Moco Preman Pensiun, Bahar dan Hape
Lanjutan dari tulisan sebelumnya:
Sinetron-sinetron kita memang
cenderung pasrah dalam menghadapi kematian aktornya. Si aktor yang berpulang
pun akan diceritakan meninggal betulan. Tentu tanpa sempat menampakkan
bagaimana si karakter yang diperankan meninggal. Agaknya itu jadi satu-satunya
cara menghormati aktornya yang wafat betulan di luar rencana awal. Ini terjadi
karena pembuatnya sama sekali tidak melakukan langkah preventif atau menyiapkan
sesuatu yang tidak terduga, semisal kematian aktor. Jika industri film
Hollywood bisa lolos dari kejadian macam ini berkat kecanggihan teknologi CGI,
di mana kematian seorang aktor di tengah pembuatan film bukan merupakan
penghalang untuk tetap menghadirkannya secara hidup (seperti Paul Walker di Furious Seven, dll.). Maka berbeda
dengan industri sinetron, terlebih sejak rating
didewakan yang berujung pada kejar tayang demi mengisi slot tayang tiap harinya.
Preman sekeluarga |
Setidaknya masih untung Preman Pensiun tidak mencemplungkan diri
dalam pembelokan murahan macam operasi plastik (seperti sinetron edan Tersanjung) yang melegitimasi digantinya
seorang aktor dengan aktor lainnya. Bayangkan saja jika peran Kang Bahar
diganti oleh aktor kawakan lain seperti Dedy Mizwar. Preman Pensiun memilih cara aman yang bisa diterima oleh kebanyakan
penonton. Sama seperti Si Doel Anak
Sekolahan yang kehilangan Benyamin Sueb, Engkong Tile, Pak Bendot, dan
Basuki yang lantas seluruh karakter yang mereka perankan ikut dimatikan.
Tapi kematian Didi Petet dan
dimatikannya karakter Kang Bahar mau tak mau amat terasa menyisakan lubang
besar pada cerita. Kisah pengejaran kalangan pesaing (Kang Jamal) untuk masuk
ke keluarga Kang Bahar jadi tidak relevan. Setidaknya pada awal-awal masa
transisi ketika Kang Bahar diceritakan berpulang, lubang ini terasa menganga. Di
sini aku salut akan energi kreatif (tim) penulisnya. Menuliskan cerita yang
akan ditransformasi ke dalam sinetron dengan durasi tayang 1 jam setiap hari
pastilah tidak mudah. Cerita dibelokkan sedemikian rupa supaya kelicikan Jamal
masih bisa menemukan tempat dalam cerita. Peran kementoran Kang Bahar kemudian
diisi oleh Kang Idris yang buat Kang Mus penting untuk memuluskan jalan
tobatnya dari preman.
Antara Ponsel dan Lisan
Satu keberhasilan Preman
Pensiun adalah sentuhan kontemporernya. Lihat latar-waktunya yang HARI INI dan
ada di ‘dekat kita’? Preman Pensiun mengajak penonton percaya bahwa preman-preman
ini ada sungguhan dan bukan sekedar sinetron.
Karier: copet, jalan hidup: copet |
Ketergantungan teknologi adalah
sebuah isu khusus dalam sinetron ini. Ponsel (hape) memegang peranan sangat
penting dalam memerantai bukan hanya komunikasi antar karakter dalam cerita tapi terutama komunikasi dari karakter-karakter tersebut kepada penonton. Di tengah konvergensi
teknologi dalam sebuah hape di mana di dalamnya tergabung nyaris segala
fungsi—pemutar musik, radio, senter, kalkulator, internet—melebihi fungsi awal
hape yang hanya untuk menelpon dan mengirim/menerima pesan (sms), nyatanya hape
dalam Preman Pensiun tidak pernah digunakan lebih dari menelpon. Tentu penonton
harus melupakan sejenak, bagaimana karakter-karakter dalam Preman Pensiun yang
jika bukan preman maka dia adalah pencopet atau penjual cilok bisa dengan mudah
dan leluasa menelpon tanpa merasa sayang pulsa, seolah mereka semua pengguna
satu provider komunikasi yang satu
menit bicara hanya 50 Rupiah.
Tuh, kan nih sinetron ini mengajarkan betapa menelpon itu murah biayanya dan "efektif!" |
Mengapa demikian? Sebab dalam sinetron sesuatu berujud TULISAN sulit dinarasikan jika bukan dengan LISAN.
Lewat hape yang sangat lisan itu cerita pun bisa sampai ke penonton. Bayangkan
andai penulis naskah mengisahkan salah seorang karakter ber-sms-ria pastilah
sms itu akan dibacakan langsung kepada penonton, agar penonton paham apa yang
dituliskan oleh si karakter. Sinetron Tukang
Ojek Pengkolan yang bagiku kurang nikmat disaksikan (karena mencoba keras
mengekor Preman Pensiun) melakukannya
di saat salah satu karakternya meng-update
status (Facebook?). Semua update statusnya dilisankan dengan keras
sebagai upaya menimbulkan kelucuan yang buatku justru tidak lucu.
Omong-omong, tahu hal baik apa
yang diajarkan oleh sinetron ini? Adalah agar kita semua para penonton jika mau
terima telepon saat sedang berkendara ya minggirlah dan berhenti dulu baru
terima telepon. Aman berkendara, orang lain pun selamat.
Senutup
Bila ada komplainku pada
sinetron ini tak lain soal penayangannya yang menembus—waktu sholat
terpendek—maghrib, apalagi kemarin di bulan puasa. Sehingga mau tidak mau
menimbulkan kecurigaan dan dugaan juga tuduhan(ku) kepada pemilik stasiun televisi atau
setidaknya manajer jadwal acara bahwa tujuannya adalah supaya penonton Preman Pensiun tidak pensiun menonton
meskipun sudah datang waktu sholat. Iya mungkin agak berlebihan. Tapi sinetron
ini bikin aku malas beringsut ke masjid atau ia hanya alasan yang kubuat-buat
demi membenarkan tindakanku.
(Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar