Moco Preman Pensiun, Komedi dan Kriminalitas
Lanjutan dari tulisan pertama:
Mudah melihat bagaimana Preman Pensiun ini sebetulnya berdialog
dengan dua seri film The Godfather. Penonton
tidak sungguh tahu siapa lawan dan kawan, siapa memata-matai siapa terutama di
kalangan preman-preman kelas bawah. Tetapi cukup diberi tahu mana yang
protagonis (pihak Muslihat) dan mana yang antagonis (pihak Jamal). Tentunya minus
kekerasan dan kebrutalannya, sebab hanya ada empat jenis sinetron di Indonesia:
komedi, romansa, remaja, dan dakwah, atau gabungan dari tiga di
antaranya. Dan Preman Pensiun memilih
jalan komedi. Tentu akan menarik melihat andai sinetron ini digarap dengan
pembawaan serius. Sebab kurasa tak akan kalah menarik.
Koboy, eh preman ding |
Karena ke-komedi-an inilah Preman Pensiun mengajak penonton melihat
sisi lain preman, bahwa mereka juga manusia. Preman pun ditampilkan ngantukan walau badan bertato, dan
bertampang seram bin gahar. Kelakuan mereka pun kadang kikuk dan konyol. Bukan
hanya preman tapi nyaris semua punya perwakilan karakter yang berperan bagai abdi/punakawan
dalam pewayangan atau istilahnya mereka ini adalah comic relief. Sayangnya peran comic
relief-nya jadi terlampau banyak: Ubed (dari kalangan copet tobat), Pipit
(dari kalangan preman), Ceu Edoh (dari kalangan sipil), dll. Semua dikreasikan
demi memecah tawa penonton. Dunia premanisme dan sekitarnya sudah disimulasikan
demi hiburan penonton.
Untuk kota sebesar Bandung dan ke”legenda”an
Kang Bahar yang digembar-gemborkan, sangat tidak mungkin rasanya melihat preman-preman
di Preman Pensiun sangat amat minim.
Bahkan tidak sampai hitungan seluruh jari tangan kanan-kiri. Sungguh sangat
mustahal! Belum lagi representasi lokasi kekuasaan ‘hanya’ mencakup pasar,
jalan, dan terminal yang itu-itu saja. Mana preman dari Pasar Baru? Preman-preman
tempat wisata dan belanja?
"ayo kita pesen Prengees prengees |
Pilihan sosok preman bisa jadi memang
dirasa tepat dan pas dari sisi mata dan bayangan yang selama ini mencantol di
benak penonton, kendati bisa dibantah bahwa dengan visualisasi seperti itu Preman Pensiun pun terjebak kepada
eksplotasi visual mengenai steriotipe sosok preman yang serba sangar, di mana semuanya
(kecuali Muslihat yang jauh dari imaji preman pada umumnya) memakai atribut
lumrah seorang preman: gondrong atau rambut skinhead,
bertato, bertindik, kumisan, berewokan, berkalung, bergelang, pakaian
didominasi warna hitam dan bahan jins. Tahu apa lagi yang kurang? Rokok! Aneh
kan preman kok gak merokok? Lenyapnya rokok jelas suatu bentuk negosiasi pembuatnya
supaya ia bisa diterima penonton dan bisa ditayangkan di jam premium. Aku cukup
yakin, beberapa aktor ini aslinya merokok juga. Andai nuansa Preman Pensiun dibuat lebih serius dan
gak terhalang regulasi pemerintah yang melarang menyajikan orang merokok di
layar televisi pasti mereka (para preman dan copet) bakal kelihatan merokok di
sini. Bagaimanapun rokok adalah bagian penting dari karakterisasi sebuah dunia
nyata dan malah mungkin juga merupakan bagian dari steriotipe itu sendiri.
jaket jins, tindikan, atribut serba hitam, kalung, dan tato adalah khas preman |
Pemilihan lokasi juga tergolong
unik buatku yang bukan orang Bandung. Karena sinetron ini tidak memilih
tempat-tempat “gemerlap dan ikonik”, malah ia mencoba memperkenalkan
sudut-sudut kota yang baru dan belum banyak diketahui penonton. Bahkan sisi
kota yang dipilih jauh dari arketipe-nya Bandung. Landmark terkenal seperti Gedung Sate bahkan tidak kelihatan.
Tidak seperti perlakuan FTV di SCTV yang berlatar tempat Yogyakarta yang terus
menyorot tugu, pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, dan Malioboro. Jika itu
belum cukup, FTV akan menyajikan pemuda berlogat Jawa supermedok, bersurjan, dan berblangkon, lalu naik andong demi menghadirkan
keotentikan “Jogja” nan dangkal di mata penonton. Di Preman Pensiun hal itu tidak terlihat. Orang Sunda tampil apa
adanya sewajarnya seperti orang saat ini, yang dengan begitu ia membangun
kedekatan fisik kepada penonton.
Copet copet binal |
Tindak kejahatan yang
ditampilkan memang terbatas pada pencopetan, penodongan, dan penjambretan.
Nyaris tidak ada bentuk kriminalitas lain. Ketegangan ditimbulkan pula dari
persaingan sesama preman yang berebut lahan “bisnis” uang setoran keamanan.
Padahal jelas ada banyak ragam kejahatan lain yang lebih meresahkan dan bisa
memperkaya cerita. Misalnya pencurian kendaraan bermotor, begal, orang
mabuk-mabukan, pedagang makanan yang dagangannya nggak sehat, kejatahan dengan
gendam/hipnotis, pelecehan seksual, pembobol rumah/pencuri, bahkan narkoba
hingga pembunuhan. Kenapa tidak disertakan?
Duo penodong yang selalu bernasib sial |
Barangkali karena kejahatan
lain tadi dirasa terlalu serius bagi penulisnya. Pencopetan dipilih karena
dikategorikan oleh pembuat sinetron sebagai sesuatu yang ringan dan bisa
ditertawakan bersama, dan yang penting adalah sudut pandang HIBURANnya.
Pembuatnya ingin agar penonton punya perspektif tertentu kepada pencopet, bukan
pada tindak kejahatan lain yang lebih ‘berat’. Bagaimanapun sinetron ini
berposisi sebagai sinetron komedi. Lagi pula
sedari awal pencopetlah yang dihadirkan, istilahnya sudah terbangun
keterikatan antara karakter-karakternya dengan cerita dan penonton. Mungkin
pula penulis naskah merasa cerita copet inilah yang sudah disukai penonton
dengan pengulangan nasib kecopetan di tiap episode dan mereka terjebak
bersamanya.
Sadar gak, sinetron ini
ironisnya tidak pernah berlatar waktu malam hari. Padahal preman lebih banyak
yang merupakan makhluk-makhluk nokturnal. Secara teknis mungkin sulit syuting
malam hari. Energi untuk lampu penerangan harus lebih besar bukan? Malam hari
akan sangat menarik untuk dibahas terutama dari sisi kriminalitas yang bisa ditangani
oleh para preman. Sekali lagi, kurasa akan menarik juga jika melihat sinetron
ini digarap dengan nuansa serius, bukannya komedi. Sehingga apa-apa yang kusebut luput
dari sinetron ini di atas mendapatkan ruangnya juga.
(Jino Jiwan)
Lanjut ke bagian penutup (?)
0 komentar:
Posting Komentar