Wartawan: Antara Film dan Kenyataan
Sebenarnya aku kerap
membayangkan betapa nikmatnya kerja jadi wartawan/jurnalis/reporter. Dalam
bayanganku sedap nian para wartawan ini bepergian ke sana dan kemari, motret
entah apa-motret diri dengan latar entah di mana, wawancara narasumber dengan
pertanyaan (sok) kritis, nulis terus dimuat, dan dibayar untuk itu semua. Aku
juga membayangkan saktinya kartu pers untuk bikin orang yang mau macem-macem atau
ngeremehin jadi ‘takut’. Ngerti ‘takut’ yang kumaksud? Takut disini artinya
tunduk. Aku bicara soal kuasa orang media dalam mengintimidasi orang lain dan
memanipulasi apa yang ditulisnya. Oke, memanipulasi mungkin kurang tepat.
Mungkin lebih tepat bermanuver. Pendeknya kerja di media pernah jadi obsesiku
yang sayangnya (atau untungnya?) tidak kesampaian. Karena jalan rupanya tidak
menuntunku ke situ. Yang aku mau bilang sebetulnya adalah bahwa aku mungkin tidak
berbakat berhadapan dengan banyak orang dan tidak siap menghadapi gilanya kerja media.
Audrey, Rick, Stephen, dan Lou, bersama memenangkan Pulitzer Prize of Asshole Sumber gambar: cinemarx.ro, movieactors.com, fanpop.com, dailymail.co.uk |
Film adalah media yang paling
sering aku nikmati. Dan sependek pengalamanku kebanyakan film Hollywood tidak
memberi kesan yang baik terhadap para wartawan. Tengoklah film Godzilla (1998). Iya, film Godzilla yang agak lawas itu (dan sering
diputar di bioskop abal-abal Trans Tv) di mana si jurnalis Audrey Timmonds
(diperankan Maria Pitillo) rela melakukan apa saja demi pengembangan karirnya,
tidak peduli siapa pasti akan diterabas termasuk mantan kekasih yang masih dicintai.
Atau lihat Die Hard (1988) dan Die Hard 2 (1990) yang menggambarkan
wartawan/reporter dengan amat menjengkelkan lewat karakter Richard Thornburg
(William Atherton) yang rela membahayakan nyawa orang lain asal karirnya
melejit, sampai-sampai dia layak dijotos dan disetrum oleh sang protagonis.
Ajaibnya penonton pun menikmati perlakuan kepada si wartawan ini. Tonton pula
film Shattered Glass (2000) yang mengangkat
kisah Stephen Glass (Hayden Christensen), seorang jurnalis sungguhan yang membuat
batas antara berita dengan cerita jadi kabur melalui kemampuannya “mengarang
indah.” Yang terakhir adalah film tentang pemburu berita/pekerja lepas berita, Nightcrawler (2014) bernama Lou Bloom
(Jake Gyllenhaal). Kita diajak untuk melongok produksi berita di sebuah acara kriminal
di televisi Amerika lewat mata kamera yang ditenteng Lou, bahwa yang dimaui
industri televisi melulu adalah darah, drama, dan kekerasan. Untuk meraih ketenaran
Lou rela merekayasa TKP dan mencelakakan orang lain, pesaing bahkan rekan
kerjanya sendiri.
Dari sekilas gambaran terhadap
para pemburu berita di film-film tadi dapat diambil kesimpulan bagaimana dunia
pemberitaan bukanlah dunia yang suci murni mulia mengabarkan untuk teruntuk masyarakat
supaya mereka tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Tapi selalu ada kepentingan
di balik pemberitaan. Kepentingan bagi si wartawan sendiri, kepentingan pemilik
media, dan ‘kepentingan’ (kita sebagai) penonton berita, di mana berita inipun
dibentuk supaya jadi tontonan. Tontonan berita yang bersyarat: megah,
fenomenal, aktual, sensasional, dan seksi. Agar terpuaskan libido kita, tanpa
peduli kalau itu benar-benar manusia yang jadi korban. Akui saja. Perhatian
kita pada berita (mau di surat kabar, tv, laman berita) memang pada hal-hal
yang “nikmat asalkan tidak dialami sendiri.”
Sebetulnya aku tidak nyaman
mengatakan bahwa film adalah representasi kenyataan sebab film pada dasarnya
dibuat untuk menghibur hingga selalu ada pelibatan nalar industri. Tapi
nyatanya, lagi-lagi sependek yang aku tahu, begitulah kerja wartawan. Penuh
intrik dan muslihat. Bukan salah wartawannya juga sih tapi konstruksinya
seperti itu. Sistemnya sudah sedemikian sulit dicukili.
