Hampir Sebulan Puasa di Sumberrejo Bojonegoro
Ketikan di sini adalah pengalamanku sewaktu berpuasa di Sumberrejo. Belum sempat diunggah hingga Juli 2019 ini.
Ini kali kedua aku jauh dari rumah saat bulan puasa. Pertama di Jakarta, dan kini di Sumberrejo, sebuah kota kecamatan di Bojonegoro Jawa Timur, wilayah yang amat jarang masuk pemberitaan media mainstream nasional, tempat kerja baruku. Dan seperti lumrahnya orang yang ngekos, ada saja kendala dan kebahagiaan tersendiri yang aku alami selama 21 hari di sana.
Mari kita buka dari nikmatnya. Di sumberrejo secara kebetulan aku tinggal dekat Masjid At Taqwa Muhammadiyah yang berada dalam komplek sekolahan Muhammadiyah. Di mana khotib berkhotbah dengan ringkas dan imam-imam sholatnya berkualitas top notch, dengan bacaan enak didengar, dan jauh dari separo akhir Juz Amma, kecuali Qul hu (Al-Ikhlas).
Di masjid ini pula setiap jelang berbuka ada takjil gratis bagi jamaah Maghrib dan pengajian yang selalu digelar setiap sore.
Takjil ini cukup serius meski tidak se-wah masjid-masjid kenamaan di Jogja yang menunya kerap disebar-sebar via medsos. Di masjid Sumberrejo, ada dua jenis takjil nasi. Satu yang berbungkus kertas nasi dan satu lagi yang berwadah kotak steriofoam. Jumlahnya pun melimpah, kadang turah turah. Kadang ada jamaah yang bisa mengantongi dua buah.
Menunya berganti dan beragam. Umumnya nasi dalam kotak steriofom lebih mewah dan lebih besar porsinya. Sementara nasi berbungkus kertas lebih sedikit dan lauknya masih di bawah yang satunya, walau tidak selalu demikian. Dari tempe, tahu, atau telor, hingga daging-dagingan: ayam, [kare] kambing, dan ikan.
Kekurangannya adalah tidak ada nasi rames di Sumberrejo. Setidaknya pas bulan puasa warung yang biasanya jualan ramesan tutup, begitu menurut salah satu rekan kerja. Sebenarnya pangkal kesusahanku pada ketiadaan warung ramesan adalah ketiadaan sayur mayur matang. Bukan gimana-gimana sih, sayur, maksudku kandungan serat pada sayur sangat membantu pengeluaran jalur belakang.
Di rumah aku sudah biasa malahap sayur masakan Ibu, dari yang paling sederhana (kukusan + sambel pecel, itupun jika ada sambel pecelnya), sop, kuah-kuahan bening maupun bersantan, hingga yang paling kompleks: oseng-oseng.
Kalau pun ada yang mirip ya hanya bisa ditemui di nasi takjil. Kadang tersedia sayuran walau seuprit. Yang sering kujumpai adalah sayur urap atau sup yang wortelnya dipotong memanjang/melintang. Pernah ada sayur yang mirip sayur asem, hanya saja rasa asem-nya ekstra. Tidak seperti masakan rumahku yang asemnya semu, di sini beneran asem >.<.
Karena itu aku mengganti keminiman sayur dengan buah-buahan. Secara bukan kebetulan, penjual buah bergerobak kaki lima berjejeran di tepian pasar Sumberrejo. Sayangnya, tidak ada buah kesukaanku: pisang. Kenapa? Gak tahu, tapi hanya sekali aku pernah melihatnya di pasar bagian dalam, bukan di bagian khusus penjual buah (itu pun kelihatan dari jenis yang kurang lezat). Apa mungkin karena pisang kebanyakan dibuat kripik dan ledre?
Yang tersedia hanya berkisar pada jeruk, salak, apel, pir, dan pepaya. Pepaya adalah buah favoritku nomor dua tapi pepaya lekas busuk bila tidak disimpan di kulkas. Dan karena aku bukan, mungkin belum menjadi, pengekos elite yang punya kulkas, maka aku menghindari pepaya. Apalagi pepayanya buesar buesaar. Lingkarnya lebih besar dari rata-rata kepala orang dewasa.
Akhirnya pilihan jatuh pada pir, buah yang lumayan aku gemari, tinggi kandungan air dan cukup kaya serat.
Nah, aku belinya pindah-pindah, dengan tujuan mencari mana yang memberi harga paling murah. Belinya juga paling pol cuma 2 butir, karena cuma kumakan sendiri, aku tidak mau mubazir, dan jaga-jaga kalau sampai bosen. Dari empat tempat, semuanya memberi harga berbeda-beda. Sampai akhirnya ada yang memberi harga Rp. 12 ribu untuk 2 butir, lalu ketika aku kembali ke situ lagi, si Ibu pedagang memberi harga Rp. 10 ribu. Jadilah aku auto-pelanggan. Mana dua kali pula diberi bonus masing-masing jeruk [lokal] dua buah dan salak tiga bongkah. Makasih Bu.
Tapi, sisa krikitan buah pir menimbulkan masalah. “harus kubuang kemana sisa pir ini?”
Gini, di rumah aku sangat peduli dengan isu lingkungan hidup, ngerti kan sampah organik dan plastik? Sampah plastik yang basah dan jelek biasanya dibakar, yang botol-botol dan perkakas jebol dijual ke rosok-rosok (penjual/pembeli rongsokan), yang plastik dan kresek kering diserahkan ke bank sampah dusun. Sedangkan sampah organik (sampah dapur, termasuk sisa buah) dilempar ke bawah pepohonan supaya jadi pupuk sekaligus jadi bonus makanan untuk ayam-ayamku.
Di kos-kosan semi urban macam gini kemana mau kubuang sisa buah-buahan? Jika kulempar ke bak sampah, kan malah bikin bau, karena isi bak sampah tidak akan segera diangkut sebelum penuh. Dan aku cukup yakin sampah demikian akan dibawa ke tempat pembuangan akhir dan berkontribusi terhadap aroma busuk lokasi tersebut.
Tiba-tiba, atau lebih tepatnya seolah-olah, kebun tidak jelas dan tampak tak terawat di seberang kos bersinar benderang (padahal malam loh). Kebun yang cukup luas itu ditumbuhi semak dan pohon-pohon pisang dibentengi tembok tinggi, tapi…masih kalah tinggi dibanding kamar kosanku di lantai 2.
Jadilah sejak itu aku melempar sisa buah pir ke kebun tersebut. Setidaknya kan bisa jadi pupuk, bagus lagi kalau biji pir itu tumbuh jadi pohon. Biar pemilik kebun bertanya-tanya, sekalian bersyukur, “kok bisa Ya Allah ada pohon pir di kebunku? Alhamdulillah…”
Iya, alhamdulillah. Aku juga bersyukur, atau setidaknya merasa lebih baik karena walau telah membuang sampah sembarangan namun dibungkus niat mulia. Itu mulia kan?
Ini kali kedua aku jauh dari rumah saat bulan puasa. Pertama di Jakarta, dan kini di Sumberrejo, sebuah kota kecamatan di Bojonegoro Jawa Timur, wilayah yang amat jarang masuk pemberitaan media mainstream nasional, tempat kerja baruku. Dan seperti lumrahnya orang yang ngekos, ada saja kendala dan kebahagiaan tersendiri yang aku alami selama 21 hari di sana.
Mari kita buka dari nikmatnya. Di sumberrejo secara kebetulan aku tinggal dekat Masjid At Taqwa Muhammadiyah yang berada dalam komplek sekolahan Muhammadiyah. Di mana khotib berkhotbah dengan ringkas dan imam-imam sholatnya berkualitas top notch, dengan bacaan enak didengar, dan jauh dari separo akhir Juz Amma, kecuali Qul hu (Al-Ikhlas).
Bangunan yang belum jadi itu masjidnya. Lantai terbawah digunakan untuk sholat |
Di masjid ini pula setiap jelang berbuka ada takjil gratis bagi jamaah Maghrib dan pengajian yang selalu digelar setiap sore.
Takjil ini cukup serius meski tidak se-wah masjid-masjid kenamaan di Jogja yang menunya kerap disebar-sebar via medsos. Di masjid Sumberrejo, ada dua jenis takjil nasi. Satu yang berbungkus kertas nasi dan satu lagi yang berwadah kotak steriofoam. Jumlahnya pun melimpah, kadang turah turah. Kadang ada jamaah yang bisa mengantongi dua buah.
Menunya berganti dan beragam. Umumnya nasi dalam kotak steriofom lebih mewah dan lebih besar porsinya. Sementara nasi berbungkus kertas lebih sedikit dan lauknya masih di bawah yang satunya, walau tidak selalu demikian. Dari tempe, tahu, atau telor, hingga daging-dagingan: ayam, [kare] kambing, dan ikan.
Takjil berbungkus daun pisang dan kertas, enak kok |
Nasi dalam kotak steriofoam |
Kekurangannya adalah tidak ada nasi rames di Sumberrejo. Setidaknya pas bulan puasa warung yang biasanya jualan ramesan tutup, begitu menurut salah satu rekan kerja. Sebenarnya pangkal kesusahanku pada ketiadaan warung ramesan adalah ketiadaan sayur mayur matang. Bukan gimana-gimana sih, sayur, maksudku kandungan serat pada sayur sangat membantu pengeluaran jalur belakang.
