Obsesi Anti Plastik

Suatu kali datanglah dua orang asesor akreditasi akademik asal Jerman ke sebuah kampus di Surabaya untuk mengasesi sebuah Prodi. Ketika disuguhi minum air dengan air botolan, mereka menolak meminumnya karena botolnya terbuat dari plastik. Panitia yang merasa belum diberi peringatan tentang ini pun kelimpungan. Mereka buru-buru ke minimarket berupaya mencari air botolan juga...tapi yang terbuat dari kaca merek Aqua.

Akua, air kencing kuda, harganya lima ratus saja...(tahu plesetan jingle ini?)

Akibat terlampau gopuh inilah mereka malah keliru membeli Aqua berkarbonasi, yang mana sekilas sama kemasannya dengan air minum botolan kaca, terlebih namanya mirip-mirip. 

Solusinya?

Salah seorang panitia berinisiatif menuangkan air botolan plastik yang ditolak duo asesor tadi ke teko kaca ditemani gelas kaca untuk kemudian disuguhkan. Mereka meminumnya!

Apa mereka tahu itu air yang sama dengan yang barusan mereka tolak? Tidak tahu juga. Jerman toh memang melarang penggunaan plastik sekali pakai sejak 2021. Apakah ini jadi pengetahuan umum bagi segenap warga dunia? Tidak tahu juga (sebagian panitia akreditasi mungkin baru tahu). Apakah mereka butuh untuk menunjukkan itu ketika datang ke negara "dunia ketiga"? Tidak tahu juga. Apakah mereka merasa sebagai representasi Jerman harus menunjukkan bahwa mereka patuh pada peraturan negaranya yang perlu dibawa-bawa ke luar negeri? Tidak tahu juga. Apakah ada aroma white man's burden soal isu lingkungan? Tidak tahu juga. Ataukah memang itu prinsip pribadi yaitu untuk menolak "menggunakan plastik"? Tidak tahu juga.

plastik is gay
Gambar di-prompt "anti plastic movement protest" dari Bing Image Creator. Ngapain coba ada bendera LGHDTV nongol di situ? Smh

Omong-omong di Surabaya juga ada peraturan yang melarang penggunaan plastik sekali pakai sejak 2022. Secara khusus peraturan ini terasa dan diterapkan hanya di supermarket/swalayan dan minimarket. Terlihat dari adanya pemberitahuan "tidak menyediakan kantong plastik" entah di pintu masuk atau di dekat meja kasir. Konsumen jadi terbiasa, tote bag atau paper bag lumrah dipakai (juga jadi lahan jualan kedua benda itu bagi pihak supermarket). Dalihnya adalah gimmick semacam "sayangi lingkungan", walau kita tidak pernah tahu apakah si tote/paper bag bakal berakhir di tumpukan sampah atau tidak.

Peraturan seperti ini punya asumsi bahwa yang bersalah dan dituding menjadi penyebab rusaknya lingkungan akibat sampah adalah konsumen. 

Namun mau sampai kapan konsumen harus terus-menerus disuruh bertanggung jawab terhadap kantong belanjaan? Kenapa bukan dunia industrinya yang diminta memakai kantong lain yang mudah hancur atau terurai? Kenapa sampai sekarang belum ada pengganti yang lebih mumpuni dari plastik?   




Ending yang Ideal Buat film 1408

Baru saja aku sempat menonton film 1408 yang dibintangi John Cusack. Sebuah film genre psychological horror yang premisnya adalah tentang seorang penulis kisah horror tapi sebetulnya dia sendiri skeptis dengan segala hal yang bersifat supranatural/perhantuan. Yang dia lakukan adalah menyambangi dan menginap di tempat-tempat yang konon menyeramkan kemudian menjadikannya sebagai bahan tulisan. Suatu hari dia mendapati kiriman kartu pos yang memeringatkannya agar tidak menginap di hotel The Dolphin kamar nomor 1408, yang malah memantik rasa penasarannya. Seperti sudah bisa diduga dia lantas menginap di kamar itu lalu mendapati situasi yang mencekam dan mengancam kondisi mentalnya: dia terjebak di dalamnya! Soal penyebab sikap sinis dan skeptisnya Si Mike (sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya) ini dikupas perlahan dalam film yang mana menjadi alasan dia akhirnya 'sukses keluar' dari kamar itu. 

Memang ini masuk kategori film 'lawas' yang dirilis 2007 tapi aku baru tertarik menonton setelah melihat cuplikan salah satu adegannya di 9gag. Adegan di mana si karakter utama, Mike Enslin meminta tolong ke penghuni gedung seberang hotel dengan melambaikan tangan namun ternyata dia melambai kepada seorang yang bentukannya persis seperti dirinya (sampai ke gerakan minta tolongnya juga sama, bak berdiri di cermin). Bukan itu saja, kembarannya ini juga dibunuh sosok misterius!

mirrored waving scene & mysterious killer

Total ada empat ending alternatif dari film ini, belum termasuk ending asli dari cerita pendek karya Stephen King, yang mana film ini adalah adaptasi darinya. Masing-masing punya kelemahan dan kelebihan sendiri.

Spoiler Alert!

(1) Ending cerita pendek mengisahkan, setelah Mike Enslin selamat dari kebakaran kamar 1408, dia menderita trauma: selalu menutup tirai sebelum gelap, takut warna kuning (kayak Green Lantern aja!), dan selalu tidur dalam kondisi lampu menyala (ini mah masih dilakukan orang dewasa juga).

(2) Ending teatrikal memperlihatkan Mike Enslin yang selamat dari kebakaran kamar 1408. Dia menyetel rekaman kaset yang memperdengarkan suara putrinya. Istrinya juga mendengar suara tersebut yang mana mengkonfirmasi pengalaman nyata Mike selama terjebak di dalam kamar. (3) Alternatif lain masih sama hanya saja memperlihatkan bahwa istrinya tidak bisa ikut mendengar suara putrinya dari rekaman kaset tersebut.

(4) Ending alternatif memperlihatkan Mike Enslin tidak selamat dari kamar 1408, tapi editor bukunya menerima kiriman draft buku yang ditulis oleh Mike selama terjebak di dalam dimensi lain kamar itu.

(5) Ending versi sutradara (Mikael HÃ¥fström) memperlihatkan Mike Enslin mati dalam kebakaran. Istri dan teman-temannya turut menghantarkan jenazahnya ke pemakaman. Lalu manajer hotel The Dolphin (Gerald Olin), yang diperankan Samuel L. "mutafucka" Jackson bermaksud memberikan rekaman kaset yang ditemukan dalam kamar setelah kebakaran, tapi istrinya Mike menolak menerimanya. Pada puing kamar 1408 arwahnya Mike Enslin terlihat puas karena bisa mengalahkan entitas jahat di kamar 1408. 

Ending ideal menurutku:

Menurutku ending paling mendekati masuk akal berdasarkan nalar yang dibangun filmnya adalah yang versi sutradara, dengan alasan bahwa kamar 1408 tidak pernah membiarkan penghuninya selamat: Mike Enslin mati dalam kebakaran, tapiii... alangkah lebih baik jika Si Istri mau menerima paket dari Olin yang berisi salah satunya rekaman kaset. Lalu di saat senggangnya atau di saat sudah mulai sembuh dari luka hati, Si Istri menyetel rekaman dan mendengar suara putrinya. Aku yakin ini akan lebih berdampak dan lebih sempurna nan ideal, karena ending ini akan menggabungkan ending versi Sutradara (5) dengan ending teatrikal (2) sekaligus.

ending ideal



Membandingkan Janji Capres 2024 di Bidang Pendidikan

Sebagai seorang buruh ajar/kuli ajar sejak 2019, hal yang paling kuperhatikan adalah bidang pendidikan utamanya pendidikan tinggi, yang ketika tulisan ini diketik masuk ke wilayahnya Mendikburistek. Makanya aku niatkan akan memilih paslon capres dan cawapres yang paling jelas dan konkret programnya (baca: janjinya). Setelah mencari info sedemikian lama, akhirnya menemukan satu postingan di Instagram di akun @warstek_com yang bisa disimak di sini (kalau belum dihapus).

Ketikan ini aku buat selain buat analisis dan pertimbangan pribadi juga sebagai dokumentasi untuk menagih janji kepada siapapun yang menjadi presiden nanti, walaupun aku mungkin tidak memberikan suaraku kepada mereka.

Aku juga menyimak debat terakhir (debat kelima) dari capres dan cawapres pada 4 Februari 2024 untuk mendengar langsung janji mereka, yang mana harus berakhir dengan kekecewaan, sebab masalah pendidikan hanya disentuh sedikit saja, terselip di antara tumpukan tema lain: Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.

Oke, langsung mulai saja. Aku komentari yang perlu dikomentari dan hanya yang relevan dengan pekerjaan dosen saja. 

.......................

