Seberapa Top-kah Top Coffee?
Seberapa jujur kah seharusnya sebuah iklan?
gambar:areamagz.com |
Top
Coffee adalah salah satu kasus iklan
yang menurutku luar biasa dalam berpromosi. Mirip dengan kasus Mie Sedaap dulu (yang sama-sama berasal
dari Wings Food) waktu beriklan demikian
gencar berhadapan dengan merek mi instan produk Indofood yang telah jauh lebih dahulu mapan. Metode gencar ini
agaknya berhasil menempatkan Mie Sedaap
sejajar dengan produk dari Indofood,
paling tidak dari sisi rasa. Tapi bagaimana dengan Top Coffee?
Memadukan Iwan falls dan Nikita Willy juga Samuel
Zylgwyn, iklan produk kopi yang menyasar segala
kalangan baik tua maupun muda ini tampak megah dan mewah, dibalut musik tangguh
adaptasi dari film The Avengers, setidaknya
itu yang terbit dari pikiranku tentang iklan Top Coffee yang kerap
mampir di televisi. Iklannya secara visual sangat indah. Mampu menunjukkan kopi
yang tampak sangat menggiurkan; panas, berbuih, dan berasap. Simak bagaimana
kopi itu diaduk dan dituang. Hmmm, penonton seolah bisa menghirup uap wangi
kopi dari iklan itu. Ditambah suara orang bule—yang entah siapa—menjelaskan
bahwa kopi ini gabungan sempurna dari kopi arabica
dan robusta. Tampil makin meyakinkan
penonton. Lalu akhir-akhir ini iklannya kian disingkat jadi mengedapankan
kehebohan masyarakat menerima Si Kopi Top ini. Coba lihat bagaimana iklan
menampilkan bahwa konon jutaan orang sudah mencicipi kopi Top dan setuju bahwa rasanya memang “Top”.
Soal penamaan produk pun layak disoroti. Produk ini mengaku-ngaku
“Top” yang secara harfiah bermakna paling,
teratas, terdepan. Sungguh sebuah strategi penamaan yang harus diakui sangat
cerdas, sama seperti penamaan Mie Sedaap
yang mengaku paling sedap. Logo pun sangat mirip dengan logo Starbucks. Kalian bisa langsung
mengidentifikasinya dari lingkaran hijau berlubang itu. Kasus pengadaptasian
(yaitu bahasa lain dari “memirip-miripkan”) logo bukan hal yang sulit ditemui
di dunia branding, jadi ini bukan
masalah besar. Tapi tentu ikut memengaruhi persepsi keistimewaan produk di mata
konsumen, yang ini kalian boleh percaya boleh tidak. Dan ternyata ada yang perlu merasa membahasnya, walaupun sudah jelas terlihat.
Soal harga? Bisa dibilang Top Coffee amat terjangkau. Bisa
jadi ini nilai minus untuk iklan yang begitu mewah dan heboh atau sebaliknya
nilai plus yang artinya “kopi mewah ini bisa anda dapatkan dengan harga
terjangkau”. Apalagi disertai promosi “beli 2 bungkus bonus 1 bungkus” (paket
10 bungkus dapatnya 15 bungkus). Siapa yang tidak tergoda dengan promosi
demikian kencangnya?
Apakah iklan yang megah dan gencar memang mampu
mengubah persepsi lidah publik? Jujur aku penasaran akan apa yang dipikirkan
oleh penikmat kopi tentang rasa Top Coffee. Karena aku sendiri yang bukan
penggemar kopi menilai bahwa rasa Top
Coffee ini bukan yang paling nikmat. Menurutku
rasanya sangat tidak sebanding dengan kehebohan promosinya. Sehingga dengan
setengah bercanda aku nyatakan bahwa Iwan Falls sendiri barangkali belum pernah
mencicipi kopi yang diiklankannya. Kalau pernah, pasti dia sendiri yang akan
mem-“Bongkar” iklan itu.
Menarik tentunya untuk melihat bagaimana sesama
produsen kopi bereaksi terhadap iklan Top
Coffee. Baru-baru ini Kapal Api ikut-ikutan bikin iklan melalui
pendekatan yang mirip, dengan Agnes Monica sebagai duta iklannya—yang tentu
saja sangat mahal bayarannya. Barangkali Kapal
Api sudah khawatir akan posisinya atau malah mulai merasa tersaingi, sehingga
merasa perlu membuat penegasan sebagai kopi paling enak disertai dengan bintang
iklan yang lebih kontemporer. Padahal jujur saja menurutku kalau soal rasa Kapal Api masih lebih baik dari Top Coffee. Tapi itu pendapatku,
bagaimana menurut kalian?
oleh JinoJiwan untuk Bebas Ngetik
oleh JinoJiwan untuk Bebas Ngetik
0 komentar:
Posting Komentar