Jalan di Pawai FKY 27
Sore itu matahari berpendar hangat.
Kadang awan menyela mencipta bayang-bayang teduh. Angin berembus sejuk menambah
santai suasana. Pawai eDan-eDanan FKY
(Festival Kesenian Yogyakarta) ke 27 akhirnya dilepas jam setengah empat. Itulah
yang dinanti-nanti. Warga tampak antusias meruyak tak karuan menyaksikan. Cukup
ramai meski tidak terlalu juga. Tahu dari mana bila mereka antusias? Dari tingkah
mereka yang berlintasan, berpose duduk berbaring berfoto dengan jiwa riang di tengah
jalan Kaliurang selatan Selokan Mataram di kisaran kampus UGM. Jarangnya jalan
aspal satu ini bersahabat dengan para pejalan mereka nikmati betul. Sungguh keramaian
dalam ‘kelengangan’ yang tak biasa.
Jalanan lengang |
Jalur arak-arakannya tidak panjang.
Kurasa hanya tiga kali lapangan sepak bola. Jalur ini bagiku adalah jalur
terbaik nan ideal untuk menggelar pawai (kecuali trotoarnya yang sudah diinvasi
pedagang kaki lima) dibanding Jl. Malioboro atau jalan yang membentang dari UNY
ke Bundaran UGM, atau Jl. Ahmad Dahlan ke Keraton yang selalu (terlalu) padat
kendaraan dan manusia. Barangkali ini juga karena ajang Pawai FKY tidak seakbar
Jogja Java Karnival yang sudah berapa tahun tidak dihelat. Yang jelas lebih sedikit
enaklah disawang dibandingkan Festival Museum atau Pawai Pisowanan. Hanya sayangnya
kendaraan pengiring di pawai kali ini tidak berhias alias apa adanya belaka. Aku
tidak terlampau memperhatikan kontingen dari mana saja yang tampil.
Ada
rombongan orang berpenampilan layaknya “badut” atau mungkin berdandan ala
punakawan (aku tidak mengerti). Ada prajurit keraton yang sudah embah-embah. Ada
jathilan nan atraktif ada pula jathilan yang sudah loyo meski disorot oleh
kamera para penonton. Ada pula marching
band yang memainkan lagu-lagu kontemporer, cukup menghibur namun sepertinya butuh nasehat
Ivan Gunawan soal kostum. Yang paling kuamati hanya wajah-wajah manis rombongan
penari yang datang bergelombang, meliuk luwes lagi genit. Dalam hati aku
berharap akulah yang digeniti para penari centil ini. Sampai kemudian aku sadar
umur, mereka itu sepertinya anak-anak seusia SMA atau anak kuliahan yang didandani
sampai kelihatan dewasa.
Genitnya... |
atraktif dan kemayu |
Rombongan penari yang satu ini cuma pakai kaus kaki |
Ah, tanpa dirasa sudah nyaris jam
5 sore tapi pawai belum kunjung usai. Tampaknya iring-iringan masih panjang,
sepanjang jarak antar peserta pawai yang mencapai puluhan meter. Padahal diri
ini belum sempat ngashar. Tiba-tiba pula kepikiran tas yang kutitipkan ke Manajer
KBM di kampus sana. Ya sudah, berbaliklah aku melangkah cepat di jalan-yang-bukan-trotoar.
Kapan lagi bisa jalan bebas di jalan raya. Ya, kapan lagi? Tanpa sengaja aku
melihat ke atas, burung-burung penghuni pepohonan UGM beterbangan kian kemari. Mungkin
mereka penasaran dengan keramaian di bawah mereka. “Yah, manusia segitu gumunnya sama jalan sepi. Kami dong
lewat langit yang lapang tiap hari. Kasihaan...”
0 komentar:
Posting Komentar