Paslon 1: Anies dan Muhaimin

program paslon no 1

Peningkatan dana di poin 1 sebetulnya sudah terjadi bertahap. Poin 4 juga sudah ada untuk riset berkelanjutan. Yang bermasalah dari riset adalah bukan besaran bilangan tapi penghalang adminstratif (misal: jabatan fungsional dosen dan status yang masih CPNS) yang mana mungkin  disasar pada poin 6. Semoga yang dimaksud adalah kemudahan ajuan riset, dan kemudahan proses pelaporannya.

Poin no 2 sangat akurat. Beban administrasi memang berlebihan. Sudah jadi hal yang lumrah buat dosen untuk melaporkan kinerja sebagai "beban lebih". Kalau aku kerap bergurau, bahwa pekerjaan dosen bukan hanya Tridharma (mengajar, meneliti, mengabdi ke masyarakat) plus penunjang (menjadi panitia acara, menyusun borang akreditasi, dll.), tapi juga membuat laporan-laporan bukti kinerja dari ketiga hal di atas. Aku ingin tahu implementasinya bagaimana, karena tidak mudah mengatasi ini. Cengkeraman paling kuat atas dosen adalah pihak kampus. Walau Dikburistek bilang beban maksimal adalah 16 SKS persemester pada praktiknya tidak demikian.

Poin 3 sudah terjadi di kampus BLU yang menerapkan sistem remunerasi yang berbasis kinerja. Tapi sistemnya dibatasi golongan, jabatan fungsional, dan struktural. Padahal dosen yang baru masuk bukan berarti tidak berkinerja. Reward juga ada di kampus yang masih Satker apalagi PTNBH. Masing-masing punya aturan internal soal reward

Poin 5 akurat karena memang ada sebegitu banyak aplikasi yang berkenaan dengan pendidikan tinggi. Belum lagi aplikasi buatan internal kampus. Meski begitu kondisi aplikasi ini sudah jauh lebih baik dari waktu ke waktu dan terus diperbaiki.

Poin 7 bukan hanya jumlah tapi sekali lagi syarat administratif terutama pembatasan umur untuk studi lanjut. Andai batas usia yang juga dikedepankan akan lebih bagus.

Penghargaan di poin 8 sebetulnya tidak begitu mendesak. Kita sama-sama tahu selama ini semua penghargaan itu diada-adakan (alias proyek), persis seperti yang kerap dialamatkan rival paslon 1 kepada mereka. Poin 8 maksudnya adalah rekognisi dan memotivasi, atau semacam kebanggaan. Tapi kebanggaan dosen sejatinya adalah berkarya dan karyanya diakui. Pengakuan umum bisa macam-macam, misalnya sesederhana disitasi/dikutip dalam tulisan lain.

Poin 9-12 sedang terjadi dan terus diperbaiki saat ini sehingga tidak perlu dikomentari. 

.......................

Paslon 2: Prabowo dan Gibran


janji paslon no 2

Seperti yang jadi fokus paslon ini untuk tema lainnya yang berkutat pada "makan gratis" maka di bidang pendidikan yang jadi prioritas adalah motif ekonomi dosen (kesejahteraan dari segi biaya hidup) yang solusinya adalah menaikkan gaji secara layak yaitu berdasarkan UMP. Yang memang masih banyak dosen digaji di bawah UMP. Bukan berarti menolak, tapi program ini terlalu menyederhanakan masalah. Seolah ini hanya masalah duit. Tidak satupun tertulis "bebas administrasi" dan "tupoksi" dosen, yang mana agak mengecewakan bagiku. Meski begitu ada janji rekrutmen bebasis meritokrasi, yang tentunya bagus, walau mungkin sulit diwujudkan kalau sadar KKN sebetulnya juga tumbuh di lingkungan kampus, dan entah bagaimana langkah konkretnya. Mungkin juga yang dimaksud meritokrasi diarahkan ke reward khusus bagi yang berkinerja baik, yang mana sudah terjadi.

Seperti program poin 11 paslon no 1 yang fokus ke riset srategis, paslon no 2 langsung menunjukkan spesifik bidang mana yang di sasar. Yaitu bidang yang selama ini memang jadi renstra dan roadmap penelitian di Indonesia yang fokus ke pangan (benih dan perikanan). Bidang yang sebetulnya bisa dipahami mengapa diprioritaskan. Sayangnya agak berpotensi menciptakan kecemburuan bidang lain. Menariknya ada poin yang mengarah ke lingkungan hidup dan pelestarian situs budaya. Jika benar terwujud tentunya akan sangat bagus. Poin kebudayaan ini sempat disinggung Prabowo ketika menyebut akan mendirikan Kementrian Kebudayaan sebagaimana juga disebut Anies di debat terakhir. 

