Film Headshot (review)
Pada
sebuah penjara kumuh nan temaram mendekamlah di salah satu biliknya penjahat
super sadis bernama Sunny Pang. Kita
semua langsung tahu dia bejat karena duo sutradara Mo Bros berkeras agar Sunny
Pang memajang tampang licik sepanjang durasi lengkap dengan lensa kontak merah
di mata kiri, dan dia pun dipanggil dengan nama yang amat tipikal: siapa lagi
kalau bukan, Lee… karena dia berasal
dari Cina (kan?) jadi itu adalah satu-satunya nama yang masuk akal.
Apapun
itu, Sunny alias Lee meloloskan diri setelah segerombolan penjahat yang bisa
keluar dari sel adu tembak secara terbuka dengan satu peleton penjaga penjara
yang entah bagaimana melupakan pelatihan menghadapi situasi krisis semacam ini.
Mo Bros yang dari tadi sudah gatal ingin
mengejutkan penonton kemudian menyemburkan dua puluh liter darah ke segala penjuru.
Segera
begitu lepas dari penjara, untuk membangun betapa kejinya Sunny Pang, ditemani
oleh Julie Estelle, dia menembaki,
menusuki, membacoki, lalu cuci muka dengan darah anggota geng yang menjadi
distributor barang-barang haramnya, karena bersembunyi bukanlah konsep yang
dipahami dengan baik oleh buronan penjara macam Sunny.
“Haah,
sebagai seorang penyelundup aku masih sangat membutuhkan distributor, tapi
karena aku juga bandit top maka aku wajib membuat penonton memusuhiku.
Dilema!” ujar Sunny. Jarinya sudah diujung pelatuk pistol siap melubangi dahi Si
Centeng Distributor yang namanya tidak penting disebut. Tapi untuk memudahkan mari kita panggil dia Sisidi (SCD-Si Centeng Distributor).
“Tunggu
Bos, jangan tembak saya. Saya punya info. Iko Uwais masih hidup.”
“Masih…
hidup?” Sunny mendelik dengan licik.
Siapakah
Iko Uwais? Jeng jeng jeng…
Kita
beralih ke tempat lain, di sebuah rumah sakit yang bukan di Jakarta—barangkali
alasan bujet, mungkin pula Mo Bros ingin menjauhi Jakarta yang lekat dengan
citra The Raid series—terbaring dalam
keadaan koma selama dua bulan Iko Uwais,
bintang utama The Raid yang daripada
menanti terlalu lama untuk bermain di sekuel garapan Gareth H. Evans mau
berperan menjadi seorang lupa ingatan bernama Ishmael. Ingat ya, Ishmael. Bukan Ismail! Ismail mah kampungan,
Ishmael lebih bisa dijual!
Rupanya
dokter Uayuu selama ini telah
menungguinya dan merawatnya dengan kasih sayang karena di rumah sakit terpencil
orang sakit jumlahnya mendekati nol, makanya dokter macam dia jadi berlimpah
waktu luang. Saat itulah Iko sadar dan bangkit terhenyak dengan gelagat khas film
Hollywood bila si aktor bangun dari
mimpi buruk.
*yah, seperti inilah. Nangkap kan?*
“Dimana
gue, sejak kapan gue di sini, siapa gue, apa
yang terjadi sama gue, kenapa gue begini, gimana gue sampai di sini ? Lima W satu H, gue harap film ini menjawab semuanya!” Iko Uwais bertanya tanpa
henti sambil memegangi kepalanya.
“Iko, sabaaar. Kamu seharusnya orang Sumatra
atau… apalah. Bukan Jakarte. Berhenti bilang gue.” dokter Uayuu mencoba menenangkan Iko.
“Apakah
ini film eksyen? Tolong katakan ini memang film eksyen, bukan drama. Mengapa dari
tadi belum ada adegan silatnya? Jangan paksa gue untuk aktiiing. Gue
gak bisa aktiiing!” Wajah Iko mulai terlihat cemas. Mungkin sebenarnya dia bisa
akting juga.
Mendengar
racauan Iko, Mo Bros lantas mengirim Sisidi (ingat? Si Canteng Tak Bernama?) masuk ke ruang
periksa dokter Uayuu.
“Arhh, Iko. Lihat aku melecehkan dokter Uayuu. Kamu harus menghajarku jika ingin menyelamatkannya.”
“Arhh, Iko. Lihat aku melecehkan dokter Uayuu. Kamu harus menghajarku jika ingin menyelamatkannya.”
Bagai
disundut rokok yang membara, Iko tanpa perlu menjalani terapi pasca koma dengan hati riang meremukkan wajah Sisidi hingga tak berbentuk lagi.
“Oh,
Iko pahlawanku. Terimakasih…” dokter Uayuu mendekap Iko dengan hangat membuat
Audy Item Uwais menangis semalam.
Mereka
berdua lantas melupakan insiden kecil itu, karena keesokannya dokter Uayuu
pulang kampung. Dan yang kumaksud kampung adalah Jakarta yang berstatus
Ibukota, jadi lebih tepat dibilang pulang kota. Iko mengantar dokter Uayuu
hingga ke pintu bus, membuat anak buah Sunny yang lainnya, Tano//Tejo mengira Iko turut
naik ke dalamnya.
Belum
berapa jauh berjalan bus butut itu dihadang Tano//Tejo yang diperintahkan untuk
menghabisi Iko Uwais. Tidak menemukan Iko di dalam mereka jadi ingat peran
mereka sebagai penjahat dan mereka belum berbuat banyak supaya penonton ikut
sebal kepada mereka. Maka dengan senang gembira Tano//Tejo menyemprotkan peluru ke seluruh
penumpang bus seakan mereka prop yang terbuat dari steriofoam. Mo Bros
bermasturbasi menonton loncatan lima puluh liter darah.
“Hei
lihat, ada cewek ayu!” Tano//Tejo cengengesan saling tos tinju.
“Itu…memang
nama saya… pemberian dari pengetik tulisan ini yang punya obsesi tidak sehat
kepada saya.” Jawab dokter Uayuu.
Berhubung
dokter Uayuu terlanjur terlibat dalam plot, dia berkewajiban diculik dan
disekap oleh anak buah Sunny demi melengkapi garis takdirnya sebagai perempuan
di film ekyen sejak era 80-an.
Iko
Uwais datang terlambat di TKP (Tempat Kejadian Pembantaian). Dokter Uayuu tidak
ada di situ, bus dalam keadaan kosong. Maksudku tidak benar-benar kosong sih.
Ada beragam jenis sobekan kulit; serpihan daging; serbuk tulang; percikan darah,
pendeknya semua yang tadinya adalah manusia. Sesuatu yang biasa dilihat Iko
seharusnya, tapi entah mengapa dia seperti mual. Iko hendak keluar dari bus,
namun bus itu disergap gerombolan penjahat (lagi). Iko dengan sigap siap sedia melumat
mereka semua tanpa ampun.
Tiba-tiba
Epi Kusnandar muncul menolong Iko
dari Penjahat#34 yang hendak membokong. Dia kena babat, tiga liter darah
muncrat dari dadanya yang terbelah.
“Ahh…,
siapa lo?” tanya Iko.
“Saya
Epi…, saya yang menyelamatkan kamu dari tepi pantai dan membawamu ke rumah
sakit… sekarang saya mati…selamat tinggal…” Epi pun mati dengan mengenaskan,
tapi lebih karena penonton tidak tahu kalau dia ternyata Epi Kusnandar.
“Oh…,
oke…” Iko baru akan menunjukkan ekspresi kesedihan dan kemarahannya tapi POLISI
keburu menangkapnya.
Di
Kantor Polisi Iko diinterogasi AKP Teuku
Rifnu Wikana! Sungguh cameo yang tak terkira. Penampilan Teuku Rifnu
menggoyahkan semangat akting Iko.
“Astaga,
gue harus berhadapan dengan Jokowi
muda? Ampuni saya Pak. Saya baru berniat menjalankan nawacita dan ikut tax amnesty namun belum kesampaian.”
Kata Iko dengan nada rendah.
“Jawab siapa sebenarnya kamu? Mengapa kamu terlibat
dengan gengnya Sunny Pang?!” Sembur Teuku Rifnu
“Gue juga gak tahu Pak, gue harap film ini akan mau menjawab
semuanya.”
Teuku
Rifnu mulai mencium masalah, “Apa aktingku terlalu bagus untuk film ini?” Jawabannya
adalah IYA. Teuku Rifnu pun tewas mendadak. Lima setengah liter darah mengucur dari
lehernya yang tertembus golok komplotan penjahat (lagi) yang menyerbu Kantor Polisi.
“Ih,
yang bener, penjahat menyerbu Kantor Polisi? Kirain cuma teroris yang berani.
Ini berarti gue harus kerahkan semua
ilmu silat gue!” Benar, ini adalah
saatnya Iko untuk menghadapi…
STAGE
#1: Police Station (vs. MINI BOSSES #1)
Dari
pintu masuk nongol Tano//Tejo, duo pentolan begundal dengan karakteristik sadis gila gemar tertawa. Aku harus
bilang kalau aku tidak tahu yang mana yang namanya apa. Mereka jarang memanggil
nama satu sama lain. Jadi anggap saja mereka satu orang ya, toh bisa saling
menggantikan.
“Ini
saatnya Iko. Kita yang sudah seperti saudara ini berhadapan juga!” Tano//Tejo bersorak.
“Saudara
apa? Sejak kapan?!” Iko tersentak mendengarnya.
“Sepertinya
kamu masih lupa ingatan.” Ucap Tano//Tejo.
“Gak
juga. Sebetulnya gak jelas apa aku pura-pura lupa ingatan atau kapan mulai ingat. Mungkin kalau Mo Bros mau lebih kreatif daripada sekedar eksposisi gue bisa lebih menjiwainya.” Ucapan Iko sangat
menyengat tapi Mo Bros tutup telinga.
Tunggu!
Kalian ingat bagaimana netizen bertanya-tanya, dikemanakankah pistol oleh para
penjahat di The Raid 2, mengapa
mereka tidak memakainya? Ini dia! Mo
Bros akan menggunakannya secara simultan, bergantian dengan silat. Dan yang aku
maksud dengan silat adalah kesuperioritasannya di atas pistol. Mereka lalu
bertarung dan bermain petak umpet umpat di antara meja kantor dan
bertarung lagi lalu bersembunyi lagi.
“Kami
ingin darah. Kami ingin darah. Kami ingin darah!” Tano//Tejo mengucapkannya
bagai mantra.
“Baiklah,
ini dia darah. Darah lo sendiri!” Iko
menembakkan shotgun. Tujuh seperempat liter darah muncrat dari kepala Tano… atau Tejo(?),
aku sungguh tidak tahu. Iko melanjutkan gerakan Finish Him ke Tejo…atau Tano(?) dengan menyulap mukanya jadi bubur
disertai aliran darah sebanyak sembilan liter.
STAGE
#2: Deep Forest (vs. MINI BOSS #2)
Iko
melanjutkan misinya ke tengah hutan, markasnya Sunny(?), di mana tersedia tempat yang lapang dan
nyaman untuk baku pukul, kebetulan sekali!! Dia dicegat oleh Baseball Bat
Man Besi. Misi baru: bunuh Besi untuk maju ke Stage 3!
Besi
membuka dialog, “Iko, ini aku… eh? Nama karakterku BESI? Setelah jadi Manusia
Pentungan aku jadi Besi?"
"Setidaknya namamu masih keren." hibur Iko.
"Shit! ...ya kurasa. Setidaknya juga penampilanku lebih sophisticated.
Lihat jenggot dan kumisku yang lancip, rambutku yang dikuncir ke atas, dan aku pakai
kacamata. Lihat Iko, lihat.” Besi menuding-nuding mukanya sendiri.
