Pasukan Garuda: I Leave My Heart in Lebanon Versi Ringkas
Suatu hari Kapten Rio Dewanto
berpamitan kepada keluarga Jenderal Purn. Deddy Nagabonar Mizwar, bapaknya Revalina
S. Temat sang tunangan untuk berangkat ke Libanon sebagai komandan Pasukan
Garuda demi menjalankan misi perdamaian.
Catat ya! Misi perdamaian. Dan yang dimaksud misi perdamaian adalah sesuai dengan
apa arti kata “damai” secara harfiah: tidak banyak yang terjadi, kecuali… “Awas, ada roket diluncurkan, sembunyi di
bunker! Karena pasukan perdamaian artinya kita tidak boleh ikut campur, …tapi
toh kita hadir di sana!”
Kapten Rio Dewanto: “Apa kita
tak ingin menjelaskan kepada penonton, ada situasi apa di Libanon, mana lawan
mana, atau setidaknya ini tahun berapa.”
Deddy Mizwar (dengan logat
Nagabonar): “Sebagai prajurit yang perlu kamu ketahui hanya menjalankan
perintah tanpa bertanya. Dan yang benar Lebanon pake E, bukan Libanon. Lebanon
terdengar lebih keren.”
Kapten Rio Dewanto: “Siap,
salah, Ndan!”
Revalina S. Temat: “Ini tahun
2016, Mas Rio, seperti nanti ditunjukkan anggota pasukan Garuda yang pada video call via Wassap.”
Kapten Rio Dewanto: “…Kita tunda
menikahnya nanti setelah saya pulang dari Lebanon …untuk menjaga perdamaian. Ya?”
Revalina S. Temat: “Iya Mas,
sebagai dokter spesialis saya toh juga sibuk. Pastinya akan muncul subplot
menarik melibatkan karir saya di cerita ini kan?”
(Sayangnya itu tidak terjadi)
Setelah adegan berpisah-pisahan
di Bandara, Pasukan Garuda sampai juga di Lebanon. Mereka tak menghabiskan
banyak waktu untuk memulai misi perdamaian tahap I: Berpatroli.
Komandan: “Ingat Rio, kita ini penjaga
perdamaian, tidak boleh terlibat jauh dengan konflik. Ajak anak buahmu
berpatroli sekarang.”
Boris Bokir (dengan steriotip
Batak): “Bah, aku ini comic relief-nya film ini. Aku siap
menggempur musuh, itupun kalau kita punya musuh… kita punya musuh kan?”
Yama Carlos: “dan saya…”
(tenggelam dan terlupakan)
Berkendara dalam panser putih,
belum apa-apa mereka berada di tengah tembak-menembak yang melibatkan empat vs
lima orang, asap, api, roket, senapan Ak47, pasir gurun, dan… oh helikopter!
Kapten Rio Dewanto: “Mundur! Mundur!
Kita tak boleh terlibat!”
Boris (dengan steriotip Batak):
“Bah, kenapa kita mesti mundur,
Kapten?”
Kapten Rio Dewanto: “CGI-nya kw
5, kita mundur atau mata kita akan sakit!”
Semua anggota pasukan pun
berlindung di dalam bunker demi keselamatan. Sesudah pertempuran reda mereka baru
keluar. Kemudian masuk lagi ketika ada bentrokan lain. Lalu keluar lagi jika
sudah kelar. Dan begitu seterusnya.
Berhubung durasi masih dirasa
kurang lama, cerita kemudian disusupi dua adegan paling cringeworthy tak terlupakan. Yang pertama Pasukan Garuda memberi kado
kue ulang tahun entah kepada Komandan pasukan Lebanon atau kepada militer
Lebanon, tidak jelas juga maunya apa. Tapi yang jelas kita jadi tahu Pasukan
Garuda berlimpah-limpah waktu untuk sempat bikin kue dan ternyata pasukan
Lebanon jarang makan kue. Hore!
Yang kedua, Kapten Rio dan
aktor lain yang cukup penting (karena punya dialog dan masuk kredit) berhasil
menemukan sebutir lampu natal berkelap-kelip di sebatang pohon yang bukan pohon
natal, oleh karenanya layak dianggap mencurigakan (?). Temuan ini entah
bagaimana katanya sangat dihargai oleh PBB sehingga harkat pasukan asal
Indonesia melejit pesat di mata dunia. Sungguh!
