Masjidil Haram dalam Bingkai

16.38.00 jino jiwan 0 Comments

Sepulang dari ibadah haji tahun 2011 orang tuaku meminta agar foto keduanya sewaktu beribadah haji dicetak. Satu berlatar Kabah sedangkan satunya lagi berlatar menara jam Royal Hotel Mekah. Tidak cukup di situ. Seperti rerata orang pulang dari berhaji atau umroh, ada bermacam oleh-oleh bernuansa “Haji.” Di antaranya dua buah poster foto bergambar Masjid al Haram (Masjidil Haram) dan Masjid Nabawi kurang lebih berukuran A2. Dua poster ini lalu dibingkai kayu bercat keemasan dengan kaca dan lampu fluorescent di baliknya, sehingga ketika saklar dinyalakan, kedua masjid ini akan tampak bercahaya. Masing-masing foto dan poster berbingkai itu dipajang pada dinding ruang tamu dan ruang tengah. Biaya pembingkaian serta instalasi tidak bisa dibilang murah, namun pemajangannya yang ada di “ruang privat namun publik” agaknya menyiratkan suatu hal yang sepadan.

Aku berhaji maka aku ada
Jelas sulit menghindari kesan ingin pamer bahwa “diriku ini sudah berhaji.” Tapi bukankah praktik serupa telah lama dilakukan? Bahkan sejak teknologi foto masih menggunakan kamera analog atau malah sejak teknologi fotografi belum akrab dipakai masyarakat. Misalnya orang suka menunjukkan album foto diri yang berpose di depan suatu bangunan terkenal atau tempat wisata di kota lain atau luar negeri kepada tamu, foto wisuda, atau memajang piala dan medali buah prestasi tertentu, hingga memajang suvenir khas (uang kertas, gantungan kunci, miniatur rumah adat) dari daerah tertentu pada meja/bupet ruang tamu, termasuk membentangkan karpet/permadani raksasa bergambar Masjidil Haram di dinding. Benda-benda material tersebut fungsinya telah melebihi fungsi mereka yang pada awalnya dimaksudkan sebagai penghias ruang, menjadi tanda yang dikonsumsi dan dikomunikasikan citranya oleh tuan rumah bersama dengan para tamu.

Masyarakat spectacle, begitu Debort (2002) menyebutnya. Adalah ketika relasi sosial antar manusia dimediasi oleh imaji, yaitu sebuah cara pandang masyarakat terhadap dunia yang kian dimaterialisasikan. Pada masyarakat spectacle konsumsi atas citra didorong untuk menunjang produksi barang komoditas. Perasionalan atas tindakan konsumsi tumbuh dalam iklim demi pengidentifikasian diri di tengah kehidupan sosial. Debort menyebut ada permainan sistem standardisasi oleh kapitalis untuk mengendalikan masyarakat. Sehingga mereka menjadi patuh bahkan bangga dalam perannya sebagai konsumen. Kehidupan bukan sekedar dinilai dari kepemilikan namun juga pada pemameran atau mempertontonkan status diri.

Berdasar pemaparan Debort, dapatlah disampaikan bahwa perilaku orang-orang yang telah menjalani ibadah haji tak lepas dari apa yang didefinisikan sebagai spectacle, di mana melalui benda-benda seperti poster foto Masjidil Haram dan foto diri di depan Masjidil Haram, mata uang Saudi Riyal, suvenir pintu Kabah, dan  permadani bergambar Masjidil Haram di ruang tamu, orang yang pulang dari berhaji sudah mengonsumsi citra dengan memperantarai hubungan sosial dirinya lewat benda-benda itu (termasuk orang tuaku di dalamnya).

Sisi sosiologi sebuah benda (seni) mengungkapkan bahwa suatu benda tidak lepas dari konteks sosialnya (Zolberg, 1990:9). Poster dan foto diri bersama masjid ini berkaitan dengan ibadah haji itu sendiri sebagai bagian dari tuntunan agama sekaligus tuntutan sosial.

Ibadah haji adalah pilar yang terakhir kali disebut dalam Rukun Islam. Ibarat bangunan maka ia adalah proses dan “tanda” dalam menggapai kesempurnaan status seorang muslim di mata masyarakat (dan Tuhannya), dan konon karena beratnya perjalanan haji maka orang Islam cukup melakukan setidaknya satu kali seumur hidup, itupun bila mampu. Beratnya ibadah haji, terutama di masa ketika perjalanan ke tanah Arab dari wilayah Nusantara/Indonesia hanya bisa melalui jalur laut dan darat yang memakan waktu bulanan hingga tahunan, mendorong pemberian gelar “haji” oleh masyarakat setelah orang yang berhaji kembali ke negerinya. Perjalanan sedemikian berat dari rentang sejarah berimbas pada kepercayaan bahwa orang yang mampu berhaji (karena dianjurkan hanya sekali seumur hidup), pastilah orang yang berada secara finansial (walaupun keyakinan semacam ini bisa saja dibantahkan). Gelar “haji” tidak lagi cukup melegitimasi diri karena gelar haji sudah menjelma kode sosial pelengkap ke-Islam-an, maka oleh-oleh berujud fisik menggantikannya sebagai bukti otentik bahwa yang baru saja pulang sungguh datang dari tanah suci. Proses sosial demikianlah yang membentuk kebutuhan pada konsumsi tanda, konsumsi demi melayani status ke-haji-annya.

