Kegotongroyongan Bundakata
Industri buku selama ini tidak memberi banyak pilihan bagi
pembaca. Pembaca selalu hanya dijadikan pasar potensial oleh penerbit demi
meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini bisa diamati dari tren buku yangmuncul silih berganti mengatasnamakan pelayanan atas selera pembaca. Hingga
saat ini ruang penataan di toko-toko buku terus dipenuhi tema-tema yang nyaris
seragam, di mana satu buku mengekor kepopuleran lainnya. Tidak cukup soal tema keseragaman
juga ikut merambah sisi sampul luarnya. Sampul luar pun ikut menghamba kemauan
pasar. Dari situasi ini tumbuh Bundakata,
sebuah gagasan mengenai “buku” yang semangatnya adalah hendak menghargai
pembaca. Cara pandang segar tentang “buku” yang berbeda dari buku pada umumnya
ditawarkan kepada manusia pembaca melalui permainan di ranah pemaknaan yang
timbul dari pilihan kata-kata bersanding bersama praktik-praktik unik darinya.
Bentuk display seni rupa buku di Nandur Srawung |
Agak rumit sesungguhnya memahami konsep Bundakata dan jalan yang diambilnya. Ada yang berkomentar dengan
nada bergurau bahwa ini adalah model gerakan marxis. Rain Rosidi, seorang
kurator dan pengajar di ISI Yogyakarta menyebutnya sebagai gerakan “turba” (turun
ke bawah). Setidaknya ada tiga konsep kunci: peristiwa—bukan lembaga, gotong royong, dan memberi pilihan. Oleh dua orang pengagasnya, Widyatmoko (40 tahun)
yang akrab disapa Koskow dan Awalludin Luthfi (27) yang biasa dipanggil Cak
Udin, Bundakata timbul dari penolakan
terhadap yang baku dalam industri buku. Keduanya memang “orang-orang buku,”
orang yang telah berkecimpung dan memiliki kepedulian di dunia perbukuan.
Koskow seorang pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, penulis Merupa Buku (LKis) dan Teman Merawat Percakapan (Tan Kinira).
Sementara Cak Udin semenjak kuliah di Surabaya telah aktif di sejumlah event organizer perbukuan dengan ikut
mengadakan pameran buku di beberapa kota kecil di Pulau Jawa.
Nama Bundakata itu
sendiri sudah merupakan pilihan bahasa yang berkesan damai dan menenangkan. Dicetuskan
Cak Udin dalam sebuah perjalanan berkendara sepeda motor bersama Koskow, nama
ini diinspirasi dari peran mulia seorang ibu. Bundakata bagai rahim yang mampu melahirkan siapa saja (penulis)
dan apa saja (tulisan/karya). Begitu pula tulisan-tulisan yang lahir dari Bundakata yang pada ujungnya mampu menggerakkan
dan menginspirasi orang-orang yang bersentuhan dengannya.
Di
Bundakata setiap penulis (yang bisa
siapa saja) akan berkarya dalam format selembar kertas A4 yang dilipat menjadi
dua sehingga didapati dua lembar A5 yang berdampingan (4 halaman bolak-balik). Isinya boleh berupa apa saja baik
tulisan, gambar, foto, hingga komik. Karya ini setelah dilayout lantas dicetak pada kertas buram (ukuran 21,5 x 33 cm)
dengan memakai mesin cetak toko atau fotokopi, terserah kemampuan penulis.
Kertas buram dipilih agar lebih ramah lingkungan. Penulis dapat mencetak
sendiri atau mengirim tulisan (yang belum dilayout)
ke Cak Udin atau Koskow untuk dicetak bersama. Biaya cetak akan diusahakan
bersama alias patungan. Jika ada penulis yang belum sanggup membayar ongkos
produksi, Bundakata tidak menuntut
penulis untuk segera membayar. Ini karena hubungan pertemanan dan perkenalan yang
serba guyup dikedepankan. Tulisan
atau karya tersebut lalu akan dipertemukan dalam sebuah ajang yang dilabeli
dengan “peristiwa” Bundakata yang
menumpangi pameran buku atau seni di sebuah stan. Lembar-lembar karya penulis
yang ditata dan dibentangkan ini dihadapkan kepada pengunjung pameran/pembaca
untuk disusun sendiri urutannya langsung di lokasi sesuai kemauan pembaca.
Pembaca dapat memilih tulisan/karya yang disukai, mengkreasi sampul untuknya,
dan membawanya pulang tanpa dipungut biaya.
Sambutan para pembaca Bundakata |
Pendeknya Bundakata lahir karena dan ada demi pembaca.
Posisi pembaca dihargai dengan kebebasan memilih tulisan yang disukai. Bundakata memberi mereka pengalaman
bagai seorang editor buku walau hanya dalam taraf penyusunan. Tulisan mana yang
diletakkan di depan, di tengah, dan mana yang di belakang seluruhnya berada
dalam kendali pembaca. Layaknya perilaku orang yang berkelana di internet, di
mana orang bebas membaca/menyimpan apa saja yang disukainya dan disusun sesuai
selera dan preferensi dalam folder komputer. Model berkarya, pameran, dan
interaksi dengan pengunjung semacam ini sesungguhnya ditelurkan dari obrolan di
DDF (Diskom Drawing Foundation),
sebuah komunitas pehobi menggambar di program studi Desain Komunikasi Visual
ISI Yogyakarta. Hanya saja gagasan itu belum terujud. Oleh Koskow dan Cak Udin
gagasan ini dipinjam dan diadaptasi untuk mengakomodir konsep “buku” Bundakata. Toh, para pehobi gambar pun akhirnya
jadi punya ruang ikut serta di Bundakata.
Karya gambar bisa dijadikan ilustrasi atau sampul buku.
Peristiwa,
bukan Lembaga
Bundakata yang
menyebut diri bukan lembaga, forum, ataupun komunitas namun hanya “peristiwa” sedikit
mengingatkan akan konsep tubuh-tanpa-organ
Deleuze yang melampaui organisasi. Tubuh ini berhubungan, saling
bersinggungan antara titik satu dan lainnya, dan terus berubah.
Tubuh-tanpa-organ dipertentangkan dengan organisme (yang diasosiasikan bagai
pohon) di mana setiap unsur punya fungsi. Tubuh ini keluar dari teritori (kriteria-kriteria
tetap), dan membentuk kembali dengan cara baru di daerah baru (Haryatmoko, Basis no. 5-6, tahun 64, 2015). Mungkin
karena itulah Bundakata mudah
menyebar dan telah hadir di Semarang, Jepara, Malang, keluar dari kota
Yogyakarta yang membenihinya.
Bundakata di Hindu Fair |
Ketiadaan bentuk lembaga/badan tak pelak membuat Bundakata seolah kosong. Kosong dalam
arti tanpa ada struktur kepengurusan. Meskipun kenyataannya tetap saja ada yang
mengurus agar ia berjalan. Misalnya ada yang mengurus penataletakan (layout) karya-karya penulis lewat media
Adobe InDesign sebelum naik cetak, ada pula yang mengambil peran mencetak lalu
menjadi “kurir” karya-karya tersebut, ada yang mengurus patungan dana cetak, ada
pula yang kebagian men-display dan
membongkar karya, ada juga yang mengambil peran jaga stan, pendokumentasian,
hingga pengarsipan. Koskow menolak sebutan “pengurus bayangan” untuk mereka.
Istilah pengurus bayangan mengandaikan bentuk pelembagaan juga. Dia lebih suka
menyebut Bundakata sebagai “ada orang-orangnya.”
Cak Udin menyebut mereka sebagai “pelaku” (Awalludin dalam Hadid ed. 2014). Toh,
banyak dari mereka yang menjalani peran ganda tanpa ada yang ribut dengan
ketidakadilan pembagian kerja. Cara kerja model ini meniadakan job description yang lazim terdapat pada
organisasi/lembaga. Di sinilah kegotong royongan terlihat dalam sebuah
peristiwa. Peristiwa yang dipenuhi oleh orang-orang yang menghidupi Bundakata. Orang-orang biasa yang bahkan
bukan penulis di Bundakata.
Ketiadaan lembaga ini diakui oleh Cak Udin berdampak pada ketidaktahuan
mereka yang tertarik untuk urun berkarya harus menghubungi siapa. Perekat antar
para pelaku hanya melalui laman Facebook
Bundakata yang terbuka bagi semua
orang. Dia tidak merasa ini adalah sesuatu yang buruk sebab dengan begitu
gagasan Bundakata justru bisa
menyebar dan semakin meluaskan jaringan pertemanan dan perkenalan. Dalam
memahami “peristiwa” sebagaimana dimaksud Bundakata,
Cak Udin menyebutnya sebagai sesuatu yang “serba tak terduga” atau “yang
dinanti-nanti.” Peristiwa Bundakata berupaya
menghindari segala hal yang bersifat rutin: pertemuan rutin, acara-acara rutin,
rapat, dsb. Banyak komunitas menulis yang mencoba melakukan rutinitas atau
sesuatu yang diagendakan secara tetap sehingga kegiatan tersebut terasa seperti
kewajiban atau beban, Bundakata sebaliknya
tidak harus selalu ada dalam rentang waktu tertentu. Dengan begini Bundakata menjadi langkah yang bebas
dari tuntutan.
Sejauh ini telah terjadi tiga peristiwa Bundakata yang mengangkat tema khusus. Yang pertama “Buku Istimewa”
(2013), kedua “Jaman Ngedan” (2014), dan ketiga “Ironi dan Daya Hidup” (2014).
Setiap tema hadir dari obrolan akrab dan diskusi kecil orang-orang Bundakata untuk menyikapi situasi yang terjadi
ketika itu. Setiap peristiwa Bundakata
yang terujud dalam tema tidak selalu harus hadir setiap saat atau dalam kurun
waktu tertentu, sesuai dengan ke-peristiwa-an yang menjadi jalannya. Kendati Bundakata senantiasa hadir di manapun
meskipun tanpa ada tema baru. Bundakata berkeliling dari ajang pameran
seni, pameran buku, dan ajang-ajang lain. Jaringan perkawanan dan
perkenalan betul-betul dimanfaatkan. Terakhir ia dihelat berbarengan dengan
Dies Natalis ISI Yogyakarta XXXI akhir Mei 2015 bertajuk “Selipat.” Berupa
naskah/karya-karya di Bundakata yang
lalu dijahit bersama menjadi buku dengan seutas
benang.
Bundakata ke kampus ISI Yogyakarta |
Buku Gotong
Royong
Ruang-ruang cair tanpa batas dihadirkan oleh Bundakata. Tidak saja dari orang-orang
yang terlibat atau pembaca yang diberi kebebasan menyusun, tapi juga dari sisi
penulisnya. Di sini siapapun boleh
bergabung untuk berkarya. Siapapun diundang ikut serta tanpa ada batasan
usia, jenis kelamin, jenjang pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi, dan
sosial. Bundakata tidak mencoba membuat
sekat-sekat pemisah, atau yang dikatakan oleh Koskow sebagai partisi-partisi. Bundakata berbeda dari buku bunga rampai
pada umumnya yang disusun dengan syarat tema tulisan dan kualifikasi tertentu
dari penulisnya. Hanya di Bundakata
tulisan seorang anak berumur 3 tahun disandingkan dengan tulisan seorang
mahasiswa S2. Semua bergantung kepada pembaca yang diberi kebebasan menyusun
karya-karya tersebut menjadi satu bundel buku. Pun pembaca bila tertarik untuk
ikut menjadi penulis. Sebab rupanya Bundakata
memicu rasa resah mereka yang cuma dipandang sebagai “pembaca” (konsumen) agar
mau merasakan menjadi “penulis” (produsen). Terbukti jumlah penulis meningkat
di setiap helatan ajang Bundakata.
Logo oleh Andre Tanama |
Kegotong
royongan juga tampak dari logo Bundakata
yang disumbangkan oleh Andre Tanama, seniman dan pengajar di Fakultas Seni Rupa
ISI Yogyakarta. Diambil dari lukisan tahun 2010 berjudul Dreamy World (Awalludin dalam Hadid ed. 2014), logo ini menampilkan
seorang anak perempuan yang tengah menunduk membaca buku. Koskow menyampaikan
bahwa dalam menulis atau berimajinasi saat menulis, seorang dibebaskan untuk
berimajinasi, berkreasi penuh angan dan mimpi seperti anak kecil yang hanya
ingin berbagi.
Demi
menjaga interaksi dan ikatan antara pembaca dengan Bundakata, sistem “barter” diperkenalkan bagi pembaca yang ingin
mengambil/menyusun karya para penulis. Tujuannya untuk saling mengapresasi.
Penulis menghargai hak-hak pembaca memilih tulisan yang disukai, begitu pula
pembaca menghargai karya para penulis. Barter ini dapat berupa apa saja
seikhlasnya, sukarela, dan semampu pembaca. Ujudnya pun amat sangat beragam tak
harus selalu uang, malah uang sebagai alat tukar sebisa mungkin dihindari. Di kesempatan
Bundakata tema pertama (“Buku
Istimewa”) di Semarang pada acara pemeran Semarang Sejuta Buku. Natalia Afnita,
salah seorang penulis dan penjaga stan di Bundakata
menuliskan bahwa tak urung barter ini menimbulkan kebingungan
pengunjung/pembaca karena tidak tahu nilai yang layak dari buku Bundakata yang mereka susun. Akhirnya
buku lain yang baru saja dibeli oleh pembaca di pameran buku yang sama
diberikan kepada Bundakata. Ada pula
yang menulis puisi, ada yang membacakan puisi langsung di stan Bundakata, ada yang menawarkan diri
untuk menjaga stan, hingga memberikan harmonika miliknya. Ditambahkan oleh Cak Udin
ada pula yang menyanyi atau sekedar menulis kesan dan pesan di lembar yang
tersedia. Bentuk-bentuk apresiasi ini cukup mencengangkan dan dapat dibaca
betapa nyata kegotongroyongan itu di kala setiap orang yang berpartisipasi
memberi semampunya.
memberi adalah bentuk apresiasi |
Dalam perkembangannya, kata barter yang terlalu berkonotasi
pertukaran setara dan dinilai bermotif ekonomi kemudian diganti dengan istilah
“take and give.” Ini terlihat pada Bundakata
#3 bertema Ironi dan Daya Hidup. Semangatnya tetap menjaga hubungan dan saling
menghormati. Tetapi take and give pun
masih mengandaikan adanya transaksi di mana salah satu pihak bisa jadi lebih
diuntungkan dari lainnya. Belakangan kata take
and give digantikan dengan “give and
give.” Di sinilah kekuatan bahasa dalam memberi makna. Bundakata yang sedari awal ingin memberi pilihan semakin mendekat
dengan mendorong “saling memberi.” Saling memberi jelas berbeda dengan “ambil
baru kemudian memberi” seperti yang terkandung dalam “take and give.”
Memberi
Pilihan
Berbeda dari penerbit buku indie yang menetapkan visi-misi
perlawanan secara jelas kepada kemapanan penerbit besar dan industri buku yang
cenderung melakukan pendiktean tema. Koskow tidak secara tegas mengelak istilah
“melakukan perlawanan,” tapi juga tidak mengiyakan. Bundakata juga tidak tepat jika disebut gerakan sosial. Koskow
menyebut sebuah pepatah Jawa: “ngono yo ngono ning ojo ngongo”
untuk mengilustrasikan ‘gerakan’ Bundakata.
Tujuannya bukan untuk perubahan sosial. Dengan gerakan semacam inilah Bundakata justru bisa mudah masuk/diterima
di mana-mana. Bundakata menjadi
seperti rhizome yang dimaksud oleh Deleuze.
Tidak ada pusat, mampu berkembang biak ke segala arah, tanpa dibatasi kode
penyatu (Haryatmoko, Basis no. 5-6,
tahun 64, 2015). Bagi Koskow Bundakata
adalah sebentuk dari tindakan “memberi pilihan.” Mengenai “pilihan” Cak Udin
mempersilakan bila istilah ini dipahami seperti memahami jalur alternatif atau
musik alternatif. Yang jelas Bundakata
memang hadir sebagai respon atau tanggapan atas industri buku yang makin
terseret arus pelayanan pasar dan kian berorientasi keuntungan. Respon atau
tanggapan tentu tidaklah sama dengan “reaksi” yang timbul lebih cepat dan tanpa
dipikirkan dengan matang. Koskow juga menolak jika Bundakata dikatakan bentuk budaya tanding apalagi gerakan
subversif.
Mau kemana arah Bundakata
oleh Cak Udin dianalogikan seperti angin yang berembus, kehadirannya dapat
dirasakan namun tidak terlihat. Ia dapat berembus ke mana saja, dapat mengisi
apa saja. Sony Prasetyotomo, salah seorang penulis dan pelaku Bundakata sepakat bila Bundakata diibaratkan air yang mengalir.
Mungkin dengan analogi air ini Bundakata
hendak memasuki setiap ceruk dan meresap di dalamnya. Bagi Cak Udin bila ada
yang berminat pun dipersilakan mengadakan “peristiwa” yang sama dengan nama Bundakata di mana pun tanpa izin resmi
dari orang-orang yang terlibat selama ini, bahkan tanpa restu pencetusnya
sekalipun. Hanya saja untuk urusan satu ini Koskow menekankan pentingnya
berkomunikasi bagi pihak yang ingin menyelenggarakan Bundakata dengan orang-orang yang telah terlibat. Agaknya ada
kecemasan yang berangkali cukup beralasan lantaran pemakaian nama Bundakata oleh lain pihak turut
menggeser sisi konseptual Bundakata.
Berdasar pengalaman sebelumnya keseksian nama dan konsep Bundakata telah menarik sejumlah pihak.
Moammar Emka (penulis Jakarta Underground)
yang pernah menyambangi stan Bundakata
menawari agar naskah-naskah/tulisan/karya di Bundakata untuk diterbitkan di Gagas Media. Tawaran ini ditolak
oleh Cak Udin tentu saja. Menyerahkan naskah ke penerbit berarti menghilangkan
penghargaan kepada pembaca untuk berperan sebagai penyusun naskah. Pada
kesempatan lain pernah pula ada pihak yang tanpa izin mendompleng nama dan logo
Bundakata untuk jualan buku di Twitter. Oleh Cak Udin pemilik akun
tersebut ditegurnya. Bundakata tidak
boleh untuk jualan buku. Ia tidak dibuat untuk mencari keuntungan. Menyusul
teguran tersebut, pihak yang mengatasnamakan Bundakata tersebut kemudian mengganti nama dan logonya. Mengenai
ketidakbersediaan menerima uang ini, Koskow menyebutnya gagasan ‘sombong’ dalam
arti khusus. Bayangkan saja para penulis menulis, mengeluarkan uang untuk
ongkos cetak, keluar tenaga dan waktu untuk men-display, tetapi tidak mau menerima bayaran jika karya mereka
diambil pembaca.
Moammar Emka dan Cak Udin (kanan) |
Uniknya kerja ikhlas orang-orang Bundakata, termasuk para penulisnya seperti berbuah manis ketika secara
“kebetulan” di helatan ketiga bertema “Ironi dan Daya Hidup” yang membarengkan
diri dengan pameran seni rupa Nandur
Srawung di Taman Budaya Yogyakarta pada November 2014 mereka turut menerima
limpahan dana istimewa sebesar ratusan ribu per penulis. Barangkali analogi bagaikan
hembusan angin dan aliran air cukup tepat, sebab pergerakannya mampu memasuki
setiap relung hidup yang kemudian ikut meniupkan/mengalirkan rezeki kepada
mereka. “Tidak mencari uang tapi malah mendapat uang.” Pada akhirnya langkah
memberi pilihan dari Bundakata yang kecil
dan sederhana ternyata tidaklah sesederhana itu.
Senutup
Melihat langkah-langkah yang di ambil Bundakata beserta para pelaku/orang-orangnya sesungguhnya buku
seperti ini tidak dapat dikatakan sama sekali baru, ia lebih tepat disebut
memberi penyegaran. Penyegaran terhadap
konsep buku yang telah dibakukan oleh industri, penulis, dan (ironisnya) pembaca
sendiri, bahwa buku bukan hanya berisi penerbit dan penulis tapi ada pembaca,
editor, dan perancang sampul. Penyegaran muncul melalui pembedaan-pembedaan yang
dihadirkan secara sengaja terhadap yang bukan atau bentuk-bentuk yang
ditolaknya lewat kesadaran akan kuasa bahasa dalam membentuk makna yang
dibarengi dengan praktik. Karena itulah istilah “peristiwa” digunakan, bukannya
lembaga.
Ketiadaan bentuk lembaga berarti penolakan pada bentuk-bentuk
hierarki di dalamnya yang serba membatasi peran manusia dan merupakan pangkal
kesenjangan hati. Sebutan yang dipakai untuk mereka yang menghidupi bukan
pengurus melainkan pelaku atau orang-orang. Kata “pengurus” merujuk pada
fungsi-fungsi berjenjang di mana satu posisi lebih tinggi dari bawahnya. Bundakata adalah buku yang mencomot
istilah gotong royong yang berakar dari tradisi Nusantara. Melalui gotong
royong, semua akan terlibat dalam interaksi berdasarkan keikhlasan bukan
transaksi untuk membangun bersama. Gotong royong timbul dari rasa “senasib”
sebagai penulis, pelakunya, dan pembaca ketika menghadapi gempuran industri
buku yang kian mengabdi pada penguasaan pasar. Lewat cara-cara yang ditempuh
dengan menegaskan diri dan menegasi yang bukan diri, Bundakata telah menjadi sebuah jalan pilihan sekaligus warisan yang
kemudian akan dijaga bersama oleh pembaca di manapun berada, bahkan nanti bila
kedua penggagasnya tiada.
Sumber dan sumber:
Afnita, N. 2013, Sepekan Bersama Bundakata. http://nocturvis.blogspot.com/2013/12/sepekan-bersama-Bundakata.html, diakses 28 Juni
2015.
Awalludin. 2014. Seni
Rupa Buku, Bundakat: Ironi dan Daya Hidup dalam katalog Pameran Ruparupa
Senirupa Nandur Srawung, diedit oleh Hadid, M. Yogyakarta: Taman Budaya
Yogyakarta.
Haryatmoko, 2015, Gilles Deleuze (3): Tubuh-tanpa-Organ dan
Mesin hasrat. Basis No. 5-6, tahun 64, 2015, hal 62-68.
Koskow.
2013. Bundakata Buku Gotong Royong Bundakata, http://koskowbuku.wordpress.com/Bundakata/, diakses 28 Juni 2015.
Wawancara dengan Widyatmoko dan Awalludin Luthfi, Juni-Juli
2015
Foto dokumentasi oleh Cak Udin dkk.
0 komentar:
Posting Komentar