Mediatisasi Photoshop
Suatu
hari ketika aku masih bekerja di sebuah perusahaan jasa desain grafis, ilustrasi
manual yang tengah digarap tanpa sengaja tercoret pada bagian yang tidak
diinginkan, dan itu tidak gampang dihilangkan begitu saja karena
dibuat memakai drawing pen. Saat
itulah sekilas aku membayangkan betapa asyiknya jika bisa meng-undo coretan itu macam
software komputer yang biasa kupakai tanpa
harus bersusah payah menggambar ulang di kertas baru. Tinggal menekan tombol Ctrl dan Z pada papan ketik, masalah pun terselesaikan. Nyaris tidak
disadari pola pikir demikian hampir selalu terlintas: andai kehidupan nyata ini
seenak operasional komputer.
Untungnya produk akhir desain grafis
selama bekerja di perusahaan tersebut seluruhnya memang harus dicetak sehingga gambar
mentah tetap perlu melewati proses pengeditan. Pada akhirnya penggunaan mesin
pemindai dan komputer tetap wajib. Setelah ditransformasikan dalam
format digital salah coret tadi tinggal dihapus memakai penghapus virtual (yang namanya eraser!), dilanjutkan
mempertajam goresan dengan memainkan gamma
correction, levels, atau curves, dari sini gambar lalu diwarnai dengan
kuas (brush) atau paint bucket tool sesuai keinginan. Semua
dilakukan via Adobe Photoshop. Kedengaran sangat teknis sih,
tapi percayalah langkah-langkah tadi tidak lebih rumit dibandingkan bila
mengerjakan rangkaian proses menggambar itu murni secara manual. Proses desain, menggambar, dan mengolah foto telah dimudahkan (boleh dibaca: diambilalih) sepenuhnya oleh Photoshop.
Photoshop merupakan software pengolah gambar raster (gambar yang berbasis dot dalam grid pixel) buatan Adobe System yang dibuat untuk Windows
dan Mac. Photoshop jelas bukan satu-satunya pemain di pasar pengolah gambar,
ada puluhan lainnya namun kalah populer. Wikipedia sampai menyebut Photoshop sudah menjadi standar industri pengolahan gambar raster secara de facto. Aku sih menduga kepopuleran Photoshop berkaitan dengan momentum kemunculannya yang bertepatan dengan kelahiran kamera-kamera
digital kelas compact (atau kerap
disebut kamera saku), selain karena memang pionir dalam
software pengolah foto. Saking
populernya muncul istilah Photoshoping
atau Photoshoped untuk menyebut
proses pengolahan dan objek gambar/foto hasil olahannya, terlepas dari software yang digunakan.
![]() |
Iya, aku masih pakai Cs3. Karyaku ada di deviantart jika mau lihat |
Terimakasih pada Thomas dan John Knoll yang mulai
bekerjasama membuat tools pengolah
foto agar bisa diterapkan pada komputer personal di akhir 1980-an. Mereka
mungkin tidak pernah menduga bahwa apa yang berawal dari minat mereka pada
fotografi, ruang gelap, dan komputer Mac
bakal sepopuler saat ini. Karya mereka ImagePro
dilirik oleh perusahaan software
Adobe lalu disempurnakan menjadi apa yang dikenal sekarang sebagai Photoshop (http://www.storyphoto.com/multimedia/multimedia_Photoshop.html). Sejak tahun 1990
itulah revolusi dalam fotografi merebak. Perlahan peran kamar gelap dan rol
film 135 mm tergantikan oleh kian umumnya kamera digital dan penggunaan Photoshop.
Tak
Bisa Tanpa Photoshop
Dalam konteks
fotografi Photoshop umum digunakan untuk
memanipulasi gambar/foto, dari operasi sederhana semisal memotong foto (cropping), mencerahkan-menggelapkan gambar,
mengubah nuansa warna, menghilangkan jerawat dan kerutan atau memuluskan kulit
pada foto wajah, hingga ke hal yang lebih kompleks seperti digital imaging berupa penambahan atau penggabungan dua atau lebih
objek dalam satu gambar. Sedangkan dalam
konteks proses desain grafis dan menggambar (membuat ilustrasi) Photoshop kerap digunakan dalam penataletakan (pengomposisian), pewarnaan gambar, penambahan huruf, sampai ke konversi format file.