Tentu saja gambar, foto, hingga karya kriya/seni berbagai bahan dan rupa yang menampilkan Masjidil Haram lengkap dengan Kabahnya dapat dengan mudah diperoleh di dalam negeri. Tetapi dengan membeli poster bergambar Masjidil Haram di tanah aslinya: Arab Saudi, ada legitimasi lebih meskipun bisa jadi tidak selalu berbanding lurus dengan harga mentereng. “Keorisinalitasan” ini yang dikejar oleh pembelinya tanpa mau peduli bahwa itu merupakan bentuk komodifikasi atas komoditas, terlepas dari lokasi produksi benda itu yang mungkin lebih dekat dari asal negara orang yang berhaji (umumnya buatan Cina).

Masjid Nabawi dalam bingkai keemasan

Pergeseran atas bentuk legitimasi pergi haji—dari oleh-oleh benda kriya/seni ke fotografi—selain karena makin ringkas dan mudahnya kamera juga karena foto mempunyai karakter yang unggul dalam merepresentasikan kenyataan dibandingkan gambar atau benda kriya. Foto menjelma menjadi arena mempertontonkan kebenaran, kebenaran bahwa orang ini benar-benar telah beribadah haji, kebenaran yang ujungnya jatuh pada upaya pemosisian diri di tengah masyarakat lewat perantara imaji. Foto juga memenangkan legitimasi melalui penghadirannya yang berada di ruang privat tetapi bersifat publik: ruang tamu. Setiap tamu yang datang berkunjung akan disuguhi “tanda” yang mewartakan bahwa tuan rumah sudah pergi jauh ke Arab Saudi untuk menjalani ibadah haji, dan bila itu dirasa kurang, barangkali foto Masjidil Haram tadi akan ditingkahi dengan cerita-cerita dan kenangan menakjubkan tentang tanah suci.

Masalah lalu muncul ketika siapa saja, bahkan yang belum pernah berhaji atau melaksanakan ibadah umroh bisa bebas memajang gambar Masjidil Haram di ruang tamunya. Ya, di era reproduksi mekanis—digital, siapa yang berhak melarang suatu pengomsumsian tanda? Entah apapun motivasi orang yang tidak/belum berhaji memasang gambar Kabah. Tidak ingin kalahkah dari yang sudah berhaji? Ingin dikira sudah berhajikah? Ataukah justru suatu bentuk pengharapan agar suatu hari bisa beribadah haji? Apapun yang melatarbelakangi perilaku tersebut, ‘hak eksklusif’ yang hendak ditujukkan hanya kepada orang yang sudah berhaji seolah lebur dan mengabur. Gambar Masjidil Haram yang biasa-biasa saja tidak lagi cukup menunjukkan bahwa seorang pernah menjalani beratnya berhaji.
Dari sini gambar dan foto Masjidil Haram menyimpan perang atas status dan makna, hingga mampu membentuk visualitas dalam masyarakat, visualitas yang  membentuk akan pentingnya daya pembeda. Unsur intrinsik yang biasa berada di wilayah estetika ternyata juga menyentuh sisi sosial. Zolberg (1990:27) menuliskan bahwa suatu karya seni adalah bentukan anggota masyarakat nan kompleks dan jauh dari label sederhana. Walker dan Chaplin (1997:76-77) menyebutnya “selera,” yaitu suatu bentuk resepsi di mana konsumen dan produsen bersama-sama membentuk selera baru dalam masyarakat, yang selera tersebut sering dirancang untuk tetap ada pada waktu tertentu sebelum akhirnya tergantikan. Becker (1982:39) mempertegasnya dengan mengatakan bahwa kriteria atas estetika adalah karakteristik aktivitas kolektif. Gambar boleh menyajikan objek yang sama namun tampilannya haruslah ‘beda.’ Pada tampilan yang beda inilah makna dan status terus dibentuk. Maka diciptakanlah gambar-gambar atau foto sisi lain Masjidil Haram (termasuk gambar pintu emas Kabah), diciptakanlah cara membingkai gambar/foto yang secara konsensus dinilai layak dihargai lebih tinggi dari lainnya. Sebaliknya, ada saja gambar atau foto lain yang tampak tidak pantas ‘disajikan’ di ruang tamu rumah orang yang lebih berada dan karenanya harganya lebih rendah, yang jika dilihat sekilas saja sudah tampak hirarki kualitasnya.

Masjidil Haram dalam bingkai keemasan dengan lampu fluorescent di baliknya menjadi salah satu yang dilingkupi keeksklusivitasan bagi orang yang baru pulang dari berhaji. Bingkai berukir dengan warna keemasan menjadi ciri fisik yang terlihat kelasnya dibandingkan gambar Masjidil Haram yang tidak berbingkai. Namun hanya soal waktu sebelum gaya pembingkaian seperti ini akan mencapai titik jenuh. Bukan saja ketika karya itu semakin lumrah ditemui di setiap rumah yang menyebabkan nilai gengsinya menurun, tapi juga karena makna akan status akan selalu diperbarui oleh segenap anggota masyarakat. Hal demikian dihadirkan untuk melayani diri ini yang selalu haus akan unsur pembeda-yang-tidak-biasa, yang tidak lain adalah unsur yang-tidak-dimiliki-oleh-orang-lain

Model Produksi

Walker dan Chaplin (1997:77) menyebut model produksi, distribusi, dan konsumsi yang perputarannya bukan sebagai pengulangan, melainkan perputaran yang secara berbarengan dan berturutan, di mana setiap putaran selalu berbeda karena selalu ada perubahan dalam masyarakat. Kini sudah tidak jelas lagi siapa yang lebih berkontribusi terhadap nilai elitis dan estetis dalam produksi gambar Masjidil Haram dan pembingkainya.  
Apakah fotografernya? Belum tentu juga, sebab siapapun bisa mengambil foto dengan kualitas cukup baik hari ini, asalkan memiliki kamera dan akses ke lokasi pemotretan. Atau jangan-jangan yang lebih berjasa justru perusahaan pembuat kamera dengan lensa kamera? Tapi apalah arti kamera tanpa keberadaan fotografer?

Dapatkah peran besar ada di percetakannya? Amat diragukan, karena kini kualitas cetak nyaris seragam apapun merek mesinnya. Bisakah pabrik pembuat mesin cetak, pabrik tinta cetak, ataukah operator cetak lebih kuat peranannya? Bisa jadi, namun mesin cetak hanyalah satu metode produksi.

Apakah orang yang diserahi untuk membingkai serta memasang instalasi kabel dan lampu fluorescent di balik poster lebih mumpuni dari mereka yang berprofesi sama? Belum tentu, mereka juga masih membutuhkan jasa tukang kayu, penjual cat kayu, serta pemasoknya. Bahkan ada teknik-teknik pengukiran dan pengecatan yang berpengaruh terhadap hasil dan harga akhir dari suatu produk bingkai.

Benarkah pemesannya (klien) jauh lebih besar peranannya? Mengingat tidak akan ada produksi tanpa ada permintaan, yang kemudian menciptakan paradoks bahwa tidak akan ada permintaan tanpa produksi. Kenyataannya toh seluruh individu secara anonim berperan serta dan turut memberi pengaruh pada setiap elemen karya tersebut. Proses produksi, distribusi, konsumsi tidak tegas meletakkan posisinya pada posisi tertentu, entah sebagai masyarakat penyangga, konstruksi sosial seni, atau lembaga sosio kultural. Menciptakan karya Masjidil Haram dalam bingkai tak lain adalah sebuah kerja kolektif yang luas.

Berhaji yang merupakan bagian dari Rukun Islam menyiratkan kepada pemeluknya untuk memasrahkan diri menjalani serangkaian ibadah dengan menapaktilasi sejarah penyebaran agama yang diimaninya secara langsung di tanah Arab. Membutuhkan tidak saja kesiapan fisik dan mental, serta biaya yang jelas tidak sedikit, orang-orang Islam yang pergi berhaji menjadi terbebani tidak saja di hadapan Tuhannya tapi lebih-lebih secara sosial. Sebuah proses rumit yang sayangnya tidak akan bisa sepenuhnya dilenyapkan di mana proses itu kemudian berimbas pada visualitas sebagai status sosial. Masjidil Haram dalam bingkai akan terus menempa makna legitimasi bagi orang-orang yang berhaji.

Sumber Boleh Ngutip
Becker, H.S., 1982. Art Worlds. Los Angeles: University of California Press.

Debort, G., 2002. The Society of The Spectacle. Canberra: Hobgoblin Press.

Walker, J.A., Chaplin, S. 1997. Visual Culture, An Introduction. New York: Manchester University Press.

Zolberg, V.L., 1990. Contructing a Sociology of The Arts. 1990. New York: Cambridge University Press.

0 komentar: