Industri Buku Makin Edian
Industri buku selama ini tidak memberi banyak pilihan bagi
pembaca. Pembaca hanya diplot sebagai pasar potensial oleh penerbit demi mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini bisa diamati dari tren buku muncul silih
berganti dengan sangat cepat yang selalu mengatasnamakan pelayanan atas selera
pembaca, menuruti kemauan pembaca. Hingga saat ini ruang penataan di toko-toko
buku terus dipenuhi tema-tema yang nyaris seragam, di mana satu buku mengekor
kepopuleran lainnya. Tidak cukup soal tema, keseragaman juga ikut merambah sisi
sampul luarnya. Sampul luar pun ikut menghamba pasar. Satu desain sampul yang
sukses dari segi penjualan akan diikuti oleh buku dengan sampul yang mirip dari
segi penampilan, menciptakan rancangan paritas yang lagi-lagi demi memikat
pembaca dan mengejar keuntungan semata.
Pembaca dalam rezim pasar menurut Koskow tak lebih dari konsumen.
“Turunnya daya beli bisa dialamatkan kepada maraknya media-media baru
(internet, dlsb).” Turunnya daya beli dilimpahkan kepada masyarakat yang malas membaca
buku. “Kata ‘konsumen’ jarang dimunculkan manakala daya beli buku menurun (kata
yang sering dipilih yaitu ‘masyarakat’). Sedang, kata ‘konsumen’ dipilih
manakala sebuah buku (dan penerbitan) melihat realitas buku sebatas pasar.”
Dari pernyataan ini terlihat bagaimana pembaca sudah menjadi korban dari kerja
dan wacana industri buku.
Buku memang
telah menjelma komoditas yang jelas
tidak dapat menghindari tren sehingga buku dibuat sebisa mungkin menarik (calon)
pembaca. Pasca runtuhnya Orde Baru industri buku menyambutnya dengan buku-buku
bertema politik. Misalnya buku-buku yang sebelumnya sulit dijumpai, mulai dari
buku beraliran kiri hingga karya-karya Pramoedya Ananta Toer (Adhe, 2007:258).
Gelombang perbukuan ini disebut oleh Adam (2009:2-3) dengan istilah “pelurusan sejarah.” Sebuah istilah yang
populer sejak Soeharto lengser diiringi meredupnya kekuatan Orde Baru. Salah
satu cirinya adalah penerbitan buku sejarah akademis kritis yang biasanya
berasal dari tesis, disertasi, atau karya ilmiah lain, serta buku biografi
tokoh “terbuang” (Adam, 2009:9-11).
Pernah pula muncul tren buku-buku
Kahlil Gibran di awal 2000-an. Diterimanya karya terjemahan Kahlil Gibran oleh
pembaca memicu karyanya diterbitkan oleh banyak penerbit, dari Bentang Budaya,
Cupid, Diva Press, Padma, Galang Press, Media Pressindo, Navila, Pustaka
Pelajar, dll. (Adhe, 2007:171-172). Bukan hanya dari penerimaan pembaca,
penerbit pun berpikir bahwa segala yang memuat nama Kahlil Gibran pasti akan
laku, demikian pula yang dipikirkan pihak distributor. Sangat banyaknya sampai-sampai
jumlah buku versi penerbit di Yogyakarta jauh melebihi karya asli yang ditulis
penyair Lebanon. Gejalanya adalah menerbitkan satu judul yang sama tapi berbeda
penerbit. Gejala lain adalah penciptaan buku yang berisi kumpulan cuplikan
karya Kahlil Gibran namun dengan judul yang dikarang sendiri oleh penerbit. Penerbit
juga lalu mengemas buku-buku Kahlil Gibran dengan pendekatan remaja sehingga
mirip novel teenlit, di mana semangat
sufi dari karya aslinya pun hilang.
