Jiwa Daur Ulang (Pemanfaatan Daun Pisang Bekas)
Adalah secuil tabiatku untuk membenci sesuatu yang terbuang sia-sia. Mbak Bojoku dengan segera mengetahui dan memahami hal ini. Bukan hanya makanan yang bersisa di piring, tapi juga termasuk benda seremeh dan kerap terabaikan seperti: daun pisang bekas pembungkus atau pengalas makanan. Tentunya dengan catatan masih bersih dan tidak layu.
Akhir Desember tahun lalu sekembalinya Mbak Bojo dari diklat pura-pura jadi tentara (baca di sini). Dia membawa oleh-oleh sekotak gudeg Yu Narni. Nah, alasnya adalah beberapa helai daun pisang yang masih terlihat hijau dan segar. Olehnya, tanpa anjuranku, dia mencuci lalu menggunakan kembali daun pisang bekas alas gudeg itu sebagai bungkus nasi bakar racikannya sendiri yang sopasti rasanya lezat. Sungguh membanggakan! Ternyata Mbak Bojo sudah sepaham soal "jiwa daur ulang" dalam diriku.
|
Nasi Bakar pakai daun pisang bekas gudeg |
Terdengar bagaikan upaya pengiritan yang keterlaluan? Barangkali iya. Masalahnya kami yang sekarang berdomisili di Surabaya tidak lagi cukup mudah beroleh daun pisang. Tidak seperti saat kami di Jogja bagian pedesaan. Tinggal jalan kaki ke sawah, petik daun sendiri langsung dari pohonnya. Kami juga belum tahu (ketika itu) harus kemana kalau mau membeli daun pisang. Di pasar dekat rumah [kontrakan] daun pisang tidak selalu ada.
Alasan lain adalah soal lingkungan. Dengan menggunakan ulang daun pisang yang belum rusak, kami telah berusaha turut serta dalam pelestarian lingkungan. Lagian loh, daun pisang itu lama busuknya, juga mumpung ada.
Nah, bukan kebetulan pula awal Januari aku ngadain syukuran ulang tahun di kampus tempat aku mburuh. Syukurannya berupa nasi kuning plus lauk-pauknya di atas tampah sekira untuk 20 porsi. Total habis Rp. 450 ribu. Harga yang layak, mengingat rasanya yang sedap dan porsinya yang besar.
|
Nasi kuning pesen di teman kerja Mbak Bojo |
|
Sesi pura-pura berdoa sambil difoto. Ini sesi sehabis senam di suatu Jumat |
Berhubung hari di mana aku berulang tahun bertepatan dengan acara sambut-pisah dekan lama ke dekan baru, aku sempat ragu mau pesan nasi kuning ini. Takutnya gak ada teman-teman yang makan. Alhamdulillah, cuma sisa sedikit. Itupun sudah dibagi-bagi ke teman-teman. Hanya tinggal lembaran daun pisang dalam plastik bening yang tadi digunakan untuk menutup nasi kuning.
Tanpa basa-basi kuangkut pulang. Kujelaskan ke teman-teman kerja yang ada di situ, bahwa daun-daun pisang ini masih bisa dibuat nasi bakar. Salah seorang dari mereka heran bin melongo, "emang bisa dibuat nasi bakar? Kan udah bekas, kena minyak." Bisa saja, jawabku. Tinggal dicuci. Dalam benaknya mungkin aku ini terlampau pokel alias medit alias pelit. Tapi terserah apa yang ada dalam pikirannya.
Ketika Mbak Bojo tahu aku membawa pulang sebongkah (karena jumlahnya cukup banyak) daun pisang, dia langsung mengerti tujuanku, meski baru keesokannya daun-daun itu dibersihkan, dilipat, lalu disimpan dalam kantong plastik tertutup dalam kulkas.
Baru berhari kemudian, dia sempat memanfaatkannya untuk membungkus pepes atau dikenal juga dengan brengkes kalau di Surabaya dan mungkin di Jawa Timur (di Bojonegoro juga disebut brengkes).
|
Pepes ikan pindang pakai daun bekas nasi kuning |
Pertanyaan selanjutnya adalah, kami kemanakan daun-daun pisang bekas nasi bakar dan pepes itu? Balik lagi ke awal dan pertengahan ketikan ini. Bahwa aku membenci segala yang terbuang sia-sia + alasan kepedulian lingkungan atau "jiwa daur ulang". Kami menguburnya atau lebih tepat mencampurnya dengan sampah dapur untuk dijadikan kompos. Demi untuk memuaskan hobi kami bertanam-nanam di perkotaan. Tapi itu cerita untuk ketikan lainnya di lain waktu.
0 komentar:
Posting Komentar