Kaka Angkat(ku)
Rasanya kurang adil jika
setelah sekian lama nge-blog aku
tidak menulis tentang piaraan terbaik sepanjang masa menurut versiku sendiri:
ayam! Memang benar, ayam sebagai piaraan bisa dibilang kurang lazim di
Indonesia, dalam arti tidak “mainstream.”
Aku tidak menampik status ayam yang cenderung lebih dekat dengan label “ternak”
yang dikumpulkan dalam jumlah besar pada suatu kandang untuk diambil daging
atau telurnya. Sehingga wajar jika ada yang menganggapnya bukan peliharaan
karena tidak punya kepribadian yang luhur khas. Berangkat dari persoalan
ini aku hendak menunjukkan bahwa ayam pun sebenarnya berbeda-beda antara satu
dengan lainnya *bahasanya sok akademis ya?*. Pada level inilah ketikan hendak
berposisi, yaitu untuk membela para ayam dan terlebih lagi para pemelihara
ayam. Camkan itu (dengan tanda seru tiga kali).
Pada ketikan kali ini aku mau
ngomongin salah satu ayamku yang kelakuannya cukup unik, seekor ayam betina
berusia 1 tahun 3 bulan yang kuberi nama Kaka’
Angkat (Kaka’). Nama yang terdengar
aneh apalagi untuk binatang. Tapi ada alasan kenapa kuberi nama begitu.
Kaka' Angkat usia 5 bulan |
Kaka’ terhitung yang paling
senior di klan Kiap (nama ayam jago
yang kupelihara mulai 2013 tapi sudah dijual awal 2015). Menetas sekitar bulan
Oktober 2014, Kaka’ adalah keturunan satu-satunya yang tersisa dari mama ayam
bernama Nade (jenenge walikan seko Edan).
Hingga saat ini tidak diketahui pejantan mana yang sudah membuahi Nade dan
kurasa itu berpengaruh terhadap perkembangan psikologisnya *ayam punya
psikologis?*.
Tapi sebelum lebih jauh ada
baiknya aku perkenalkan dulu si Mama Nade, induknya Si Kaka’. Nade bersama
rekannya Tiam (yang juga betina) dihibahkan
Pakdeku yang tinggal di Temanggung. Kenapa mesti jauh-jauh dari Temanggung? Karena
sejarah. Sekitar tahun 1996 keluarga kami memulai memelihara ayam dengan modal
empat ekor ayam dari orang yang sama. Keempat ayam ini tingkah lakunya baik,
jinak, dan tidak sombong. Mereka tumbuh dan beranak pinak hingga kami berhenti
memelihara ayam sekitar 2007. Atas pertimbangan inilah Nade dan Tiam diimpor ke
rumah untuk menemani Kiap yang lebih sering nunut tidur di kandang tetangga karena
gak punya teman.
Terbiasa berada di pekarangan
terbuka (mungkin) membuat Nade dan Tiam stres berat ketika pada suatu malam
“diculik” ke Jogja selama 2 jam lebih perjalanan bermobil dalam sebuah dus mi
instan. Sampai di Jogja, keduanya langsung kabur sambil berkokok-petok dan segera
menghilang dari pandangan dengan cepat.
Si Nade (alias Edan) nyemplung di kerdus |
Selang dua bulan kemudian Tiam akhirnya
balik ke rumah dibawa pulang oleh Si Kiap, tapi tidak dengan Nade. Setidaknya
selama dua kali masa bertelur Nade berkeliaran tanpa tuan. Dia terlunta-lunta dan
menjadi ayam tuna kandang yang senantiasa ketakutan bila berpapasan dengan
manusia. Hingga pada suatu pagi Nade kembali bersama seekor bayi ayam. Bayi
ayam inilah Si Kaka’. Kesempatan ini tak kusiakan, keduanya berhasil dikurung
saat itu juga, dan langsung kupisahkan.
Diasuh oleh induk yang agak
gila membuat kelakuan Kaka’ (yang saat itu belum bernama) nyaris sama gilanya.
Setiap didekati dia akan meloncat-loncat dan berlari menabrak dinding kandang. Ayam
adalah makhluk yang gesit. Percayalah, kau tidak mau berurusan dengan mereka kalau
tingkahnya liar. Keadaan ini memaksaku menerapkan metode punish and discipline untuk pertama kali dengan cara melakban kedua
kakinya, menyisakan sedikit ruang antara kaki kanan-kiri hanya untuk berjalan
namun tidak cukup untuk berlari dan mencakar tanah. Metode ini berhasil
menaklukkan Kaka’. Dia pun memulai hidupnya di klan Kiap dengan jauh lebih
tenang dan tidak lagi takut kepada manusia. Sementara induknya Si Nade, sudah
terlambat untuk itu. Dia dijual bersama Kiap ketika wabah penyakit merebak Februari
2015.
Demi memaksimalkan pertumbuhan
ayam-ayamku dan menjaga peluang hidup mereka, aku membatasi masa pengasuhan
bayi-bayi ayam oleh induknya hanya selama dua minggu setelah menetas.
Untuk itulah Kaka’ kujadikan
satu kandang bersama empat ekor bayi ayam anaknya Tiam dan Kiap, atau dengan
kata lain mereka sepupuan. Keempat bayi ayam ini rupanya belum siap dipisahkan
dari si induk, Kaka’ yang waktu itu lebih tua 1 bulan mengambil alih peran si
induk dengan merawat keempatnya. Saat malam tiba Kaka’ membiarkan keempat
sepupunya menyusup di balik sayapnya biarpun badan Kaka’ hanya sedikit lebih
besar. Kaka’ juga mencarikan (mencakari tanah) dan menawarkan makanan yang dia
dapat/temukan kepada adik-adik sepupunya. Sejak itulah secara resmi Kaka’
mendapatkan namanya: Kaka’ Angkat, yaitu kakak angkat bagi ayam-ayam lainnya.
Kaka' (2 bulan) dan adik-adik (sepupu)nya |
Tapi keunikan Kaka’ Angkat belum
berhenti di situ. Keunikan yang membikin hubunganku dengan Kaka’ naik turun.
Kadang dia lucu dan menggemaskan, seringnya sih menyebalkan. Kadang aku curiga
bahwa Si Kaka’ ini dulunya adalah manusia. Manusia yang terlahir kembali
menjadi ayam. Tapi itu cerita buat postingan selanjutnya.
4 komentar:
Oi oi mas...
ayamku namanya Capek. sungguh bukan gurauan, dia dinamai Capek karna tabiatnya sewaktu kecil sering terlihat lelah. bahkan Neli sudah kuperkenalkan padanya, walau melalui media digital.
Aku baru belajar kalau nama ternyata benar-benar doa. Berapa hari lalu ayamku yang namanya Sickly (soalnya dia kelihatan sakit dan susah makan) mati setelah sebulan lebih kuopname. Jadi Si Capek mungkin bakal selamanya capek. Coba diganti namanya jadi Hemaviton atau Kratingdaeng, siapa tahu jadi energik.
Mana mas cerita ayam yang namanya Eded.. kami menunggu lhoo..
Oke, biar aku wawancara dulu sama Si Eded.
Posting Komentar