...alamat, bakal berubah lagi nomenklatur Kemendikbudristek dan berpeluang membuat semua kebijakan di bawahnya tersendat.

.......................

Paslon 3: Ganjar dan Mahfud


Progam paslon no 3

Sebenarnya kurang lebih sama dengan Paslon lain yang menyasar kesejahteraan dosen. Bedanya paslon no 3 langsung menyasar sertifikasi dosen dan tunjangan khusus bagi dosen yang berprestasi di poin 4 . Entah apa yang dimaksud penyempurnaan. Apakah mengurangi masa tunggu untuk serdos? Banyak rumor beredar tentang serdos. Katanya begini dan begitu. Yang jelas apa yang disampaikan paslon ini pada dasarnya masih kontinuitas dari pemerintah sekarang dan tentunya butuh merevisi peraturan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap.

Secara spesifik memberi prioritas untuk fakultas kedokteran, yang mana menimbulkan kecemburuan soal keistimewaan yang diperoleh dosen kedokteran di kampus tempatku mburuh ini. Kurasa harus ada keadilan bagi dosen dari fakultas lain yang haknya tidak lantas dianggap lebih rendah dari dosen kedokteran.

Poin C dari 1.2.3 menjanjikan pengangkatan status dosen ke PNS. Yang mana berkaitan dengan poin C soal komersialisasi PTN. Ada rumor bahwa kampus yang berani beralih status ke PTNBH maka dosennya akan dijadikan PNS atas PPPK, demi meringankan pembayaran gajinya. Artinya, program ini hanya kelanjutan dari yang sudah ada. Tidak jelas bagaimana komersialisasi akan dicegah jika ini (uang UKT tinggi) hampir pasti menjadi satu-satunya jalan PTNBH untuk bisa mandiri.

Poin E sama seperti paslon 1 yang menyebut beban administrasi. Beban administrasi memang berlebihan dan ini harus dihentikan demi kesejahteraan mental dosennya. Tapi sekali lagi, ini tidak mudah. Pihak kampus masih lebih punya wewenang menentukan kebijakan daya tampung yang berujung pada berlebihnya beban administrasi dosen.

Poin F ini sama dengan poin 7 paslon no 1. Semoga batas usia meraih beasiswa bisa diperpanjang. Usia tidak seharusnya membatasi kemampuan mencari beasiswa dan menghalangi keinginan memperkaya keilmuan dosen.

Mengenai peran BRIN, paslon 3 sama dengan paslon lainnya. Namun langsung menyasar bidang tertentu yang dianggap strategis: kelautan (maritim), gambut (pertanian/pangan), dan mineral (energi), sesuai dengan renstra pemerintah saat ini.

Program manajemen telenta terdengar seksi. Agak mengingatkan pada nawacita dan revolusi mental di era awal Jokowi, tapi belum terlihat seperti apa implementasinya.

.......................

Postscript/Pendapatku secara umum: 

Pemaparan program disampaikan Paslon 1 lebih sederhana, langsung ke sasaran, dan sepertinya paham masalah walau tidak seluruhnya. Mungkin karena capresnya punya latar akademisi sehingga wajar jika dia tahu mana yang masih kurang dari bidang ini.

Program paslon 2 sangat populis, terlihat dari "menaikkan gaji",  tapi sekaligus langsung tahu bidang mana yang mau disasar: pangan, lingkungan hidup, dan budaya.

Program paslon 3 tampak malu-malu mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan dengan cara memperbaiki/menyempurnakan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini, sembari menyembunyikan watak populisnya.

Pendapatku bisa jadi sangat bias karena saat ini bernaung (baca: macul wakul) di kampus yang tergila-gila mencapai target yang sebetulnya kontra-produktif yaitu pencapaian IKU. Aku lihat tidak ada paslon yang bahas ini. Mungkin mereka tidak up to date dengan IKU apalagi familiar. Selama kampus masih sangat otonom, apalagi dengan embel-embel hebat semacam PTNBH, selama itu juga dosen akan jadi objek yang dipasung oleh pimpinan kampus. Begitu juga dengan Kampus Merdeka Merdeka Belajar (MBKM) yang sangat layak dipertanyakan hasilnya ini, apakah para paslon akan meneruskan atau tidak? Juga lupus dari pembahasan, bahkan pantauan mereka.