Cerita tentang Tawon dan Lebah
Belakangan ini aku
sudah banyak membunuh…tawon. Iya tawon, tawon yang warnanya coklat gelap
kemerahan itu loh. Aku gak yakin apa bahasa
Inggrisnya yang tepat, apakah wasp
atau hornet (tapi sepertinya wasp sih, itu loh monster yang nama-Jawanya
tawon endas).
tawon endhas tewas (koin 500 untuk pembanding ukuran) |
Jadi ceritanya beberapa malam lalu aku berpapasan dengan satu ekor. Besar lagi legam. Dia bersembunyi di korden pintu kamar kerjaku, entah dari mana si motherfucker ini masuk dan ada keperluan apa, mengapa pula dia tidak punya sopan santun larut begini menggangguku.
Dengan sigapnya aku menggerakkan
kepala sedikit untuk menghindarinya. Sumpah, cara ini sangat ampuh memberitahu
si tawon bahwa aku-kamu adalah makhluk hidup yang not to be mess around with. Si tawon biasanya akan mengerti dan
akan memilih terbang menjauh.
Insting orang yang
belum aware (alias ngeh) adalah mengibaskan tangan ke arah
tawon. Ini kesalahan besar. Sebab jika tanganmu menaboknya maka yakinlah dijamin
99% si tawon yang sok innocent itu
bakal menyengatmu…di sekeliling kepala (itu sebabnya mereka disebut tawon endas kan?).
Andaikata ini terjadi. Pertolongan
pertama yang ampuh pada kasus sengatan tawon adalah melumatkan bunga lalu mengusapkannya
pada bagi tubuh yang disengat. Dan gak usah coba-coba disusul dengan joke garing Bunga Citra Lestari atau
bahkan Bunga Sejuk Segar (wisudawati UGM yang lulus bareng 2018 kemarin, ck aku ingat terus namanya). Kalau
mengusap-usap mereka mah bisa
diperkarakan aku.
Bunga yang ku maksud
adalah sebagaimana yang sepakati sebagai bunga oleh orang-orang. Bunga yang
merupakan bagian dari tumbuhan, bunga yang terdiri dari putik, serbuk sari,
mahkota, kelopak, dll., yang tak lain organ reproduksi tumbuhan.
Jadi teknik ini semacam
mengusapkan alat kelamin mereka ke kita. Pikirkan ini lagi ketika manusia
membudayakan menghirup wangi bunga, sebenarnya sama dengan menghirup alat kelamin.
Bukankah kita jadi lebih bisa mengapresiasi apa yang dilakukan bintang bokep
setelah membaca ini?
Eniwei,
aku pelajari pengobatan ini dari simbah putri. Ketika pada suatu siang di masa
kecil aku secara reflek menabok tawon yang usil mengitari kepalaku. Si tawon
itu serta merta mendaratkan jarum pantat keparat itu di belakang telingaku. Rasa
perih itu langsung menguar. Melihat itu beliau segera memetikkan bunga
(sepertinya bunga terompet warna pink) dan memerintahkan kepadaku untuk menggosokkannya.
Ajaib, rasa sakitnya
langsung hilang. Lebih mujarab daripada minyak gosok ataupun balsem. Dalam beberapa
hari saja bengkaknya sudah lenyap.
Kembali ke situasi
malam di parapraf ketiga. Di terang hari (maksudnya pagi-sore) tawon akan
segera menjauhimu dan mencari pintu keluar bila kamu menggunakan trik tadi
(menggerakkan kepalamu menghidari si tawon). Tapi di malam hari, di dalam ruangan,
sementara aku masih butuh menggarap sesuatu di kamar. Maka tiada pilihan lain,
si Tawon perlu dieliminir.
Pilihan untuk itu tidak
banyak, racun serangga semprot atau api (kertas dibakar atau pakai lilin, mereka
kan takut api).
Yang terdekat adalah
racun serangga. Sayangnya tawon jenis ini tergolong tough bastard. Tidak seperti another
prick kecoa alias coro yang bisa
langsung teler dalam satu kali semprot. Si Tawon lazimnya butuh lebih dari lima
semprot sebelum berkelonjotan (tapi aku sendiri pernah mencoba hanya
menyemprotkan sekali saja ke si tawon. Tetap mati dianya, tapi butuh waktu yang
lebih lama. Lamaaa sekali), seperti yang aku lakukan malam itu.
Tentu saja aku sadar
bahwa setiap makhluk (mati maupun hidup) masing-masing punya perannya dalam
ekosistem, dalam rantai makanan. Tapi astaga, kenapa juga sengatan mereka mesti
sepedih itu juga? Kenapa pula mereka tidak langsung tewas seperti lebah madu yang
perutnya robek akibat kehilangan sengat, membuat mereka menjadi martir. Kenapa mereka
masih bisa mabur kabur dengan sempurna sementara orang yang disengatnya terkapar
dan meringis?
Sialnya ini pula yang sering
bikin aku tidak merasa terlalu bersalah ketika membunuhi mereka. Malahan agak
lumayan puas, karena mereka…hmm…seperti semboyan yang beredar luas di internet,
wasps are asshole, while bees are good,
bukankah demikian?
Ayamku saja secara
instingtif emoh melihat bangkai tawon. Karena mereka tahu bahwa bahkan saat
sudah matipun, tawon tetaplah asshole till
die. Beda dengan jenis serangga lain yang bisa jadi kudapan mereka seperti jangkrik,
belalang, atau bahkan kecoa.
Namun nyatanya ketika
kita (baiklah, aku) membunuh tawon maka itu suatu kerugian bagi semesta
ekosistem, karena konon kita bisa berjumpa dengan serangga yang lebih jelek
lagi: lalat hijau dan ulat hama. Tanpa tawon kita akan menghadapi masalah hama
pertanian. Itu karena mereka adalah predator bagi hama.
Beda dengan koloni lebih
madu yang begitu baiknya menyediakan madu melebihi kemampuan mereka sendiri
untuk menghabiskannya.
Dulu sewaktu masih anak-anak,
sewaktu kami masih tinggal sebuah rumah dinas di Singaraja, Bali. Di salah satu
sudut luar belakang rumah, tepatnya di bawah atap rumah yang eternitnya jebol
terdapatlah sarang lebah madu liar. Kami tidak tahu persis kapan koloni itu
mulai bersarang di situ. Tahu-tahu sudah membesar saja (kira-kira lebarnya 1x1
meter).
Penghuninya pun tak
terhitung. Mereka berseliweran di belakang rumah. Disengat lebah madu sudah
biasa bagi anggota keluarga kami. Karena saking biasanya, rasanya tidak lagi
sakit untukku. Oke, masih tetap bikin bengkak sih. Tinggal diusap minyak angin juga
sembuh.
Aku tidak tahu dari
mana lebah-lebah pekerja tersebut menghisap nektar bunga, karena di kisaran
rumah tidak banyak tanaman berbunga. Tapi yang jelas mereka sering mengambil
air dari bak penampungan air (buat mencuci piring) yang juga ada di belakang rumah.
Kami tahu jika ada lebah sedang ‘minum’ maka otomatis kami menghindarinya atau
menunggu dia selesai dulu dengan urusannya.
kira-kira seperti ini (gambar ambil dari Fimela dari Google Search) |
Hingga pada suatu hari,
Bapak dan Ibu merasa bahwa sudah waktunya sarang lebah itu disingkirkan karena sudah
demikian mengganggu kenyamanan penghuni rumah. Pasalnya bukan saja kami yang kena
sengat, tapi tetangga juga.
Tetangga terdekat adalah anak-anak penghuni asrama
SLB-B (untuk bisu dan tulis/tuna wicara dan tuna rungu) seusia SD-SMP. Bukan bocah-bocah
yang punya akses mudah terhadap pengobatan terhadap sengatan lebah. Yang mereka
bisa lakukan adalah menangis kesakitan. Percayalah erangan anak bisu jauh lebih
tidak enak didengar.
Cerita adanya sarang
lebah madu liar pun menyebar di lingkungan. Maka datanglah orang yang memang sudah
terlatih untuk menyingkirkan (merusak?) sarang lebah. Seorang kerabat dari
kepala SLB. Dia menawarkan diri (setengah memaksa) untuk memanen madu dari
sarang lebah itu.
Kami sekeluarga menyaksikan
dari jarak 5-7 meter, bagaimana dia beraksi tanpa baju pelindung sama sekali. Pertama-tama
dia mengasapi sarang dengan bakaran dupa yang biasa digunakan untuk sembahyang sehingga
lebah-lebah itu jadi mabuk. Tapi itu toh tidak cukup mencegah beberapa lebah
merubungi tubuhnya.
Bapak dan Ibu sempat menduga
orang ini pakai ‘ilmu’. Maksudnya semacam ilmu kebal. Mungkin dengan merapal
mantra atau pakai jimat. Di Bali hal demikian bukan hal mengejutkan.
Sayangnya sebagai orang
yang ketempatan, kami hanya diberi sedikit dari madu yang dipanen. Seingatku satu
botol sirup ABC Squash (kedua orang tuaku
bilang kurang dari itu). Aku sendiri gak suka rasanya. Tetap manis sih tapi terlalu kasar. Banyak serpihan
sarang dan mungkin larva lebah.
Sama seperti sepupunya yang
mudah tersinggung, tawon, lebah terlebih yang liar (bukan diternakkan) pun juga
berperan vital terhadap kelangsungan rantai makanan.
Andai aku punya kuasa, aku
tidak akan mengganggu sarang mereka ketika itu. Aku akan memilih membiarkan mereka
hidup di belakang rumah dan berdampingan dengan kami.
Well, tetap beda kasusnya dengan tawon, asal mereka gak ganggu banget
mereka akan kubiarkan melanglang buana, tapi kalau sudah kelewatan jangan salahkan
jika kusemprot dengan racun serangga atau kubakar.
0 komentar:
Posting Komentar