Ada 3 orang teman-kuliah yang
dulunya merasakan jadi wartawan (oke, ada lebih sebenarnya tapi aku ambil tiga
saja). Seorang sebut saja namanya Fadil. Dia dulu kerja di sebuah laman berita nasional
yang cukup populer di bawah grupnya ketua umum parpol besar di negara ini. Di
tempatnya dulu kerja, dia diwanti-wanti secara tidak resmi (misal: pada saat
makan siang) agar jika menulis berita tentang semburan lumpur Lapindo lebih
memakai istilah “lumpur Sidoarjo” bukannya “lumpur Lapindo.” Sudah tahu kan sekarang medianya apa? Seorang
dosen menyebut hal semacam ini adalah praktik soft power. Tujuannya barangkali agar tidak ada jejak/bukti
tertulis atas perintah tertentu.
Berhubung medianya media online, jadi yang dikedepankan adalah
jumlah tayang halaman (pageviews). Di
sini permainan kata-kata dalam judul berperan besar menarik orang-orang seperti
kita untuk mengkliknya. Kita bakal sering menemui judul-judul sensasional
dengan isi entah nyambung atau tidak. Fadil melakukannya juga karena dia
kebagian pos “hukum” yang sedikit pemirsanya. Selain itu kuasa atasannya juga
amat tinggi dalam menentukan mana yang pantas muat atau tidak berdasarkan
tingkat hangat/ademnya berita, yang dilihat dari perhatian kita (pembaca
berita) pada suatu isu tertentu. “Berita tingkat kelurahan” (maksudnya berita
tidak penting) tidak perlu dimuat. Hal menarik lain menurutku adalah betapa
cepatnya berita di-update hingga hanya
dalam hitungan menit berita barusan sudah basi, dan mulai lenyapnya steno,
berganti menjadi pencatatan cepat via smartphone
atau Blackberry.
Teman lainnya bernama Febri.
Dia dulu sempat bekerja di surat kabar lokal di Jawa Barat anakannya koran
nasional paling besar. Tahu kan nama medianya apa? Awalnya karena itu koran masih
dalam rangka promosi, harganya pun murah meriah hanya Rp 1000. Untuk menutupi
ongkos produksi koran lokal ini menjejalkan halamannya dengan berbagai iklan, termasuk
advertorial. Febri ini merasa kurang nyaman ketika dia ditugasi menulis
advertorial. “Wartawan kok nulis advertorial?” Belum lagi isi berita kerap
dicampuri beragam kepentingan. Misalnya, dia menyoroti praktik bagi-bagi amplop
kepada wartawan dari pihak yang diberitakan setelah acara jumpa pers atau
semacamnya sambil dibisiki: “Kamu nulisnya yang bagus ya.”
Seorang lagi namanya Hamad. Dia
dulu reporter sekaligus kameraperson di sebuah stasiun televisi besar di bawah
grup yang dimiliki konglomerat yang baru saja mendirikan parpolnya sendiri
setelah berpindah-pindah parpol. Kepadanya ditunjukkan mana berita yang layak
dan mana yang tidak. Sejak awal dia sudah dipesani supaya hanya memberitakan yang
“ramai” saja, kalau tidak “ramai” berarti bukan berita. Ramai yang dimaksud mengarah
pada keributan atau tindak kekerasan. Kekerasan yang jadi legal atas nama
rekaman bernilai jurnalistik, bukan fiksi. Pola macam ini terpatri di benak
reporter sehingga saat meliput demonstrasi dia akan menunggu terjadinya
keributan. Malah terkadang ada beberapa rekan wartawan yang menyusup massa agar
timbul keributan. Hamad juga menyebut bagaimana arsip rekaman lawas kerap
disunting ulang oleh stasiun televisi untuk membuat berita baru. Melihat
kenyataan ini dia menemukan dirinya sulit untuk bersikap idealis bagi seorang
wartawan.
Di sini bisa kita simak bagaimana
berita sudah dikemas layaknya sinetron atau film. Semakin ramai dan dramatis maka
semakin laku, semakin laku artinya banyak yang nonton, makin banyak yang nonton
artinya kredibilitas stasiun televisi itu menanjak dan pemasukan iklan pun
bertambah deras. Mata pemirsa ditarik untuk menyaksikan lalu mengiyakan bahwa tayangan
berita yang ramai adalah yang pantas diberitakan, sekalipun penuh kekerasan. Kekerasan
yang kita nikmati terang-terangan.
(Jino Jiwan/Restu Ismoyo Aji)
0 komentar:
Posting Komentar