Kisah Kereta Api pada Wingko Babad Semarang
Mungkin tidak banyak yang tahu kalau wingko babad, penganan khas terbuat dari
kelapa, tepung ketan, dan gula yang selalu menjadi oleh-oleh wajib Kota
Semarang, Jawa Tengah ini bermula dari sebuah kota
kecil bernama Babat, yang terletak di persimpangan
antara Surabaya, Cepu, Jombang, dan Tuban, Jawa Timur. Barangkali tidak banyak pula yang menaruh
perhatian pada kemasan wingko babad
yang meskipun beragam, namun bila diperhatikan tampilannya
nyaris serupa antara satu dengan lainnya. Seolah jika tidak
BEGITU berarti BUKAN wingko babad asli Semarang. Mereka yang
akrab dengan jajanan legit ini pasti
setuju, bahwa wingko babad
Semarang akan cenderung identik dengan cap dagang Kereta Api yang seakan telah menjadi ciri istimewa wingko.
Berawal dari kereta api, berkembang dengan kereta api
sumber: medianusantara.com |
Cap dagang Kereta
Api inilah
yang memicu gambar sekaligus
mengacu gambar, baik itu ilustrasi sentral yang digunakan maupun tipografinya
yang selanjutnya menjadi
dasar gaya desain bagi seluruh cap dagang wingko yang
muncul kemudian. Termasuk di dalamnya usaha pembuatan wingko skala kecil
dan menengah yang ingin menumpang ketenaran cap dagang Kereta Api demi keuntungan dalam waktu singkat.
Dunia selalu membutuhkan pionir, begitu juga wingko
babad Semarang. Wingko Kereta Api D. Mulyono begitu berjaya.
Sehingga sebagai perintis yang sukses, wingko babat (di kemudian hari huruf “t”
pada babat berubah jadi “d”, wingko babad) D. Mulyono berperan bagai ‘panutan’
buat usaha wingko lainnya. Ilustrasi kereta api pada
kemasan wingko D. Mulyono terlanjur begitu ikonik dan
membekas, inilah yang dimanfaatkan para pesaingnya.
Maka muncullah berbagai cap dagang susulan dari ‘kereta
api’ lainnya yang ingin
‘melestarikan’ pendahulunya untuk meramaikan
pasar wingko di Semarang. Mulai dari Kereta
Api Diesel & Jet (1960), yang
masih ada hubungan saudara dengan Loe Lan Hwa, kemudian muncul berturut-turut Cap Gaya Baru Malam (1970-an), Kereta Senja Utama (1970-an), Kereta Api Eksekutif (1979), Kereta Api Expres (1980-an), Cap Lokomotif (1990-an), Kereta Api Mutiara (1994), dsb. Tidak
hanya pilihan nama cap dagangnya, segi tampilan kemasan pun turut mengekor pula,
entah itu dari segi bahan, ukuran,
tipografi, gaya ilustrasi, lay out, dan warna yang digunakan.
Menariknya, walau ada beberapa produsen yang dari
awal sudah berusaha menghindari hal-hal berbau kereta api karena idealisme ”ingin beda”, gaya desain cap
dagang Kereta Api-nya D. Mulyono baik
yang versi awal maupun terbaru tetap jadi acuan. Terlebih
setelah pada 2006 Ny Sinata (putri D. Mulyono dan Loe Lan
Hwa), yang adalah pemilik wingko babad saat
ini mensomasi produsen wingko babad
lainnya yang mencatut nama Kereta Api
serta desain kemasannya. Cap dagang
pengekor Kereta Api pun segera mengubah
nama dan desain tampilan mereka. Pengubahan itu dari
yang signifikan hingga minor.
Kesan modernitas
Satu pesan menonjol dari desain kemasan wingko
babad Semarang yaitu adanya semangat
modernitas. Hal ini sudah tampak sedari
awal kemunculan wingko di Semarang. Modernitas sendiri
berarti kesadaran akan kekinian-sesuatu yang baru. Semarang pada masa itu adalah
pusat perdagangan dan pelabuhan. Etnisnya
yang begitu beragam; Jawa,
Arab, China, Belanda. Rel kereta api pertama dibangun
di kota ini sejak 1867, untuk kepentingan militer dan memudahkan lalu lintas hasil
bumi. Kereta Api menjadi penghubung
antar kota yang mampu menyingkat
waktu tempuh perjalanan. Ia mendukung
interaksi antar manusia dan merekatkan perbedaan budaya yang sangat berbeda.
Fasilitas penunjang pemerintahan dan transportasi ini menumbuhkembangkan perekonomian setempat.
Pemilihan moda transportasi kereta api sebagai cap
dagang menggambarkan fungsinya sebagai simbol modernitas. Masuknya wingko ke
Semarang jelas terbantu oleh kereta api uap, sebuah teknologi modern ketika
itu. Demikian pula dengan wingko kereta api lain yang berlomba tampil paling
mutakhir mengikuti zaman. Semata
untuk menunjukkan wingko kereta api terbaru lebih unggul dan lebih modern dari
pada wingko kereta api D. Mulyono. Baik dari nama maupun ilustrasinya, dari
embel-embel “diesel” sampai “eksekutif”, dari “gaya baru malam” hingga “senja
utama.”
Uniknya, bila mau disanggah, penamaan
produk makanan yang empuk dan manis ini tampak tak sesuai dengan karakter kerasnya
besi, bahan pembentuk kereta api. Namun kenikmatan wingko babad ini nyatanya berasosiasi
dengan kecepatan dan kenyamanan kereta api. Ilustrasi
simbolik kereta api yang sederhana ini nyatanya adalah
imbas sekaligus berkah dari keterbatasan baca tulis masyarakat umum di awal
munculnya wingko.
Pasca somasi yang dilayangkan Ny Sinata,
pemilihan moda transportasi lain menjadi alternatif untuk mengganti nama produk
mereka. Cap dagang-cap dagang berikut adalah yang berbeda total; Pesawat Jet,
Bus, dan Kapal Laut, kurang lebih memiliki filosofi yang serupa dengan kereta
api di awal kehadirannya, yaitu pernah menjadi yang tercepat dan ternyaman pada
masanya. Modernitas menuntut efisiensi kehidupan, efisiensi menuntut kecepatan.
Cepat dan nyaman = nikmat. Inilah fungsi
simbolik pertama.
sumber: kulinerenak.com |
Makna
simbolis ketiga mewakili aspek jenis pengalaman produsen
yang mendasari mereka memilih nama produk yang sangat berbeda. Seperti; cap
dagang Cakra, Mangga Dua, dan merk Dyriana. Pemilihan
nama cap dagang Cakra dilatarbelakangi karena
produsen wingko menyukai
kisah pewayangan. Cap dagang Mangga
Dua, karena produsen terkenang area tempat ayahnya bekerja ketika merantau ke Jakarta (Mangga Dua adalah nama suatu daerah di Jakarta).
Sedangkan cap dagang Dyriana hadir semata karena memang
ingin berbeda saja. Ketiganya sama ingin tampil beda dengan kereta api dan
transportasi. Mereka juga ingin
dikenal sebagai yang pertama. Pada dasarnya modernitas kategori ketiga kemasan
wingko ini dicirikan tiga hal: subyektifitas (manusia sadar
diri sebagai
pusat realita), kritik (artiya bebas dari tradisi, tidak terikat kultur), dan kemajuan
(sadar waktu tidak kan
terulang). Ketiga ciri ini mewarnai
masing-masing cap dagang tersebut.
Dilihat dari sisi pragmatis kemasan, modernitas menyinggung antara
lain mengenai pilihan bahan pembungkus wingko sendiri yang terbuat dari kertas. Secara teori kemasan harus ekonomis,
ergonomis, distributif, memuat identitas sekaligus promosi, juga estetika dan jika perlu
kemasan dapat memenuhi fungsi ekspresi nilai budaya setempat yang justru makin terlupakan. Pemakaian kertas telah menunjukkan
sebuah kemajuan, jauh meninggalkan makanan
tradisional lain yang masih menggunakan daun pisang atau anyaman bambu. Mengikuti
prinsip form follows function (bentuk
mengikuti fungsi). Selain terjangkau, kertas juga efisien berkat bentuk kemasan berupa amplop mirip angpao.
Industri kertas yang sedang pesat didukung
industri cetak yang cukup maju pada saat itu (namun terbatas) membuat kertas
kemasan dapat sekaligus berfungsi sebagai media dicetaknya identitas produk,
yaitu nama cap dagang dan ilustrasi sentral. Kemasan wingko Dyriana bahkan terhitung yang paling
berani mendobrak kebiasaan pemakaian kertas HVS, dengan kertas jenis yuvo yang dicetak full
color berbentuk sachet
yang licin dan tebal, demi menjamin wingko lebih tahan
lama.
Dalam ilustrasi, teknis penggarapannya dapat menjadi patokan untuk mengukur modernitas. Cap Tiga Kelapa Muda merupakan
salah satu yang diolah dari foto dan tampil monokrom. Dari segi ilustrasi latar, kemasan awal kepunyaan
cap Kereta Api D. Mulyono awalnya
memakai garis-garis bergelombang yang kemudian ditiru oleh cap dagang lain. Lucunya
begitu cap Kereta Api mengubah latar
belakang kemasan menjadi bercak-bercak tipis, kompetitor juga mengikutinya.
Adapun ilustasi latar cap Stasiun
Lokomotif mengingatkan susunannya yang mirip efek hologram.
Secara total dari 1958 hingga 2010, pengubahan
yang terjadi pada desain kemasan wingko babad
tidak begitu besar. Ada kecenderungan penggunaan ilustrasi berupa moda transportasi yang diambil
dari sisi perspektif, ada pula yang menampilkan
modernitas teknologi transportasi
yang paling baru, hingga
desain kemasan dengan ikon buah mangga dan kelapa yang berani menegaskan diri bahwa mereka berbeda dari cap dagang yang
telah mapan sebelumnya. Kemasan juga rata-rata masih
sangat mengandalkan desain yang sangat simbolik dan setia pada pionirnya. Meski
begitu, patut dihargai bagaimana upaya masing-masing produsen untuk tampil di hadapan konsumen dengan klaim sebagai
yang pertama (pionir), yang terdepan (secara kualitas),
dan ternikmat (paling asli) berkat berragam trik visual tersebut.
Oh, btw. Tolong hargai penulis dan juga penelitinya dengan memberi kredit kepada yang berhak. Terima kasih.
1 komentar:
bagi rekan-rekan yang ingin merasakan atau pesan online wingko babat asli cap kereta api bisa order ke saya,
pengiriman akan menggunakan TIKI, dengan paket ONS.
bisa juga cek lapak ane di kaskus gan.
bisa kontak saya. 081805965149 atau di bb, PIN 2A716559
Posting Komentar