Blunder Wall's Ice Cream Day
Pagi itu matahari belum
beranjak terlalu naik, acara di Alun-alun Selatan Yogyakarta (Alkid) pun baru
saja dimulai, tapi pengunjung sudah pada bubar. Bubarnya tidak mudah, jalan
seputaran Alkid macet padat bin berat. Tampaknya mereka kecewa karena pesaing
untuk mendapat sebungkus es krim terlampau berlimpah ruah. Iya, Minggu pagi itu
ada ajang nasional serentak di kota-kota tertentu se-Indonesia, sebuah hajatan
yang layak dihujat: Wall’s Ice Cream Day
atau harus disebut: Wall’s Ice Crap Day.
Entah media mana yang
dimaksud oleh kedua pembawa acara, kata mereka ada 40-an media yang meliput
acara Wall’s Ice Cream Day tanggal 11 Mei 2014 itu. Klaim semacam ini barangkali
dibentuk dan diada-adakan saja biar seolah hebat. Karena pada kenyataannya
acara yang berlangsung di Yogyakarta berlangsung seolah tanpa persiapan matang.
Tidak ada informasi sebelumnya mengenai “kupon penukaran es krim,” tidak ada
informasi jelas mengenai kapan es krim dibagikan, tidak ada kantong parkir yang
memadai di lokasi, tidak ada cukup tenda untuk berteduh dari garangnya sinar
matahari Jogja.
Hingga muncul dugaan di
benak bahwa ajang ini ilegal (atau semi-ilegal). Sebab tidak terlihat sama
sekali pihak polisi untuk urusan pengamanan atau paling tidak untuk mengatur
jalan yang super macet. Bisa dibayangkan, jika dijanjikan 12.500 batang es krim
gratis (katanya untuk pengunjung pertama), dan jika satu orang hanya boleh
mendapat satu batang es krim artinya akan ada 12.500 orang memenuhi lapangan.
Itu bukanlah jumlah yang sedikit. Pada kenyataannya jumlah pengunjung membludak
lebih dari itu.
Aku yakin banyak yang
merasa tertipu. Dan inilah akibatnya.
Bangga karena bisa bikin macet |
Pengunjung yang memilih untuk beli es krim di minimarket dekat rumah |
Diri ini sudah niat
datang karena penasaran, tanpa tahu ada iming-iming 12.500 es krim gratis, itu
juga dari iklan di tv. Sebuah acara yang inovatif kalau boleh dibilang begitu.
Mendekatkan/mengedukasi (manfaat) es krim ke masyarakat atau semacam itulah,
sekalian peluncuran ikon/logo baru yang tidak penting. Memang cukup menggiurkan
kalau yang dibagikan adalah es krim yang paling mahal itu (tahu kan merek apa?).
Jika pun tidak, bayangkan andai satu batang nilai es krim yang dibagikan
(gratis) hanya senilai Rp. 3000,- saja, dikalikan 12.500. Itu jelas uang yang
banyak. Sayang nominal itu gak sepadan dengan kekonyolan sosial (dan waktu)
yang diderita pengunjung dan kota tempat helatan berlangsung (juga pada Wall’s
sendiri). Tengok apa yang terjadi di Surabaya, di mana Bu Walikota sempat geram
dibuatnya. Tanaman di taman kota sampai hancur terinjak-injak hanya demi sebatang
es krim gratis.
Twitter anehnya
dipenuhi kicauan para penjilat yang bahkan mungkin tidak hadir langsung di
lapangan untuk melihat kenyataan. Ini yang kujumpai ketika malamnya aku
mengecek #WallsIceCreamDay di Twitter. Rupanya sama seperti medan politik yang
membutuhkan para simpatisan (maksudnya pengiklan), acara ini juga dipenuhi para
pengiklan, yaitu orang yang memang dapat duit dari menyiarkan kicauan bernada
positif alias memuja-muji sesuatu ke para pengikut.
Para mupengers es krim (gratis) |
Mbaknya sedang memberi penjelasan tata cara dapat es krim gratis untuk ke-100 kali |
"Wah, ada truk es terbuka. Serbu!" |
Begitu aku sudah di
atas motor mengitari Alkid siap melaju pulang dan bersumpah untuk mengetik
sebuah tulisan tentang ajang ra urus
ini, sirine itu berbunyi. Sirine pertanda penukaran kupon gak jelas dengan es
krim gak jelas (mungkin bisa juga tanpa kupon, siapa yang tahu?). Lalu pemandangan
yang sungguh tidak layak itu meledak di hadapan. Lautan manusia dengan tergopoh
berlarian menyerbu tenda-tenda dan truk-truk pengangkut es krim hanya demi es
krim harga 3000-an atau paling pol seharga 7000-an. Tak hentinya aku ditaburi
rasa takjub dengan mereka yang rela berpanas dan bersikutan demi sebatang es
krim gratis. Kemudian aku sadar bahwa apapun yang dibalut kata “GRATIS” di
negeri ini amat kuat menyihir orang untuk rela melakukan apapun, termasuk
diminta untuk manut memakai kaos
warna merah. Jadi, panitia dan EO-nya yang terlampau meremehkan arti kata
“GRATIS” boleh makan mentah-mentah tuh niatan untuk mencetak rekor Muri. Sungguh
sebuah cakaran besar di wajah Wall’s dan Unilever.
0 komentar:
Posting Komentar