Ironi Kupon Undian Beasiswa
Meraih beasiswa adalah suatu
kebanggaan tersendiri bagi penerimanya. Kian istimewa di kala persyaratan untuk
itu tidak makin mudah dan prosesnya memakan waktu yang tidak singkat. Mulai dari
standar nilai akademik yang tinggi, sertifikat serta surat-surat rekomendasi, pemrioritasan
tingkat ekonomi atau asal daerah/negara tertentu, hingga wawancara langsung
dengan pihak pemberi dana. Jadilah menerima beasiswa terasa bagai prestasi apalagi
jika melibatkan angka-angka: mendapat lebih dari satu beasiswa; nominalnya
terbilang besar; atau bisa mengalahkan sekian jumlah pelamar yang lantas bisa/akan
dicantumkan dalam Daftar Riwayat Hidup ketika melamar pekerjaan atau pada
profil penulis jika yang bersangkutan menulis buku. Berbanding terbalik dengan
keadaan tersebut, swalayan Mediko di daerah Patangpuluhan Yogyakarta menawarkan
kemudahan bagi siapa saja untuk meraih “beasiswa.” Syaratnya mudah, cukup belanja
senilai Rp. 50.ooo,- dan kelipatannya maka seorang berhak mendapat kupon undian
beasiswa. Hadiah yang ditawarkan hanya 1,5 juta Rupiah dibagi 6 pemenang, bukan
jumlah menggiurkan memang apalagi jika disandingkan beasiswa lain. Namun yang
namanya beasiswa tetap saja beasiswa..., atau tidak lagi?
Rp. 50 ribu untuk Rp. 250 ribu
|
Sulit untuk melacak asal usul
beasiswa, diduga ia sama tua
dengan munculnya pendidikan terinstitusi
itu sendiri. Menurut dictionary.reference.com beasiswa atau scholarship
dalam pengertian biaya untuk sekolah/kuliah digunakan pertama kali pada 1580. Berbeda dengan dana pinjaman yang harus dikembalikan kepada
pemberinya, beasiswa adalah dana cuma-cuma yang dijadikan sebagai investasi
dari pihak pemberi dengan timbal balik berupa prestasi dari penerima. Lewat
pola semacam ini, beasiswa tidak pernah bebas nilai dan tidak bersih dari kepentingan. Apalagi jika beasiswa menyaru kupon undian yang
mensyaratkan belanja dengan nominal tertentu. Maka dipastikan
berlimpahnya relasi tanda terhadap makna yang
ditimbulkan.
Kesederhanaan melingkupi
seluruh tampilan kupon undian. Mulai dari kertasnya
yang tipis
dan hanya berukuran 9 x 4 cm
hingga penggunaan teknik fotokopi menunjukkan
biaya yang ditekan untuk membuatnya. Terdapat lima rangkaian informasi verbal
di lembarnya yang mungil. Pertama, jenis kupon diikuti periode bertuliskan:
kupon belanja Periode April-Juli 2015. Kedua, nama program undian dan nilai
hadiah: mediko Back To School, DAPATKAN HADIAH BEA SISWA TOTAL HADIAH Rp.
1.500.000 (@Rp.250,00 Untuk 6 pemenang). Ketiga, data diri pelanggan dalam
kupon: Nama, Alamat, No. id. Keempat, syarat dan ketentuan: hanya dengan
belanja Rp. 50.000, berhak mendapat 1 kupon dan berlakukelipatannya. Dan yang
terakhir, cap/stempel Mediko Patangpuluhan.
Kupon ini uniknya tanpa menyertakan
sama sekali nomor seri, tidak ada pula sobekan bukti keabsahan yang umumnya dipegang pihak
pengundi. Ketiadaannya digantikan oleh stempel toko yang anehnya tidak begitu
kentara. Hal ini mengindikasi bagaimana pihak toko percaya kepada pelanggan
tidak akan memalsukan kupon. Ada keyakinan pelanggan adalah pelanggan yang
secara rutin sering berbelanja dan terus mengikuti program undian lain di
Mediko. Nilai uang hadiah yang kecil dapat pula berdampak pada tidak perlunya
mekanisme undian rumit karena itulah nomor seri tidak diperlukan.
Penyertaan data diri pelanggan
yang terbatas pada nama, alamat, dan no. id (identitas) tanpa ada baris isian
nomor ponsel menunjukkan pihak Mediko tidak mau repot menghubungi pemenang dan tidak
ada cara lain bagi pelanggan untuk tahu apakah dia menang atau tidak selain
datang sendiri ke Mediko setelah undian dilakukan di akhir periode Juli nanti.
Dengan cara memancing pelanggan datang berarti ‘memaksa’ mereka untuk berbelanja kembali walau sekadarnya saja. Di era konsumerisme seperti sekarang sulit membayangkan bila
seorang datang ke toko hanya untuk mengecek nama pemenang.
Kekurangcermatan bertebaran
pada penampakan kupon. Misalnya pada tulisan “kupon belanja” sebagai judul, bukannya
menggunakan “kupon undian,” sebuah istilah yang jelas lebih tepat karena kupon
ini diundi bukan untuk belanja langsung. Bisa jadi pihak Mediko hanya tinggal
mengubah template kupon yang dimiliki.
Kata “Bea Siswa” pun ditulis dengan
spasi pemisah antara bea dengan siswa. Keterangan bilangan hadiah tertulis
@Rp.250.00, kurang satu angka “0” sehingga terbaca dua ratus lima puluh, bukan
dua ratus limapuluh ribu sebagaimana dimaksud oleh pembuatnya. Kekurangcermatan
ini dapat dibaca sebagai murni kesalahan ketik yang diabaikan/luput dari
perhatian atau justru kaidah bahasa sudah tidak teramat penting lagi buat pembuat
program undian, terlebih bagi pelanggan yang hanya ingin belanja demi beroleh
kesempatan menang hadiah.
Di tengah persaingan menghadapi
minimarket bermodal lebih besar seperti, Indomaret dan Alfamart, Mediko meminjam istilah beasiswa untuk memoles hadiah undiannya,
undian yang tujuannya tidak lebih dari memikat orang untuk belanja. Beasiswa jatuh
menjadi label yang disematkan pada uang hadiah undian. Serupa dengan yang
dilakukan acara-acara seminar ketika memakai kata “investasi” untuk mengganti
biaya keikutsertaan atau mengganti istilah hadiah uang tunai dari bank dengan
“tabungan pendidikan.” Dengan demikian jika kontek waktu berganti menjelang Idul
Fitri maka besar kemungkinan
undian akan memakai istilah “THR” bukan
beasiswa back to school. Nyatanya
swalayan Mediko bukan satu-satunya yang memanfaatkan istilah beasiswa ini.
Belakangan gairah mengincar
beasiswa turut dipicu dua novel berseri semi-memoar berkisah mengenai
kesuksesan mengejar pendidikan tinggi, Laskar
Pelangi (Andrea Hirata) dan Negeri 5
Menara (Ahmad Fuadi) di mana tokoh-tokoh dalam novel diceritakan mendapat
beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke luar negeri. Ahmad Fuadi, setelah
novelnya laris juga ikut-ikutan menulis buku Beasiswa 5 Benua yang berisi
tips mendapat beasiswa. Dari terbitnya buku-buku
ini dapat dibaca bahwa beasiswa yang menjanjikan kenikmatan dunia akademis
telah menjadi komoditas. Beasiswa dengan
tingkat keistimewaannya, terutama kalau menyangkut ke negara luar jadi pantas
diperjuangkan oleh siapa saja. Itu sebabnya bila seorang ingin mendapat beasiswa, maka dia harus membeli buku-buku tips cara memperolehnya. Tidak cukup membeli tapi orang tersebut harus
membacanya, mencari informasi ke sana
ke mari, dan mencari surat-surat yang
diperlukan. Bayangkan,
buku berjudul 45 Negara Pemberi Beasiswa saja sudah seharga Rp. 45 ribu. Bagi kalangan menengah ke bawah harga itu nyaris setara kupon
undian beasiswa di Mediko. Hanya dengan 50 ribu kalangan menengah ke bawah
punya kesempatan meraih “beasiswa,” dan inilah yang ditawarkan oleh Mediko.