Di bidang sastra muncul tren penulis perempuan yang dikategorikan
“sastrawangi.” Yudiono (2007) menyebut karya
sastra yang hadir sesudah era reformasi dengan istilah “sastra pembebasan.” Semangatnya adalah ingin “menantang zaman” dan “kehendak membebaskan publik dari kebekuan bacaan
yang selama puluhan tahun dibayangi pelarangan dan pembredelan” (Yudiono,
2007:282). Salah satu penulis yang digolongkan dalam sastra pembebasan tersebut adalah Ayu Utami. Diawali Saman karya Ayu Utami, penulis buku model ini disusul oleh nama-nama Dewi Lestari, Dinar Rahayu, Fira Basuki, dan Djenar
Mahesa Ayu. Publik pun menyambut, bahkan ada
novel yang kemudian difilmkan. Menurut Adhe (2007:258) buku-buku ini berisi keberanian mereka mengungkap tabu
seksualitas. “Tema ini muncul akibat terlalu lama terjadi pembungkaman dari
sudut politik, budaya, dan agama.”
Tren buku juga diramaikan genre yang
disebut chicklit dan teenlit yang ditulis perempuan muda usia
dan remaja. Temanya sangat dekat dengan keseharian remaja perkotaan (Adhe,
2007:267). Mengenai sampul buku sastra perempuan ini, teenlit (untuk remaja perempuan) dan chicklit (untuk perempuan dewasa metropolitan), Koskow (2009:32-37)
berpendapat gaya yang digunakan jadi cenderung mengulang yang baku, yaitu
dengan gaya dekoratif, deformatif, dan stylish/fashionable. Gaya-gaya yang
direpresentasikan pada sampul merupakan bentuk ideologi kelas sosial yang
tampak secara fisik. Gaya ini dipengaruhi ruang global sehingga idiom yang
digunakan pada sampul pun ikut mengglobal, berbeda dengan novel remaja Ali Topan Anak Jalanan (1970-an) dan Lupus (1990-an). Gaya pada sampul
berujung pada penyeragaman citra mengenai perempuan yang ikut dibentuk gaya
grafis di luar buku (film, iklan, majalah, fashion)
Dari genre fiksi sejarah muncul novel-novel yang dikategorikan oleh industri sebagai “novel epos” sejak 2004. Novel epos merujuk pada novel yang
mengisahkan tokoh-tokoh sejarah berlatar kerajaan Nusantara (prakolonial), dari
Sriwijaya, Majapahit, Demak, Mataram, Sriwijaya, hingga kisah Wali Songo, sampai
pewayangan (baik Mahabarata maupun Ramayana). Masing-masing novel dari berbagai
penerbit kerap mengulangi cerita-cerita yang sudah akrab di kalangan pembaca
dan sudah diangkat oleh penulis lain berulang kembali dalam rentang waktu
singkat. Perbedaannya adalah pada tafsir jalannya sejarah oleh para penulis, di
mana setiap penulis seolah berdialog dan timbul sebagai tanggapan dari novel
lainnya. Sensasi yang di kedepankan kepada khalayak adalah kontroversi
sejarahnya terutama sejarah Majapahit yang selama ini dikonstruksikan untuk
melegitimasi lahirnya negara Indonesia sehingga versi yang beredar tunggal.
Kemiripan hadir pula pada sisi sampul yang meminjam kode-kode visual dari novel
yang sukses penjualannya dan ikut mencomot kode visual dari film Hollywood yang
laris di sekitar tahun 2000-2005, sehingga desain sampulnya menjadi hibrid
sekaligus penuh simulasi. Bersamaan dengan tren novel epos muncul pula tren
serupa namun dari sisi non fiksi yang turut membahas sejarah kerajaan Nusantara
dan buku-buku pewayangan. Buku-buku sejarah non fiksi yang ditulis sejarawan ini
mendasarkan diri pada interpretasi data arkeologi dan naskah kuno. Mereka
seakan mencoba menjawab interpretasi imajinatif dari para novelis sejarah (Aji,
2014-->ini skripsiku sendiri).
Aspek jualan amat kentara dari
elemen semacam “best seller.” Adhe (2007:260) menyoroti bagaimana buku
bermain-main dengan istilah ini pada sampul dan bagian informasi bukunya.
Padahal ukuran sukses penjualan kerap semau penerbit tanpa ada standar pasti
yang disetujui. Embel-embel best seller menjadi
strategi demi menarik perhatian pembeli. “sebuah buku bisa saja ditulis cetakan
ke-7, 14, atau lebih. Tapi kalau sekali cetak 1000 atau 1500 eksemplar saja,
maka kategori best sellet tentunya sangatlah subjekytif.” Dia menyebut bahwa
langkah-langkah penerbit yang cenderung pro-pasar ini adalah demi bertahan dan untuk
terus berkembang dalam industri.
Adhe (2007:231-232) mengutip
pernyataan Nur Khalik Ridwan bahwa ada tiga model keberhasilan dari sebuah
penerbitan. Pertama, jika berhasil beroleh laba besar di akhir tahun, punya
lini penerbitan, punya toko buku sendiri, dan punya cabang di mana-mana. Kedua,
bila penerbit mampu menerbitkan apa yang menjadi cita-cita awal, penerbit model
ini masih punya idealisme dan tidak semata cari untung. Ketiga, penerbit
bertujuan mencari keuntungan tapi juga menjaga idealisme. Pada penerbit model
ini negosiasi-negosiasi ditekankan demi menghidupi mereka sendiri. Negosiasi
yang dilakukan penerbit kadang tidak semulia maksud dari buku yang umum
dikenal. Pada praktiknya penerbit sering memunculkan buku-buku “ATM” (Amati,
Teliti, Modifikasi) dengan tidak mengindahkan ketentuan copyright terutama untuk karya terjemahan dari luar negeri. Belum
lagi kualitas terjemahan yang buruk, perilaku yang suka mengarang sendiri ISBN,
membuat barcode sendiri, dan tidak berbadan
hukum. Semua ini sesungguhnya berpangkal pada minimnya modal dan alasan-alasan
ideologis: seperti kebebasan transfer pengetahuan dan anti kapitalisasi ilmu
(Adhe, 2007:58, 148, 152, 169).
Para penerbit besar kemudian mengekor
dan mengambil alih tema-tema penerbitan kecil/alternatif di Yogyakarta terutama
yang muncul setelah kejatuhan rezim Orba, terutama untuk buku-buku “serius”
(Koskow, 2009, Adhe:2007). Penerbit alternatif ini membedakan diri dari
penerbit mainstream di luar Yogyakarta (Adhe, 2007:67). Alternatif merujuk pada
idealisme dalam menawarkan wacana tandingan dalam Misalnya penerbitan buku-buku
bernuansa serius seperti buku tentang Che Guevara, Nietzsche, Marx, dan Gramsci.
Penerbit alternatif yang telah muncul awal 1990-an hingga reformasi bergulir
selalu berada dalam jalur kritis atau tandingan terhadap Orde baru dengan
secara nyata mengkritik kenyataan sosial saat itu (Koskow, 2009:4). Pada
tataran sampul, penerbit alternatif Yogyakarta memeloporinya dengan rancangan
para seniman. Keberanian tampak dari tampilan sampul artistik yang membungkus
wacana kritis penuh kiasan dan menggambarkan situasi sosial politik kebudayaan
(Koskow, 2009:111). Sayangnya kekuatan modal memang berbicara. Beberapa
penerbit bangkrut, beberapa bergabung dengan penerbit besar. Penerbit besar
luar Yogyakarta meluaskan pasar dan melihat potensi besar dari model penerbitan
di Yogyakarta. Penerbit besar luar Yogyakarta selain punya modal, penggarapan
bukunya pun lebih serius (copyright
dan sampul), pun memiliki kejelasan dari sisi royalti kepada penulis.
Sumber Bung, Sumber!
Adam, A.W. 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Adhe. 2007. Declare! Kamar Kerja Penerbit Jogja (1998-2007). Yogyakarta: KPJ.
Aji R.I., 2014. Imajinasi Heroisme Pada
Sampul Novel Epos Berlatar Kerajaan Majapahit, Skripsi: ISI Yogyakarta.
Koskow. 2009. Merupa Buku. Yogyakarta: LkiS.
Yudiono K.S. 2007. Pengantar
Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
1 komentar:
edian ora katokan hehe...
Posting Komentar