Misi perdamaian di Lebanon tahap
II dilaksanakan: Berkunjung ke sebuah sekolah. Di sana Kapten Rio Dewanto bertemu
dengan janda anak satu berbodi semlohai bernama Rania.
Kapten Rio Dewanto: “Salam aleykum, ana Ismi Kapten Rio.”
Rania: “Saya bisa berbahasa
Indonesia yang baik dan benar, Kapten Rio.”
Kapten Rio Dewanto (tersentak):
“Bagaimana bisa?!”
Rania: “Karena ini film
Indonesia maka kamu tidak perlu kaget, dan kamu adalah prajurit, jangan banyak
bertanya.”
Kapten Rio Dewanto (melihat
seorang anak perempuan emo minus dandanan emo duduk di sudut ruang): “Iiih,
anak sapa tuh, lutuna…”
Rania (dengan ekspresi sedih):
“Itu anak saya, Kapten. Namanya Salma, dia mengalami trauma...” Rania kemudian
menerawang keluar jendela. Lalu ditayangkanlah Flashback yang terdiri dari ledakan bom CGI murahan, debu bertebaran,
latar tempat yang ke-Arab-araban, dan seciprat darah yang telah membunuh
suaminya, ayah Salma.
Kapten Rio Dewanto (dengan voice over suara hati macam sinetron
gitu): “Sebagai prajurit penjaga perdamaian, aku berkewajiban mendamaikan hati
anak ini, ehm… dan ibunya juga.”
Lalu tidak banyak hal lain yang
terjadi, selain mereka sering ketemu, ngobrolin ini itu, ngobrolin Kahlil
Gibran (serius!), jalan-jalan, bergandengan tangan, makan bareng. Pendeknya ini
hanyalah adegan orang pacaran hanya saja latarnya di Lebanon. Montase bagaimana
mereka berduaan atau bertigaan (dengan Salma) tersaji di layar bioskop selama
tigaperempat durasi. Hingga tiba masanya Pasukan Garuda pulang kandang.
Kapten Rio Dewanto: “Rania,
Salma, saya akan pulang ke Indonesia. Saya punya Revalina untuk dinikahi.
Sampai jumpa.”
Rania dan Salma berpelukan
bertangisan. Adegan ini cukup menrenyuhkan hati andai saja Boris Bokir tidak membikin
penonton tertawa.
Sementara itu di Indonesia
Revalina dikenalkan oleh orangtuanya dengan Baim Wong yang adalah seorang
pengusaha.
Deddy Mizwar (dengan logat Pak
Haji): “Jadi, kamu pengusaha apa Anak Muda?”
Baim Wong: “Saya sedang mengusahakan
supaya penonton sebal sama saya, Pak.” Baim beralih ke Revalina, “Saya dengar
dari sutradara kamu dokter spesialis?”
Revalina S. Temat: “Saya dokter
spesialis gadungan kandungan.”
Baim Wong (bersenyum pleboi): “Tahukah
kau, aku mengandung cinta untukmu.”
Revalina S. Temat jengah, dia memalingkan
muka tapi menoleh kembali setelah Baim melahirkan dua buah mobil dan sebongkah apartemen
ke hadapannya. Mata mereka bertumbukan memancarkan binar-binar asmara. Begitulah,
kawan. Agar tidak gagal dalam percintaan, cobalah beri pasanganmu mobil dan
atau apartemen seperti dibuktikan oleh film ini. Rencana pernikahan Baim dan
Revalina pun langsung dibicarakan.
Tepat pada saat itulah, Kapten
Rio Dewanto datang bermaksud untuk melamar Revalina. Dia hanya ditemui Jend.
Purn. Deddy Mizwar di tepian pinggiran teras rumah.
Deddy Mizwar (dengan logat
Nagabonar): “Sebagai prajurit, perjalananmu masih panjang. Kamu mungkin tidak
bisa bersanding dengan anak saya, Revalina. Tapi kamu masih bisa jadi mayor lalu
mengundurkan diri mencoba peruntungan maju sebagai gubernur di pilkada, yang
mana itulah yang saya lakukan.”
Bahasa ngode a la militer
dipahami dengan baik oleh Kapten Rio. Dia berjalan gontai ke arah matahari
terbenam, hujan turun dengan deras, air mata merendam hatinya yang pilu. Tepat
sebelum The End judul film pun muncul,
kali ini sudah berganti menjadi, Pasukan
Garuda: I Wound My Heart in Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar