Mediatisasi Photoshop bagian 2
Bagian pertama Mediatisasi Photoshop.
Adobe Photoshop dengan segala kelebihannya yang mampu menggantikan kerja manual dalam
desain grafis, ilustrasi, dan pengolah foto juga tidak lepas dari masalah. Yang namanya software dapat saja mengalami crash (kondisi di mana software berhenti bekerja secara tiba-tiba), berbeda dengan kerja manual yang jenis crash-nya adalah salah coret atau tertimpa
tinta/cat. Kalau sudah begini, pengguna tidak punya pilihan selain harus sering
membuat cadangan file (mem-back up), suatu praktik yang tidak mungkin terjadi pada kerja
manual. Penggunaan
mesin cetak untuk melihat hasil akhir pun membawa konsekuensi dengan seringnya ketidaksesuaian antara warna gambar yang ditampilkan di layar monitor dengan hasil cetak sehingga pengguna harus mengkalibrasi layar monitor miliknya.
Seperti sudah diungkap pada ketikan sebelumnya. Mediatisasi merujuk juga keadaan
di mana media sudah menjadi institusi sendiri. Photoshop seperti juga software lainnya telah menjelma institusi tersendiri
dengan aturan-aturan
tertentu yang terbentuk dan masih terus membentuk diri sebagai bagian dari
masyarakat pengguna komputer. Dengan menekan tombol Ctrl dan Z pada papan ketik maka perintah
yang baru saja dilakukan pengguna akan dipulihkan seperti semula. Tindakan membatalkan
perintah ini dikenal dengan “undo,” dan
ini berlaku untuk seluruh operasional komputer. Ctrl dan O yang mengadaptasi
kata “open” pun demikian. Ia adalah perintah untuk membuka file. Sementara Ctrl dan S yang
mengadaptasi kata “save” adalah perintah untuk menyimpan file. Segelintir contoh ini menunjukkan bahwa Photosop adalah institusi besar dengan aturan-aturan serta konvensi
bersama yang saling memengaruhi satu sama
lain, aturan yang tercipta dari adaptasi pembuat softwarenya
sendiri terhadap bahasa dalam dunia nyata.
Kebebasan
Pengguna
Uniknya, Photoshop mampu menjadi media (alat/sarana) untuk memproduksi makna
yang darinya media lain diciptakan. Misalnya, desainer grafis menciptakan
poster atau spanduk, ilustrator dan fotografer menghadirkan buku bergambar. Posisi desainer grafis, ilustrator,
dan fotografer seakan berada di tengah-tengah, mereka dapat menentukan
langkah, apakah akan melayani kepentingan kapitalis atau mencoba melawannya.
Apakah akan jadi pengguna yang pasrah dengan segala fitur yang disediakan oleh
Adobe atau memanfaatkannya demi melakukan ‘perlawanan’ aktif
atas standardisasi dengan mengkustomisasi seluruh perangkat dalam Photoshop, mulai dari menciptakan brush, texture, dan plug-in
sendiri yang sepenuhnya bergantung pada
kreativitas pengguna.
![]() |
Gambar bisa dengan mudah diberi teks berkat Sotosop. Oh, aku belum sempat mewarnainya. |
Digitalisasi seni (pengerjaan/produksi, distribusi, sampai konsumsi) punya banyak keuntungan yang melampaui penggarapan karya
secara manual, walaupun “aura” seniman akan lenyap sebagaimana disampaikan Benjamin (2006) dalam tulisannya
yang menyoal reproduksi mekanis dari karya seni. Kemajuan reproduksi mekanik
(maksudnya foto dan film) membuat karya seni bisa menjangkau masyarakat. Ketika
sebuah karya direproduksi maka lenyaplah aura-nya dan hilang juga otentisitas (dalam
arti pemujaan terhadap) pembuatnya.
Berhubung buah karya dari Photoshop hanyalah file yang
“mengawang” alias virtual, yang mana realitasnya berbeda dari karya fisik, kemudahan inilah yang seolah menusuk senimannya dari belakang, karena
karyanya jadi mudah untuk ‘dicuri’ oleh orang lain tanpa memberikan kredit
sepantasnya. Seperti juga ketikan ini kalau dicolong oleh mahasiswa pemalas pun bisa saja untuk diakui sebagai tugasnya. Pemberian watermark (atau tanda air) pada karya tidak cukup, karena watermark pun dapat dihilangkan (ironisnya
dengan bantuan Photoshop
juga!). Di
sisi lain peluang produksi masal yang dibawa
oleh Photoshop sesungguhnya sesuai
dengan keinginan desainer grafis, illustrator, dan fotografer agar karyanya menjangkau khalayak
luas melebihi jika karya tersebut didistribusi secara fisik yang serba terbatas secara geografis. Digitalisasi seni
mempermudah desainer grafis, ilustrator, dan fotografer yang cukup memajang karyanya di blog atau
laman pribadinya maka hanya dalam hitungan detik karya tersebut sudah bisa dinikmati ribuan orang dari
penjuru dunia.
Komoditas
yang Makin Dikomodifikasi
Mediatisasi dapat pula menjelaskan budaya pemasaran
dan konsumsen. Photoshop semakin
menjelma menjadi komoditas yang
terkomodifikasi di era internet (hayo, apa coba artinya komodifikasi?). Logika media mengatakan bahwa dia harus ikut arus yang tengah mengalir, logika
industri budaya yang mengikat masyarakat luas (penggunanya) untuk mengikutinya.
Adobe Photoshop yang saat ini--bukan hanya aplikasi (berupa paket Creative Suite yang dulu dijual dalam keping CD
atau DVD), tapi berubah menjadi penyedia jasa software berbayar secara periodik (yang disebut Adobe Creative Cloud)--adalah bagian dari
adaptasi Adobe sendiri sebagai penyedia media terhadap era virtual yang serba
cepat dan ringkas serta kecenderungan orang untuk terus terikat dengan internet,
sekaligus sebagai upaya mengurangi peredaran software bajakan. Untuk lebih gampangnya, Adobe memaksa penggunanya
untuk berlangganan (atau lebih tepatnya ‘menyewa’) seperti orang yang berlangganan majalah, surat kabar,
jurnal, atau bahkan channel di
YouTube.
Menurut sebuah artikel (http://froknowsphoto.com/adobe-creative-cloud) biaya yang perlu dikeluarkan pengguna
mencapai $ 600,- per tahun ($ 49,- per bulan) untuk dapat menikmati seluruh
produk Adobe, atau ‘cukup’ $ 19,- per bulan jika hanya ingin memakai satu software sesuai pilihan. Jumlah yang tidak
kecil memang namun pengguna akan ‘dimudahkan’ karena tidak perlu terus membeli
produk baru setiap kali Adobe mengeluarkan versi update, sayangnya hak pakai pengguna akan diputus jika tidak
memperpajang kontrak pemakaian. Dan, jangan lupa Adobe juga menyediakan versi apps-nya untuk membuat penggunanya nyaman dengan 'banyaknya pilihan'. Dengan demikian pengguna mau tidak mau
beradaptasi dan mendisiplinkan diri untuk membayar. Kemudahan bagi pengguna ini melahirkan bentuk pengendalian
Adobe terhadap para pengguna produknya. Jumlah pengguna akan hadir dalam angka-angka
yang bisa mengindikasikan kekuatan brand,
seperti jumlah followers di akun Twitter yang
digunakan sebagai legitimasi popularitas orang/entitas tertentu. Jumlah
pengguna akan digunakan sebagai data untuk
menentukan seberapa efektif Adobe dalam menancapkan brand dalam benak pengguna. Bahkan laman Adobe Creative Cloud mempermudah
calon pelanggan di Indonesia dengan menyediakan konversi harga jasa software mereka dalam Rupiah. Barangkali ada di antara anda yang berminat?
![]() |
Paket Adobe. Lebih mending pakai bajakankah? |
Yah, apapun itu kehadiran Photoshop telah melampaui apa yang bisa dicapai desain, menggambar,
dan mengambil foto dalam proses kerja manual. Melampaui hirarki yang dibentuk
dan diyakini bahwa kerja manual seolah lebih tinggi daripada kerja digital yang
serba mudah dan instan. Walaupun pada tahap selanjutnya pengerjaan di komputer
malah menimbulkan hirarki baru dan ketergantungan yang seolah tanpanya semua
proses yang berkaitan dengan grafis tidak bisa dikatakan “grafis” lagi. Ketergantungan
yang dimanfaatkan dan dicengkeram habis oleh Adobe demi mengendalikan pengguna
supaya terus menggunakan produk mereka. Pernyataan reflektif di awal tulisan menggambarkan bahwa mediatisasi
masuk luar biasa ke dalam kehidupanku sebagai desainer dan ilustrator, tapi
dari sinilah Photoshop membuka potensi besarnya agar para desainer
grafis dan ilustrator mampu terus berkarya tanpa batasan dan halangan apapun, termasuk
keterbatasan kemampuan manual di era yang
serba termediasi ini.
(Restu Ismoyo Aji / Jino Jiwan)
Sumber
Eymeren, M.V. 2014. Media Komunikasi
dan Dampaknya terhadap Kebudayaan. Jakarta: Pusat Kajian dan Filsafat
Pancasila.
Hjarvard, S. (2008). “The Mediatization of Society.” http://www.nordicom.gu.se/sites/default/files/kapitel-pdf/269_hjarvard.pdf,
(diunduh, 14 Oktober 2014).
Benjamin, W., 2006, The Work of Art in The Age of Mechanical
Reproduction, dalam Media and Cultural Studies Keyworks, Diedit oleh Durham, M.G., Kellner, D.M. Victoria: Blackwell
Publishing. Hal 18-34.
Polin,
Jared. “You Can No Longer Buy Adobe Photoshop.”
http://froknowsphoto.com/adobe-creative-cloud/, (diakses 29 November
2014).
Story, Derrick. "From Darkroom to Desktop—How Photoshop Came to Light.” http://www.storyphoto.com/multimedia/multimedia_Photoshop.html, (diakses 29 November
2014).
0 komentar:
Posting Komentar