Ending yang Ideal Buat film 1408

Baru saja aku sempat menonton film 1408 yang dibintangi John Cusack. Sebuah film genre psychological horror yang premisnya adalah tentang seorang penulis kisah horror tapi sebetulnya dia sendiri skeptis dengan segala hal yang bersifat supranatural/perhantuan. Yang dia lakukan adalah menyambangi dan menginap di tempat-tempat yang konon menyeramkan kemudian menjadikannya sebagai bahan tulisan. Suatu hari dia mendapati kiriman kartu pos yang memeringatkannya agar tidak menginap di hotel The Dolphin kamar nomor 1408, yang malah memantik rasa penasarannya. Seperti sudah bisa diduga dia lantas menginap di kamar itu lalu mendapati situasi yang mencekam dan mengancam kondisi mentalnya: dia terjebak di dalamnya! Soal penyebab sikap sinis dan skeptisnya Si Mike (sesuatu yang berkaitan dengan masa lalunya) ini dikupas perlahan dalam film yang mana menjadi alasan dia akhirnya 'sukses keluar' dari kamar itu. 

Memang ini masuk kategori film 'lawas' yang dirilis 2007 tapi aku baru tertarik menonton setelah melihat cuplikan salah satu adegannya di 9gag. Adegan di mana si karakter utama, Mike Enslin meminta tolong ke penghuni gedung seberang hotel dengan melambaikan tangan namun ternyata dia melambai kepada seorang yang bentukannya persis seperti dirinya (sampai ke gerakan minta tolongnya juga sama, bak berdiri di cermin). Bukan itu saja, kembarannya ini juga dibunuh sosok misterius!

mirrored waving scene & mysterious killer

Total ada empat ending alternatif dari film ini, belum termasuk ending asli dari cerita pendek karya Stephen King, yang mana film ini adalah adaptasi darinya. Masing-masing punya kelemahan dan kelebihan sendiri.

Spoiler Alert!

(1) Ending cerita pendek mengisahkan, setelah Mike Enslin selamat dari kebakaran kamar 1408, dia menderita trauma: selalu menutup tirai sebelum gelap, takut warna kuning (kayak Green Lantern aja!), dan selalu tidur dalam kondisi lampu menyala (ini mah masih dilakukan orang dewasa juga).

(2) Ending teatrikal memperlihatkan Mike Enslin yang selamat dari kebakaran kamar 1408. Dia menyetel rekaman kaset yang memperdengarkan suara putrinya. Istrinya juga mendengar suara tersebut yang mana mengkonfirmasi pengalaman nyata Mike selama terjebak di dalam kamar. (3) Alternatif lain masih sama hanya saja memperlihatkan bahwa istrinya tidak bisa ikut mendengar suara putrinya dari rekaman kaset tersebut.

(4) Ending alternatif memperlihatkan Mike Enslin tidak selamat dari kamar 1408, tapi editor bukunya menerima kiriman draft buku yang ditulis oleh Mike selama terjebak di dalam dimensi lain kamar itu.

(5) Ending versi sutradara (Mikael HÃ¥fström) memperlihatkan Mike Enslin mati dalam kebakaran. Istri dan teman-temannya turut menghantarkan jenazahnya ke pemakaman. Lalu manajer hotel The Dolphin (Gerald Olin), yang diperankan Samuel L. "mutafucka" Jackson bermaksud memberikan rekaman kaset yang ditemukan dalam kamar setelah kebakaran, tapi istrinya Mike menolak menerimanya. Pada puing kamar 1408 arwahnya Mike Enslin terlihat puas karena bisa mengalahkan entitas jahat di kamar 1408. 

Ending ideal menurutku:

Menurutku ending paling mendekati masuk akal berdasarkan nalar yang dibangun filmnya adalah yang versi sutradara, dengan alasan bahwa kamar 1408 tidak pernah membiarkan penghuninya selamat: Mike Enslin mati dalam kebakaran, tapiii... alangkah lebih baik jika Si Istri mau menerima paket dari Olin yang berisi salah satunya rekaman kaset. Lalu di saat senggangnya atau di saat sudah mulai sembuh dari luka hati, Si Istri menyetel rekaman dan mendengar suara putrinya. Aku yakin ini akan lebih berdampak dan lebih sempurna nan ideal, karena ending ini akan menggabungkan ending versi Sutradara (5) dengan ending teatrikal (2) sekaligus.

ending ideal



Membandingkan Janji Capres 2024 di Bidang Pendidikan

Sebagai seorang buruh ajar/kuli ajar sejak 2019, hal yang paling kuperhatikan adalah bidang pendidikan utamanya pendidikan tinggi, yang ketika tulisan ini diketik masuk ke wilayahnya Mendikburistek. Makanya aku niatkan akan memilih paslon capres dan cawapres yang paling jelas dan konkret programnya (baca: janjinya). Setelah mencari info sedemikian lama, akhirnya menemukan satu postingan di Instagram di akun @warstek_com yang bisa disimak di sini (kalau belum dihapus).

Ketikan ini aku buat selain buat analisis dan pertimbangan pribadi juga sebagai dokumentasi untuk menagih janji kepada siapapun yang menjadi presiden nanti, walaupun aku mungkin tidak memberikan suaraku kepada mereka.

Aku juga menyimak debat terakhir (debat kelima) dari capres dan cawapres pada 4 Februari 2024 untuk mendengar langsung janji mereka, yang mana harus berakhir dengan kekecewaan, sebab masalah pendidikan hanya disentuh sedikit saja, terselip di antara tumpukan tema lain: Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.

Oke, langsung mulai saja. Aku komentari yang perlu dikomentari dan hanya yang relevan dengan pekerjaan dosen saja. 

.......................

Paslon 1: Anies dan Muhaimin

program paslon no 1

Peningkatan dana di poin 1 sebetulnya sudah terjadi bertahap. Poin 4 juga sudah ada untuk riset berkelanjutan. Yang bermasalah dari riset adalah bukan besaran bilangan tapi penghalang adminstratif (misal: jabatan fungsional dosen dan status yang masih CPNS) yang mana mungkin  disasar pada poin 6. Semoga yang dimaksud adalah kemudahan ajuan riset, dan kemudahan proses pelaporannya.

Poin no 2 sangat akurat. Beban administrasi memang berlebihan. Sudah jadi hal yang lumrah buat dosen untuk melaporkan kinerja sebagai "beban lebih". Kalau aku kerap bergurau, bahwa pekerjaan dosen bukan hanya Tridharma (mengajar, meneliti, mengabdi ke masyarakat) plus penunjang (menjadi panitia acara, menyusun borang akreditasi, dll.), tapi juga membuat laporan-laporan bukti kinerja dari ketiga hal di atas. Aku ingin tahu implementasinya bagaimana, karena tidak mudah mengatasi ini. Cengkeraman paling kuat atas dosen adalah pihak kampus. Walau Dikburistek bilang beban maksimal adalah 16 SKS persemester pada praktiknya tidak demikian.

Poin 3 sudah terjadi di kampus BLU yang menerapkan sistem remunerasi yang berbasis kinerja. Tapi sistemnya dibatasi golongan, jabatan fungsional, dan struktural. Padahal dosen yang baru masuk bukan berarti tidak berkinerja. Reward juga ada di kampus yang masih Satker apalagi PTNBH. Masing-masing punya aturan internal soal reward

Poin 5 akurat karena memang ada sebegitu banyak aplikasi yang berkenaan dengan pendidikan tinggi. Belum lagi aplikasi buatan internal kampus. Meski begitu kondisi aplikasi ini sudah jauh lebih baik dari waktu ke waktu dan terus diperbaiki.

Poin 7 bukan hanya jumlah tapi sekali lagi syarat administratif terutama pembatasan umur untuk studi lanjut. Andai batas usia yang juga dikedepankan akan lebih bagus.

Penghargaan di poin 8 sebetulnya tidak begitu mendesak. Kita sama-sama tahu selama ini semua penghargaan itu diada-adakan (alias proyek), persis seperti yang kerap dialamatkan rival paslon 1 kepada mereka. Poin 8 maksudnya adalah rekognisi dan memotivasi, atau semacam kebanggaan. Tapi kebanggaan dosen sejatinya adalah berkarya dan karyanya diakui. Pengakuan umum bisa macam-macam, misalnya sesederhana disitasi/dikutip dalam tulisan lain.

Poin 9-12 sedang terjadi dan terus diperbaiki saat ini sehingga tidak perlu dikomentari. 

.......................

Paslon 2: Prabowo dan Gibran


janji paslon no 2

Seperti yang jadi fokus paslon ini untuk tema lainnya yang berkutat pada "makan gratis" maka di bidang pendidikan yang jadi prioritas adalah motif ekonomi dosen (kesejahteraan dari segi biaya hidup) yang solusinya adalah menaikkan gaji secara layak yaitu berdasarkan UMP. Yang memang masih banyak dosen digaji di bawah UMP. Bukan berarti menolak, tapi program ini terlalu menyederhanakan masalah. Seolah ini hanya masalah duit. Tidak satupun tertulis "bebas administrasi" dan "tupoksi" dosen, yang mana agak mengecewakan bagiku. Meski begitu ada janji rekrutmen bebasis meritokrasi, yang tentunya bagus, walau mungkin sulit diwujudkan kalau sadar KKN sebetulnya juga tumbuh di lingkungan kampus, dan entah bagaimana langkah konkretnya. Mungkin juga yang dimaksud meritokrasi diarahkan ke reward khusus bagi yang berkinerja baik, yang mana sudah terjadi.

Seperti program poin 11 paslon no 1 yang fokus ke riset srategis, paslon no 2 langsung menunjukkan spesifik bidang mana yang di sasar. Yaitu bidang yang selama ini memang jadi renstra dan roadmap penelitian di Indonesia yang fokus ke pangan (benih dan perikanan). Bidang yang sebetulnya bisa dipahami mengapa diprioritaskan. Sayangnya agak berpotensi menciptakan kecemburuan bidang lain. Menariknya ada poin yang mengarah ke lingkungan hidup dan pelestarian situs budaya. Jika benar terwujud tentunya akan sangat bagus. Poin kebudayaan ini sempat disinggung Prabowo ketika menyebut akan mendirikan Kementrian Kebudayaan sebagaimana juga disebut Anies di debat terakhir. 

...alamat, bakal berubah lagi nomenklatur Kemendikbudristek dan berpeluang membuat semua kebijakan di bawahnya tersendat.

.......................

Paslon 3: Ganjar dan Mahfud


Progam paslon no 3

Sebenarnya kurang lebih sama dengan Paslon lain yang menyasar kesejahteraan dosen. Bedanya paslon no 3 langsung menyasar sertifikasi dosen dan tunjangan khusus bagi dosen yang berprestasi di poin 4 . Entah apa yang dimaksud penyempurnaan. Apakah mengurangi masa tunggu untuk serdos? Banyak rumor beredar tentang serdos. Katanya begini dan begitu. Yang jelas apa yang disampaikan paslon ini pada dasarnya masih kontinuitas dari pemerintah sekarang dan tentunya butuh merevisi peraturan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu sekejap.

Secara spesifik memberi prioritas untuk fakultas kedokteran, yang mana menimbulkan kecemburuan soal keistimewaan yang diperoleh dosen kedokteran di kampus tempatku mburuh ini. Kurasa harus ada keadilan bagi dosen dari fakultas lain yang haknya tidak lantas dianggap lebih rendah dari dosen kedokteran.

Poin C dari 1.2.3 menjanjikan pengangkatan status dosen ke PNS. Yang mana berkaitan dengan poin C soal komersialisasi PTN. Ada rumor bahwa kampus yang berani beralih status ke PTNBH maka dosennya akan dijadikan PNS atas PPPK, demi meringankan pembayaran gajinya. Artinya, program ini hanya kelanjutan dari yang sudah ada. Tidak jelas bagaimana komersialisasi akan dicegah jika ini (uang UKT tinggi) hampir pasti menjadi satu-satunya jalan PTNBH untuk bisa mandiri.

Poin E sama seperti paslon 1 yang menyebut beban administrasi. Beban administrasi memang berlebihan dan ini harus dihentikan demi kesejahteraan mental dosennya. Tapi sekali lagi, ini tidak mudah. Pihak kampus masih lebih punya wewenang menentukan kebijakan daya tampung yang berujung pada berlebihnya beban administrasi dosen.

Poin F ini sama dengan poin 7 paslon no 1. Semoga batas usia meraih beasiswa bisa diperpanjang. Usia tidak seharusnya membatasi kemampuan mencari beasiswa dan menghalangi keinginan memperkaya keilmuan dosen.

Mengenai peran BRIN, paslon 3 sama dengan paslon lainnya. Namun langsung menyasar bidang tertentu yang dianggap strategis: kelautan (maritim), gambut (pertanian/pangan), dan mineral (energi), sesuai dengan renstra pemerintah saat ini.

Program manajemen telenta terdengar seksi. Agak mengingatkan pada nawacita dan revolusi mental di era awal Jokowi, tapi belum terlihat seperti apa implementasinya.

.......................

Postscript/Pendapatku secara umum: 

Pemaparan program disampaikan Paslon 1 lebih sederhana, langsung ke sasaran, dan sepertinya paham masalah walau tidak seluruhnya. Mungkin karena capresnya punya latar akademisi sehingga wajar jika dia tahu mana yang masih kurang dari bidang ini.

Program paslon 2 sangat populis, terlihat dari "menaikkan gaji",  tapi sekaligus langsung tahu bidang mana yang mau disasar: pangan, lingkungan hidup, dan budaya.

Program paslon 3 tampak malu-malu mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan dengan cara memperbaiki/menyempurnakan yang sudah dilakukan pemerintah saat ini, sembari menyembunyikan watak populisnya.

Pendapatku bisa jadi sangat bias karena saat ini bernaung (baca: macul wakul) di kampus yang tergila-gila mencapai target yang sebetulnya kontra-produktif yaitu pencapaian IKU. Aku lihat tidak ada paslon yang bahas ini. Mungkin mereka tidak up to date dengan IKU apalagi familiar. Selama kampus masih sangat otonom, apalagi dengan embel-embel hebat semacam PTNBH, selama itu juga dosen akan jadi objek yang dipasung oleh pimpinan kampus. Begitu juga dengan Kampus Merdeka Merdeka Belajar (MBKM) yang sangat layak dipertanyakan hasilnya ini, apakah para paslon akan meneruskan atau tidak? Juga lupus dari pembahasan, bahkan pantauan mereka.










Meskipun Terik, Nusa Penida Memang Menarik

Sudah lama aku mendengar tentang Nusa Penida, sebuah pulau yang katanya gersang dan puanas. Sebuah pulau yang menurut seorang teman yang asli Bali, "tidak ada-apa di sana" selain batu kapur dan penangkaran penyu, sehingga tidak worthy untuk dikunjungi.

Namun, akhirnya kesempatan menyambangi pulau kecil di sisi tenggara pulau Bali ini pada Desember 2023 kesampaian juga bareng rekan kerja se-Prodi. Entah siapa yang usul, pastilah dia pernah melihat postingan keindahan Nusa Penida di medsos. Paket perjalanan untuk Nusa Penida sisi barat langsung dipesan, seorangnya seharga Rp400an, termasuk tiket kapal bolak-balik, makan sekali, dan dua buah mobil plus sopirnya yang merangkap pemandu.

Pelabuhan Sanur pagi hari

Pagi-pagi sekali kami sudah dijemput dari hotel di daerah Seminyak (iya, harga termasuk penjemputan dari hotel). Karena terlalu pagi ini pula kami belum sempat menikmati sarapan hotel secara sepantasnya. Oleh pihak hotel kami dibungkuskan sesuatu yang kami sangka nasi dan lauk pauknya, tapi ternyata...

sandwich isi timun, tomat, dan telur plus buah

Pelabuhan Sanur, titik berangkat dari Pulau Bali ke Pulau Nusa Penida sangat padat pagi itu. Rombongan kami menunggu cukup lama. Telinga ini harus awas menyimak pengumuman dari pemandu yang bisa sangat acak itu. Mereka mengumumkan travel mana yang bisa berangkat sesuai dengan kalung penanda travel yang tadi sudah diberikan sejak awal begitu sampai (warna lanyar juga berpengaruh), karena titik tujuan juga bisa berbeda. 

Pihak travel membagikan semacam tiket yang memuat nama. Dapat nama yang random juga. Intinya nama ini tidak berpengaruh wong duduknya di kapal juga tidak pakai nomor. Kami gunakan nama ini buat guyonan. 

Alur masuk ke pelabuhan sangat aneh. Masuk antri, naik tangga ke lantai 2, lalu turun tangga lagi ke lantai dasar. 

Kalau sudah sampai dermaga tinggal ikuti arus dan pastikan tidak salah naik kapal

Di Dermaga ada banyak kapal. Tidak perlu khawatir salah naik karena nama kapal sesuai dengan kartu lanyar yang tadi dibagikan.

Ombak besar menuju Nusa Penida

Ketika kapal berangkat dari Sanur terjadi pemandangan yang bagiku sangat menakjubkan. Sekian banyak kapal keluar dari pelabuhan, beriringan, lalu berpisah ke tujuan masing-masing. Ombak memang besar tapi masih kalah besar dengan ombak sore hari ketika kami kembali ke Sanur dari Nusa Penida. Durasi berangkat lebih dari 1 jam padahal konon hanya 45 menit. Aku sempat tertidur karena tadi menenggak seperempat butir Antimo, maklum aku takut mabok laut. Menurut seorang rekan mereka sempat melihat lumba-lumba bermain di sekitar kapal. Mungkin seharusnya aku tidak tertidur.


Sampai di Nusa Penida (sisi timur Sampalan)

Pelabuhan Sampalan yang ternyata lokasinya cukup jauh dari lokasi wisata di Nusa Penida Barat

Kami disambut dua orang pemandu yang sekaligus sopir, mereka berasal dari Jawa Tengah. Kami menyapa mereka dengan "Bli" tapi ternyata mereka bisa bahasa Jawa, jadi kami panggil "Mas". Mobilnya APV. Bisa kubilang mereka jago nyetir. Jalanan di Nusa Penida cukup mulus (kecuali ketika mendekati Angel's Billabong), hanya saja jalannya boleh dikatakan cukup ekstrim, naik turun, belak-belok, sempit, mengingatkan pada kondisi jalan di Gunung Kidul, Jogja. Berhubung aku dapat rombongan yang isinya cowok semua jadilah ujung-ujungnya pembicaraan agak cabul ketika mereka kemudian secara terbuka bercerita telah beberapa kali mengencani (baca: meniduri) turis dari luar (Eropa, Afrika, maupun Asia).

Seperti sudah kusebut, kami cuma sarapan sandwich. Sehingga kami menuntut mampir makan dulu, jauh sebelum jamnya makan siang. Mobil berhenti di sebuah rumah makan (warung) kecil di tepi jalan yang memang menjadi bagian dari paket perjalanan. Menunya sederhana. Harganya? Tidak tahu. Namanya juga paketan. Tapi tempatnya lumayan nyaman. Sejujurnya rasa lapar mengalahkan minat kami untuk menjelajahi pulau itu. Ketika itu aku ingin sekali balik ke hotel untuk sekadar rebahan, karena belum-belum sudah merasa capek dan kegerahan. Plus kelaparan itu tadi.

Mampir di Warung

Mie nyemek seadanya, no expectation. Tetap bersyukur yang penting gak kelaparan.

Tapi tentu saja perjalanan harus berlanjut setelah beberapa kali Mas-Mas Sopir menglakson kami agar lekas bergegas...ke pantai Kelingking.

Jalan turun ke tebing Kelingking

Pantai Kelingking di bawah sana. Kelihatan overexposure? Iya, itu sudah siang. Pas jam 12 siang. Ketika Nusa Penida sedang terik-teriknya. Bisa sih kalau mau turun (1 jam jalan kaki katanya) tapi pemandunya bilang pernah ada yang mati gegara kepanasan.

Duduk-duduk di sebuah warung. Hati-hati, harga minuman/makanan bisa sangat mahal. Aku cuma duduk-duduk saja. 

Dari Pantai Kelingking kami meluncur ke Angel's Billabong dan Broken Beach yang jadi satu kawasan. Jalan menjelang ke lokasi rusak parah. Mobilnya berasa dipmbang-ambing ayun-ayunkan dengan perlahan...

Jalan menurun ke Angel's Billabong. Beberapa rekan sudah menyerah, tidak mau meneruskan. Sungguh sebuah kerugian.

Papan peringatan bahwa lokasi ini berbahaya

Billabong yang mengingatkan seperti kolam di Pantai Wediombo yang juga berbahaya

Dari sini, kedua pemandu mengarahkan kami ke Broken Beach yang memang istimewa...tidak, bukan hanya memang istimewa, tapi sangat istimewa dan ikonik, selain Pantai Kelingking tentunya.

Ada beberapa titik yang layak difoto termasuk di sini

Pantainya tidak bisa diakses, hanya bisa dikagumi dari atas tebing

Mulut pantai yang "broken"

Tumpukan sampah yang ditinggalkan makhluk sampah yang tidak menghargai lingkungan dan keindahan alam

Foto bareng di hadapan Broken Beach

Setelah beristirahat selanjutnya kami balik ke pelabuhan dengan terlebih dulu mampir di pantai Bubu yang menghadap langsung ke Pulau Bali...

Tepi jalan Bubu Beach

Pemandangan pantai yang tenang. Bisa dibayangkan keindahan tempat ini jika malam. Kerlip lampu di Pulau Bali pastilah memukau.

Entah kenapa ada ayunan di situ. Btw, ini sudah jam 15.

Setelah hanya duduk-duduk dan bermain air laut sejenak, saatnya kami berpisah dengan Nusa Penida yang walau memang terik namun memikat dan pastinya cantik.  

Keramaian pelabuhan Sampalan saat sore

Akankah aku balik ke sana lagi? Mungkin suatu saat nanti. Semoga jalannya sudah lebih baik kondisinya.