Kenapa Aku Gak Suka Avatar: Way of Water
Sabtu dwiminggu lalu aku ajak Mbak Bojo nonton Avatar: Way of Water (selanjutnya disingkat WoW). Random aja, tiba-tiba ngajak nonton film. Biasanya weekend kami joint venture ngurusi kerjaan rumah. Berangkatlah kami pada suatu siang jelang sore ke sebuah bioskop di area Rungkut.
Mbak Bojo rupanya tidak tahu film ini dan aku memang tidak bilang kami akan menonton apaan. Dikiranya ini adalah versi film Avatar Aang (The Last Airbender), yang dulu kalau ada yang ingin melupakan, pernah dibuat live actionnya oleh M. Night Shyamalan (or should I say Shame-lan?). Jadi begitu muncul tulisan "Way of Water" disangkanya: "Loh, ini masih yang water?" Ah, nope, bukan Avatar yang 'itu' tapi yang 'ini'.
Omong-omong, lagian aneh juga James Cameron milih judulnya diembeli water, ntar jangan-jangan sekuelnya Way of Earth, terus terakhir Way of Fire.
Dan ternyata Mbak Bojo juga belum pernah menoton Avatar (2009). Film yang kutonton tiga kali di bioskop dan entah berapa kali di komputer/laptop. Jadi ketika karakter makhluk biru ini muncul, istriku langsung bilang kalau dia takut ngeliatnya sembari mengalihkan wajah dari layar.
Waduuh, ngalamat iki.
Secara umum aku kurang menyukai film ini. Ditambah lagi sedikit-sedikit aku harus menjelaskan plot film ke Mbak Bojo tentang apa yang terjadi kepada tokoh-tokoh di dalam WoW. Aku bisa merasakan dia bosan. Cukup sering ngecek hape membuka WA. Aku maklum, wong, aku juga bosan. Tapi ya gimana lagi, sudah terlanjur bayar. Yang bisa kulakukan adalah melindungi agar sinar hapenya tidak mbelerengi penonton lain dengan cara menutupi hape dari samping pakai telapak tanganku.
Kenapa aku tidak suka plus merasa bosan, terlepas dari pencapaian visual yang memang ciamik meski sejatinya aku tidak merasa ada sesuatu yang signifikan dibandingkan film pertamanya?
1) Secara garis besar ceritanya mengulang sama persis dengan film pertama. Hanya saja lokasinya pindah ke bagian lain dari Pandora. Ke sebuah komunitas/klan yang budaya dan gaya hidupnya berbeda. Dimana, baca nih...Jake Sully dkk (dan kawan-keluarganya) harus belajar bagaimana hidup seperti klan Metkayina yang seperti tinggal di 'Maladewa'. Berlawanan dengan mereka yang berasal dari hutan 'Amazon'. Persis banget dengan dulu saat dia harus adaptasi dengan kehidupan Na'vi Omaticaya. Mereka makhluk asing dan di akhir kisah, mereka tidak lagi dianggap asing. Kalau sudah menonton keduanya akan banyak plot yang sama persis.
2) Skala konfliknya jauh menurun. Tidak ada lagi perang besar dimana sosok "avatar" dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik. Konflik dan perang hanya berkisar di sebuah kapal karam di tengah lautan. Bisa dimengerti karena Cameron mau memperpanjang seri film ini sampai tak terbatas, hanya Tuhan dan dia yang tahu.
3) Terbangunnya karakter Jake Sully di film pertama menguap lenyap. Dari yang seorang pejuang yang peduli dengan Omaticaya dan Eywa. Sampai menjadi Toruk Makto, mendadak jadi lemah dan egois. Mentingin keluarganya sendiri. Malah cuma ingin melarikan diri dari kejaran RDA. Hanya dengan alasan bahwa Quaritch kemungkinan besar akan balas dendam dan akan membahayakan Omaticaya, dia memilih kabur ke lautan dan malah membahayakan klan lain. Bilangnya ingin melindungi keluarga, tapi malah...ah...dia kan bisa memimpin lagi perang besar, tinggal menyatukan semua klan, terus perang. Tapi ini malah cuma mengadakan gerilya kecil-kecilan.
4) Jadi bergaya dokumenter tentang perburuan 'ikan paus' (disebut "tulkun"). Yang mana karakter pemburunya sendiri berusaha keras menjadi villain dengan lagak komikalnya. Ini bukan masalah akting, tapi penulisan karakter. Karakteristik mereka jadi annoying bukan terrifying. Apa memang itu yang dituju? Entahlah.
5) Motivasi manusia bukan lagi unobtanium yang entah fungsinya apa, melainkan jus otak ikan tulkun sebagai obat awet muda. Yang harganya di-pump-up jadi lebih mahal daripada batu/mineral di film pertama. Obat awet muda jadi tidak masuk akal, apalagi dituturkan bahwa Bumi sedang sekarat. Teraforming Pandora lebih masuk akal tapi tidak, bukan itu yang dilakukan. Jus otak ikan ini jadi agak mendadak. Tiba-tiba dibuat, diada-adakan. Dan gimana caranya manusia bisa kepikiran hunting ikan tulkun buat diambil otaknya? Sangat terasa hard selling pesan environtmental-nya. Bukannya aku kontra dengan pesan untuk kebaikan lingkungan, tapi sangat terasa maksa.
6) Jadi terlalu berfokus ke kisah kenakalan remaja yang sangat terasa "Amerikasentris". Movie trope genre teenage yang agak semi coming-to-age. Ada pranking, bullying, fighting, love interest, ngertilah. Intinya mereka sangat berbudaya manusia Bumi (saat ini).
7) Penggunaan bahasa Inggris jauh lebih banyak daripada film sebelumnya. Seolah itu bahasa satu planet. Kata "Bro" bahkan bertebaran seolah lazim digunakan untuk saling menyapa antar duo-karakter. Buatku ini amat sangat menyebalkan untuk didengar. Beda sekali dengan film pertama dimana world-building terasa lebih kompleks dan believable.
Mungkin itu saja sih, unek-unekku tentang film ini. Jelas, aku tidak berminat menonton Avatar 3 Whatever The Title Will Be apalagi jika nanti bakalan semembosankan WoW ini, karena apa? Mbak Bojo jadi menuntutku untuk membalas kesediannya menemaniku nonton dengan cara nobar drakor di rumah. Hmm...mungkin itu jauh lebih baik.
0 komentar:
Posting Komentar