Di rumah aku sudah biasa malahap sayur masakan Ibu, dari yang paling sederhana (kukusan + sambel pecel, itupun jika ada sambel pecelnya), sop, kuah-kuahan bening maupun bersantan, hingga yang paling kompleks: oseng-oseng.
Kalau pun ada yang mirip ya hanya bisa ditemui di nasi takjil. Kadang tersedia sayuran walau seuprit. Yang sering kujumpai adalah sayur urap atau sup yang wortelnya dipotong memanjang/melintang. Pernah ada sayur yang mirip sayur asem, hanya saja rasa asem-nya ekstra. Tidak seperti masakan rumahku yang asemnya semu, di sini beneran asem >.<.
Karena itu aku mengganti keminiman sayur dengan buah-buahan. Secara bukan kebetulan, penjual buah bergerobak kaki lima berjejeran di tepian pasar Sumberrejo. Sayangnya, tidak ada buah kesukaanku: pisang. Kenapa? Gak tahu, tapi hanya sekali aku pernah melihatnya di pasar bagian dalam, bukan di bagian khusus penjual buah (itu pun kelihatan dari jenis yang kurang lezat). Apa mungkin karena pisang kebanyakan dibuat kripik dan ledre?
Yang tersedia hanya berkisar pada jeruk, salak, apel, pir, dan pepaya. Pepaya adalah buah favoritku nomor dua tapi pepaya lekas busuk bila tidak disimpan di kulkas. Dan karena aku bukan, mungkin belum menjadi, pengekos elite yang punya kulkas, maka aku menghindari pepaya. Apalagi pepayanya buesar buesaar. Lingkarnya lebih besar dari rata-rata kepala orang dewasa.
Akhirnya pilihan jatuh pada pir, buah yang lumayan aku gemari, tinggi kandungan air dan cukup kaya serat.
dua pir cukup, begitulah pesan KB (keluarga buah-buahan) |
Nah, aku belinya pindah-pindah, dengan tujuan mencari mana yang memberi harga paling murah. Belinya juga paling pol cuma 2 butir, karena cuma kumakan sendiri, aku tidak mau mubazir, dan jaga-jaga kalau sampai bosen. Dari empat tempat, semuanya memberi harga berbeda-beda. Sampai akhirnya ada yang memberi harga Rp. 12 ribu untuk 2 butir, lalu ketika aku kembali ke situ lagi, si Ibu pedagang memberi harga Rp. 10 ribu. Jadilah aku auto-pelanggan. Mana dua kali pula diberi bonus masing-masing jeruk [lokal] dua buah dan salak tiga bongkah. Makasih Bu.
Tapi, sisa krikitan buah pir menimbulkan masalah. “harus kubuang kemana sisa pir ini?”
Gini, di rumah aku sangat peduli dengan isu lingkungan hidup, ngerti kan sampah organik dan plastik? Sampah plastik yang basah dan jelek biasanya dibakar, yang botol-botol dan perkakas jebol dijual ke rosok-rosok (penjual/pembeli rongsokan), yang plastik dan kresek kering diserahkan ke bank sampah dusun. Sedangkan sampah organik (sampah dapur, termasuk sisa buah) dilempar ke bawah pepohonan supaya jadi pupuk sekaligus jadi bonus makanan untuk ayam-ayamku.
Di kos-kosan semi urban macam gini kemana mau kubuang sisa buah-buahan? Jika kulempar ke bak sampah, kan malah bikin bau, karena isi bak sampah tidak akan segera diangkut sebelum penuh. Dan aku cukup yakin sampah demikian akan dibawa ke tempat pembuangan akhir dan berkontribusi terhadap aroma busuk lokasi tersebut.
Tiba-tiba, atau lebih tepatnya seolah-olah, kebun tidak jelas dan tampak tak terawat di seberang kos bersinar benderang (padahal malam loh). Kebun yang cukup luas itu ditumbuhi semak dan pohon-pohon pisang dibentengi tembok tinggi, tapi…masih kalah tinggi dibanding kamar kosanku di lantai 2.
Jadilah sejak itu aku melempar sisa buah pir ke kebun tersebut. Setidaknya kan bisa jadi pupuk, bagus lagi kalau biji pir itu tumbuh jadi pohon. Biar pemilik kebun bertanya-tanya, sekalian bersyukur, “kok bisa Ya Allah ada pohon pir di kebunku? Alhamdulillah…”
Iya, alhamdulillah. Aku juga bersyukur, atau setidaknya merasa lebih baik karena walau telah membuang sampah sembarangan namun dibungkus niat mulia. Itu mulia kan?
0 komentar:
Posting Komentar