Dari Kawah ke Situ
Minggu 16 Mei itu masih bisa
dibilang pagi di Kawah Putih, waktu belum melewati jam 10. Nyatanya area kawah tidaklah
sedingin yang disebarkan para blogger
dan laman-laman internet. Pakai satu helai jaket saja sudah cukup, malah ada
pengunjung yang bersandangan layaknya mau ke mall: celana pendek; hotpants; rok mini. Tapi barangkali
penyebabnya karena kemarau sudah menapak. Matahari pun terbang bebas tanpa
dihalangi awan. Atau ini juga karena luar biasa padatnya pengunjung di area
bekas kawah gunung Patuha?
Para penjaja masker bertebaran mulai
dari terminal bus hingga terminal/parkir atas serta menjelang kawah, menyerbu
setiap pengunjung. Mereka menawarkan masker dengan bujukan yang mbujuki khas pedagang: “Maskernya, di atas bau belerang, temannya
tadi sudah ambil.” Temannya sudah ambil? Ha ha, rombongan kami sudah siap
masker dari tadi jadi tidak mungkin membeli dari mereka. Aku sendiri tidak
merasakan aroma belerang yang menyengat. Buatku aroma belerang lebih parah di
Tangkuban Parahu dan Dieng. Entah biasanya memang seperti itu atau ada sebab
lain. Jangan-jangan gas sulfurnya sudah disedot habis pengunjung menyisakan
karbondioksida belaka. Tepat sebelum tangga menurun menuju kawah terdapat papan
yang bertuliskan larangan kunjungan melebihi 15 menit dalam kondisi normal. Aku
berada di kawah kurang dari itu. Kepala mulai pening, tapi dasarnya memang
sudah pusing sedari tadi. Belakangan kubaca dari papan informasi bahwa aroma
belerang baru terasa jika hujan turun atau saat menjelang malam.
Dari gerbang masuk - Kawah Putih - transaksi senjata |
Buatku kawah putih sebagai
tempat wisata tidak teramat istimewa terlebih jika dibandingkan kawasan Dieng. Dinding
kawah malah lebih menarik daripada kawahnya, tapi jelas kawasan ini lebih genah dibanding Kaliurang Jogja yang lebih
miskin objek sawangan. Kendati begitu aku salut dengan industri wisatanya.
Selain kawah yang jadi daya tarik utama, ada juga kebun stroberi di mana
pengunjung boleh memetik sendiri (dengan membayar yang dengar-dengar cukup mahal),
atau pengunjung bisa memilih untuk membelinya dari para asongan sekembalinya ke
taman parkir bus. Di kala inilah harga stroberi dalam kemasan mika mendadak anjlok.
Sayangnya ujud stroberi yang dijual tidak prima. Kurasa kita semua (pembeli dan
pedagang) terjebak pada penggambaran media tentang bagaimana penampilan stroberi
seharusnya: merah, segar, harum, dan harus ber-DAUN sama seperti apel yang
harus bertangkai. Jika kamu membeli satu kemasan stroberi dalam mika, bonus daun
stroberi yang indah di mata ini bisa mencapai seperempat kemasan. Lagipula
stroberi yang besar-besar diletakkan di atas sehingga terlihat oleh pembeli sedangkan
pada tumpukan bawah stroberinya kecil-kecil. Yah, biasalah trik pedagang.
Suasana terminal naik Kawah Putih. Sebagian pengunjung tidak tahu bahwa isi perut mereka akan segera diontang-anting. |
Atraksi lain yang ekstrim adalah
angkutan ontang-anting nan unik. Ontang anting adalah mobil jenis carry seperti angkot pada umumnya namun
bagian badannya (di belakang deretan sopir) sudah dimodifikasi untuk memuat
tiga baris kursi menghadap depan, masing-masing deret di isi 3 orang. Angkutan
ini memang disediakan buat pengunjung naik ke dan turun dari kawah. Bukan hanya
nyentrik belaka tetapi angkot ini menghidupi banyak perut: perut penjaga loket,
sopir dan keluarganya tentu saja. Karena itulah cara supaya mereka tetap hidup
adalah dengan tetap membiarkan jalan naik ke kawah sempit hingga hanya cukup untuk
1,8 mobil dan mematok biaya parkir mobil di area atas dengan tarif kurang ajar.
Semua demi menjaga industri wisata pada jalurnya.
