Merakit Hulu ke Candi Sukuh
Walau letaknya dekat dengan
puncak Gunung Lawu, kisaran Candi Sukuh di Karanganyar tidak bisa disebut
dingin. Setidaknya kamu tidak betul-betul butuh jaket di sini. Tapi ini mungkin
kasus khusus karena rombongan kami (prodi Kajian Budaya & Media UGM) baru
sampai di lokasi sekitar jam 11 gara-gara berangkat dari kampus baru jam 8 pagi.
Cukup siang memang, wajarlah bila suasana sudah memanas. Sepertinya matahari musim
kemarau memang gemar mengeringkan apapun yang diterpanya, gunung yang semestinya
dingin tidak dingin lagi. Niat awalnya sih ‘kuliah lapangan’ bertajuk Genealogi
Seksologi atau semacamnya, tapi yang didapat malah petualangan lapangan: mendaki
kaki gunung dengan durasi lebih dari 30 menit.
Berakit kita ke hulu |
Jalur menanjak ke Candi Sukuh
ini sungguh istimewa, terutama bagi yang tidak terbiasa. Bayangkan saja, sudut kemiringannya
bisa mencapai 45° yang terus terbentang tanpa henti sepanjang kira-kira 3
kilometer(?) dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Mau bagaimana lagi wong rombongan kami naik bus sementara
bus tidak mungkin ikut naik dan memutar di lokasi candi. Karena kondisi ekstrim
inilah aku yakin jika kamu melakukannya(berjalan kaki) setiap hari selama 30
hari bukan hanya kamu punya kemampuan setara dengan anak-anak lokal yang sering
naik turun tanjakan dari rumah ke sekolah, tapi kamu sudah pasti siap untuk
menaklukkan gunung paling ganas di muka Indonesia. Aku pun ikut jalan kaki tanpa
bisa memproyeksikan bahwa baru dua hari berikutnya linu di kaki-kaki ini pulih.
Masih untung banyak temannya. Jika tidak aku bakal memilih ngojek saja seperti dilakukan
sebagian di antara kami.
Warga lokal yang luar biasa tangguh |
Separuh perjalanan aku dapat kesempatan
beristirahat dan bukan kebetulan kawan-kawan juga sedang istirahat sambil
menanti mereka yang masih tercecer di bawah. Baru di sini angin sejuk berembus,
jauh lebih menyegarkan daripada AC bus. Cukuplah untuk menyingkirkan penat dan
peluh sekaligus mengisi tenaga. Dari lokasi yang tinggi ini pula terlihat betapa
jauhnya jarak yang sudah kami tempuh.
...
...
Candi Sukuh adalah candi yang aneh.
Selain karena tema (erotisnya), bentuk, dan bahan batunya tidak selazimnya
berasal dari zaman Majapahit, letaknya pun terbilang jauh dari lokasi yang diyakini
merupakan letak ibukota di Trowulan sana. Sayangnya harapan untuk melihat Candi
Sukuh secara langsung yang sudah kubangun jauh dari sebelum ada rencana
kunjungan ke candi ini jadi hancur lebur.
Sesampainya di candi ingin
sebenarnya aku mengucap “semua keletihan itu terbayar sudah,” selayaknya
artikel-artikel tentang wisata yang sering kalian baca, tapi bukan itu yang terjadi
dan bukan itu yang kurasa. Candi utama yang semestinya jadi suguhan utama ternyata
tengah dipugar. Kecewa? Jelas! Tidak nampak ada kegiatan perbaikan candi yang artinya
renovasi ini bakal memakan waktu lama. Dengan begitu tidak banyak pula sisa dari
bangunan masa lalu ini yang dapat dipandangi selain enam(?) panel relief, tiga
gerbang (dua di antaranya hancur), dan beberapa arca tanpa kepala. Pemandangan gunung
yang coba dijual menurutku agak mengingatkan Candi Ijo di Jogja yang karena sudah
terlalu siang jadi nampak kurang indah.
Tiap hari selama ratusan tahun Si Bulus harus berhadapan dengan arca ini |
Mahasiswi Kajian Budaya sedang mengamati artefak budaya |
Batu = statu |
Perkuliahan dari dua dosen: Pak
Budiawan dan Pak Kris tidak benar-benar kusimak. Aku meng-asyik-kan diri memotret
sana dan sini, berharap kameraku bisa merekam keadaan candi sebelum dibongkar (beberapa
bulan lalu?), atau bahkan merekam keadaan candi di masa Kerajaan Majapahit masih
ada di peta Nusantara. Pembayangan-pembayangan ini sedikit meredam
kekecewaanku. Mungkin keletihan diri ini tak seberapa dibanding orang-orang zaman
Majapahit dulu yang dipaksa mengangkat dan mengangkut, menatah dan menata batu-batu, apalagi di zaman
itu jalannya jelas belum semulus sekarang. Kekecewaanku kurasa belum sebanding dengan
kekecewaan pekerja proyek candi masa itu jika tahu candi ini dibongkar tapi tidak kunjung dipasang kembali.
Ah, sudahlah. Terkadang merakit
ke hulu tak selalu disusul berenang ke tepian. Better luck next time! Lain kali aku akan ke sini bawa motor
sendiri.
Hey, foto terakhir ini hasil editan di Sotosop. Aku menghilangkan sejumlah objek dan menambahkan candinya. Tidak teramat hebat tapi setidaknya ini yang bisa kulakukan.
(Jino Jiwan)
0 komentar:
Posting Komentar