Mediatisasi Photoshop bagian 2

01.26.00 jino jiwan 0 Comments

Bagian pertama Mediatisasi Photoshop.

Adobe Photoshop dengan segala kelebihannya yang mampu menggantikan kerja manual dalam desain grafis, ilustrasi, dan pengolah foto juga tidak lepas dari masalah. Yang namanya software dapat saja mengalami crash (kondisi di mana software berhenti bekerja secara tiba-tiba), berbeda dengan kerja manual yang jenis crash-nya adalah salah coret atau tertimpa tinta/cat. Kalau sudah begini, pengguna tidak punya pilihan selain harus sering membuat cadangan file (mem-back up), suatu praktik yang tidak mungkin terjadi pada kerja manual. Penggunaan mesin cetak untuk melihat hasil akhir pun membawa konsekuensi dengan seringnya ketidaksesuaian antara warna gambar yang ditampilkan di layar monitor dengan hasil cetak sehingga pengguna harus mengkalibrasi layar monitor miliknya.

Seperti sudah diungkap pada ketikan sebelumnya. Mediatisasi merujuk juga keadaan di mana media sudah menjadi institusi sendiri. Photoshop seperti juga software lainnya telah menjelma institusi tersendiri dengan aturan-aturan tertentu yang terbentuk dan masih terus membentuk diri sebagai bagian dari masyarakat pengguna komputer. Dengan menekan tombol Ctrl dan Z pada papan ketik maka perintah yang baru saja dilakukan pengguna akan dipulihkan seperti semula. Tindakan membatalkan perintah ini dikenal dengan “undo,” dan ini berlaku untuk seluruh operasional komputer. Ctrl dan O yang mengadaptasi kata “openpun demikian. Ia adalah perintah untuk membuka file. Sementara Ctrl dan S yang mengadaptasi kata “saveadalah perintah untuk menyimpan file. Segelintir contoh ini menunjukkan bahwa Photosop adalah institusi besar dengan aturan-aturan serta konvensi bersama yang saling memengaruhi satu sama lain, aturan yang tercipta dari adaptasi pembuat softwarenya sendiri terhadap bahasa dalam dunia nyata.

Kebebasan Pengguna
Uniknya, Photoshop mampu menjadi media (alat/sarana) untuk memproduksi makna yang darinya media lain diciptakan. Misalnya, desainer grafis menciptakan poster atau spanduk, ilustrator dan fotografer menghadirkan buku bergambar.  Posisi desainer grafis, ilustrator, dan fotografer seakan berada di tengah-tengah, mereka dapat menentukan langkah, apakah akan melayani kepentingan kapitalis atau mencoba melawannya. Apakah akan jadi pengguna yang pasrah dengan segala fitur yang disediakan oleh Adobe atau memanfaatkannya demi melakukan ‘perlawanan’ aktif atas standardisasi dengan mengkustomisasi seluruh perangkat dalam Photoshop, mulai dari menciptakan brush, texture, dan plug-in sendiri yang sepenuhnya bergantung pada kreativitas pengguna.

Gambar bisa dengan mudah diberi teks berkat Sotosop. Oh, aku belum sempat mewarnainya.
Digitalisasi seni (pengerjaan/produksi, distribusi, sampai konsumsi) punya banyak keuntungan yang melampaui penggarapan karya secara manual, walaupun “aura” seniman akan lenyap sebagaimana disampaikan Benjamin (2006) dalam tulisannya yang menyoal reproduksi mekanis dari karya seni. Kemajuan reproduksi mekanik (maksudnya foto dan film) membuat karya seni bisa menjangkau masyarakat. Ketika sebuah karya direproduksi maka lenyaplah aura-nya dan hilang juga otentisitas (dalam arti pemujaan terhadap) pembuatnya. 

Berhubung buah karya dari Photoshop hanyalah file yang “mengawang” alias virtual, yang mana realitasnya berbeda dari karya fisik, kemudahan inilah yang seolah menusuk senimannya dari belakang, karena karyanya jadi mudah untuk ‘dicuri’ oleh orang lain tanpa memberikan kredit sepantasnya. Seperti juga ketikan ini kalau dicolong oleh mahasiswa pemalas pun bisa saja untuk diakui sebagai tugasnya. Pemberian watermark (atau tanda air) pada karya tidak cukup, karena watermark pun dapat dihilangkan (ironisnya dengan bantuan Photoshop juga!). Di sisi lain peluang produksi masal yang dibawa oleh Photoshop sesungguhnya sesuai dengan keinginan desainer grafis, illustrator, dan fotografer agar karyanya menjangkau khalayak luas melebihi jika karya tersebut didistribusi secara fisik yang serba terbatas secara geografis. Digitalisasi seni mempermudah desainer grafis, ilustrator, dan fotografer yang cukup memajang karyanya di blog atau laman pribadinya maka hanya dalam hitungan detik karya tersebut sudah bisa dinikmati ribuan orang dari penjuru dunia.

Komoditas yang Makin Dikomodifikasi
Mediatisasi dapat pula menjelaskan budaya pemasaran dan konsumsen. Photoshop semakin menjelma menjadi komoditas yang terkomodifikasi di era internet (hayo, apa coba artinya komodifikasi?). Logika media mengatakan bahwa dia harus ikut arus yang tengah mengalir, logika industri budaya yang mengikat masyarakat luas (penggunanya) untuk mengikutinya.

Adobe Photoshop yang saat ini--bukan hanya aplikasi (berupa paket Creative Suite yang dulu dijual dalam keping CD atau DVD), tapi berubah menjadi penyedia jasa software berbayar secara periodik (yang disebut Adobe Creative Cloud)--adalah bagian dari adaptasi Adobe sendiri sebagai penyedia media terhadap era virtual yang serba cepat dan ringkas serta kecenderungan orang untuk terus terikat dengan internet, sekaligus sebagai upaya mengurangi peredaran software bajakan. Untuk lebih gampangnya, Adobe memaksa penggunanya untuk berlangganan (atau lebih tepatnya ‘menyewa’) seperti orang yang berlangganan majalah, surat kabar, jurnal, atau bahkan channel di YouTube.

Menurut sebuah artikel (http://froknowsphoto.com/adobe-creative-cloud) biaya yang perlu dikeluarkan pengguna mencapai $ 600,- per tahun ($ 49,- per bulan) untuk dapat menikmati seluruh produk Adobe, atau ‘cukup’ $ 19,- per bulan jika hanya ingin memakai satu software sesuai pilihan. Jumlah yang tidak kecil memang namun pengguna akan ‘dimudahkan’ karena tidak perlu terus membeli produk baru setiap kali Adobe mengeluarkan versi update, sayangnya hak pakai pengguna akan diputus jika tidak memperpajang kontrak pemakaian. Dan, jangan lupa Adobe juga menyediakan versi apps-nya untuk membuat penggunanya nyaman dengan 'banyaknya pilihan'. Dengan demikian pengguna mau tidak mau beradaptasi dan mendisiplinkan diri untuk membayar. Kemudahan bagi pengguna ini melahirkan bentuk pengendalian Adobe terhadap para pengguna produknya. Jumlah pengguna akan hadir dalam angka-angka yang bisa mengindikasikan kekuatan brand, seperti jumlah followers di akun Twitter yang digunakan sebagai legitimasi popularitas orang/entitas tertentu. Jumlah pengguna akan digunakan sebagai data untuk menentukan seberapa efektif Adobe dalam menancapkan brand dalam benak pengguna. Bahkan laman Adobe Creative Cloud mempermudah calon pelanggan di Indonesia dengan menyediakan konversi harga jasa software mereka dalam Rupiah. Barangkali ada di antara anda yang berminat?
Paket Adobe. Lebih mending pakai bajakankah?
Yah, apapun itu kehadiran Photoshop telah melampaui apa yang bisa dicapai desain, menggambar, dan mengambil foto dalam proses kerja manual. Melampaui hirarki yang dibentuk dan diyakini bahwa kerja manual seolah lebih tinggi daripada kerja digital yang serba mudah dan instan. Walaupun pada tahap selanjutnya pengerjaan di komputer malah menimbulkan hirarki baru dan ketergantungan yang seolah tanpanya semua proses yang berkaitan dengan grafis tidak bisa dikatakan “grafis” lagi. Ketergantungan yang dimanfaatkan dan dicengkeram habis oleh Adobe demi mengendalikan pengguna supaya terus menggunakan produk mereka. Pernyataan reflektif di awal tulisan menggambarkan bahwa mediatisasi masuk luar biasa ke dalam kehidupanku sebagai desainer dan ilustrator, tapi dari sinilah Photoshop membuka potensi besarnya agar para desainer grafis dan ilustrator mampu terus berkarya tanpa batasan dan halangan apapun, termasuk keterbatasan kemampuan manual di era yang serba termediasi ini.

(Restu Ismoyo Aji / Jino Jiwan)

Sumber
Eymeren, M.V. 2014. Media Komunikasi dan Dampaknya terhadap Kebudayaan. Jakarta: Pusat Kajian dan Filsafat Pancasila.

Hjarvard, S. (2008). “The Mediatization of Society.” http://www.nordicom.gu.se/sites/default/files/kapitel-pdf/269_hjarvard.pdf, (diunduh, 14 Oktober 2014).

Benjamin, W., 2006, The Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction, dalam Media and Cultural Studies Keyworks, Diedit oleh Durham, M.G., Kellner, D.M. Victoria: Blackwell Publishing. Hal 18-34.

Polin, Jared. “You Can No Longer Buy Adobe Photoshop.” http://froknowsphoto.com/adobe-creative-cloud/, (diakses 29 November 2014).

Story, Derrick. "From Darkroom to Desktop—How Photoshop Came to Light.” http://www.storyphoto.com/multimedia/multimedia_Photoshop.html, (diakses 29 November 2014).

0 komentar: