Moco Preman Pensiun
Rasanya sudah begitu lama aku
puasa menonton sinetron, sampai-sampai tidak ingat lagi kapan terakhir melakukannya.
Sepertinya sinetron yang terakhir kutonton dan benar-benar kusukai adalah Si Doel Anak Sekolahan, Kiamat Sudah Dekat, lalu Bajaj Bajuri. Tentu saja sebelum Bajaj Bajuri diterlalupanjanglebarkan
dan dibuat spin-offnya: Salon Oneng. Preman Pensiun (2) menjadi sinetron yang setelah sekian lama kusimak
berkat konsepnya yang menarik: kisah “dunia preman” kota Bandung pimpinan
seorang ketua preman yang ingin pensiun, sama seperti prekuelnya yang sejalan
dengan judul. Bukan hanya soal konsep tapi logat Sunda yang dipertahankan di
tengah sinetron-sinetron “Jakartasentris” serta jajaran aktor dan aktrisnya
yang memikat, termasuk pemilihan lokasi sungguh terasa “pas” dengan pembawaan
sinetron ini. Jelas Preman Pensiun
hendak membumi dan memijak tanah. Sayangnya kian berjalannya tiap episode ia
mulai terjebak dalam “resep” yang diputarinya sendiri karena kreatornya atau
penulisnya barangkali mengira itulah formula yang disukai penonton.
Kalau beberapa hari lalu aku
masih belum hapal nama-nama karakternya, hari ini ketika aku mulai mengetik
lalu mengunggah ketikan ini, karakter-karakter di Preman Pensiun 2 seperti sudah menjadi sosok-sosok yang aku kenali
sehari-hari dan aku rindukan kehadirannya. Nama dan wajah mereka membayang di
benak dan sanggup bikin mengulum senyum sendirian. Iya, aku memang tidak
menyimak Preman Pensiun season 1
karena mengira jalur ceritanya bakal klise: premannya adalah seorang pemuda dan
mau insaf karena bertemu pemudi pemikat hati (yah, mirip dengan Kiamat Sudah Dekat gitu-lah). Bahkan
setelah tahu bahwa ternyata Didi Petet (alm.) yang berperan sebagai bos besar preman,
aku tetap malas menyerahkan energi nonton karena belum-belum sudah jengah
dengan gaya banyolan lugu-lugu-tolol-konyol dari beberapa karakter-karakter
bertipe Onengers dan Encuners.
Kakak adik beda warna |
Narasi preman hendak tobat lantas
berulang di Preman Pensiun 2. Jika di
musim pertama Kang Bahar (Didi Petet) ingin berhenti dan menyerahkan
kepemimpinan pada Muslihat (Epi Kusnandar), maka pada musim keduanya narasi
berulang di mana kini giliran Kang Mus yang ingin pensiun dan memensiunkan anak
buahnya, karena “bisnis yang bagus bukan bisnis yang baik” atau semacam itulah
alasannya. Tampaknya bukan hanya berupaya menyesuaikan judul tapi itulah pesan
yang ingin ditekankan kepada para preman-preman asli di luar sana. Dari tema
besar utama ini cerita berkembang dan berputar hingga secara sengaja kerap
mengulang sejumlah kelucuan yang sebetulnya seragam tapi beda waktu dan
konteks.
![]() |
"Halo halo? Bandung?" |
Line favorit pemirsa: "Iyaaa kang..." |
Selain hobi gosok batu, hobinya adalah nelepon |
Religiusitas Lunak
Berbeda dengan sinetron yang
lalu menyusul jam tayangnya: Tukang Bubur
Naik Haji yang sudah mencapai episode 6124 (ah, lebay ya?) dan sepertinya belum akan tamat itu. Preman Pensiun tidak dijual dan menjual
diri sebagai sinetron dakwah. Pembeda lainnya adalah Preman Pensiun punya plot
alias perkembangan cerita yang nyata hendak dituju. Bukan hanya mengulangi
keseharian tanpa ujung seperti sinetron Tukang
Bubur yang sangat merasa perlu menghadirkan karakter seorang ustadz yang
kerjanya hanya ceramah tiada henti tapi tanpa dampak bermakna buat karakter
lain atau semata berperan sebagai penengah atau pemecah masalah belaka. Di
Preman Pensiun, premannya tobat sendiri dengan jalur berbeda tanpa bantuan para
ustadz. Bahkan tidak ada adegan “maksa” seperti ngaji atau sholat dijejalkan di
layar tv. Jika pun ada “perintah agama,” itu pun disampaikan tidak dengan
“penampakan” tegas melainkan hanya lewat
penanda-petanda verbal dan sugesti visual yang ringan seperti saat Gobang,
preman terminal mengajak anak buahnya sholat dan tidak ninggalin puasa atau
rajukan Ceu Esih yang meminta Kang Mus untuk mengucap salam setiap masuk rumah.
Di sini terasa sekali Preman Pensiun tidak hendak menjilat
penonton Indonesia yang mayoritas muslim. Representasi keislaman dalam sinetron
ini pun dibuat “wajar” dan mudah ditemui sehari-hari. Yaitu dengan cara
sesederhana tidak memaksa kemunculan jilbab dan peci di setiap adegan. Bahkan
perempuan yang berjilbab hanya satu-dua orang saja yaitu Diza, perempuan pelanggan
cilok incaran Si Ubed dan Emak-nya Ceu Esih. Belakangan ditambah Eneng,
putrinya Kang Mus yang tiba-tiba kok jadi berjilbab meski hanya tiap keluar
rumah. Juga penghindaran diri dari ucapan-ucapan khas sinetron religi seperti: alhamdulillah, astaghfirullah yang muncul sesekali seperlunya saja.
Diza, satu dari dua/tiga perempuan berhijab di sini |
Esih yang ajaibnya mirip kang Mus |
Kuharap pesan-pesan ke-agama-an
dalam Preman Pensiun bukan buah tekanan berbagai pihak. Bukan pula lantaran ditayangkan
berbarengan bulan Romadhon. Pesan keagamaan yang disampaikan tidak secara
eksplisit, atau setidaknya tidak seeksplisit ITU agaknya perlu dipertahankan.
Jadi kalau ada karakter yang dikisahkan tidak berpuasa atau tidak sholat ya
wajarlah, bukannya “kita” semua yang bukan preman saja juga begitu? Niatnya
tentu bukan untuk mengajari hal jelek bin negatif tetapi begitulah eloknya transisi
kepremanan menuju manusia beragama, adalah dengan cara yang tidak meng”guru”i.
Dengan cara ini Preman Pensiun hendak membedakan diri dari sinetron dakwah ‘keras’
yang mewarnai televisi Indonesia.
(Jino Jiwan)
(Jino Jiwan)
Lanjut ke tulisan selanjutnya.
0 komentar:
Posting Komentar