Kenyataannya keseharian profesi-profesi
seperti desainer grafis, ilustrator, dan fotografer baik amatir maupun
profesional memang telah sangat dimediatisasi oleh Photoshop. Photoshop mampu menggantikan kerumitan manual sampai-sampai orang secara sukarela beradaptasi. Beralih dari kerja manual ke digital dan berubah
menjadi “pengguna” yang masuk dalam ketergantungan, sehingga pemakaian Photoshop dirasa sangat perlu dan (seolah)
tidak tergantikan. Lebih jauh lagi, orang dengan profesi-profesi di atas lalu diidentikkan dengan Photoshop dalam
menjalani pekerjaannya. Desainer grafis dianggap sebagai “desainer grafis” bila dia duduk
menghadap komputer mengerjakan desain di Photoshop,
demikian berlaku bagi “ilustrator” yang menggambar dan
mewarna pakai Photoshop dan “fotografer”
yang mengolah foto dengan Photoshop. Hebat ya?
Hal yang kurang lebih serupa sebenarnya juga terjadi pada hampir segala profesi
kantoran, ketika proses tulis menulis telah tergantikan secara umum oleh (salah
satunya) pengoperasian Microsoft Office
(terutama Microsoft Word), profesi tertentu
seperti sekretaris menjadi terikat dengannya. Modernitas dan teknologi telah
menggantikan kerja manual ke arah apa yang dinilai lebih cepat dan efisien.
Pengguna
yang Dimediatisasi
Mediatisasi
menurut
Hjarvard (2008) terjadi ketika muncul proses perubahan kondisi sosial yang
disebabkan oleh perubahan media. Media dengan logikanya telah menjadi institusi independen
yang terkait dengan institusi lain dalam kehidupan masyarakat sehingga
masyarakat akan beradaptasi dan menjadi bagian dari institusi itu bahkan menciptakan ketergantungan.
Mediatisasi Photoshop yang terjadi adalah yang disebut Hjarvard sebagai mediatisasi langsung (direct mediatization), sebuah mediatisasi yang “kuat” karena menggantikan kegiatan yang sebelumnya dilakukan dengan bersentuhan langsung menjadi termediasi. Selain itu aforisme
McLuhan (Eymeren, 2014) paling dikenal: “Media adalah Pesan” merujuk keadaan
bahwa media memiliki karakter yang mempertajam asosiasi manusia pada skala
ruang dan waktu serta tindakan. Media memperpanjang ‘tangan’ manusia untuk
berbuat lebih daripada yang bisa dilakukan sebelumnya. Pembabakan era menurut McLuhan
menyebut pula bahwa setiap era akan mengandung apa yang sudah dipakai pada era
sebelumnya.
Dengan Photoshop, seorang fotografer dapat memoles ulang (retouch) foto, menambahkan filter sesuai
keperluan untuk mendapatkan efek-efek yang tidak dapat diperoleh dari segi
praktikal sehingga dia tidak perlu memotret ulang dalam kondisi yang sama. Metafora-metafora (terutama visual) juga diadaptasi dari kamera dan
aksesorisnya. Ambil contoh menu filter
dan photo filter dalam Photoshop.
Dalam Photoshop istilah brush
(kuas) masih dipertahankan, padahal tidak benar-benar ada kuas berupa alat
lukis dari batang kayu berbulu di ujungnya melainkan kuas virtual yang hanya
representasi kuas di alam nyata. Photoshop
menggantikan tangan pengguna dalam memegang kuas dengan perantara mouse. Pengguna tidak perlu
repot lagi memilih kualitas cat, mengaduknya dengan air atau minyak untuk menemukan campuran yang pas, atau
mencuci kuas dan palet yang kotor. Semua proses ini sudah diperantarai
parameter-parameter visual yang virtual. Artinya teknologi ini mampu
memperpanjang fungsi tubuh manusia, bahkan mampu menutupi keterbatasan
kemampuan (skill) manual dari
penggunanya.
Schulz dikutip Hjarvard (2008) menyebutnya
sebagai peleburan aktivitas yang menggantikan interaksi langsung desainer
dengan alat-alat gambar manual. Dalam situasi demikian Photoshop jelas memudahkan pekerjaan seorang desainer grafis,
ilustrator, dan fotografer. Belum tentu seorang desainer grafis/ilustrator yang
kemampuan manualnya kurang, maka karya digitalnya akan kurang. Meskipun jelas apa
yang bisa dicapai pada pengerjaan manual tidak akan bisa dicapai dengan
digital, terlebih lagi sebaliknya. Tetapi pengerjaan digital di Photoshop makin menyamai
pengerjaan manual. Terkadang sampai dalam
tahap di mana pengguna Photoshop
tidak lagi
merasa perlu tahu cara kerja software, dan merasa tidak perlu tahu atau merasa tidak peduli lagi pada
repotnya cara kerja manual lalu melupakan dan tidak ingin menostalgia lagi selain
dengan tujuan membandingkan nyamannya proses berkarya yang telah
dimediatisasi oleh Photoshop.
Berlanjut ke Mediatisasi Photoshop Bagian 2
(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar