Mencari Hilal Sampai Kapan
Suatu hari di masa depan,
mustahil umat Islam masih perlu melihat hilal untuk membuktikan datangnya bulan
baru. Sungguh bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi manusia untuk punya koloni baru di planet
lain. Tengok deh bagaimana antusiasnya para penggila sci-fi dan pencinta
angkasa ketika menonton Interstellar
(dan film sci-fi lain: Star Wars/Trek)
atau di kala membaca berita kunjungan ke Pluto untuk pertama kalinya bagi sejarah
manusia, atau bagaimana kemungkinan kunjungan ke Mars dan Europa (satelitnya
Jupiter). Pencarian planet layak huni selain bumi sebagai “rumah baru” masih
terus dilakukan. Hanya soal waktu sampai manusia benar-benar bisa melakukan apa
yang selama ini disimulasikan dunia fiksi populer. Meski jaraknya sangat jauh
dan jelas tidak akan terjadi dalam generasi kita bahkan cucu-cucu. Jika manusia
sudah tidak hidup di bumi, bagaimana kita akan melihat bulan? Apa perlu
mengirim manusia kembali ke bumi hanya untuk menatap hilal? Demi keotentikan perintah
agama?
Sebenarnya pertanyaan ini
mengarah ke pertanyaan lebih besar. Benarkah agama Islam dengan seluruh
perangkat ibadahnya adalah agama bagi alam semesta atau hanya berorientasi ke
planet bumi sebagai tempat manusia bernaung hingga saat ini? Apa ini berarti manusia
tidak boleh pergi dari Bumi? Pasalnya dua ibadah utama dalam Islam amat sangat
berorientasi pada bumi, bulan, dan perputarannya terhadap matahari. Mulai dari
sholat hingga puasa.
Ah, CJ, ini mah sudah pagi. Bukan pas sore lagi. Udah buruan sholat Ied sana! |
Untuk sholat, umat Islam secara
umum (bahkan yang sangat keras berkeyakinan harus hilal untuk menentukan awal/akhir
bulan Qomariyah) sudah tidak perlu lagi mengamati tanda-tanda fisik terkait kemiringan
matahari terhadap permukaan Bumi. Kenapa? Berhubung sekarang sudah ada jam.
Karena waktu sholat sejatinya berdasarkan ciri inderawi yang amat berkaitan
dengan bumi dan matahari. Contoh, deskripsi waktu sholat maghrib adalah sejak
dari matahari tenggelam hingga hilangnya warna kemerahan di ufuk barat.
Bagaimana bisa mengamati matahari jika mendung tebal menutupi pandangan atau
masihkah ada yang mau repot mengamati apakah langit masih memerah atau tidak,
sebelum kemudian memutuskan bahwa saat itu masih merupakan waktu sholat?
Teknologi jam amat sangat membantu dengan mengonversi ciri fisik ini dalam
bilangan waktu. Teknologi yang tidak ada di zaman Rasulullah.
Untuk puasa kasusnya jadi jauh
lebih unik. Kemajuan ilmu falak tentu perlu diperhitungkan. Bagaimana kasusnya
dalam situasi seperti itu? Apakah sholat tetap lima kali dalam sehari?
Bagaimana dengan puasa dalam perjalanan luar angkasa? Masalahnya kan sudah
tidak ada malam ataupun pagi hari. Apa puasa tetap 12 jam dalam hitungan hari yang
tetap 24 jam? Jika manusia benar-benar bisa bikin koloni baru di planet lain. Ambil
contoh, Mars. Jalannya hari pun akan berbeda. Satu hari di sana beda dengan
satu hari di bumi, satu tahun di sana pasti beda dengan bumi. Dan masih banyak
pertanyaan lain. Intinya jelas kita sudah terputus dengan bumi sebagai
orientasi syariat Islam. Jika ibadah tetap mengikuti konversi waktu bumi, maka
tidak perlu repot melihat apakah matahari di bumi sudah tenggelam. Atau apakah
bulan di bumi sudah masuk bulan baru atau belum. Padahal kumpulan ulama
berpendapat bahwa ibadah sholat dan puasa sifatnya adalah lokal-regional. Buktinya
tanda waktu sholat Maghrib saja mengikuti wilayah masing-masing.
Lebih rumit lagi adalah. Untung
bulan di Bumi cuma satu! Coba kalau Bumi punya bulan sebanyak Jupiter atau Saturnus
yang sejauh ini terhitung lebih dari 60 buah. Bulan mana yang mau dipakai
sebagai ketentuan penanggalan Qomariyah? Apa gak lebih runcing konfliknya? Tidak
usah ke planet gas-giant deh, karena gak
bisa ditempati. Mars saja punya dua satelit yang jika sampai manusia hidup di
sana maka entah bulan mana yang mau dijadikan patokan hilal.
Perintah dan syariat Islam
terkait ibadah baik itu ayat Al Quran dan hadits turun bertahap sedikit demi
sedikit sesuai konteks dan zamannya. Ini dapat berarti bahwa perlu ada
penyesuaian dalil. Dan itu mesti dipikirkan bersama namun tetap dengan mengedepankan
kemerdekaan interpretasi. Bukan dengan memaksa dan mengaku diri yang paling benar.
Barangkali memang eloknya adalah keanekaragaman versi awal-akhir bulan
Qomariyah dari berbagai kelompok harus dihormati bukan cuma dihujat tanpa ujung.
Katanya kita ini manusia-manusia toleran, iya?
Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan
Ketikan ini juga diunggah di Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar