Obsesi Anti Plastik

15.38.00 jino jiwan 0 Comments

Suatu kali datanglah dua orang asesor akreditasi akademik asal Jerman ke sebuah kampus di Surabaya untuk mengasesi sebuah Prodi. Ketika disuguhi minum air dengan air botolan, mereka menolak meminumnya karena botolnya terbuat dari plastik. Panitia yang merasa belum diberi peringatan tentang ini pun kelimpungan. Mereka buru-buru ke minimarket berupaya mencari air botolan juga...tapi yang terbuat dari kaca merek Aqua.

Akua, air kencing kuda, harganya lima ratus saja...(tahu plesetan jingle ini?)

Akibat terlampau gopuh inilah mereka malah keliru membeli Aqua berkarbonasi, yang mana sekilas sama kemasannya dengan air minum botolan kaca, terlebih namanya mirip-mirip. 

Solusinya?

Salah seorang panitia berinisiatif menuangkan air botolan plastik yang ditolak duo asesor tadi ke teko kaca ditemani gelas kaca untuk kemudian disuguhkan. Mereka meminumnya!

Apa mereka tahu itu air yang sama dengan yang barusan mereka tolak? Tidak tahu juga. Jerman toh memang melarang penggunaan plastik sekali pakai sejak 2021. Apakah ini jadi pengetahuan umum bagi segenap warga dunia? Tidak tahu juga (sebagian panitia akreditasi mungkin baru tahu). Apakah mereka butuh untuk menunjukkan itu ketika datang ke negara "dunia ketiga"? Tidak tahu juga. Apakah mereka merasa sebagai representasi Jerman harus menunjukkan bahwa mereka patuh pada peraturan negaranya yang perlu dibawa-bawa ke luar negeri? Tidak tahu juga. Apakah ada aroma white man's burden soal isu lingkungan? Tidak tahu juga. Ataukah memang itu prinsip pribadi yaitu untuk menolak "menggunakan plastik"? Tidak tahu juga.

plastik is gay
Gambar di-prompt "anti plastic movement protest" dari Bing Image Creator. Ngapain coba ada bendera LGHDTV nongol di situ? Smh

Omong-omong di Surabaya juga ada peraturan yang melarang penggunaan plastik sekali pakai sejak 2022. Secara khusus peraturan ini terasa dan diterapkan hanya di supermarket/swalayan dan minimarket. Terlihat dari adanya pemberitahuan "tidak menyediakan kantong plastik" entah di pintu masuk atau di dekat meja kasir. Konsumen jadi terbiasa, tote bag atau paper bag lumrah dipakai (juga jadi lahan jualan kedua benda itu bagi pihak supermarket). Dalihnya adalah gimmick semacam "sayangi lingkungan", walau kita tidak pernah tahu apakah si tote/paper bag bakal berakhir di tumpukan sampah atau tidak.

Peraturan seperti ini punya asumsi bahwa yang bersalah dan dituding menjadi penyebab rusaknya lingkungan akibat sampah adalah konsumen. 

Namun mau sampai kapan konsumen harus terus-menerus disuruh bertanggung jawab terhadap kantong belanjaan? Kenapa bukan dunia industrinya yang diminta memakai kantong lain yang mudah hancur atau terurai? Kenapa sampai sekarang belum ada pengganti yang lebih mumpuni dari plastik?   



0 komentar: