Menyoal Pertanyaan Under Pressure Pada Saat Wawancara Kerja
Untuk di ITS Surabaya ini aku sudah lulus Tahap Pertama (TKD tapi pake kertas dan pensil 2B) bersama 6 orang lain. Nah, pada saat Tahap Kedua (wawancara dengan Prodi, microteaching, psikotes, dan TOEFL--khusus yang terakhir ini aku cukup yakin skornya bagus) inilah yang waktunya berbarengan dengan tes di kampus ITU.
Dengan segenap pertimbangan, satu di antaranya dari orang tua, aku jalani serangkaian tes Tahap Kedua di ITS yang makan sampai 3 hari itu. Kenapa? Karena nama ITS lebih mentereng dibandingkan kampus ITU, sehingga asumsinya akan lebih baik kondisi kerjanya. Semuanya benar-benar tanpa persiapan. Termasuk dari segi baju. Aku cuma bawa satu setel, karena mengira akan ngelaju saja Surabaya-Bojonegoro (tinggal di situ aku, bro). Tapi kemudian memilih ngehotel saja selama 2 malam yang rate semalamnya kurang dari Rp. 200 ribu dekat-dekat ITS.
Gimana dengan kampus ITU? Aku dapat nomor kontak HRDnya dari email. Dari situ aku hubungi si-Mbaknya dan meminta penundaan tes jika memungkinkan, dan dijadwalkan ulang di hari terakhir tes TOEFL di ITS. Jadi aku bisa agak tenang.
Singkat cerita, setelah berkejaran dengan waktu, makan siang pake nasi dus mika dengan lauk telor dan sambel kentang yang kubeli di terminal, berdoa dalam hati agar bus ekonomi yang lambat jalannya bisa membawaku tepat waktu ke kota di mana kampus ITU berada, sampailah aku di sana. Si Kang Gojek sempet dihadang di gerbang masuk karena mereka dilarang masuk ke area kampus.
Aku pun jalan kaki ke gedung tempat aku akan menjalani tes. Cukup jauh dan menanjak pula, meksipun area kampus cukup rindang, tapi bikin keringatan. Ingat ya, aku gak bawa salin baju selain yang sudah kupakai sejak 3 hari lalu. Bisa dibayangkan aromanya macam mana.
Sehabis menjalani TPA (Tes Potensi Akademik) yang masya Allah angele pol-polan, karena isinya matematika semua (yang mana aku tidak yakin nilainya bagus). Aku menjalani micro teaching yang sudah kusiapkan (hanya 3 slide), disusul dengan wawancara.
Wawancara dimulai dari Pak Kaprodi yang malah seperti diskusi tentang bidang keilmuan dari Prodi yang kulamar (pastinya tahu prodi apa kalau menyimak juga tulisan lain di blog ini yang isinya materi kuliahku untuk kampus di Bojonegoro).
Wawancara kedua ini yang masih terngiang sampai sekarang, karena pakai bahasa Inggris. Sepertinya si penanya, si Ibu/Mbak(?) jadi dosen bahasa Inggris di kampus ITU. Sebetulnya aku bukannya sulit memahami pertanyaannya, tapi ngomongnya itu yang sulit karena nyais seluruh vocabulary-ku mendadak menguap ke awang-awang. Malah jadi gugup. Menurutku level berbahasa Inggris itu yang paling rendah dimulai dari: 1) reading (and understanding), 2) writing (with correct grammar), baru yang ketiga 3) speaking (also with correct grammar). Aku level 2 saja belum komplit.
Ini makanya TOEFL bukan standar yang akurat untuk menentukan kemampuan bahasa Inggris seseorang. Aku bisa mengerjakan TOEFL dengan skor cukup baik (waktu tes ACEPT UGM) karena mengerti trik-triknya, sehingga bisa tembus hanya dengan sekali tes.
Beberapa pertanyaannya khas wawancara kerja yang sudah ada semacam template-nya, seperti, "what's your greatest achievement?" atau "what's your greatest fear?" Ya Allah, sebel gak sih ditanyain pertanyaan copy-paste gitu? Memangnya jawaban apa yang dimaui pewawancara, ha? Ngubek-ngubek internet juga jawaban untuk pertanyaan ini bermacam-macam.
Disuruh jawab malah minta jawaban. Piye sih Mbak Jihan iki? |
Namun ada salah satu pertanyaan si Ibu/Mbak-nya yang bikin terhenyak (ciee, terhenyak) adalah "what are you going to do when you're under pressure?" (atau kurang lebih semacam ini pertanyaanya).
Yang sempat terlintas di pikiranku pada saat itu |
Aku sama sekali tidak menduga ada pertanyaan seperti ini. Hm, under pressure, dalam tekanan, di bawah tekanan. Apa yang kulakukan? Karena kombinasi dari tidak menduga, tidak memahami apa maksud under pressure, dan gugup dengan bahasa Inggris, aku menjawab (dalam bahasa Inggris terbatako-batako--level up-nya terbata-bata), "aku akan tetap mengerjakan pekerjaan meski di bawah tekanan, jika kesulitan aku akan mendatangi teman/kolegaku, bercerita kepada mereka, dan minta saran mereka."
Yep, that's probably my reaction to my own answer |
Toh, aku tetap bersyukur bukan hanya karena dua kampus tersebut masuk dalam wilayah zona merah pekat (zona hitam?) penularan Covid-19. Yang aku sendiri gak sanggup membayangkan bakal seperti apa kalau aku betulan kerja di sana, bisa cemas berat kedua orang tuaku. Tapi yang paling penting aku juga jadi belajar apa sih yang dimaksud under pressure dalam kerja itu.
Terus apa sih yang dimaksud under pressure pada saat wawancara itu?
Suatu hari di tengah keterlupaan akan ke-under pressure-an ini aku berpapasan dengan sebuah postingan di 9gag. Iya, 9gag! Seketika ingatan yang dormant ini meluap.
Berikut aku sarikan dari dua komentar di sana:
Under pressure artinya:
- Deadline (tenggat) ketat.
- Orang(SDM)nya sedikit, tapi pekerjaannya banyak.
- Harus bersedia cepat belajar, beradaptasi, karena tidak akan ada yang mengajarimu mengerjakan sesuatu.
- Ketika bekerja dalam tim (team player) artinya harus siap menyokong rekan yang ngeselin, tidak kompeten, atau malas-malasan.
- Tambahan lain yang kutemukan dari hasil googling: tidak mudah frustrasi dan terbawa emosi.
Oh, begini tho, under pressure. Kalau sudah tahu kan aku jadi bisa mengelaborasi jawaban. Next time deh kalau ada pertanyaan model begini, kujawab:
"Jadi kampus ini butuh seseorang yang bisa diandalkan bila menghadapi pekerjaan dengan deadline ketat? Mau ngerjain pekerjaannya dosen lain yang gak kompeten, cepat belajar dan beradaptasi, tidak mudah stres dan frustrasi? Tidak usah mencari lagi, karena saya adalah orang yang tepat...tentunya kalau gajinya cocok. Sekarang mari bicarakan gaji."
you're the man! |
Tuh kan, nambah lagi bahasan soal wawancara kerja yang tiada ujung. GAJI.
0 komentar:
Posting Komentar