“Jadi
kamu hipster nih?” ujar Iko
tak ambil peduli.
Sakit
hati karena diejek, Besi mendadak menghilang dari pandangan kamera.
“Astaga,
kemana kau pergi?” Iko nampak bingung.
“Kalau
kita sudah seperti saudara bukankah kamu tidak usah terkejut dengan gaya
bertarungku?” Ternyata Besi ada di atas pohon, rupanya nama Besi juga berarti dia selincah monyet.
“Butuh
lebih dari eksposisi dan flashback
untuk membangun rasa kedekatan!” sergah Iko.
“Itu
belum apa-apa dengan yang menantimu di Stage 3!” Besi menyerbu dengan pentungan
besi.
Mereka
bertarung lagi. Kamera berputar-putar demi membedakan diri dari The Raid series dan Bourne series. Ini membuat Besi terserang vertigo. Iko dengan gampangnya
menghantam wajah Si Besi.
“Oh,
ada apa dengan Mo Bros dan wajah? Kenapa mereka begitu membenci wajah?” Besi
menyemburkan sebelas liter darah dari mulutnya.
“Dandananmu
terlalu basi, Besi!” Iko menuding ke kamera, “yeeah!”
STAGE
#3: Beach (vs. MINI BOSS #3, mini boss lagi???!!!)
Iko
berlari ke Pantai, kemudian diteriakin Julie Estelle.
"Jadi setelah jadi pembunuh di The Raid 2, kamu jadi pembunuh lagi? Sungguh perkembangan akting yang luar biasa."
"Diam! Kamu sendiri sama!"
Mereka bertarung lagi selama sepuluh menit. Belahan dada Julie terpampang di depan kamera, sesuatu yang jarang bisa dilihat belakangan ini. Makasih ya KPI. Karena anda juga belahan dada terasa istimewa. Kedua basah tercebur air laut. Sungguh erotis, eh maksudku eksotis.
"Jadi setelah jadi pembunuh di The Raid 2, kamu jadi pembunuh lagi? Sungguh perkembangan akting yang luar biasa."
"Diam! Kamu sendiri sama!"
Mereka bertarung lagi selama sepuluh menit. Belahan dada Julie terpampang di depan kamera, sesuatu yang jarang bisa dilihat belakangan ini. Makasih ya KPI. Karena anda juga belahan dada terasa istimewa. Kedua basah tercebur air laut. Sungguh erotis, eh maksudku eksotis.
“Kenapa
kita harus bertarung di pantai sih?” tanya Iko.
“Supaya
…romantis? Tak ingatkah kamu Iko, betapa mesranya kita dahulu? Kamu tidak ingat
Sunny adalah ayah kita yang baik kepada kita semua…” Julie balik bertanya.
Iko
memotong, “Aneh, kalau memang kita dulu mesra kenapa tidak ada flashbacknya? Entah adegan itu sudah
dibuat tapi disensor KPI atau tidak dibuat agar tidak melukai perasaan Audy…dan
gue mesti percaya kita dulunya adalah
sepasang kekasih? Astaga!”
Tersinggung
akan indikasi bahwa aktingnya payah, Julie menusuk perutnya sendiri dengan
pisau dan langsung mati. Kali ini hanya dua liter darah membuncah merembes ke air laut.
“Tidak…,oh…jangan
Si Julie dong, tidak…” Iko baru akan menyajikan ekpresi trenyuh dan tersentuh. Tapi Mo
Bros menyuruhnya segera ke stage
berikutnya.
FINAL
STAGE: Bunker (vs. MAIN BOSS)
Iko
Uwais memasuki bunker dan membebaskan dokter Uayuu dari kepungan para penjahat. Mereka ingin segera
keluar dari bunker. Tapi Sunny menghalangi.
“Ha
ha ha, Iko my son. Kamu pasti tidak menduga akulah yang kamu hadapi di final boss fight ini.” Mata Sunny menyala-nyala.
“Astaga,
belum cukupkah pertarungannya? Penonton sudah capek tahu?” Iko terkesiap, “dan lihat tempat ini. Ruangan kosong empat
dinding yang datar dan hambar! Akan sungguh sangat menjanjikan baku hantam yang
seru, YA?”
“But, the directors said they still got sixteen more litres of blood and it’s all for me.” Sunny mencoba membantah.
“Ngapain
lo ngomong bahasa linggis? Tukas Iko.
“Because it will add some depths in my
character.”
“Really?”
Kesal
karena diajak ngomong pakai bahasa linggis, Iko menyerang Sunny Pang ayah
angkatnya. Jujur, aku sudah kehilangan minat menonton perkelahian yang
berlarut-larut ini. Intinya, gaya bertarung mereka berbeda. Sunny Pang
menggunakan jurus yang kutebak sih cakar harimau dari Shaolin. Sungguh, ini gak
bohong! Cakarnya bisa merobek kulit lengan Iko. Sedangkan Iko menggunakan silat
aliran… pokoknya silat.
Menyadari
ruangan itu terlampau kosong dan tidak ada yang bisa dimanfaatkan untuk jadi plot device. Sunny menghambur keluar
bunker, “Let us continue this fight outside!” teriak Sunny.
“Why?”
“It needs to be more dramatic.”
Dan
yang dimaksud dramatis adalah hujan! Karena, kenapa tidak? Mereka masih
bertarung lagi dan lagi untuk beberapa jurus. Tapi kali ini Sunny Pang sudah demikian
terdesak.
“Iko, I never told you how much I love this
forest.” Sunny merengek.
“Huw…I mean…How?” Jawab Iko sekenanya.
"Witness me!" Sunny menghujamkan dirinya sendiri ke dahan
kayu yang tajam, karena di film ini dahan kayu terbuat dari besi stainless steel jadi tidak akan pernah
lapuk. Delapan belas liter darah membanjiri tubuh Sunny.
“Ukhh…,
sutradara bilang enambelas liter…, eekkhh” Sunny Pang pun tewas dengan gembira.
Dokter
Uayuu menghampiri Iko, “Iko, kau makin menegaskan signature-mu.”
“Bahwa
gue adalah the next action star in Asia?”
Dokter
Uayuu meraba pipi Iko, “Bukan, wajahmu yang dihiasi darah dan luka bikin kamu
lebih ganteng.”
“Oh…,
ok…” Iko baru akan menampakkan ekspresi sedih sekaligus tegar, tapi dia keburu
pingsan.
...
Kita
beralih ke sebuah rumah sakit di Jakarta. Iya, Jakarta! Akhirnya mereka berdua
pulang kota juga. Di situ dokter Uayuu sedang menunggui (lagi) Iko Uwais yang sedang
koma (lagi). Tiba-tiba seorang cameo masuk.
“Astaga,
Ario Bayu. Ngapain kamu di sini!” sapa dokter Uayuu.
“Aku
adalah Komisaris Polisi, tugasku adalah eksposisi. Aku di sini berfungsi menjelaskan
plot. Begini ceritanya: Iko cilik diculik oleh Sunny, dia dididik sejak kecil jadi
pembunuh, dst., dst., bla, bla. Iko bilang "tidak, cukup", lalu dia menjadi informan buat
kami, tapi dia ketahuan dan Sunny mencoba membunuhnya, dst., dst., bla, bla., demikian.” Ario Bayu mengakhiri presentasi cerita pakai
Powerpoint.
“Woow, itu cukup detail. Tapi… whatever. Yang penting penonton puas
ngelihat adegan tonjok-tonjokan dan darah kan?” dokter Uayuu tersenyum manis ke
kamera.
“Dan,
gue masih hidup. Berarti bakal ada Headshot 2, kan?” Iko berharap dengan raut
memelas.
.
..
Mo
Bros pura-pura tidak dengar. Mereka menyetel musik rock keras-keras, berendam
bareng dalam bak mandi berisi seratus liter darah sambil merevisi naskah The Night Comes For Us memastikan akan
lebih banyak darah.
TEE'END
0 komentar:
Posting Komentar