Musik Digital Tidak Perlu Dilawan
Pembajakan musik berbeda dengan karya seni rupa atau tulisan. Musik digital adalah sesuatu yang
tidak bisa dielakkan. Ia adalah bagian dari kemajuan
teknologi. Bayangkan saja, sebelum ada alat perekam, jika mau mendengar musik
harus datang langsung ke konsernya si musisi. Adalah
sungguh aneh jika ada yang berusaha
mati-matian melawan teknologi, karena yang bisa
dilakukan terhadap teknologi adalah berdamai dengannya.
Penjualan musik fisik bagaimanapun
bisa dibilang telah lama tewas. Mau jualan apa? Kaset? Riwayatnya bisa dibilang mulai berakhir sejak awal 2000-an. Toko-toko kaset pada gulung lantai. Paling tidak itu terlihat dari cabang-cabang toko musik yang pernah besar macam; disc tarra atau bulletin yang dulu sering terlihat di berbagai
belahan kota. Sekarang di mana
mereka? Padahal dulu toko-toko musik ini demikian
jayanya sampai pelayannya
bisa melayani pembeli dengan
muka super-masam.
Seolah lupa bahwa aku sebagai pembeli ikut membiayai gajinya.
MP3 gratisan hadir bagai surga buat penikmat musik. Para website(s) penyedia layanan unduh itu juga menyediakan musiknya secara gratis. Kita tinggal mengunduh gak
perlu bayar, hanya
cukup bayar layanan internetnya saja. Website-nya boleh jadi akan pasang iklan (dari mana mereka
dapat uang kalau tidak dari pasang iklan?) dan
gak akan mereka dapat uang kecuali kita klik iklan
itu. Bukankah musik digital ini malah jadi berkah bagi banyak orang?
Beli yang asli, habis itu dibajak. Gitu aja kok repot |
Memangnya tidak ingat bagaimana para artis musik ini secara
‘tidak langsung’ juga terlibat memBAJAK pulsa dari orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan tahu-tahu jadi korban
RBT dan NSP lewat akal licik penyedia layanan telepon seluler? Para musisi ini jelas pernah menikmati uang yang entah seberapa
tingkat kehalalannya.
Mereka bangga mendapat laporan bahwa lagu mereka telah dijadikan RBT sampai sekian juta pengguna, tapi gak tahu (atau tidak mau tahu) fakta bahwa banyak juga yang
tertipu dan tidak ingin ada lagu apapun
bersarang di hape rakyat jelata ini. Para korban yang malang ini sebagian
besar tidak tahu bagaimana cara melenyapkan konten lagu, atau malah tidak tahu kalau hapenya terpasang konten
yang tidak mereka ingini.
Para artis musik sesungguhnya tidaklah teramat rugi. Lagu-lagu mereka boleh jadi
berubah jadi mp3 ‘ilegal’ namun tidak pernah dengan melenyapkan kredit bagi mereka, artinya mereka masih jadi
pemilik sah lagu itu, mereka masih dikreditkan sebagai penyanyinya.
Malah sebenarnya musisi ini untung karena musik mereka jadi bisa
menjangkau masyarakat luas, tak terbatas pada toko musik yang belum pernah ada sejarahnya buka cabang
di pedesaan. Musik sekarang bisa diambil dari warnet yang ADA sejarahnya berdiri
di pedesaan. Atau malah musik menyebar dari sesama pengguna hape. Kemudahan
mendapatkan musik justru akan menambah jumlah penggemar. Banyak orang yang suka
dan hapal lirik lagu, lalu akan muncul
tawaran manggung di daerah yang bahkan tidak pernah
disambangi oleh musisi-musisi ybs.
Persaingan yang sejati bukan melawan pembajak tetapi pada selera pasar (alias tren musik) dan sesama musisi.
Begitu juga musisi baru yang rupanya ingin ngetop seperti musisi yang sudah mapan (tapi sayang masih galau soal penghasilan).
Dan lihat apa yang dilakukan oleh musisi
cengeng yang sukanya komplain gak jelas soal lagu mereka yang dibajak? Emang berapa rupiah yang hilang?
Musik dibuat untuk didengarkan, sama seperti tulisan
dibuat untuk dibaca. Bukankah itu tujuan utama dari
musisi yang berkarya—agar banyak orang yang mendengar, seperti penulis ingin
banyak orang yang membaca tulisannya. Asal kreditnya masih diberikan pada yang menciptakan. Rasanya tidak masalah. Kasus
akan berbeda jika musik (atau
kekayaan intelektual apapun wujudnya, baik itu karya seni rupa, desain, tulisan
terutama di blog!) itu diaku-aku oleh orang lain yang tidak berhak.
Ini baru pembajak sebenarnya, pencuri sungguhan,
yang layak untuk dimusnahkan.
1 komentar:
Terima kasih juga sudah singgah.
Posting Komentar