Industri Komik Indonesia 1960-an: Menyimak Serial Komik Silat Jaka Sembung Karya Djair
Tulisan berikut bermula dari bab yang dipangkas dari Tesis berjudul "Mitos Pendekar Jaka Sembung dalam Komik Pendekar Jaka Sembung (1969) Karya Djair" yang diuji pada sidang akhir Prodi Kajian Budaya dan Media tahun 2018. Tesis tersebut dapat dibaca di Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UGM (kurasa). Repository ada di sini.
Bab yang membicarakan latar atau konteks dunia komik pada tahun 1960-an ini belum sempat dipublikasikan. Aku lantas mengirimnya ke ajang ComSequence: Comic and Sequential Art Festival 2022 untuk diikutsertakan dalam buku bunga rampai "Menilik Komik Indonesia". Setelah berbulan-bulan, buku ini akhirnya terbit juga (April 2023). Sayangnya buku ini tidak dicetak.
ComSequence: Comic and Sequential Art Festival 2022 adalah format baru festival komik yang diselenggarakan oleh prodi DKV, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta (dulu bernama FKN-Festival Komik Nasional) yang digelar pertama kalinya pada tahun 2012 di Jogja Nasional Museum. ComSequence diperluas jangkauannya pada level Asia Tenggara (mungkin bisalah dianggap tingkat internasional).
Berikut adalah ringkasan artikelnya:
Sejak terbitnya Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH
pada 1967 bermunculanlah gelombang komik silat di Indonesia. Salah satu yang
cukup tenar adalah serial Jaka Sembung karya Djair, yang serial utamanya
terbit dari 1968-1977 mengisahkan perjuangan seorang pemuda bernama Parmin alias
Jaka Sembung mempersatukan para pendekar Nusantara, bahkan sampai Selandia Baru
untuk melawan para pendekar jahat dan tentu saja untuk mengusir Kompeni Belanda
dari “Indonesia”. Dia bukan saja diceritakan sebagai keturunan bangsawan
Keraton Kanoman Cirebon tapi juga berhadapan dengan tokoh nyata seperti Sultan
Agung. Dengan jalinan kisah yang mengesankan bahwa dia pernah benar-benar hidup
ini—terlepas dari narasinya yang
terdengar spektakuler—wajar jika ada sebagian kalangan yang menganggap Jaka
Sembung sebagai tokoh sejarah.
Cover perdana serial Jaka Sembung yang bahkan tidak memuat nama karakter utama (Djair, 1968) |
Dikenal sebagai satu dari
maestro komik silat Indonesia, Djair, anak kedua dari tujuh bersaudara
dilahirkan pada 13 Mei 1945 di kampung Karangtengah, Kebarepan, sebelah barat
kota Cirebon. Wafat pada 27 September 2016, dia mewariskan serial komik silat Jaka
Sembung. Begitu lekatnya Djair dengan Jaka Sembung. Tidak mengherankan bila
dia menciptakan satu universe yang di
dalamnya sejumlah karakter komik ciptaannya saling bertalian. Misalnya Si Tolol
(serial Si Tolol) yang tak lain murid
spiritual Parmin, serial Malaikat
Bayangan yang menceritakan petualangan keempat anak asuh Parmin: Kinong,
Kartaran, Pe’i, dan Thomas, dan komik Pekutukan
yang menceritakan kisah Muhammad Ilham, seorang santri keturunan Parmin.
Sebagai pendekar yang
diceritakan hidup pada latar waktu tertentu di Nusantara, tidak diceritakan
tepatnya Parmin lahir, yang jelas dia hidup di zaman Kompeni. Djair baru
menjelaskan mengenai latar belakang Parmin secara detail di komik Tahta Para Bangsawan (1994), yang terbit
jauh sesudah serial Jaka Sembung
berakhir di Wali Kesepuluh (1977).
Komik Tahta Para Bangsawan sendiri berperan
bak prekuel sekaligus reboot (memulai
ulang) naratif Jaka Sembung yang
sudah ada sebelumnya, karena di saat beberapa bagian ceritanya seolah mengisi
apa yang belum disampaikan secara detail sebelumnya, namun komik ini juga
membatalkan dan sekaligus mengacaukan nalar waktu serial komik terbitan 1968-1977.
Komik Tahta Para Bangsawan secara garis besar
berkisah mengenai awal pertemuan Ki Sapu Angin yang menolong Elang Sutawinata
sekeluarga dari sergapan anak buah perampok Gembong Wungu. Elang Sutawinata
adalah ayah Parmin, dia bangsawan Keraton Kanoman Cirebon yang mengundurkan
diri setelah berselisih pendapat dengan dua saudara tirinya yang menjadi sultan
karena mereka rela tunduk kepada Belanda. Ki Sapu Angin kemudian meminta
Sutawinata memasrahkan Parmin cilik kepadanya untuk dididik sebagai pendekar.
Proses latihan berat menjadi pendekar dijalani Parmin hingga dewasa dan
berakhir dengan dilepasnya Parmin untuk bertualang (yang mana menjadi permulaan
komik Bajing Ireng).
Parmin cilik yang diminta oleh Ki Sapu Angin untuk dididik. Diambil dari Pendekar Gunung Sembung (1969) |
Komik tersebut menyebut
Parmin lahir pada 1602, bertepatan dengan berdirinya VOC. Penyebutan spesifik
ini mengacaukan lini waktu serial komik awal. Kasultanan Cirebon baru terpecah
menjadi tiga pada 1679, menjadi kasultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Panembahan
Cirebon. Dengan data ini ketika ayahnya diusir dari keraton Kanoman Cirebon,
paling tidak Parmin berusia 70 tahun. Sehingga tidak masuk akal rasanya jika
Parmin lahir pada 1602.
Adegan yang sama di komik Tahta Para Bangsawan (1994) |
Berbicara mengenai kualitas
gambar Djair, diakui sendiri olehnya memang tidak sebaik komikus lain (Kurnia,
2014). Tapi lebih tepat kiranya disebut tidak konsisten. Dalam Bajing Ireng (1968), tokoh Parmin tampak
seolah digambar oleh orang yang berbeda jika dibandingkan dengan goresan
gambarnya di komik Pendekar Gunung
Sembung (1969). Padahal pembuatan
kedua komik hanya terpaut satu tahun. Belum lagi jika membandingkan komik-komik
karya Djair 1970-an dan akhir 1980-an, tidak menyertakan pula komik terakhirnya
Jaka Sembung vs. Si Buta dari Gua Hantu
(2010) yang bukan hanya dari segi penuturan kisah, secara kualitas jauh
menurun. Besar kemungkinan ini disebabkan oleh, Pertama, Djair, sebagai komikus otodidak yang pada awal karirnya masih
dalam proses mengadaptasi gaya gambar komikus lain, dan Kedua, industri komik itu sendiri yang membuat gambar Djair semakin
tidak rapi.
Dari kiri atas searah jarum jam: Bajing Ireng (1968), Pendekar Gunung Sembung (1969), Wali Kesepuluh (1977) dan Papua (1972) |
Komik Jaka Sembung penuh nasehat dan petuah
Berlawanan dengan konstruksi moralitas tersebut. Muncul unsur yang
disebut Atmowiloto (2012) sebagai “bumbu telanjang.” Ketelanjangan atau
pornografi ini walau tidak dominan juga hadir dalam komik silat, tidak
terkecuali serial Jaka Sembung. Bisa
jadi memang ada kaitan antara konten pornografi dalam komik silat dengan pembaca
komik silat yang menurut Bonneff (2008:91) didominasi remaja lelaki. Tetapi
menariknya sistem penerbitan komik di Indonesia yang sejak 1967 melibatkan
aparat kepolisian ternyata punya andil membiarkan pornografi dan sadisme
menyebar dalam komik, antara lain karena acuan penilaiannya yang berupa
Pancasila diterapkan secara sederhana dan luwes. Definisi pornografi kian melonggar karena pihak
kepolisian meyakini apresiasi masyarakat berubah dan moralitas juga berkembang.
Asalkan tidak berlebihan gambar bermuatan pornografi diizinkan dengan cara
mengarsir adegan atau menutupi bagian tubuh yang terlarang (Bonneff,
2008:75-77). Dengan demikian dapatlah dibaca bahwa ketelanjangan dalam serial
komik silat Jaka Sembung dan secara
umum komik lainnya tidak bisa melepaskan diri dari ideologi kapitalisme, yang
bertujuan agar komik laku di pasaran
Ketelanjangan dan tema seksual yang disamarkan. Ini ketika karakter bernama Tirta digoda oleh seorang perempuan pimpinan rampok Lalawa Hideung |
Anakronisme sejarah, gaya berkomik yang sarat kata-kata bermuatan moral, dan kualitas gambar tidak konsisten dari Djair adalah akibat tekanan pelaku industri komik yang tidak memungkinkan dia melakukan riset mendalam mengenai topik tertentu dan sekaligus menunjukkan hubungan kuasa yang tidak seimbang antara komikus, industri komik, pembaca pada satu sisi dengan penentang komik (lewat lembaga tidak resmi seperti Opterma atau Operasi Tertib Remadja yang diperbantukan di seksi khusus kepolisian) dan Pemerintah di sisi lain.
Baca artikel lengkapnya beserta Daftar Pustaka di sini.
0 komentar:
Posting Komentar