Dari sekian banyak istilah yang
bisa dipakai, beasiswa yang dirangkai dengan back to school terbilang
kerap dipakai. Back to school jelas
merujuk pada latar waktu tertentu, yaitu berbarengan dengan kenaikan kelas dan
pembukaan tahun ajaran baru. Uang hadiah undian atau hadiah dari pihak manapun
seolah menemukan pembenarannya secara fungsional (nilai guna): asumsinya uang
hadiah akan dipakai membantu membiayai tahun ajaran baru di sekolah. Sementara
beasiswa lekat kaitannya dengan dunia akademis. Tak jarang beasiswa dijadikan
pelengkap yang harus ada bagi setiap kampus. Di sini terlihat betapa biaya pendidikan
masih menjadi kendala buat mahasiswa dan atau keluarganya. Hingga tidak
mengherankan bila pengeksplotasian “beasiswa” lumrah di manapun. Kampus-kampus
negeri terlebih swasta tak ingin kalah berlomba menawarkan beasiswa melalui
iklannya sebagai magnet menarik calon mahasiswa agar mendaftarkan diri terlepas
dari motifnya yang berbau komersialisasi pendidikan. Jadi tidak ada alasan
mengapa minimarket haram melakukannya.
Rasanya cukup aman mengatakan
bila hal demikian hanya muncul di negara yang pendidikannya ruwet di mana biayanya dirasa membebani rumah
tangga. Jika kupon
ukuran kecil dan kertas fotokopian tidak
cukup menampakkan begitu tercampakkannya derajat beasiswa hingga dia semata dijadikan nilai tukar untuk belanja keperluan rumah tangga kalangan
menengah ke bawah, bagaimana dengan peminjaman istilah beasiswa itu? Adakah ini
sebuah degradasi bagi terhormatnya/bergengsinya konstruksi beasiswa selama ini?
Kiranya praktik pemakaian
istilah “beasiswa” macam ini adalah suatu bentuk kitsch. Kitsch mirip
parodi, sebuah representasi palsu yang memperalat stylemes untuk kepentingan adaptasi/simulasi dalam memassakan seni
tinggi melalui produksi massal lewat proses demitoisasi nilai seni tinggi
(Piliang, 2012:188). Nilai tanda dari secuil kata “bea(spasi)siswa” seolah
mengejek rumitnya urusan meraih beasiswa digantikan oleh: berkeliling di antara
rak swalayan, memilih-milih barang, membayar di kasir, mendapat kupon lalu
mengisinya, dan memasukkannya ke kotak undian. Syukur kalau dapat, tidak pun
tak mengapa toh sudah dapat belanjaan untuk dinikmati.
Di akhir Juli, andai pun sudah
menang tidak ada kepastian uang hadiah akan benar-benar dipakai oleh pemenang untuk
membiayai pendidikan anak. Siapa yang menjamin kalau pemenang sudah punya anak
atau anaknya masih bersekolah. Kalau pun iya, bisa saja uang tunai itu
dibelanjakan lagi di Mediko. Terlebih di saat bersamaan Mediko telah menyediakan
buku-buku tulis dan alat tulis sebagai bagian dari Back To School yang diperuntukkan kepada siapa lagi jika bukan bagi
pelanggan yang anaknya akan memasuki tahun ajaran baru.
(Restu Ismoyo Aji/Jino Jiwan)
http://dictionary.reference.com/browse/scholarship
(diakses 20 Mei 2015).
Piliang, Y.A. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika, Gaya, Kode, dan Matinya Makna.
Bandung: Matahari.
0 komentar:
Posting Komentar