Oh, omong-omong menumpangi
ontang-anting bisa jadi sensasi tersendiri. Sopirnya amat mahir (atau separuh
gila) melahap jalur sempit dan tikungan tajam dengan kecepatan tinggi. Empat(?)
kilometer jalur naik ditempuh hanya 10 menit, turunnya lebih cepat lagi. Selama
perjalanan aku menatap lurus berusaha konsentrasi menahan gejolak perut. Duduk
di tengah menjadi solusi menghindari terpaan angin yang tiba-tiba dingin-dingin
segar (tapi tidak nyaman kalau sedang masuk angin). Untung duduknya menghadap
depan, aku tak tega membayangkan andai penumpang duduk menyamping dan
berhadapan dengan medan seperti itu.
Kali lain kalau punya waktu akan kuajari mereka membaca |
.....
Perlajuan bus melanjut ke Situ
Patengan (Patenggang?). Hamparan kebun teh meluas sepanjang jalan. Pemandangan
yang lagi-lagi jauh lebih sedap dibanding Kawah Putih. Buatku pribadi kebun
tehnya lebih indah daripada di desa wisata Nglinggo Kulonprogo, tapi tentu tidak
adil membandingkan suguhan Nglinggo yang tengah menggeliat dengan Kabupaten Bandung
yang sudah mapan. Sayang sekali kebun teh tidak masuk agenda perhentian.
Bikin pengin terbang |
Jurusan: Tepi Telaga - Pulau Asmara PP |
Sisa hujan yang mendera kawasan
Situ Patengan menyisakan genangan
air di sana-sini. Cuaca agak mendung bikin pembawaan sekitar agak sendu dan temaram.
Rupa telaga ini mengingatkanku pada waduk Sermo Kulonprogo, airnya buram khas
danau biasanya. Pada satu sisinya terdapat persewaan perahu kayuh (becak air)
dan jasa keliling telaga naik perahu. Aku tidak berminat naik meskipun diimingi
mengitari Pulau Asmara di ‘tengah’ telaga
sekalipun. Pulau itu bila dilihat dari atas berbentuk seperti jantung...atau tidak
akan berbentuk seperti apapun jika kita tidak pernah mengenal konsep “cinta” dalam
ujud “hati” sebagaimana telah kita kenal secara taken for granted melalui berbagai film dan iklan.
Buatku legenda di balik Situ Patengan
dan pulau di tengahnya cukup menarik walaupun terasa sekali diada-adakan buat menarik
pelancong agar mau naik perahu. Legenda mengatakan—seperti tertulis pada papan
informasi—ada sejoli saling mencinta, seorang putra raja bernama Ki Santang (nah, namanya saja sudah kehabisan
ide gitu) dan titisan dewi bernama Dewi
Rengganis. Keduanya lama berpisah dan sama-sama mencari satu sama lain
sampai akhirnya dipertemukan di batu cinta. Dewi Rengganis lalu minta dibuatkan
danau dan perahu untuk dipakai keduanya berlayar. Perahu itu kemudian berubah jadi...pulau
di tengah telaga (Ah iya, kalau perahu bisa berubah menjadi gunung kenapa tidak
bisa berubah jadi pulau?). Di sini bagian menariknya: “menurut cerita ini yang singgah
di batu cinta dan mengelilingi pulau Asmara senantiasa mendapat cinta yang abadi
seperti mereka.ӈ kutipan langsung dari papan informasi.
Aku cukup yakin ada kreator dari
kisah dan mitos ini. Kreator kisah menyuplik kisah perpisahan-pertemuan Adam dan
Hawa lantas memanfaatkan bentuk fisik pulau yang katanya seperti “hati” untuk dilekatkan
pada legenda hibrida Ki Santang dan Dewi Rengganis. Tapi tak mengapalah. Wong hampir semua lokasi wisata punya
kisah pemanisnya, kisah pemanis yang meromantisasi masa lalu sehingga seolah sudah
hadir sejak dahulu kala. Salut untuk industri wisata Patengan yang berani bikin
mitos baru. Sebab dengan mitos baru ini orang pun rela berbondong untuk memutari
pulau demi mengawetkan cinta mereka dan yang paling penting para tukang perahu
dan sampingannya hidup sejahtera.
Kabut mulai turun, suhu udara
mendingin dengan cepat, perlahan telaga tidak terlihat lagi ketika bus yang kami
tumpangi beranjak menanjak pergi. Kemacetan parah menghadang menuju kota
Bandung tapi kurasa itu tidak seberapa dibanding rasa gundah terjebak di tengah
telaga di atas sepeda air di tengah kabut pekat. Mungkin kabut macam ini yang
bikin Ki Santang dan Dewi Rengganis tidak kunjung berjumpa.
(Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar