Sebagai seorang buruh ajar/kuli ajar sejak 2019, hal yang paling kuperhatikan adalah bidang pendidikan utamanya pendidikan tinggi, yang ketika tulisan ini diketik masuk ke wilayahnya Mendikburistek. Makanya aku niatkan akan memilih paslon capres dan cawapres yang paling jelas dan konkret programnya (baca: janjinya). Setelah mencari info sedemikian lama, akhirnya menemukan satu postingan di Instagram di akun @warstek_com yang bisa disimak di sini (kalau belum dihapus).
Ketikan ini aku buat selain buat analisis dan pertimbangan pribadi juga sebagai dokumentasi untuk menagih janji kepada siapapun yang menjadi presiden nanti, walaupun aku mungkin tidak memberikan suaraku kepada mereka.
Aku juga menyimak debat terakhir (debat kelima) dari capres dan cawapres pada 4 Februari 2024 untuk mendengar langsung janji mereka, yang mana harus berakhir dengan kekecewaan, sebab masalah pendidikan hanya disentuh sedikit saja, terselip di antara tumpukan tema lain: Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.
Oke, langsung mulai saja. Aku komentari yang perlu dikomentari dan hanya yang relevan dengan pekerjaan dosen saja.
.......................
Paslon 1: Anies dan Muhaimin
|
program paslon no 1 |
Peningkatan dana di poin 1 sebetulnya sudah terjadi bertahap. Poin 4 juga sudah ada untuk riset berkelanjutan. Yang bermasalah dari riset adalah bukan besaran bilangan tapi penghalang adminstratif (misal: jabatan fungsional dosen dan status yang masih CPNS) yang mana mungkin disasar pada poin 6. Semoga yang dimaksud adalah kemudahan ajuan riset, dan kemudahan proses pelaporannya.
Poin no 2 sangat akurat. Beban administrasi memang berlebihan. Sudah jadi hal yang lumrah buat dosen untuk melaporkan kinerja sebagai "beban lebih". Kalau aku kerap bergurau, bahwa pekerjaan dosen bukan hanya Tridharma (mengajar, meneliti, mengabdi ke masyarakat) plus penunjang (menjadi panitia acara, menyusun borang akreditasi, dll.), tapi juga membuat laporan-laporan bukti kinerja dari ketiga hal di atas. Aku ingin tahu implementasinya bagaimana, karena tidak mudah mengatasi ini. Cengkeraman paling kuat atas dosen adalah pihak kampus. Walau Dikburistek bilang beban maksimal adalah 16 SKS persemester pada praktiknya tidak demikian.
Poin 3 sudah terjadi di kampus BLU yang menerapkan sistem remunerasi yang berbasis kinerja. Tapi sistemnya dibatasi golongan, jabatan fungsional, dan struktural. Padahal dosen yang baru masuk bukan berarti tidak berkinerja. Reward juga ada di kampus yang masih Satker apalagi PTNBH. Masing-masing punya aturan internal soal reward.
Poin 5 akurat karena memang ada sebegitu banyak aplikasi yang berkenaan dengan pendidikan tinggi. Belum lagi aplikasi buatan internal kampus. Meski begitu kondisi aplikasi ini sudah jauh lebih baik dari waktu ke waktu dan terus diperbaiki.
Poin 7 bukan hanya jumlah tapi sekali lagi syarat administratif terutama pembatasan umur untuk studi lanjut. Andai batas usia yang juga dikedepankan akan lebih bagus.
Penghargaan di poin 8 sebetulnya tidak begitu mendesak. Kita sama-sama tahu selama ini semua penghargaan itu diada-adakan (alias proyek), persis seperti yang kerap dialamatkan rival paslon 1 kepada mereka. Poin 8 maksudnya adalah rekognisi dan memotivasi, atau semacam kebanggaan. Tapi kebanggaan dosen sejatinya adalah berkarya dan karyanya diakui. Pengakuan umum bisa macam-macam, misalnya sesederhana disitasi/dikutip dalam tulisan lain.
Poin 9-12 sedang terjadi dan terus diperbaiki saat ini sehingga tidak perlu dikomentari.
.......................
Paslon 2: Prabowo dan Gibran
|
janji paslon no 2 |
Seperti yang jadi fokus paslon ini untuk tema lainnya yang berkutat pada "makan gratis" maka di bidang pendidikan yang jadi prioritas adalah motif ekonomi dosen (kesejahteraan dari segi biaya hidup) yang solusinya adalah menaikkan gaji secara layak yaitu berdasarkan UMP. Yang memang masih banyak dosen digaji di bawah UMP. Bukan berarti menolak, tapi program ini terlalu menyederhanakan masalah. Seolah ini hanya masalah duit. Tidak satupun tertulis "bebas administrasi" dan "tupoksi" dosen, yang mana agak mengecewakan bagiku. Meski begitu ada janji rekrutmen bebasis meritokrasi, yang tentunya bagus, walau mungkin sulit diwujudkan kalau sadar KKN sebetulnya juga tumbuh di lingkungan kampus, dan entah bagaimana langkah konkretnya. Mungkin juga yang dimaksud meritokrasi diarahkan ke reward khusus bagi yang berkinerja baik, yang mana sudah terjadi.
Seperti program poin 11 paslon no 1 yang fokus ke riset srategis, paslon no 2 langsung menunjukkan spesifik bidang mana yang di sasar. Yaitu bidang yang selama ini memang jadi renstra dan roadmap penelitian di Indonesia yang fokus ke pangan (benih dan perikanan). Bidang yang sebetulnya bisa dipahami mengapa diprioritaskan. Sayangnya agak berpotensi menciptakan kecemburuan bidang lain. Menariknya ada poin yang mengarah ke lingkungan hidup dan pelestarian situs budaya. Jika benar terwujud tentunya akan sangat bagus. Poin kebudayaan ini sempat disinggung Prabowo ketika menyebut akan mendirikan Kementrian Kebudayaan sebagaimana juga disebut Anies di debat terakhir.
...alamat, bakal berubah lagi nomenklatur Kemendikbudristek dan berpeluang membuat semua kebijakan di bawahnya tersendat.
.......................
Paslon 3: Ganjar dan Mahfud
|
Progam paslon no 3 |
Sebenarnya kurang lebih sama dengan Paslon lain yang menyasar kesejahteraan dosen. Bedanya paslon no 3 langsung menyasar sertifikasi dosen dan tunjangan khusus bagi dosen yang berprestasi di poin 4 . Entah apa yang dimaksud penyempurnaan. Apakah mengurangi masa tunggu untuk serdos? Banyak rumor beredar tentang serdos. Katanya begini dan begitu. Yang jelas apa yang disampaikan paslon ini pada dasarnya masih kontinuitas dari pemerintah sekarang dan tentunya butuh merevisi peraturan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap.
Secara spesifik memberi prioritas untuk fakultas kedokteran, yang mana menimbulkan kecemburuan soal keistimewaan yang diperoleh dosen kedokteran di kampus tempatku mburuh ini. Kurasa harus ada keadilan bagi dosen dari fakultas lain yang haknya tidak lantas dianggap lebih rendah dari dosen kedokteran.
Poin C dari 1.2.3 menjanjikan pengangkatan status dosen ke PNS. Yang mana berkaitan dengan poin C soal komersialisasi PTN. Ada rumor bahwa kampus yang berani beralih status ke PTNBH maka dosennya akan dijadikan PNS atas PPPK, demi meringankan pembayaran gajinya. Artinya, program ini hanya kelanjutan dari yang sudah ada. Tidak jelas bagaimana komersialisasi akan dicegah jika ini (uang UKT tinggi) hampir pasti menjadi satu-satunya jalan PTNBH untuk bisa mandiri.
Poin E sama seperti paslon 1 yang menyebut beban administrasi. Beban administrasi memang berlebihan dan ini harus dihentikan demi kesejahteraan mental dosennya. Tapi sekali lagi, ini tidak mudah. Pihak kampus masih lebih punya wewenang menentukan kebijakan daya tampung yang berujung pada berlebihnya beban administrasi dosen.
Poin F ini sama dengan poin 7 paslon no 1. Semoga batas usia meraih beasiswa bisa diperpanjang. Usia tidak seharusnya membatasi kemampuan mencari beasiswa dan menghalangi keinginan memperkaya keilmuan dosen.
Mengenai peran BRIN, paslon 3 sama dengan paslon lainnya. Namun langsung menyasar bidang tertentu yang dianggap strategis: kelautan (maritim), gambut (pertanian/pangan), dan mineral (energi), sesuai dengan renstra pemerintah saat ini.
Program manajemen telenta terdengar seksi. Agak mengingatkan pada nawacita dan revolusi mental di era awal Jokowi, tapi belum terlihat seperti apa implementasinya.
.......................
Postscript/Pendapatku secara umum:
Pemaparan program disampaikan Paslon 1 lebih sederhana, langsung ke sasaran, dan sepertinya paham masalah walau tidak seluruhnya. Mungkin karena capresnya punya latar akademisi sehingga wajar jika dia tahu mana yang masih kurang dari bidang ini.
Program paslon 2 sangat populis, terlihat dari "menaikkan gaji", tapi sekaligus langsung tahu bidang mana yang mau disasar: pangan, lingkungan hidup, dan budaya.
Program paslon 3 tampak malu-malu mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan dengan cara memperbaiki/menyempurnakan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini, sembari menyembunyikan watak populisnya.
Pendapatku bisa jadi sangat bias karena saat ini bernaung (baca: macul wakul) di kampus yang tergila-gila mencapai target yang sebetulnya kontra-produktif yaitu pencapaian IKU. Aku lihat tidak ada paslon yang bahas ini. Mungkin mereka tidak up to date dengan IKU apalagi familiar. Selama kampus masih sangat otonom, apalagi dengan embel-embel hebat semacam PTNBH, selama itu juga dosen akan jadi objek yang dipasung oleh pimpinan kampus. Begitu juga dengan Kampus Merdeka Merdeka Belajar (MBKM) yang sangat layak dipertanyakan hasilnya ini, apakah para paslon akan meneruskan atau tidak? Juga lupus dari pembahasan, bahkan pantauan mereka.