut kena cekal. Rupanya ada yang khawatir kalau
seseorang menyaksikan adegan ini maka
dalam sekejap orang itu akan berubah menjadi pelaku kriminal. Ironis karena
stasiun televisi punya standar ganda. Giliran acara bergaya reportase tengah
malam yang berbau sek-esek (yang sebagian dari kalian pasti tahu apa nama
acaranya), sensorannya mendadak senyap. Pembawa acara tayangan ini malah lebih
bebas mengumbar paha, dada, dan suara mendesah, padahal jam tayangnya juga berdekatan
dengan film-film yang jadi korban sensoran. Lalu bagaimana dengan tayangan olah
raga keras macam tinju atau UFC (di mana dulu kasus serupa menimpa pertunjukan
gulat bebas bertajuk WWF)? Nyatanya tayangan macam ini tetap bebas menunjukkan
jotosan dan tinju ke wajah lawan. Kenapa gak sekalian ikut disensor?
Menyalahkan film
atau budaya pop untuk tingginya angka kejahatan adalah mitos, sebab faktor
kriminalitas tidak pernah tunggal. Mitos bukan dalam arti “sesuatu yang belum
tentu benar.” Melainkan sesuatu yang distereotipekan sebagai kebenaran yang
seolah disetujui orang banyak. Bahwa teroris adalah orang yang anti-sosial;
bahwa pemerkosa adalah orang yang hobi nonton film porno; bahwa seorang
pembunuh psikopat adalah orang yang mengalami broken home semasa kecilnya; bahwa seorang jadi perampok karena
kebanyakan nonton film lalu terinspirasi. Stereotipe yang berasal dari budaya
pop sendiri.
Jika memang
terbukti benar bahwa tayangan ‘kekerasan’ dkk. ini yang dituding sebagai
kambing hitam meningkatnya angka perokok, penyalahgunaan narkoba, krimimalitas,
perkosaan, berarti seharusnya kuantitasnya jauh lebih tinggi dari saat ini.
Dijamin aparat sendiri bakal kepayahan, malah mungkin akan lebih banyak
menghadapi kasus internal. Jujur saja, berapa banyak dari kita yang sudah terpapar
tontonan ratusan adegan yang katanya tidak mendidik ini dalam film. Buanyaaak!
Apa itu berarti bikin kita ingin jotos-jotosan seusai nonton film, persis dalam
film? Ngerampok bank atau museum mungkin, terus kejar-kejaran dengan Polisi
barangkali? Atau setelah melihat adegan pembunuhan di film slasher, lantas orang dengan mudahnya akan meniru sama persis
adegan pembunuhan itu?
Kasihan nih tim
sensor. Capek-capek motongin adegan (yang mungkin sebagian jadi koleksi
pribadinya :-), masang filter blur segala buat batang rokok yang menyala dan belahan dada jika
hanya sia-sia. Ujung-ujunganya orang malah jadi penasaran setelah sebelumnya
hanya mengimajinasikan adegan apa yang terlewat atau adegan apa yang disensor. Kalau
istilah ala Mad Dog-nya The Raid,
“kurang greget” untuk ditonton, dan kurang mantap. Bukan lagi perumpamaannya “bagai
sayur tanpa garam”, tapi “bagai sayur tanpa sayuran.” Sia-sia pula bikin film,
sebab film telah kehilangan apa sebetulnya yang ingin ditunjukkan oleh
pembuatnya. Dari pada repot nyensor, mbok
ya gak usah ditayangin aja sekalian.
Memang sih ada
alternatif lain jika mau menonton film dengan versi yang lebih minim sensorannya:
bioskop. Sayang, bagiku menonton film di bioskop dengan harga antara Rp. 35.000
– Rp. 50.000 cukup memberatkan di masa-masa sekarang. Karena harga yang cukup
tinggi ini pula aku cenderung milih-milih film di bioskop, kalau gak bagus luar
biasa aku lewati nontonnya. Itupun juga harus antri karena anehnya banyak orang
yang antusias menyumbang uang buat jaringan bioskop yang begitu memonopoli
peredaran film di Indonesia ini. Bisa jadi orang-orang ini kalangan yang benar
kaya sungguhan dan luang waktu, karena ikhlas antri demi tiket mahal di saat
jam kerja atau jangan-jangan mereka sama kecewanya dengan aku terhadap
film-film yang dibabat habis-habisan di televisi. Para penonton bioskop ini
rebutan nonton duluan sebelum nanti versi sensoran ketat dan penuh iklan hadir
di televisi, sehingga nanti mereka bisa cerita mana yang dipotong dan bagian
apa yang blur.
(Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar